Patuh

“Tidak seperti dia, saya patuhi perintah tanpa emosi. Kalau Bos bilang siapkan tali, saya akan siapkan tali dan biarkan Bos gantung diri,” ujarnya.

“Kalau dia?”

“Dia pasti menolak,” jawabnya.

“Dia akan siapkan pistol. Karena menurutnya bunuh diri dengan pistol lebih keren.”

Mata

siapa yang mengajarimu
caranya menyembunyikan sendu?

kamu berdiri di situ
mengalihkan matamu dari mataku

seolah tahu
sepasang kaki yang tak berpisah
tak bisa melangkah maju

Baju Pink Nala

Mungkin Nala seperti bunga. Ia memakai baju pink pada pesta itu untuk menarik perhatian serangga dan burung yang dapat membantunya melakukan penyerbukan. Namun mungkin Nala tidak tahu, bahwa warna pink pada bunga juga berfungsi untuk menjauhkan predator, dan aku merasa diriku lebih mirip sesosok predator daripada burung penyerbuk. Itulah kenapa aku sama sekali tak membalas sinyal-sinyal yang ia berikan selama pesta, baik senyuman, kerlingan mata, atau bahasa tubuh lainnya. Bahkan ketika ia lewat di depanku dan mencoba menyapa, secara halus aku menghindarinya.
(more…)

Suara Mesin, Suara Rakyat

“Setelah berabad-abad, akhirnya kita menyadari bahwa manusia tidak mampu mewakili aspirasi manusia lain. Power tends to corrupt. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan suatu demokrasi langsung yang adil, bersih, dan efisien, kita membutuhkan suatu alat yang mampu mengelola, mengalkulasi, dan mengeksekusi aspirasi tiap-tiap warga negara dengan rasional, cerdas, tegas, ringkas, tanpa bias, dan tanpa faktor-faktor emosional yang membatasi seorang manusia.”

Aku sedang membaca paragraf itu ketika kudengar namaku dipanggil lewat pengeras suara. Kutitipkan buku berjudul Demokrasi Mesin: Sebuah Pengantar di atas pangkuan Aini yang sedang asyik bermain game ponsel, kemudian segera melangkah menuju bilik suara. Kotak besi setinggi tiga meter itu berpendar kehijauan, dan ketika aku membuka pintunya, aku dapat melihat sebuah kursi dan helm kaca yang tergantung di atasnya. Ternyata benar, interior bilik suara sudah lebih nyaman dibandingkan Pemilu sebelumnya. Kursinya tampak lebih empuk dan pencahayaannya lebih memadai.

Seketika, aku teringat pada buku yang kubaca tadi. Menurut buku itu, dahulu kala bilik suara Pemilu hanya berisi selembar kertas dan paku.


Cerita ini memenangkan Sayembara Fiksi Ilmiah Vol. 2 di Serana 42. Baca selengkapnya.

 

Raja

Kami terdiam di tengah kemacetan lalu lintas. Ia di kursi kemudi, mencoba bersabar memainkan kopling dan rem, sementara aku membaca linimasa Facebook yang sedang diriuhi postingan tentang kedatangan Raja Arab Saudi.

“Di tengah ketimpangan ekonomi ini, ternyata banyak juga ya, rakyat Indonesia yang bangga melihat kekayaan dan kemewahan Raja Saudi,” gumamku sambil merebahkan punggung dan membetulkan posisi sabuk pengaman.

“Memangnya kenapa?” tanyanya, masih suntuk memandangi kemacetan tanpa ujung.

“Aku kira orang-orang akan cemburu melihat keluarga kerajaan superkaya itu, apalagi dibandingkan dengan kondisi kehidupan mereka yang melarat,” jawabku.

“Jangan naif. Tidak semua orang miskin cemburu kepada orang kaya. Ada juga yang sudah ikhlas menerima kasta sosialnya. Melihat orang kaya, mereka akan merasa kagum. Apalagi kalau orang kaya itu seorang raja.”

“Lho, memangnya kenapa kalau raja? Raja orang lain, bukan raja mereka,” tanyaku, mencoba mendebatnya.

“Memang bukan, tapi mereka rindu memiliki seorang raja,” ujarnya, mobil melaju beberapa meter, “dan menurutku, orang Indonesia memang lebih cocok hidup dalam sistem kerajaan.”

“Kenapa?”

