Kesan Film KKN di Desa Penari: Azab Mahasiswa Tukang Zina

Sampai sekarang pun saya belum pernah membaca thread Twitternya yang viral itu. Alasan utamanya karena saya tidak suka dengan username dan profile picture akun Simpleman. Sebagai penulis konten horor yang fenomenal, dia harusnya menggunakan nama lain yang lebih … misterius, dark, atau jahat. Simpleman terdengar seperti pria bersahaja yang ingin membahagiakan keluarga, bukan penutur cerita seram. Meskipun begitu, saya juga menduga bahwa Simpleman ini mungkin masih ada hubungan kekerabatan dengan Slenderman.

Awalnya, saya pesimis dengan film ini karena tampak hanya mengeksploitasi hype cerita yang sedang viral. Apalagi ketika pandemi melanda dan produksi film ini tertunda cukup lama. Apakah tidak basi? Apakah rasanya akan seperti menonton film “2012” di tahun 2022?

Namun rupanya film ini lebih baik dari yang saya kira. Saya cukup bisa menikmati adegan demi adegan yang disajikan. Mungkin memang genre film horor Indonesia sudah mengalami perbaikan kualitas setelah dulu sempat hancur-hancuran dengan genre horseks. Ini pertanda baik.

Film ini konon memiliki dua versi, Cut dan Uncut. Waktu itu saya menonton versi Uncut karena katanya ada perbedaan di adegan seksnya (entah apa bedanya, mungkin di versi Uncut titit cowoknya tidak disunat sedangkan di versi Cut sudah disunat).

Para aktor/aktris di film ini cukup bagus memainkan perannya masing-masing. Di luar masalah akting, saya paling kesal dengan tokoh Nur. Tokoh utama sok alim itu selalu merasa dirinya bertanggung jawab dengan segala hal dan menjadi moral police. Padahal, satu-satunya yang membuat ia lolos dari pengaruh Badarawuhi adalah karena ia punya backingan orang dalam yang cukup senior di dunia ghaib.

Sepanjang film, saya menunggu adegan battle antara Mbah Dok dan Badarawuhi yang tak pernah terjadi. Bayangkan, betapa serunya adegan itu. Sayangnya ini bukan Pocong vs Kuntilanak.

By the way, saya suka Aghniny Haque.

Satu hal yang agak mengurangi keseruan film ini, pada akhirnya film ini seperti terlalu ingin memberikan “amanat cerita” tentang moralitas, agama, dan norma susila. Mungkin film ini seharusnya diberi judul PPKN di Desa Penari? Kecuali jika kamu benar-benar percaya bahwa film ini diangkat dari kisah nyata, dan bahwa Badarawuhi itu benar-benar ada, dan penonton bioskop yang kesurupan bukan sekadar gimmick.

Namun, toh setiap film punya visinya sendiri. Kalau kamu lebih suka film horor yang sekuler dan non-Islami, mungkin kamu bisa menonton filmnya Joko Anwar.

Secara keseluruhan, ini adalah film horor yang bisa dinikmati. Mungkin memang tidak ada seusatu yang out of the box, tapi cukup menghibur, bahkan untuk mereka yang belum membaca thread Twitter-nya. Film ini cocok bagi mereka yang merindukan film horor yang moralis, agamis, tapi juga ingin melihat adegan hot bercumbu dengan ular.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).