Kesan Film Ngeri-Ngeri Sedap: Ternyata Bukan Biopic Soetan Bathugana

Saya menonton film ini dalam salah satu sesi acara Kemdikbud. Awalnya saya cukup pesimis, karena film komedi yang bertema kedaerahan dalam bayangan saya hanya akan menjadikan tradisi lokalnya sebagai “gimmick” belaka, seenaknya memaksakan setting destinasi wisata lokal demi meningkatkan pemasukan pemda, atau mengalienasi penonton luar daerah. Selain itu, membaca judulnya juga membuat saya bertanya-tanya, apakah ini film biopik tentang Soetan Bathugana?

Namun ternyata film ini di luar ekspektasi saya.

Saya memang bukan orang Batak dan tidak akrab dengan budaya Batak. Namun film ini berhasil membuat kehidupan orang Batak di tanah aslinya itu terasa relatable. Mungkin karena tema yang diangkat sangat universal: tentang keluarga, hubungan anak dan orangtua, serta tradisi dan modernitas. Memang ada beberapa adegan yang rasanya seperti “wah, pesanan pariwisata banget, nih”, tapi porsinya tidak berlebihan dan tidak terkesan maksa.

Sebagai sebuah film komedi, kelucuan yang ditampilkan tidak overdosis dan terasa bermakna. Kadang-kadang dalam satu adegan yang sama saya merasa bingung apakah harus tertawa atau menangis haru. Mungkin kombinasi perasasan yang berkonflik inilah yang membuat film ini diberi judul “Ngeri-Ngeri Sedap”.

Film ini cocok ditonton oleh orang Batak, orang Indonesia, dan orang pada umumnya.

Kesan Film KKN di Desa Penari: Azab Mahasiswa Tukang Zina

Sampai sekarang pun saya belum pernah membaca thread Twitternya yang viral itu. Alasan utamanya karena saya tidak suka dengan username dan profile picture akun Simpleman. Sebagai penulis konten horor yang fenomenal, dia harusnya menggunakan nama lain yang lebih … misterius, dark, atau jahat. Simpleman terdengar seperti pria bersahaja yang ingin membahagiakan keluarga, bukan penutur cerita seram. Meskipun begitu, saya juga menduga bahwa Simpleman ini mungkin masih ada hubungan kekerabatan dengan Slenderman.

Awalnya, saya pesimis dengan film ini karena tampak hanya mengeksploitasi hype cerita yang sedang viral. Apalagi ketika pandemi melanda dan produksi film ini tertunda cukup lama. Apakah tidak basi? Apakah rasanya akan seperti menonton film “2012” di tahun 2022?

Continue reading Kesan Film KKN di Desa Penari: Azab Mahasiswa Tukang Zina

Isolasi Mandiri

Sudah seminggu ini saya sekeluarga menjalani isolasi mandiri karena dinyatakan terjangkit Covid-19. Entah varian yang mana. Kemungkinan omicron karena gejalanya tidak terlalu berat. Awalnya saya merasakan demam ringan (37 – 38 derajat celcius), sakit tenggorokan, dan penurunan stamina yang drastis. Setelah beberapa hari, gejala demam dan lemas sudah menghilang, disusul anosmia yang cuma bertahan satu hari. Saat ini, saat menulis blog ini, gejala yang masih saya rasakan hanya batuk menjengkelkan dan kenaikan berat badan (tampaknya ini efek samping dari isoman, bukan dari virus Covid-19 itu sendiri).

Saya memang bukan early adopter. Saya agak bersyukur bahwa saya tertular Covid-19 pada masa sekarang, ketika saya sudah melakukan dua kali vaksinasi dan virus tersebut sudah bermutasi menjadi varian yang lebih lemah dari sebelumnya. Satu-satunya yang saya khawatirkan adalah saat anak-anak saya turut terjangkit penyakit ini. Mereka mungkin punya daya imun yang lebih kuat, tetapi mereka belum divaksin dan masih sulit untuk dibujuk melakukan swab test.

