Ronggeng Dukuh Paruk: NTR di Hadapan Zaman

Kisah

Bagi saya, Ronggeng Dukuh Paruk adalah kisah NTR, angst, dan sedikit erotis. Bagi yang belum tahu, NTR adalah singkatan dari netorare. Singkatnya, NTR adalah suatu situasi ketika tokoh utama (protagonis) menyaksikan atau mengetahui sosok yang ia cintai direnggut oleh pihak lain yang lebih berkuasa, sementara ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan membiarkan semua itu terjadi, bahkan ia diam-diam juga menikmati situasi itu. Kalau masih belum paham, tidak apa-apa. Cukup sampai di sini, tidak perlu googling lebih jauh, terutama kalau VPN kamu aktif.

Pembahasan di bawah ini mengandung spoiler.

Dalam tingkatan yang paling utama dan personal, NTR terjadi antara Rasus, Srintil, dan para penikmat ronggeng. Dukuh Paruk sebagai sebuah masyarakat yang terbelakang, miskin, dan bebal, melanggengkan sebuah tradisi patriarkis yang menindas dan mengobjektifikasi perempuan, khususnya penari ronggeng. 

Ronggeng dalam tradisi Dukuh Paruk tidak sekadar pekerja seni, tapi juga pekerja seks yang diglorifikasi. Ya, akrobat pemikiran bijak tetua memang sangat ampuh untuk menyamarkan praktik penindasan dalam masyarakat tradisional. Seorang perempuan bisa dielu-elukan, dipuja-puja, dan dikagumi layaknya seorang dewi atau idol, padahal ia sedang dipaksa menjadi pelacur. Dalam konteks lain, seorang perempuan bisa digambarkan sebagai ratu yang dirawat, dilindungi, dan dilayani, padahal sebenarnya sedang diposisikan sebagai hewan peliharaan. Hal semacam ini lumrah di Dukuh Paruk, dan para tetua mereka (bahkan termasuk narator cerita) seringkali menggambarkan penindasan manipulatif ini sebagai sebuah “kepolosan” atau “keluguan” masyarakat kelas bawah yang “nilai moralnya sedikit berbeda dari kaum kebanyakan”. 

Srintil dan Rasus adalah sahabat sejak kecil di Dukuh Paruk. Sebagai lelaki dan perempuan, mereka memiliki ikatan emosional dan ketertarikan yang lebih dari sekadar cinta monyet. Bahkan, dalam suatu perumpamaan psikoanalitis yang aneh, Rasus pernah membayangkan Srintil tidak hanya sebagai sahabat perempuan yang ia sukai, tapi juga sebagai pengganti sosok ibunya sendiri. Ini jelas pertanda buruk. Biasanya, kisah “persahabatan masa kecil” ini merupakan lahan subur untuk tumbuhnya berbagai tragedi percintaan yang menyakitkan hati dan menguji kewarasan di masa depan. 

Atas dasar tradisi dan suatu logika mistika, Srintil didaulat menjadi penari ronggeng. Artinya, keindahan dan kecantikan tubuh Srintil kini menjadi milik bersama. Kata-kata “milik bersama” adalah kebohongan manipulatif lain dari tradisi Dukuh Paruk. “Milik bersama” ini maksudnya adalah “milik mereka yang punya duit dan punya kuasa” untuk menyewa Srintil. Tubuh dan seksualitas ronggeng adalah komoditas, daya tarik pariwisata eksotis khas Dukuh Paruk yang membuat desa itu terkenal. 

Inilah momen NTR utama bagi Rasus dan Srintil, yang menjadi penanda akan munculnya berbagai tragedi lain sepanjang cerita. Baik Rasus maupun Srintil sama-sama gelisah terhadap kenyataan ini. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kegelisahan dan penolakan di hati mereka tidak berkembang menjadi pemberontakan, pembangkangan, ataupun perlawanan terhadap adat para tetua desa dan sistem yang membelenggu. Andaikan itu terjadi, tentu novel ini akan berubah menjadi sangat berbeda–dan belum tentu bisa terbit bebas di bawah rezim Orba. 

Satu-satunya bentuk penolakan yang berani mereka lakukan adalah penolakan yang bersifat personal dan simbolis. Srintil hanya mampu melakukan protes dengan cara menyerahkan keperawanannya kepada Rasus (bukan kepada pemenang lelang yang membayar paling mahal). Sementara itu, Rasus melarikan diri, menjauh dari Dukuh Paruk, meninggalkan Srintil, mengasingkan diri dari satu-satunya medan perang yang seharusnya ia hadapi sebagai tokoh utama. 