“Itu karakter orang Indonesia pribumi selama berabad-abad. Demokrasi a la Barat adalah sistem asing yang baru masuk kemarin sore, kurang cocok dengan kultur kita. Lagipula, sistem kerajaan itu lebih efisien dan efektif. Semua orang fokus dengan bidangnya masing-masing. Tidak seperti sekarang, semua orang dipaksa membuat pilihan di luar kapasitasnya. Hasilnya? Geser terus linimasa Facebook-mu, dan kamu akan lihat betapa bodoh pilihan yang mereka buat.”

Aku agak kesal mendengar penjelasannya itu. Aku tidak suka membayangkan hidup dalam sistem yang mengizinkan segelintir orang mendapatkan status sosial eksklusif hanya karena hubungan darah, seefektif dan seefisien apa pun pemerintahannya. Namun aku dapat memahaminya. Ia sudah merasa putus asa dengan kondisi negara ini. Ia tampak lelah. Aku pun memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.

Saat sedang asyik membahas meme Polwan cantik, tiba-tiba suara sirine terdengar nyaring di belakang kami. Mobil-mobil berusaha bergerak ke pinggir, tapi kondisi jalan terlalu padat untuk bergerak. Sirine di belakang semakin nyaring, meraung-raung. Ia memutar setirnya dengan gusar.

“Pejabat kampret! Sok penting!” makinya saat melihat sedan hitam melaju di sebelah kami, diiringi beberapa pengawal.

Pohon Titit

1

Satu malam setelah dikhitan, aku duduk termenung di kamar sambil menahan rasa perih dan memandangi tititku yang masih dibungkus perban. Ayah datang sambil membawa tumpukan amplop. Ia mengajakku berhitung. Kalau uangku cukup, katanya, aku boleh membeli sepatu roda. 

Aku tidak begitu memperhatikan ketika ia mengeluarkan lembaran uang dari setiap amplop dan mencatat jumlahnya. Saat itu, ada pertanyaan lain yang membuat kepalaku gatal. Pertanyaan ini bagi orang lain mungkin terasa remeh, tapi kelak akan menghantuiku seumur hidup. 

Aku bertanya, ada di mana potongan kulit tititku yang disunat itu? 

Ayah tertawa mendengarnya. Ia bilang, aku tidak perlu khawatir. Potongan kulit tititku itu diambil dr. Yatno, dikubur di halaman belakang kliniknya di antara pohon petai dan pot anggrek. 

Dokter Yatno adalah orang yang mengkhitanku. Ia tampak terlalu sangar untuk ukuran dokter yang menyunat anak kecil. Wajahnya lebar, hidungnya besar, dan ia memiliki brewok tebal yang membuatku takut. Bahkan sebagai anak kelas 5 SD saat itu, aku merasa penampilan dr. Yatno tidak mencerminkan seorang dokter yang bersih dan higienis. 

Lantas, untuk apa ia menanam potongan kulit tititku? Ayah kembali tertawa. Katanya, dari potongan titit yang ditanam itu, nantinya akan tumbuh pohon titit. Pohon itu semakin lama akan semakin besar, daunnya lebat dan rantingnya panjang-panjang. Bila musimnya tiba, di setiap ranting pohon itu akan tumbuh menjuntai titit-titit kecil yang sama persis dengan tititku. 

Aku membayangkan bahwa dr. Yatno akan memetik titit-titit kecil itu saat ia tidak sempat membeli makanan. Ia akan memasaknya dengan kecap asam manis, lalu melahapnya. 

Ayah terkejut. Imajinasiku terlalu mengerikan, katanya. Dokter Yatno bukanlah seorang kanibal. Titit-titit kecil itu kelak akan berguna untukku sebagai titit cadangan. Aku teringat bahwa beberapa waktu sebelumnya tititku memang pernah terjepit ritsleting celana dan itu membuatku menangis karena takut tititku akan putus. Aku tidak perlu khawatir lagi sekarang. Itulah alasan sebenarnya mengapa laki-laki harus dikhitan. 

Penasaran, aku bertanya apakah ayah juga menanam pohon titit saat ia dikhitan dulu. Ayah mengangguk, kemudian sambil menyelesaikan hitungannya, ia berkata bahwa semenjak menikah dengan Ibu, ia sudah tiga kali berganti titit cadangan. 

