Kesan Film Pengabdi Setan 2: Namanya Juga Film Horor!

Satu hal yang menarik dari Pengabdi Setan pertama adalah bagaimana Joko Anwar “menerjemahkan” film horor tahun 80-an ke dalam bahasa visual dan penceritaan modern a la horor Hollywood yang saat itu tengah naik daun (ex., The Conjuring). Hasilnya bagi saya sangat menarik. Joko Anwar tidak sekadar membuat ulang, tapi mengambil alih Pengabdi Setan menjadi “filmnya sendiri”.

Lalu saya pun penasaran dengan Pengabdi Setan 2. Jika film pertama adalah remake, lantas bagaimana dengan sekuelnya? Saya menduga, film ini sudah jauh “lebih lepas” daripada film aslinya. Mungkin itu benar, dan sayangnya hasilnya belum tentu lebih memuaskan.

Film dibuka dengan sebuah adegan yang sangat ikonik. Bisa dibilang, ini adalah adegan yang paling saya sukai, bahkan jika dibandingkan dengan keseluruhan film. Bayangkan, di sebuh ruangan, sekumpulan pocong berkafan kotor sedang bersujud dalam formasi rapi, menyembah sebuah lukisan di dinding yang menampakkan perempuan bercadar putih. Tidak perlu jump scare, tidak perlu aksi. Satu scene ini saja membuat saya merinding sampai ke ubun-ubun. Sebuah opening yang kuat dan menjanjikan.

Namun ketika alur cerita berlanjut ke masa depan, suasana film agak berubah. Setting film kali ini berada di sebuah rumah susun yang padat penduduk dan jauh dari pusat kota. Terus terang, saya setuju dengan sebuah review di Twitter yang menggunakan istilah “wahana” untuk menggambarkan film ini. 

“Wahana” adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan apa yang dicapai film ini. Seluruh tokoh, adegan, dan latar lokasi dirancang untuk menjadi sebuah wahana rumah hantu, dan penonton diajak untuk menjadi peserta yang mengeksplorasi wahana itu. Bayangkan, sebuah kecelakaan fatal menewaskan sebagian besar penghuni rusun sehingga kamar-kamar rusun itu tiba-tiba saja berubah menjadi kamar mayat dadakan. Badai, banjir, dan mati listrik melengkapi suasana horor. Kalau dilihat dari segi komersil, PS2 ini tampaknya terbuka untuk dikembangkan menjadi video game atau wahana hantu di taman hiburan.

Ini bukan hal yang buruk, andai saja konsep wahana itu dibangun oleh adegan-adegan yang logis dan masuk akal. Sayangnya, sepanjang film, ada banyak tindakan dan keputusan para tokoh yang terasa tidak masuk akal dan semata-mata dirancang demi menciptakan wahana tadi. Oke, tentu ini adalah film horor. Saya berusaha memakluminya. Satu-dua kali tokoh film horor akan bertindak bodoh dan mendatangi sumber bahaya. Itu wajar. Namun ketika PS2 ini melakukannya berulang kali, saya merasa film ini ingin berkata kepada saya bahwa “Bodo amat! Namanya juga film horor!”.

Joko Anwar mencoba membungkus film ini dengan beragam trivia, easter egg, dan referensi lintas film. Ia tampak berusaha keras melakukan itu, bahkan melalui akun media sosialnya. Namun satu hal yang menarik bagi saya adalah bagaimana PS1 & 2 versi Joko Anwar mencoba mendekonstruksi film aslinya. Ambil contoh peran ustaz. PS versi 80-an lebih bernuansa Islam-sentris dengan tokoh ustaz yang berperan sebagai penyelamat. Sementara itu, lore di PS1 dan PS2 tampak lebih terpengaruh demonologi Kristen (dan koneksinya dengan witch hunt di Eropa?), sementara tokoh ustaz menjadi tidak berguna, lemah, dan (dalam PS2) sekadar menjadi comic-relief

Ini agak lucu juga. Saya membayangkan alasan para tokoh ustaz di PS versi modern ini menjadi tidak sakti adalah karena setan-setannya adalah setan Kristen. Makanya tidak mempan dibacakan Ayat Kursi! Hehehe.

Di luar itu, PS2 juga berupaya menyambungkan plot cerita ini dengan berbagai komentar sosial seperti proyek pemerintah yang mangkrak, kasus Petrus di era Orde Baru, dan juga kesenjangan sosial. Sayangnya, rahasia terbesar cerita filmnya sendiri justru kurang tergali. Tampaknya ini adalah pertanda bahwa akan dibuatnya Pengabdi Setan 3. 

Secara keseluruhan, Pengabdi Setan 2 adalah film horor yang dapat saya kategorikan sebagai “film keluarga” karena konsep wahananya itu. Ya, film ini seru untuk ditonton bersama teman dan keluarga. Jangan seperti saya yang menonton film ini sendirian. Rasanya seperti pergi ke Dufan dan naik wahana seorang diri. Tetap seram sih, tapi awkward.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).