Setelah melarikan diri, Rasus mencari aktualisasi diri dengan menjadi tentara. Pada tahap ini, saya setengah berharap bahwa setelah menjadi tentara mungkin Rasus akan kembali untuk melakukan pembalasan atau bahkan pemberontakan terhadap Dukuh Paruk yang telah merenggut kekasih hatinya. Namun, ini adalah kisah NTR. Seorang cuck dalam skenario NTR tidak mungkin memberontak–ia harus senantiasa tidak berdaya. 

Rasus tidak pernah kembali untuk membalas atau membebaskan. Niat untuk melakukan itu pun baru terbesit dalam benaknya di bagian akhir trilogi. Di awal cerita, ia hanya menjalani hidup sambil mencoba pasrah dan mungkin sesekali membayangkan bagaimana Srintil yang ia cintai itu ikhlas berhubungan seks dengan para lelaki cabul, menjadi mentor kursus seks (gowok) untuk seorang bocah aseksual, dan melakukan apa pun demi melayani fetish pria-pria berkuasa di desanya. Menjelang akhir cerita, Rasus sekali lagi menjadi cuck dalam situasi NTR, melihat desa kelahiran dan keluarganya hancur dan ditangkapi oleh sesama tentara, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi, ketika ia sebagai tentara harus memerangi dan membunuh para pemberontak yang membuat hati nuraninya berontak. NTR asmara/seks berevolusi menjadi NTR ideologis.

Sebagai kaum muda Dukuh Paruk, Rasus dan Srintil memang pernah menyadari ada yang tidak beres dengan tradisi mereka. Namun, bibit-bibit perubahan yang organik itu tidak pernah tumbuh subur, bahkan layu sebelum berkembang. Mereka (kali ini sama-sama berposisi sebagai cuck) hanya sanggup menerima dan menyaksikan bagaimana benih perubahan itu dihancurkan oleh kekuatan adat yang sejatinya memihak pada kekuasaan. Ini adalah NTR kedua. NTR kaum muda yang tak berdaya di hadapan sistem leluhurnya.

Pada buku selanjutnya, kita melihat bagaimana kebebalan Dukuh Paruk harus berhadapan dengan kekuatan lain yang sedang bergelora. Para tetua Dukuh Paruk seperti Syakaria dan Kartareja tampak gagap dan heran dengan orang-orang yang mengadakan rapat-rapat besar untuk melakukan “perlawanan”, mengumpulkan massa, bahkan memprovokasi dan menyulut kemarahan. 

Sialnya, orang-orang yang disebutkan sebagai “komunis” ini (maksudnya tentu adalah PKI) digambarkan hanya sebagai politikus pragmatis yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan massa. Tokoh Bakar, petingginya, digambarkan sebagai pria kebapakan yang ramah, tapi sebenarnya licik dan memandang rendah warga Dukuh Paruk. Ia diceritakan menipu dan mengadu domba, membuat Dukuh Paruk terseret dalam kekacauan yang mereka perbuat hingga akhirnya mendapatkan stigma komunis.

Pada geger 1965, Dukuh Paruk binasa. Ironisnya, mereka binasa bukan karena dosa-dosa mereka yang sebenarnya, tapi karena dosa orang lain, yaitu dosanya PKI. Rumah-rumah mereka dibakar dan diratakan oleh massa antikomunis, sementara warganya ditangkap, diculik, dan disiksa tentara. Oleh karena itu, setelah hancur pun, Dukuh Paruk tetap bisa dicitrakan sebagai pihak korban yang “polos”, “lugu”, dan tidak berdosa. Padahal, korban mereka sudah jelas, yaitu Srintil. Jika kita membandingkan dari awal sampai akhir, penderitaan Srintil paling banyak terjadi bukan karena ia dituduh PKI, tapi karena ia adalah ronggeng Dukuh Paruk.

Meskipun dalam banyak kesempatan penulis mengamini narasi Orde Baru bahwa “PKI yang memulai duluan”, tapi ia terus berusaha bersikap netral dengan caranya sendiri yang canggung. Dalam kisah tragedi, semua orang adalah korban. Tidak ada pelaku. Komunis adalah korban, tentara adalah korban, masyarakat adalah korban, warga Dukuh Paruk adalah korban, Srintil dan Rasus juga korban. Korban dari siapa? Korban dari sebuah entitas abstrak bernama “Zaman” dan “Sejarah”. Entah berapa kali dalam novel ini penulis menggunakan idiom semacam “keperkasaan zaman”, “kepongahan sejarah” atau sejenisnya.

