

Kisah
Bagi saya, Ronggeng Dukuh Paruk adalah kisah NTR, angst, dan sedikit erotis. Bagi yang belum tahu, NTR adalah singkatan dari netorare. Singkatnya, NTR adalah suatu situasi ketika tokoh utama (protagonis) menyaksikan atau mengetahui sosok yang ia cintai direnggut oleh pihak lain yang lebih berkuasa, sementara ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan membiarkan semua itu terjadi, bahkan ia diam-diam juga menikmati situasi itu. Kalau masih belum paham, tidak apa-apa. Cukup sampai di sini, tidak perlu googling lebih jauh, terutama kalau VPN kamu aktif.
Pembahasan di bawah ini mengandung spoiler.
Dalam tingkatan yang paling utama dan personal, NTR terjadi antara Rasus, Srintil, dan para penikmat ronggeng. Dukuh Paruk sebagai sebuah masyarakat yang terbelakang, miskin, dan bebal, melanggengkan sebuah tradisi patriarkis yang menindas dan mengobjektifikasi perempuan, khususnya penari ronggeng.
Ronggeng dalam tradisi Dukuh Paruk tidak sekadar pekerja seni, tapi juga pekerja seks yang diglorifikasi. Ya, akrobat pemikiran bijak tetua memang sangat ampuh untuk menyamarkan praktik penindasan dalam masyarakat tradisional. Seorang perempuan bisa dielu-elukan, dipuja-puja, dan dikagumi layaknya seorang dewi atau idol, padahal ia sedang dipaksa menjadi pelacur. Dalam konteks lain, seorang perempuan bisa digambarkan sebagai ratu yang dirawat, dilindungi, dan dilayani, padahal sebenarnya sedang diposisikan sebagai hewan peliharaan. Hal semacam ini lumrah di Dukuh Paruk, dan para tetua mereka (bahkan termasuk narator cerita) seringkali menggambarkan penindasan manipulatif ini sebagai sebuah “kepolosan” atau “keluguan” masyarakat kelas bawah yang “nilai moralnya sedikit berbeda dari kaum kebanyakan”.
Srintil dan Rasus adalah sahabat sejak kecil di Dukuh Paruk. Sebagai lelaki dan perempuan, mereka memiliki ikatan emosional dan ketertarikan yang lebih dari sekadar cinta monyet. Bahkan, dalam suatu perumpamaan psikoanalitis yang aneh, Rasus pernah membayangkan Srintil tidak hanya sebagai sahabat perempuan yang ia sukai, tapi juga sebagai pengganti sosok ibunya sendiri. Ini jelas pertanda buruk. Biasanya, kisah “persahabatan masa kecil” ini merupakan lahan subur untuk tumbuhnya berbagai tragedi percintaan yang menyakitkan hati dan menguji kewarasan di masa depan.
Atas dasar tradisi dan suatu logika mistika, Srintil didaulat menjadi penari ronggeng. Artinya, keindahan dan kecantikan tubuh Srintil kini menjadi milik bersama. Kata-kata “milik bersama” adalah kebohongan manipulatif lain dari tradisi Dukuh Paruk. “Milik bersama” ini maksudnya adalah “milik mereka yang punya duit dan punya kuasa” untuk menyewa Srintil. Tubuh dan seksualitas ronggeng adalah komoditas, daya tarik pariwisata eksotis khas Dukuh Paruk yang membuat desa itu terkenal.
Inilah momen NTR utama bagi Rasus dan Srintil, yang menjadi penanda akan munculnya berbagai tragedi lain sepanjang cerita. Baik Rasus maupun Srintil sama-sama gelisah terhadap kenyataan ini. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kegelisahan dan penolakan di hati mereka tidak berkembang menjadi pemberontakan, pembangkangan, ataupun perlawanan terhadap adat para tetua desa dan sistem yang membelenggu. Andaikan itu terjadi, tentu novel ini akan berubah menjadi sangat berbeda–dan belum tentu bisa terbit bebas di bawah rezim Orba.
Satu-satunya bentuk penolakan yang berani mereka lakukan adalah penolakan yang bersifat personal dan simbolis. Srintil hanya mampu melakukan protes dengan cara menyerahkan keperawanannya kepada Rasus (bukan kepada pemenang lelang yang membayar paling mahal). Sementara itu, Rasus melarikan diri, menjauh dari Dukuh Paruk, meninggalkan Srintil, mengasingkan diri dari satu-satunya medan perang yang seharusnya ia hadapi sebagai tokoh utama.