Aku tidak sempat bertanya lebih lanjut, sebab saat itu aku baru sadar bahwa berdasarkan catatan yang Ayah tulis, uangku sudah lebih dari cukup untuk membeli sepasang sepatu roda. 

Perbankan Gaib

“Sampean tidak percaya saya bisa menggandakan uang?” tanya Eyang Sanca, alisnya mengerut dan posisi duduknya maju ke arahku.

“Nggak percaya. Mana mungkin uang bisa digandakan? Apa Eyang pikir saya ini orang kampung yang bisa dibodohi? Saya ini orang kota, berpendidikan!” jawabku sambil menahan tawa.

Eyang Sanca menarik napas dalam, lalu mengurut-urut jenggotnya. “Pernah ke bank, kan?”

“Pernah dong!” jawabku.

“Sampean jangan kaget kalau saya bilang, bank itu sama seperti saya, sama-sama dukun pengganda uang!”

Aku berdeham, sepertinya aku mulai paham jalan pikirannya, tapi aku ingin mengujinya sedikit. “Maksud Eyang?”

“Kalau sampean pergi ke bank, masukin uang di tabungan, deposito, atau investasi lainnya, uang sampean bertambah banyak, kan?” ujarnya sambil melipat tangan di depan dada.

“Iya, saya tau itu.”

“Nah, apa bedanya? Uang sampean sama-sama jadi berlipat ganda tanpa sampean harus kerja dan cuma tidur-tiduran di rumah. Berarti, konsep menggandakan uang itu bukan sesuatu yang ndak masuk akal. Iya toh?”

Kutatap raut mukanya. Aku tak bisa meremehkan dukun ini, ternyata ia pintar berkelit juga.

“Kalau Eyang sama saja dengan bank, lalu buat apa saya pergi ke Eyang? Lebih enak ke bank, biaya administrasinya lebih rendah; kantornya sejuk pakai AC, nggak bau kemenyan seperti ini; petugasnya juga perempuan cantik, bukan kakek-kakek peyot begini,” ucapku pelan.

“Jangan kurang ajar, ya!” suaranya meninggi. “Biar saya kasih tau kenapa saya lebih hebat, bunga yang saya tawarkan itu lima ratus persen! Lebih tinggi dari bank mana pun!”

Tawaku hampir meledak mendengar penjelasannya. Jelas-jelas dia ingin menipuku. “Omong kosong! Mana bisa bunga sebesar itu? Diinvestasikan untuk bisnis apa uang saya? Saham apa?”

“Investasi gaib!”

“Apaan gaib?”

“Ini perbankan gaib! Jelas beda dengan perbankan konvensional!”

Ia mengeluarkan sebuah buku dari kantong kemeja batiknya. Sebuah buku tabungan berwarna hitam dengan tulisan putih “Bank Gaib, Sanca Bank”.

Ia menjelaskan, “Sampean tau, kan, kalau nilai mata uang itu beda-beda? Nilai dolar Amerika lebih besar dari nilai rupiah, misalnya. Sekarang biar saya kasih tau, nilai mata uang di dunia gaib itu nilainya beratus-ratus kali lipat dari nilai rupiah!”

“Mata uang gaib? Apa lagi itu?”

“Sampean belum pernah ke alam jin, kan? Pantas ndak tau. Saya bisa kasih bunga sampai lima ratus persen karena saya ini menjalankan usaha perbankan dan perekonomian antardimensi, tepatnya alam manusia dengan alam jin,” jelasnya. “Ndak semua orang bisa, cuma dukun yang punya kekuatan saja yang bisa”

Aku menghela napas. Menarik juga dukun ini.

Sejak Kita Menghujat Para Koruptor

sejak kita menghujat para koruptor tanpa nama
korupsi menjadi basa-basi saja
menjadi bahan obrolan kita di warung kopi
sepulang kerja selepas senja

mengumpat telah membuat kita akrab
cangkir demi cangkir kita lahap
hingga dada kita berdebar-debar
oh!
itu pasti rasa keadilan
yang datang berkobar-kobar

tenanglah kawan
mari kita hapalkan
empat puluh lima butir Pancasila
beserta maknanya
dan kita pun menjadi anti korupsi

anti korupsi
anta korupsi
antum korupsi
ana korupsi

lama-lama kita
sama gombalnya dengan cinta


konon orang korupsi karena
cinta dunia
miskin iman di dalam dada

konon orang korupsi karena
bapak ibunya
lupa berdoa sebelum senggama

mungkin orang korupsi semata
demi menjadi
bahan obrolan kita di warung kopi
sepulang kerja selepas senja

Refleksi

Kutatap wajah mungilnya, saat ia tersenyum, saat ia menangis. Betapa aku mencintainya atas cahaya harapan yang ia pancarkan. Mungkin dulu aku juga seperti dirinya. Mungkin dulu aku juga menjanjikan harapan-harapan–yang hingga kini tak benar-benar aku penuhi.
 