Seperti cerita pada umumnya, kisah ini pun memiliki protagonis dan antagonis. Protagonis dari kisah ini adalah Rasus dan Srintil. Kita bisa melihat apa yang menjadi tujuan mereka serta siapa atau apa “antagonis” yang menghalangi mereka meraih tujuan tersebut. Jika tujuan Rasus dan Srintil adalah untuk hidup bersama dan bahagia, maka antagonis dalam kisah ini tidak lain adalah tradisi Ronggeng Dukuh Paruk itu sendiri–bukan peristiwa geger 1965. Peristiwa 1965, betapa pun menyedihkan dan mengerikan, ironisnya justru membantu Srintil dan Rasus untuk dapat bersatu. Seandainya tak ada peristiwa 1965, Srintil akan tetap menjadi ronggeng seks dalam kekangan tradisi yang ajeg, dan Rasus akan tetap menjadi tentara rendahan tanpa arah dan tujuan. Sayangnya, sulit sekali bagi para protagonis kita ini untuk menyadari bahwa antagonis mereka, sosok yang merenggut cita dan cinta mereka, bukanlah zaman atau sejarah, melainkan tradisi penindasan manusia atas manusia.

Media

Saya menikmati Ronggeng Dukuh Paruk dalam dua format, yaitu audiobook di aplikasi Storytel dan e-book di Google Play. Namun format yang paling sering saya jamah adalah versi audiobook-nya yang dibawakan oleh Anes Wibowo dalam durasi 18 jam 24 menit. Versi e-book baru saya baca di beberapa bab terakhir karena ingin segera menyelesaikan novel trilogi ini dengan kecepatan saya sendiri.

Sebelumnya, saya tidak pernah secara serius mendengarkan audiobook bahasa Indonesia, kecuali beberapa audio drama di Noice. Di luar dugaan, audiobook RDP ini dibawakan dengan sangat baik oleh Anes Wibowo. Seorang diri, ia membacakan narasi dan dialog keseluruhan tokoh dari awal hingga akhir. Memang, ada hal yang tidak bisa dibuat sempurna, misalnya ketika ia memerankan dialog tokoh-tokoh perempuan. Anes sudah berakting dengan sangat baik dan terdengar berusaha semaksimal mungkin. Namun tetap saja, sesekali suaranya yang laki-laki itu membuat saya membayangkan Srintil seperti seorang waria. Ditambah dengan adegan yang seringkali lumayan erotis, hal ini menimbulkan kesan yang cukup kocak.

Saya cukup mengagumi konsistensi dan keseriusan Anes dalam voice acting. Ia terdengar cukup serius membawakan logat para tokoh orang tua, anak-anak, dan termasuk ketika ia harus mendendangkan nyanyian bahasa Jawa. Audiobook ini menemani saya pulang-pergi kerja selama beberapa minggu dan membuatnya lebih bermakna. Ini bukan review berbayar, tapi saya menyarankan siapa saja untuk mendengarkan audiobook Ronggeng Dukuh Paruk yang bisa diakses di aplikasi Storytel ini.

Kesan saya terhadap versi e-book-nya berbeda seratus delapan puluh derajat. E-book yang saya beli di Google Play ini dibuat dengan tidak niat. Hanya sekadar ada untuk melengkapi koleksi digital penerbitnya. Format teks yang masih berbentuk PDF, tidak dapat diatur ulang dengan flowing text, hasil scan yang tidak rapi dan tidak tajam, bahkan adanya watermark di tengah-tengah halaman seolah menandakan penerbitnya ketakutan e-book ini akan dibajak. Saya paham, banyak penggemar novel sastra yang masih setia pada buku fisik karena faktor nostalgia, faktor instagrammable, atau apa pun itu, tapi jika mereka memang mau menerbitkan dan menjual e-book, setidaknya niatlah sedikit. Jadi, saya tidak menyarankan kamu membeli buku digital dari Ronggeng Dukuh Paruk, kecuali kamu punya ebook reader berukuran besar. 

Prompt Bukan Seni

Merayakan Bahasa Mesin

Awalnya, kita berpikir bahwa jenis pekerjaan yang paling rentan digantikan oleh mesin adalah jenis pekerjaan yang mengandalkan logika, kalkulasi, dan otomatisasi, misalnya akuntan, tenaga administrasi, atau bahkan programer. Semua itu didasarkan pada asumsi bahwa mesin memiliki kemampuan yang lebih efisien dan presisi dalam bidang-bidang tersebut. Kita juga berpikir bahwa pekerjaan-pekerjaan kreatif dan interpersonal tidak akan bisa digantikan oleh mesin (atau setidaknya, kalau pun bisa, masih sangat jauh di masa depan). Paradoks Moravec menyimpulkan bahwa hal-hal yang sulit bagi manusia (logika formal, kalkulasi kompleks, main catur) ternyata relatif mudah bagi AI. Sebaliknya, hal-hal yang mudah bagi manusia (persepsi sensorik, berjalan, mengenali wajah, kreativitas, akal sehat) ternyata sangat sulit bagi AI. Sayangnya, sepertinya kita telah salah memahami apa yang sulit dan apa yang mudah.

Continue reading Prompt Bukan Seni

Invasi

1

Di depan mataku, kantorku meledak. Semua orang, termasuk aku, sudah berhasil dievakuasi dan kami berada dalam jarak aman. Dinding-dinding gedung hancur berantakan, kaca-kaca pecah, struktur bangunan runtuh hingga ke tanah.