Selama menjalani isolasi mandiri, saya merasakan kepedulian dari orang-orang sekitar. Saya beberapa kali mendapatkan kiriman makanan dan sembako dari teman, keluarga, dan tetangga. Selain itu, petugas Puskesmas juga menghubungi untuk memastikan kondisi. Namun di luar itu, saya merasa sangat terbantu dengan adanya layanan-layanan seperti pesan antar, kurir instan, dan telemedisin. Belanja, membeli makan siang, mengirim dokumen kerja, dan konsultasi dengan dokter dapat dilakukan tanpa harus keluar rumah sama sekali. Tak hanya itu, kebutuhan hiburan dan komunikasi juga terpenuhi melalui perangkat elektronik. Semua itu bisa dilakukan berkat perkembangan teknologi digital dan jaringan internet.

Saya membayangkan bagaimana rasanya menjalani isolasi pada zaman ketika internet belum ditemukan. Isolasi berarti meminimalkan interaksi fisik dengan manusia lain. Pada masa ketika interaksi fisik menjadi sarat mutlak untuk survive, isolasi tentu adalah hal yang sulit. Pada masa itu, penjual dan pembeli harus bertemu untuk dapat bertransaksi, para pekerja harus duduk satu ruangan untuk rapat, dan kita harus datang ke kantor pos untuk mengirimkan surat. Bisa dibilang, isolasi mandiri adalah sebuah priviledge yang ada di zaman sekarang.

Lantas, apakah teknologi memang mempermudah kita melakukan isolasi di masa pandemi, atau justru teknologi memang telah mengondisikan kita untuk terbiasa mengisolasi diri?

Pada masa ketika teknologi belum begitu maju, manusia dituntut untuk selalu memiliki ikatan yang kuat dengan manusia-manusia lain dalam jumlah terbatas dan terkendali (membuat kelompok). Ini terjadi secara alamiah karena tuntutan kondisi alam dan sumber daya. Manusia kemudian mengembangkan teknologi agar dapat lebih mudah menaklukan alam dan mengelola sumber daya. Dengan semakin mudah dan efisiennya proses pemenuhan kebutuhan, manusia tidak lagi membutuhkan ikatan kolektif yang terlalu kuat dan dapat memberi ruang lebih luas bagi individualitas. Semakin efektif dan efisiennya teknologi dalam memenuhi kebutuhan kita, maka semakin luas juga ruang yang bisa kita berikan bagi sisi individualitas kita.

Seorang anak bayi selalu menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta, sementara untuk memenuhi segala kebutuhannya ia bergantung pada orang tua atau pengasuh. Manusia modern pun dapat menjadi seperti itu. Jika kita dapat mengakselarasi kemajuan teknologi hingga titik ekstrim, manusia pun dapat memiliki “orang tua” lagi. Kita dapat menjadi bayi yang individualis murni. Setiap kali kita memiliki kebutuhan yang ingin dipenuhi, kita hanya perlu berteriak atau menangis, lalu mesin berteknologi canggih akan langsung bekerja memenuhi kebutuhan kita.

Namun bagaimana jika sang “bayi” bertingkah “nakal” dan menghambat “orang tua” menjalankan tugasnya? Hukuman apa yang akan ia terima?

Sepertinya saya sudah terlalu jauh melantur. Mungkin ini efek samping dari isolasi mandiri. Sekarang saya mulai lapar. Saya hanya perlu berteriak, “Ok Google! Pesan martabak dari GoFood!”

Kuliner Liar Januar

Bagi sebagian orang, merah berarti gairah, amarah, tanda berhenti, atau revolusi. Bagi sebagian lainnya, merah berarti darah. Seperti kutipan yang terkenal dari film PKI buatan Orde Baru dulu: Darah itu merah, Jenderal! Namun bagi bisikan-bisikan dalam kepala Januar, kutipan itu sedikit berbeda: Merah itu darah, Januar! Dan bukan hanya sekadar darah, tapi darah yang lebih spesifik, darah yang tidak bisa ia dapatkan dari ikan, ayam, atau hewan-hewan lain yang pernah ia makan hidup-hidup dalam acara reality show-nya: Kuliner Liar Januar.

Baca selengkapnya

Selamat Tahun Baru, Hantu-Hantu yang Selalu Menunggu

Sudah hampir sebulan pesan itu masuk ke inbox Facebook-ku, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena pengirimnya tidak termasuk dalam friendlist, mungkin juga karena kotak masukku sudah penuh dengan berbagai spam. Namun, pada malam tahun baru itu aku tergoda untuk membukanya lewat ponsel.  

Isi pesan itu singkat: Kamu penulis Kara Reshita ya?  

Continue reading Selamat Tahun Baru, Hantu-Hantu yang Selalu Menunggu