Pantaskah bila aku berharap ia akan mencintaiku juga? Tidak. Mungkin kelak ia akan melupakanku. Mungkin kelak ia akan mengabaikanku. Seperti aku melupakan masa kecilku, yang perlahan-lahan tenggelam dalam lautan waktu.
 
Hanya ada kepingan ingatan yang kini mengambang di atas permukaan, yaitu saat aku berbaris di depan pintu masuk sekolah, bersama-sama merapal doa yang maknanya tak kupahami hingga dua puluh tahun kemudian: Tuhanku, sayangilah kedua orang tuaku, sebagaimana mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil.

Hijrah ke Ubuntu

Sejak dua bulan lalu, saya kembali mencoba hijrah dari Windows ke Linux (baca: Ubuntu). Saya sadar bahwa saya hanya pengguna komputer biasa, bukan programmer ataupun IT geek. Kegiatan yang saya lakukan di depan komputer tak jauh dari mengetik, browsing, menonton film, mendengarkan musik, mengolah gambar, dan sesekali bermain video game. Namun, semakin hari dorongan untuk hijrah itu terasa semakin kuat.

Kita sebenarnya sudah semakin terbiasa dengan Linux–terutama bagi pengguna smartphone berbasis Android–sehingga proses hijrah ke Linux di desktop tidak terasa seberat dulu. Tambah lagi, perkembangan OS open source itu kini sudah kian pesat dan semakin user-friendly.

Awalnya, saya hanya berani memasang Xubuntu di netbook kecil saya yang murah meriah. Saya memilih Xubuntu karena konon ia membutuhkan spesifikasi yang lebih ringan dibandingkan Ubuntu versi GNOME. Netbook itu umumnya saya gunakan untuk mengetik ringan, tapi masih terasa agak lambat, mungkin karena saya ini adalah tipe orang yang suka meng-install apa saja, lapar mata saat menjelajahi Ubuntu Software Center. Di luar kendala hardware dan beberapa bugs kecil, rupanya tidak ada masalah yang berarti.

Sasaran saya berikutnya adalah laptop “utama” yang sudah saya gunakan selama lima tahun ini, yang selama ini sudah dihuni oleh Windows 7. Namun, saya hanya berani memasang Kubuntu secara dual boot bersama Windows, karena beberapa alasan. Pertama, saya masih belum terbiasa dengan GIMP dan Inkscape. Saya bukan digital artist, tapi Adobe Photoshop dan Corel Draw sudah menjadi candu setiap kali saya harus mengolah gambar secara digital. Kedua, sesekali saya juga masih bermain video game yang ada di Windows, meskipun kesibukan belakangan ini membuat saya semakin jarang melakukannya. Khilafah Dual boot adalah solusinya.

Hijrah memang tidak harus dilakukan secara total dalam sekali jalan. Ketika kaum muslimin melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka pun melakukannya secara bertahap. Saya mungkin masih akan membutuhkan Windows untuk hal-hal darurat, tapi sedikit demi sedikit kebutuhan itu akan terus berkurang.

Setelah beberapa minggu mencoba, Kubuntu ternyata tidak terasa nyaman di genggaman saya. Rasanya agak berat dan saya terlalu sering mengalami masalah dalam memasang program-program yang saya inginkan. Akhirnya, saya menghapus Kubuntu dan menggantinya dengan Ubuntu MATE. Ternyata, saya menyukainya. Lebih ringan, lebih stabil.

Benar saja, setelah dua bulan melakukan dual boot dengan Ubuntu MATE, saya sudah semakin jarang mengakses Windows di laptop ini. Semua kebutuhan berkomputer saya (kecuali game) bisa terakomodasi. Saya akan mulai belajar menggunakan GIMP dan Inkscape pelan-pelan (dan juga WINE, kalau saya benar-benar putus asa). Selain itu, saya juga sudah jarang bermain game kelas berat, lebih sering bermain di ponsel bila benar-benar bosan. Kalaupun suatu saat saya menjadi kaya raya, punya banyak waktu luang, dan ingin bermain game di komputer lagi, toh masih ada Steam di Linux.