Aku dapat membayangkan semua kehancuran yang ada di dalamnya. Aku dapat membayangkan PC-ku hancur berkeping-keping. Tamat sudah riwayat semua berkas-berkas pekerjaanku. Tamat juga semua surat-surat yang menumpuk di meja kerjaku selama berhari-hari dan tak sempat aku rapikan. Sekarang aku tak butuh paper shredder lagi untuk memusnahkan dokumen-dokumen negara tak berguna itu. Musnah juga semua deadline dan utang-utang tugasku. Setidaknya kuharap demikian.

Tentu ada juga beberapa barang yang kehancurannya membuatku sedih, misalnya jaket hoodie pemberian mantan kekasihku, beberapa film seri yang kuunduh di komputer, dan wifi gratis berkecepatan tinggi yang biasa kunikmati setiap hari.

Pesawat induk alien berwarna hitam matte berukuran raksasa melayang di langit kota yang biasanya sudah gelap oleh polusi asap. Di sekelilingnya, pesawat-pesawat lain yang lebih kecil berbaris melayang dengan rapi. Sebuah laras senjata laser yang sepintas tampak seperti tentakel bergerak-gerak dari dalam pesawat induk. Benda itulah yang tadi menembak gedung kantorku hingga hancur berkeping-keping.

Suara dengungan pesawat itu lebih mirip suara rintihan halus yang membuat bulu kuduk merinding, sementara dari tempat yang agak jauh, terdengar suara dentuman, ledakan, dan tembakan terus menerus. Kobaran api dan kepulan asap bermunculan di mana-mana, sirine meraung-raung.

Orang-orang berlarian panik, sementara petugas keamanan, polisi, dan tentara tampak kewalahan mengendalikan massa. Tak ada yang menyangka semua ini akan terjadi. Ini adalah tenggat akhir kepunahan umat manusia.

Continue reading Invasi

Catatan tentang Versi Cetak Pertanyaan Paling Aneh

Dua tahun adalah waktu yang sebentar. Terutama jika yang kamu lakukan adalah mengambang dan membiarkan arus waktu menyeretmu ke mana saja ia mau. Konon, jika kamu berenang seperti ikan mati, niscaya tak ada yang perlu kamu takuti. Kecuali, tentu saja, ketika kamu tersadar bahwa hempasan air terjun sudah berada tepat di hadapanmu.

Sudah lama saya berniat mencetak kisah ini. Meski banyak yang sudah membacanya secara daring, saya merasa bahwa pembaca novel elektronik dan pembaca novel cetak hidup di dua habitat yang berbeda. Oleh karena itu, Pertanyaan Paling Aneh berhak untuk mendapatkan kehidupan keduanya dengan mewujud di dunia fisik ini.

Memang, Ketika para pemanang Wattys 2022 diumumkan, beberapa penerbit indie menawarkan saya untuk menerbitkan naskah ini. Namun saya tak mungkin menyetujuinya karena adanya perjanjian eksklusif dengan Wattpad yang harus saya patuhi, setidaknya selama satu tahun. 

Sekarang, saya sudah bebas. Setelah coba-coba mengirimkannya ke beberapa penerbit konvensional, saya merasa jenuh membayangkan harus menunggu tiga bulan sampai setengah tahun untuk mendapatkan jawaban yang sering kali nihil. Ini bukan hal yang baru. Saya pun maklum. Saya membayangkan betapa tingginya tumpukan naskah di meja dan email editor penerbit-penerbit itu. Mereka sudah terlalu banyak pekerjaan. Jika saya mengirimkan satu naskah lagi kepada mereka, saya mungkin bertanggung jawab membuat seorang pekerja kerah putih pulang lembur dan kurang tidur. Akhirnya, saya putuskan untuk menerbitkan naskah ini dengan modal sendiri.

Ini menjadi pengalaman yang menarik, terutama ketika saya merasa memiliki kebebasan untuk membuat keputusan artistik. Seperti yang kita ketahui, barang siapa memegang modal maka ialah yang berhak mengatur segalanya. Dalam mode penerbitan konvensional, penerbitlah yang berkuasa sebagai pemodal, sementara dalam self-publishing, penulislah pemodal yang berkuasa. 

Setelah beberapa kali mencoba membuat desain cover sendiri dan tidak suka dengan hasilnya, akhirnya saya mencoba mencari desainer atau ilustrator dengan style yang saya inginkan. Lewat berselancar dari satu jejaring mutual ke mutual lainnya di Instagram, saya tiba di halaman galeri Indra Nugroho a.k.a. Vortrakker. Karya-karyanya kebanyakan berupa ilustrasi untuk album band rock dan metal. Sejak dulu, saya menyukai style semacam itu: gelap tetapi rapi, seram tetapi penuh ketekunan, hanya saja saya tak pernah bisa membuatnya sendiri. 