Setelah melarikan diri, Rasus mencari aktualisasi diri dengan menjadi tentara. Pada tahap ini, saya setengah berharap bahwa setelah menjadi tentara mungkin Rasus akan kembali untuk melakukan pembalasan atau bahkan pemberontakan terhadap Dukuh Paruk yang telah merenggut kekasih hatinya. Namun, ini adalah kisah NTR. Seorang cuck dalam skenario NTR tidak mungkin memberontak–ia harus senantiasa tidak berdaya.
Rasus tidak pernah kembali untuk membalas atau membebaskan. Niat untuk melakukan itu pun baru terbesit dalam benaknya di bagian akhir trilogi. Di awal cerita, ia hanya menjalani hidup sambil mencoba pasrah dan mungkin sesekali membayangkan bagaimana Srintil yang ia cintai itu ikhlas berhubungan seks dengan para lelaki cabul, menjadi mentor kursus seks (gowok) untuk seorang bocah aseksual, dan melakukan apa pun demi melayani fetish pria-pria berkuasa di desanya. Menjelang akhir cerita, Rasus sekali lagi menjadi cuck dalam situasi NTR, melihat desa kelahiran dan keluarganya hancur dan ditangkapi oleh sesama tentara, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi, ketika ia sebagai tentara harus memerangi dan membunuh para pemberontak yang membuat hati nuraninya berontak. NTR asmara/seks berevolusi menjadi NTR ideologis.
Sebagai kaum muda Dukuh Paruk, Rasus dan Srintil memang pernah menyadari ada yang tidak beres dengan tradisi mereka. Namun, bibit-bibit perubahan yang organik itu tidak pernah tumbuh subur, bahkan layu sebelum berkembang. Mereka (kali ini sama-sama berposisi sebagai cuck) hanya sanggup menerima dan menyaksikan bagaimana benih perubahan itu dihancurkan oleh kekuatan adat yang sejatinya memihak pada kekuasaan. Ini adalah NTR kedua. NTR kaum muda yang tak berdaya di hadapan sistem leluhurnya.
Pada buku selanjutnya, kita melihat bagaimana kebebalan Dukuh Paruk harus berhadapan dengan kekuatan lain yang sedang bergelora. Para tetua Dukuh Paruk seperti Syakaria dan Kartareja tampak gagap dan heran dengan orang-orang yang mengadakan rapat-rapat besar untuk melakukan “perlawanan”, mengumpulkan massa, bahkan memprovokasi dan menyulut kemarahan.
Sialnya, orang-orang yang disebutkan sebagai “komunis” ini (maksudnya tentu adalah PKI) digambarkan hanya sebagai politikus pragmatis yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan massa. Tokoh Bakar, petingginya, digambarkan sebagai pria kebapakan yang ramah, tapi sebenarnya licik dan memandang rendah warga Dukuh Paruk. Ia diceritakan menipu dan mengadu domba, membuat Dukuh Paruk terseret dalam kekacauan yang mereka perbuat hingga akhirnya mendapatkan stigma komunis.
Pada geger 1965, Dukuh Paruk binasa. Ironisnya, mereka binasa bukan karena dosa-dosa mereka yang sebenarnya, tapi karena dosa orang lain, yaitu dosanya PKI. Rumah-rumah mereka dibakar dan diratakan oleh massa antikomunis, sementara warganya ditangkap, diculik, dan disiksa tentara. Oleh karena itu, setelah hancur pun, Dukuh Paruk tetap bisa dicitrakan sebagai pihak korban yang “polos”, “lugu”, dan tidak berdosa. Padahal, korban mereka sudah jelas, yaitu Srintil. Jika kita membandingkan dari awal sampai akhir, penderitaan Srintil paling banyak terjadi bukan karena ia dituduh PKI, tapi karena ia adalah ronggeng Dukuh Paruk.