Saya kira, hanya tinggal waktu saja sampai saya bisa secara kaffah meninggalkan Windows. Semoga saya bisa terus istiqomah.

Kantong Plastik 200

Sore tadi, saya berbelanja beberapa makanan ringan di Indomaret. Saat tiba di kasir, saya melihat papan-papan berisi peringatan tentang bahaya limbah plastik, dukungan terhadap program pemerintah, dan pemberitahuan bahwa saat ini kantong plastik dijual seharga Rp200. Namun kasir tidak menjelaskan atau menanyakan apa-apa kepada saya. Ia hanya memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam kantong plastik berukuran sedang, kemudian menghitung total harganya. Saat saya memeriksa struk belanjaan, ternyata saya telah membeli kantong plastik tersebut seharga Rp200.

Sebuah transaksi yang aneh. Ternyata benar, diam berarti membeli.

Tentu saya tidak hendak menuduh Indomaret telah melakukan “penipuan”, sebab saya belum berbelanja di toko Indomaret lainnya. Mungkin hal ini hanyalah kesalahan oknum kasir yang tidak mengikuti SOP (seperti apa SOP-nya?) atau kesalahan saya yang sengaja tidak mengingatkannya. Di luar itu, saya juga sempat berbelanja di Alfamart dan 7-Eleven, dan keduanya mengonfirmasi dahulu apakah saya ingin membeli kantong plastik mereka atau tidak.

Meski begitu, rasanya wajar bila saya memiliki kecurigaan tersendiri terhadap supermarket/minimarket. Ketika sang kasir memasukkan barang belanjaan saya ke dalam plastik tanpa bertanya, saya teringat pada kasus “kembalian permen” yang dulu sempat menimbulkan protes sehingga akhirnya dilarang. Apakah program plastik berbayar ini akan dimanfaatkan minimarket untuk meraih keuntungan ekstra secara terselubung? Memang, uang yang didapatkan dari penjualan kantong plastik katanya akan digunakan sebagai dana CSR. Namun bukankah CSR memang sudah menjadi kewajiban perusahaan–dengan atau tanpa menjual kantong plastik berbayar?

Tindakan konsumen yang paling masuk akal untuk mendukung program ini tentu bukanlah membeli kantong plastik seharga Rp200 sambil membayarkan kewajiban CSR minimarket, tetapi dengan sebisa mungkin tidak membeli kantong plastik di minimarket. Salah satu solusi yang banyak disarankan adalah dengan membawa tas atau kantong belanjaan sendiri setiap kali berbelanja.

Sementara itu, bila minimarket memang serius mendukung diet plastik, mereka harus lebih eksplisit dalam menentang penggunaan (dan pembelian)-nya. Status kantong plastik saat ini adalah sama dengan barang dagangan minimarket lainnya, sehingga tidak perlu ditawarkan secara khusus kepada konsumen bila konsumen tidak memintanya–kecuali, tentunya, bila kasir minimarket juga merangkap sebagai SPG kantong plastik.

Memberi Tanpa Imbalan

Setiap pagi, ada seorang pengemis tua yang mendatangi rumah Bu Darma. Saat Bu Darma memberi sedekah kepada si pengemis tua, pengemis itu mengucapkan terima kasih berkali-kali, menampakkan wajah bahagia sambil bercucuran air mata, serta mendoakan Bu Darma agar sehat dan banyak rezeki. Bu Darma ikut bahagia melihat ekspresi pengemis tua itu dan mengamini doa-doanya. Sejak saat itu, si pengemis selalu datang setiap hari, dan Bu Darma selalu memberinya sedekah. Namun, lama-kelamaan, Bu Darma menyadari ada sesuatu yang berubah dari pengemis itu. Lama-lama, senyum syukur di wajah si pengemis itu semakin pudar, doa-doanya semakin pendek, dan bahkan pada suatu ketika, si pengemis berhenti mengucapkan terima kasih kepada Bu Darma.