Dengan perasaan ragu dan sungkan, saya mencoba menghubungi Vortrakker melalui email. Dalam hati, saya diliputi kecemasan. Apa mungkin seorang ilustrator yang biasa mengerjakan proyek untuk klien internasional mau menanggapi pesanan saya yang hanya penulis daring tidak terkenal dan tidak produktif ini? Namun tak lama kemudian, ia membalas email saya, bahkan langsung membaca sinopsis yang saya lampirkan dan menyatakan ketertarikannya. Setelah berkomunikasi lebih lanjut dan tawar-menawar, asumsi saya selama ini pun terkonfirmasi lagi: bahwa orang-orang dengan karya paling kelam dan menyeramkan biasanya adalah orang-orang yang paling humble dan ramah.

Setelah mendapatkan ilustrator, saya merasa bahwa saya juga membutuhkan editor, atau setidaknya korektor tulisan. Ada banyak editor lepas yang menawarkan jasa di internet, tapi tentu akan lebih baik jika saya mulai bertanya pada orang-orang yang saya kenal. Nadia Hapsari a.k.a Anthea Gillian adalah seorang kawan yang pernah sama-sama aktif di Kemudian.com bertahun-tahun yang lalu. Sosok ini ternyata sekarang aktif menulis dan berjejaring di Wattpad serta bekerja sebagai editor lepas. Tidak hanya bersedia mengedit naskah saya, ahli linguistik ini  juga memberikan banyak tips tentang self-publishing berdasarkan pengalamannya sendiri. 

Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Vortrakker yang telah mendesain sampul yang cadas ini dan Nadia yang sudah memperbaiki berbagai kesalahan di naskah saya. Selain itu, ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Devi yang telah membantu mencarikan rekomendasi dan tentunya kepada Wattpad yang telah menghantarkan cerita ini kepada ribuan mata.

Khusus untuk Mey, istri saya yang telah mendukung pembuatan karya ini sampai menggambarnya di atas kue tart: 

Terima kasih karena telah banyak menginspirasi; 

Terima kasih karena telah banyak memaklumi.

Terakhir tapi juga tak kalah penting, terima kasih sebesar-besarnya kepada para pembaca buku ini, baik yang pernah membacanya secara daring maupun yang baru pertama kali membacanya di cetakan ini. Sebagai ungkapan penghargaan dan sebagai upaya mempertebal buku yang singkat ini, saya menambahkan satu bab ekstra. 

Selamat membaca lagi. Dapatkan PPA versi cetak DI SINI.

Kesan Film Ngeri-Ngeri Sedap: Ternyata Bukan Biopic Soetan Bathugana

Saya menonton film ini dalam salah satu sesi acara Kemdikbud. Awalnya saya cukup pesimis, karena film komedi yang bertema kedaerahan dalam bayangan saya hanya akan menjadikan tradisi lokalnya sebagai “gimmick” belaka, seenaknya memaksakan setting destinasi wisata lokal demi meningkatkan pemasukan pemda, atau mengalienasi penonton luar daerah. Selain itu, membaca judulnya juga membuat saya bertanya-tanya, apakah ini film biopik tentang Soetan Bathugana?

Namun ternyata film ini di luar ekspektasi saya.

Saya memang bukan orang Batak dan tidak akrab dengan budaya Batak. Namun film ini berhasil membuat kehidupan orang Batak di tanah aslinya itu terasa relatable. Mungkin karena tema yang diangkat sangat universal: tentang keluarga, hubungan anak dan orangtua, serta tradisi dan modernitas. Memang ada beberapa adegan yang rasanya seperti “wah, pesanan pariwisata banget, nih”, tapi porsinya tidak berlebihan dan tidak terkesan maksa.

Sebagai sebuah film komedi, kelucuan yang ditampilkan tidak overdosis dan terasa bermakna. Kadang-kadang dalam satu adegan yang sama saya merasa bingung apakah harus tertawa atau menangis haru. Mungkin kombinasi perasasan yang berkonflik inilah yang membuat film ini diberi judul “Ngeri-Ngeri Sedap”.

Film ini cocok ditonton oleh orang Batak, orang Indonesia, dan orang pada umumnya.

Kesan Film KKN di Desa Penari: Azab Mahasiswa Tukang Zina

Sampai sekarang pun saya belum pernah membaca thread Twitternya yang viral itu. Alasan utamanya karena saya tidak suka dengan username dan profile picture akun Simpleman. Sebagai penulis konten horor yang fenomenal, dia harusnya menggunakan nama lain yang lebih … misterius, dark, atau jahat. Simpleman terdengar seperti pria bersahaja yang ingin membahagiakan keluarga, bukan penutur cerita seram. Meskipun begitu, saya juga menduga bahwa Simpleman ini mungkin masih ada hubungan kekerabatan dengan Slenderman.