Meskipun dalam banyak kesempatan penulis mengamini narasi Orde Baru bahwa “PKI yang memulai duluan”, tapi ia terus berusaha bersikap netral dengan caranya sendiri yang canggung. Dalam kisah tragedi, semua orang adalah korban. Tidak ada pelaku. Komunis adalah korban, tentara adalah korban, masyarakat adalah korban, warga Dukuh Paruk adalah korban, Srintil dan Rasus juga korban. Korban dari siapa? Korban dari sebuah entitas abstrak bernama “Zaman” dan “Sejarah”. Entah berapa kali dalam novel ini penulis menggunakan idiom semacam “keperkasaan zaman”, “kepongahan sejarah” atau sejenisnya.
Seperti cerita pada umumnya, kisah ini pun memiliki protagonis dan antagonis. Protagonis dari kisah ini adalah Rasus dan Srintil. Kita bisa melihat apa yang menjadi tujuan mereka serta siapa atau apa “antagonis” yang menghalangi mereka meraih tujuan tersebut. Jika tujuan Rasus dan Srintil adalah untuk hidup bersama dan bahagia, maka antagonis dalam kisah ini tidak lain adalah tradisi Ronggeng Dukuh Paruk itu sendiri–bukan peristiwa geger 1965. Peristiwa 1965, betapa pun menyedihkan dan mengerikan, ironisnya justru membantu Srintil dan Rasus untuk dapat bersatu. Seandainya tak ada peristiwa 1965, Srintil akan tetap menjadi ronggeng seks dalam kekangan tradisi yang ajeg, dan Rasus akan tetap menjadi tentara rendahan tanpa arah dan tujuan. Sayangnya, sulit sekali bagi para protagonis kita ini untuk menyadari bahwa antagonis mereka, sosok yang merenggut cita dan cinta mereka, bukanlah zaman atau sejarah, melainkan tradisi penindasan manusia atas manusia.
Media
Saya menikmati Ronggeng Dukuh Paruk dalam dua format, yaitu audiobook di aplikasi Storytel dan e-book di Google Play. Namun format yang paling sering saya jamah adalah versi audiobook-nya yang dibawakan oleh Anes Wibowo dalam durasi 18 jam 24 menit. Versi e-book baru saya baca di beberapa bab terakhir karena ingin segera menyelesaikan novel trilogi ini dengan kecepatan saya sendiri.
Sebelumnya, saya tidak pernah secara serius mendengarkan audiobook bahasa Indonesia, kecuali beberapa audio drama di Noice. Di luar dugaan, audiobook RDP ini dibawakan dengan sangat baik oleh Anes Wibowo. Seorang diri, ia membacakan narasi dan dialog keseluruhan tokoh dari awal hingga akhir. Memang, ada hal yang tidak bisa dibuat sempurna, misalnya ketika ia memerankan dialog tokoh-tokoh perempuan. Anes sudah berakting dengan sangat baik dan terdengar berusaha semaksimal mungkin. Namun tetap saja, sesekali suaranya yang laki-laki itu membuat saya membayangkan Srintil seperti seorang waria. Ditambah dengan adegan yang seringkali lumayan erotis, hal ini menimbulkan kesan yang cukup kocak.
Saya cukup mengagumi konsistensi dan keseriusan Anes dalam voice acting. Ia terdengar cukup serius membawakan logat para tokoh orang tua, anak-anak, dan termasuk ketika ia harus mendendangkan nyanyian bahasa Jawa. Audiobook ini menemani saya pulang-pergi kerja selama beberapa minggu dan membuatnya lebih bermakna. Ini bukan review berbayar, tapi saya menyarankan siapa saja untuk mendengarkan audiobook Ronggeng Dukuh Paruk yang bisa diakses di aplikasi Storytel ini.
Kesan saya terhadap versi e-book-nya berbeda seratus delapan puluh derajat. E-book yang saya beli di Google Play ini dibuat dengan tidak niat. Hanya sekadar ada untuk melengkapi koleksi digital penerbitnya. Format teks yang masih berbentuk PDF, tidak dapat diatur ulang dengan flowing text, hasil scan yang tidak rapi dan tidak tajam, bahkan adanya watermark di tengah-tengah halaman seolah menandakan penerbitnya ketakutan e-book ini akan dibajak. Saya paham, banyak penggemar novel sastra yang masih setia pada buku fisik karena faktor nostalgia, faktor instagrammable, atau apa pun itu, tapi jika mereka memang mau menerbitkan dan menjual e-book, setidaknya niatlah sedikit. Jadi, saya tidak menyarankan kamu membeli buku digital dari Ronggeng Dukuh Paruk, kecuali kamu punya ebook reader berukuran besar.