Bu Darma pun kesal. Ia merasa pengemis itu sudah lancang sekarang, seolah-olah sedekah Bu Darma dianggap sebagai kewajaran dan bukan suatu anugerah lagi. Ia pun memutuskan untuk berhenti memberi sedekah kepada si pengemis tua itu dan mencari pengemis lain yang [menurutnya] lebih menghargai sedekahnya.

Pertanyaannya, apakah sejak awal, Bu Darma memang benar-benar ikhlas memberi sedekah?

Terkadang, kegiatan memberi yang diklaim ikhlas atau tanpa pamrih bisa jadi memiliki motif yang tak disadari. Mungkin, secara sederhana, kita bisa mengatakan Bu Darma “kurang” ikhlas karena ia masih mengharapkan imbalan dari si pengemis, yaitu berupa senyum syukur dan doa-doa. Kegiatan memberi sedekah pun pada akhirnya berubah menjadi kegiatan transaksi belaka, yaitu transaksi menukarkan sejumlah uang dengan ucapan terima kasih dan doa-doa. Ketika Bu Darma tidak mendapatkan imbalan yang ia harapkan, transaksi pun ia hentikan. Jual-beli dibatalkan.

Lebih dari itu, mungkin juga ada semacam “penegasan kekuasaan” yang timbul dari kegiatan memberi. Bukan hal yang sulit dipahami, bahwa orang yang memberi biasanya memiliki “kelebihan” dibanding orang yang diberi.

Ibaratnya begini: Saya memberi kamu uang, berarti saya lebih tinggi dari kamu, oleh karena itu kamu harus menunjukkan sikap sebagai orang yang lebih rendah di hadapan saya: menunduk-nunduk, berlinang air mata, bahkan menyembah-nyembah. Bila kamu tidak menunjukkan sikap itu (atau malah menunjukkan sikap berlawanan), berarti kamu lancang, tidak tahu diri. Saya akan menghukum kamu dengan berhenti memberi kamu uang. Inilah “penegasan kekuasaan” yang saya maksud bisa terjadi dalam kegiatan memberi.

Tentu saya tidak sedang berusaha mengecilkan manfaat praktis dari kegiatan bersedekah. Dalam jangka pendek, sedekah yang kurang ikhlas sekali pun masih lebih bermanfaat bagi orang lain daripada tidak sama sekali. Misalnya, bagi orang yang sedang kelaparan, nasi bungkus yang diberikan oleh politisi penjilat dianggap lebih penting daripada beasiswa kuliah atau modal usaha.

Saya jadi teringat pada kata-kata anak jalanan di bus kota, bahwa “memberi uang seribu-dua ribu tidak akan membuat Anda jatuh miskin dan tidak akan membuat kami kaya raya”. Kalimat itu ada benarnya. Biasanya, orang memberi sedekah memang bukan untuk melenyapkan jurang antara si kaya dan si miskin, melainkan untuk mengatasi masalah jangka pendek. Bahkan, ada juga orang yang bersedekah sambil tetap ingin mempertahankan jurang kaya-miskin dengan alasan “kalau semua orang jadi kaya, nanti siapa yang mau menerima sedekah saya?”.

Dalam kehidupan nyata, tidak banyak kegiatan memberi yang bisa dikatakan murni tanpa pamrih. Program CSR perusahaan-perusahaan bertujuan untuk memperbaiki citra di mata masyarakat dan meningkatkan penjualan, bantuan dari lembaga-lembaga internasional hanya diberikan dengan syarat-syarat tertentu yang menguntungkan pendonor, donatur-donatur LSM memiliki agenda politiknya sendiri, penghuni rumah memberikan hadiah kepada tetangganya demi merawat hubungan sosial yang saling menguntungkan, pelanggan rumah makan memberi uang kepada pengemis supaya pengemis cepat pergi, orang yang memberi sedekah hanya untuk menimbulkan perasaan nyaman dan tenteram dalam dirinya sendiri, dan lain sebagainya.

Lantas, apakah manusia memang makhluk yang selalu pamrih? Mustahilkah bagi seorang manusia untuk memberi kepada manusia lain atas dasar kepedulian yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan apa pun–bahkan sekadar doa, ucapan terima kasih, atau perasaan lega? Entahlah. Biasanya, kita menghindari perasaan “riya’” dengan mencegah orang lain menyaksikan kebaikan kita. Padahal, pihak yang paling sering menyaksikan kebaikan kita justru adalah orang yang menerima kebaikan kita itu sendiri.