Awalnya, saya pesimis dengan film ini karena tampak hanya mengeksploitasi hype cerita yang sedang viral. Apalagi ketika pandemi melanda dan produksi film ini tertunda cukup lama. Apakah tidak basi? Apakah rasanya akan seperti menonton film “2012” di tahun 2022?

Continue reading Kesan Film KKN di Desa Penari: Azab Mahasiswa Tukang Zina

Kesan Film Pengabdi Setan 2: Namanya Juga Film Horor!

Satu hal yang menarik dari Pengabdi Setan pertama adalah bagaimana Joko Anwar “menerjemahkan” film horor tahun 80-an ke dalam bahasa visual dan penceritaan modern a la horor Hollywood yang saat itu tengah naik daun (ex., The Conjuring). Hasilnya bagi saya sangat menarik. Joko Anwar tidak sekadar membuat ulang, tapi mengambil alih Pengabdi Setan menjadi “filmnya sendiri”.

Lalu saya pun penasaran dengan Pengabdi Setan 2. Jika film pertama adalah remake, lantas bagaimana dengan sekuelnya? Saya menduga, film ini sudah jauh “lebih lepas” daripada film aslinya. Mungkin itu benar, dan sayangnya hasilnya belum tentu lebih memuaskan.

Continue reading Kesan Film Pengabdi Setan 2: Namanya Juga Film Horor!

Isolasi Mandiri

Sudah seminggu ini saya sekeluarga menjalani isolasi mandiri karena dinyatakan terjangkit Covid-19. Entah varian yang mana. Kemungkinan omicron karena gejalanya tidak terlalu berat. Awalnya saya merasakan demam ringan (37 – 38 derajat celcius), sakit tenggorokan, dan penurunan stamina yang drastis. Setelah beberapa hari, gejala demam dan lemas sudah menghilang, disusul anosmia yang cuma bertahan satu hari. Saat ini, saat menulis blog ini, gejala yang masih saya rasakan hanya batuk menjengkelkan dan kenaikan berat badan (tampaknya ini efek samping dari isoman, bukan dari virus Covid-19 itu sendiri).

Saya memang bukan early adopter. Saya agak bersyukur bahwa saya tertular Covid-19 pada masa sekarang, ketika saya sudah melakukan dua kali vaksinasi dan virus tersebut sudah bermutasi menjadi varian yang lebih lemah dari sebelumnya. Satu-satunya yang saya khawatirkan adalah saat anak-anak saya turut terjangkit penyakit ini. Mereka mungkin punya daya imun yang lebih kuat, tetapi mereka belum divaksin dan masih sulit untuk dibujuk melakukan swab test.

Selama menjalani isolasi mandiri, saya merasakan kepedulian dari orang-orang sekitar. Saya beberapa kali mendapatkan kiriman makanan dan sembako dari teman, keluarga, dan tetangga. Selain itu, petugas Puskesmas juga menghubungi untuk memastikan kondisi. Namun di luar itu, saya merasa sangat terbantu dengan adanya layanan-layanan seperti pesan antar, kurir instan, dan telemedisin. Belanja, membeli makan siang, mengirim dokumen kerja, dan konsultasi dengan dokter dapat dilakukan tanpa harus keluar rumah sama sekali. Tak hanya itu, kebutuhan hiburan dan komunikasi juga terpenuhi melalui perangkat elektronik. Semua itu bisa dilakukan berkat perkembangan teknologi digital dan jaringan internet.

Saya membayangkan bagaimana rasanya menjalani isolasi pada zaman ketika internet belum ditemukan. Isolasi berarti meminimalkan interaksi fisik dengan manusia lain. Pada masa ketika interaksi fisik menjadi sarat mutlak untuk survive, isolasi tentu adalah hal yang sulit. Pada masa itu, penjual dan pembeli harus bertemu untuk dapat bertransaksi, para pekerja harus duduk satu ruangan untuk rapat, dan kita harus datang ke kantor pos untuk mengirimkan surat. Bisa dibilang, isolasi mandiri adalah sebuah priviledge yang ada di zaman sekarang.

Lantas, apakah teknologi memang mempermudah kita melakukan isolasi di masa pandemi, atau justru teknologi memang telah mengondisikan kita untuk terbiasa mengisolasi diri?

Pada masa ketika teknologi belum begitu maju, manusia dituntut untuk selalu memiliki ikatan yang kuat dengan manusia-manusia lain dalam jumlah terbatas dan terkendali (membuat kelompok). Ini terjadi secara alamiah karena tuntutan kondisi alam dan sumber daya. Manusia kemudian mengembangkan teknologi agar dapat lebih mudah menaklukan alam dan mengelola sumber daya. Dengan semakin mudah dan efisiennya proses pemenuhan kebutuhan, manusia tidak lagi membutuhkan ikatan kolektif yang terlalu kuat dan dapat memberi ruang lebih luas bagi individualitas. Semakin efektif dan efisiennya teknologi dalam memenuhi kebutuhan kita, maka semakin luas juga ruang yang bisa kita berikan bagi sisi individualitas kita.

Seorang anak bayi selalu menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta, sementara untuk memenuhi segala kebutuhannya ia bergantung pada orang tua atau pengasuh. Manusia modern pun dapat menjadi seperti itu. Jika kita dapat mengakselarasi kemajuan teknologi hingga titik ekstrim, manusia pun dapat memiliki “orang tua” lagi. Kita dapat menjadi bayi yang individualis murni. Setiap kali kita memiliki kebutuhan yang ingin dipenuhi, kita hanya perlu berteriak atau menangis, lalu mesin berteknologi canggih akan langsung bekerja memenuhi kebutuhan kita.

Namun bagaimana jika sang “bayi” bertingkah “nakal” dan menghambat “orang tua” menjalankan tugasnya? Hukuman apa yang akan ia terima?

Sepertinya saya sudah terlalu jauh melantur. Mungkin ini efek samping dari isolasi mandiri. Sekarang saya mulai lapar. Saya hanya perlu berteriak, “Ok Google! Pesan martabak dari GoFood!”

Tentang Malediksi

Bella, seorang penulis novel horor yang sedang naik daun, harus menghadapi kejadian aneh yang akan memengaruhi karier kepenulisannya selamanya.

Dalam mencari inspirasi novel-novel horornya, Bella sering kali dibantu oleh Bayang, seorang pengelola forum misteri dan website creepypasta. Biasanya, Bayang akan menginformasikan Bella setiap kali ada sebuah gosip “supranatural” menarik yang ia temukan di dunia maya. Suatu hari, gosip yang dibisikkan Bayang malah membawa Bella ke sebuah kasus yang sangat aneh. Seorang gadis muda bernama Alisa, pembaca setia novelnya, dirasuki … oleh tokoh novel yang Bella ciptakan sendiri.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah novel horor Bella memang memiliki kutukan? Bagaimana ia harus bertindak? Haruskah ia berhenti menulis? Tak banyak yang ingat, bahwa sebelum menjadi penulis novel horor terkenal, Bella adalah penulis cerita cinta yang digandrungi para remaja–hingga sebuah pengkhianatan membuat ia terpaksa membakar masa lalunya.

Di Balik Semua Itu ….

Malediksi adalah proyek cerita bergambar yang sedang saya kerjakan bersama Ejjam RTTP. Saat pertama kali Kang Ejjam mengajak saya untuk membuat kolaborasi cerita bergambar, saya sempat kebingungan. Pasalnya, ia sempat mengatakan ingin membuat cerita detektif. Dalam anggapan saya, cerita detektif adalah jenis cerita yang sangat logis dan hanya dapat ditulis oleh orang-orang yang isi kepalanya sangat rapi, terstruktur, penuh perencanaan. Bagaimana mungkin saya bisa menulis cerita tentang detektif yang cerdas kalau saya tidak bisa berpikir sama cerdasnya–atau bahkan lebih cerdas dari tokoh detektif itu?

Saat didiskusikan kembali, ternyata cerita detektif yang ia maksud adalah semacam the X-Files. Kisah investigasi tentang hal-hal aneh yang membuat seorang skeptis meragukan pandangannya tentang dunia supranatural. Setelah beberapa kali brainstorming, akhirnya saya mengajukan cerita tentang Bella seperti yang Anda baca di bagian awal tulisan ini. Aroma fantasiyah-nya jelas lebih kental daripada realismenya, dan ini sama sekali tidak mirip The X-Files. Untunglah tampaknya ia tidak mempermasalahkan itu.

Format yang ia tawarkan adalah illustrated story, atau mungkin bisa diterjemahkan sebagai cerita bergambar. Ini bukanlah format yang lazim, apalagi ketika semua orang sedang gemar menggunakan format webcomic (format komik yang memang dirancang untuk dibaca di web). Namun format cerita bergambar terasa lebih realistis bagi kami berdua. Ia tidak harus menggambar adegan yang terlalu banyak seperti dalam webcomic atau graphic novel, sementara saya pun tidak harus membuat deskripsi yang terlalu detail seperti halnya menulis novel. Ini diniatkan sebagai proyek santai, kami tak ingin terlalu membebani diri.

Namun ketika akhirnya naskah yang saya ajukan diterjemahkan dalam bentuk gambar, saya pun terpukau. Gaya ilustrasi Ejjam RTTP adalah seperti secangkir kopi hitam, yang ketika pertama kali disesap akan terasa pahit, tapi ketika sudah terbiasa, malah akan membuat kita kecanduan. Seperti Bella yang kaget ketika melihat tokoh ciptaannya hidup merasuki pembacanya, saya pun kaget melihat Bella dan Bayang hidup dalam halaman hurufhitamstories.

Atas masukan beliau, kisah ini pun diberi judul Malediksi. Ini adalah kata yang asing bagi saya. Penelusuran singkat membuat saya memahami bahwa kata malediksi atau malediction memiliki kaitan erat dengan kutukan. Cocok, kan?

Saat ini, Malediksi masih berproses pada Episode 1 dan akan terus berlanjut. Kalau Anda ingin mengikuti kisahnya, Anda bisa mengunjugi Instagram hurufhitamstories. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi untuk saat ini, seluruh kisah dan gambar itu bisa Anda nikmati secara gratis.

Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, ini adalah proyek santai. Ini bukan komik atau manga yang setiap panelnya bisa Anda konsumsi dalam sepersekian detik. Anda harus menunggu, mengingat, dan membayangkannya. Namun saya punya firasat bahwa proyek ini akan lebih besar dari yang diniatkan. Jadi seduhlah kopi hitam Anda dan mulai membaca Malediksi. Jangan lupa follow akunnya dan nyalakan notifikasi.

7 Tips Mencegah Kebangkitan PKI di Indonesia

Wah, tidak terasa kita sudah memasuki penghujung bulan September. Bagi bangsa Indonesia, bulan September adalah bulannya anti-PKI. Pada bulan ini, para politisi berlomba-lomba mengajak masyarakat untuk senantiasa mencegah kebangkitan PKI.

Namun setelah puluhan tahun melanggengkan tradisi ini, anehnya masyarakat masih saja dihantui kebangkitan PKI setiap tahunnya. Apakah semua usaha puluhan tahun itu tidak berhasil? Apakah strategi yang diterapkan selama ini tidak efektif? Mungkinkah selama ini kita justru sebenarnya sudah masuk ke dalam jebakan licik  kaum komunis? Lalu bagaimanakah cara yang benar untuk mencegah kebangkitan PKI terbaru di tahun 2020?

Pada tulisan ini, saya akan berbagi tips untuk mencegah kebangkitan PKI. Dengan mengikuti tips-tips ini, segala macam propaganda dan hasutan kaum komunis tidak akan mampu mengoyak sendi-sendi kebangsaan kita lagi.

Nah, apa saja yang harus kita lakukan untuk mencegah kebangkitan PKI? Simak tips-tips berikut!

Continue reading 7 Tips Mencegah Kebangkitan PKI di Indonesia

Menolak Togel (Totoro Gelap)

Hari ini saya menemani anak-anak menonton film animasi My Neighbor Totoro. Film klasik karya Studio Ghibli ini dibuat pada tahun 1988, jadi kira-kira ia memiliki umur yang sama dengan saya. Sebenarnya sudah beberapa hari ini kami membuat program menonton satu film pilihan per hari untuk anak-anak, sebagai konsekuensi telah melarang penggunaan smartphone karena mereka sudah kecanduan Wormzone dan Youtube Kids.

Setelah menonton Petualangan Sherina dan Garuda di Dadaku di Netflix, kami memilah-milah film apa lagi yang cocok untuk anak-anak tetapi tetap menarik bagi kami sebagai orang tua yang mendampinginya. Syaratnya, film tersebut harus berbahasa Indonesia (bagi saya anak usia 4 tahun belum waktunya belajar bahasa Inggris), dapat ditonton sekali duduk (bukan film seri), dan tentunya aman untuk anak-anak.

Film Disney tampaknya membosankan dan aplikasi Disney + Hotstar tidak bisa di-screencast ke TV menggunakan dongle KW buatan Cina (anehnya, Netflix bisa). Akhirnya saya kembali menjelajah Netflix dan menemukan film-film animasi karya Studio Ghibli yang sudah di-dubbing ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya, yang paling terkenal sepanjang masa, tentu saja adalah My Neighbor Totoro (となりのトトロ).

Continue reading Menolak Togel (Totoro Gelap)

Kuliner Liar Januar

Bagi sebagian orang, merah berarti gairah, amarah, tanda berhenti, atau revolusi. Bagi sebagian lainnya, merah berarti darah. Seperti kutipan yang terkenal dari film PKI buatan Orde Baru dulu: Darah itu merah, Jenderal! Namun bagi bisikan-bisikan dalam kepala Januar, kutipan itu sedikit berbeda: Merah itu darah, Januar! Dan bukan hanya sekadar darah, tapi darah yang lebih spesifik, darah yang tidak bisa ia dapatkan dari ikan, ayam, atau hewan-hewan lain yang pernah ia makan hidup-hidup dalam acara reality show-nya: Kuliner Liar Januar.

Baca selengkapnya