Category: Fiksi

Invasi

1

Di depan mataku, kantorku meledak. Semua orang, termasuk aku, sudah berhasil dievakuasi dan kami berada dalam jarak aman. Dinding-dinding gedung hancur berantakan, kaca-kaca pecah, struktur bangunan runtuh hingga ke tanah.

Aku dapat membayangkan semua kehancuran yang ada di dalamnya. Aku dapat membayangkan PC-ku hancur berkeping-keping. Tamat sudah riwayat semua berkas-berkas pekerjaanku. Tamat juga semua surat-surat yang menumpuk di meja kerjaku selama berhari-hari dan tak sempat aku rapikan. Sekarang aku tak butuh paper shredder lagi untuk memusnahkan dokumen-dokumen negara tak berguna itu. Musnah juga semua deadline dan utang-utang tugasku. Setidaknya kuharap demikian.

Tentu ada juga beberapa barang yang kehancurannya membuatku sedih, misalnya jaket hoodie pemberian mantan kekasihku, beberapa film seri yang kuunduh di komputer, dan wifi gratis berkecepatan tinggi yang biasa kunikmati setiap hari.

Pesawat induk alien berwarna hitam matte berukuran raksasa melayang di langit kota yang biasanya sudah gelap oleh polusi asap. Di sekelilingnya, pesawat-pesawat lain yang lebih kecil berbaris melayang dengan rapi. Sebuah laras senjata laser yang sepintas tampak seperti tentakel bergerak-gerak dari dalam pesawat induk. Benda itulah yang tadi menembak gedung kantorku hingga hancur berkeping-keping.

Suara dengungan pesawat itu lebih mirip suara rintihan halus yang membuat bulu kuduk merinding, sementara dari tempat yang agak jauh, terdengar suara dentuman, ledakan, dan tembakan terus menerus. Kobaran api dan kepulan asap bermunculan di mana-mana, sirine meraung-raung.

Orang-orang berlarian panik, sementara petugas keamanan, polisi, dan tentara tampak kewalahan mengendalikan massa. Tak ada yang menyangka semua ini akan terjadi. Ini adalah tenggat akhir kepunahan umat manusia.

(more…)

Selamat Tahun Baru, Hantu-Hantu yang Selalu Menunggu

Sudah hampir sebulan pesan itu masuk ke inbox Facebook-ku, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena pengirimnya tidak termasuk dalam friendlist, mungkin juga karena kotak masukku sudah penuh dengan berbagai spam. Namun, pada malam tahun baru itu aku tergoda untuk membukanya lewat ponsel.  

Isi pesan itu singkat: Kamu penulis Kara Reshita ya?  

(more…)

Pertanyaan Paling Aneh

Ada sebuah pertanyaan paling aneh yang pernah diucapkan Sri kepada suaminya. Saat itu ia baru pulang kerja, berjalan kaki selama lima belas menit dari bus karyawan, dan tiba di sebuah rumah kontrakan sederhana. Sebenarnya ia sudah lama ingin pindah dari rumah itu. Dapurnya sempit dan air PAM-nya kurang bersih. Sayangnya, kondisi keuangan mereka masih jauh dari cukup untuk mencari kontrakan yang lebih baik, apalagi membeli rumah sendiri. Sudah dua bulan sejak Aji, suaminya, di-PHK dari pabrik tempat ia bekerja. Satu-satunya sumber penghasilan mereka sekarang, termasuk untuk membayar kontrakan, adalah gaji Sri sebagai buruh yang tidak seberapa.

Sebelum masuk ke dalam, Sri menghela napas dalam, kemudian mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Mungkin Aji sudah tidur, pikirnya. Sejak menjadi pengangguran, suaminya memang sangat pemalas. Ia tak mau lagi bergaul dengan tetangga. Setiap hari ia hanya berdiam diri di rumah. Tidur, makan, dan minta dilayani seperti seorang raja.

Sri membuka pintu yang ternyata tidak dikunci itu, lalu meletakkan sepatunya ke dalam rak kecil di belakang pintu. Tiba-tiba telinga Sri menangkap sesuatu yang tidak biasa. Ia mendengar suara musik, pelan dan sayup-sayup. Tidak ada yang pernah menyalakan musik di dalam rumahnya. Aji adalah lelaki yang kaku dan membosankan, ia tidak suka mendengarkan musik atau radio sambil beraktivitas. Satu-satunya orang yang suka menyalakan musik adalah tetangganya, si maniak dangdut. Namun ia yakin musik itu berasal dari dalam rumah, dan musik yang ia dengar bukanlah musik dangdut. Itu musik jazz, atau blues, atau apalah namanya, ia tidak kenal aliran musik semacam itu. Ia hanya ingat pernah mendengar musik seperti itu di film-film.

Tanpa sempat membuka seragam kerjanya, Sri berjalan pelan ke arah sumber suara musik itu. Lantunan nada itu menggiringnya ke arah dapur. Ini mungkin cuma soal sepele, tapi sebagai orang yang mengetahui seluk beluk rumah, ia merasakan keganjilan. Ada “orang lain” di rumah ini, pikirnya. Sri memperlambat langkahnya, matanya awas, dan ia mulai mengendap-endap. Apakah sebaiknya ia segera keluar rumah dan mencari pertolongan? Pikiran itu datang dan pergi dalam benak Sri, tapi ia selalu membatalkannya. Ini cuma suara musik. Mana mungkin ada maling yang melakukan aksinya sambil menyalakan musik?

Dari balik dinding, ia mengintip ke arah dapur. Hidungnya mencium bau harum daging yang sedang dimasak. Ia merasa seperti sedang berada di dapur sebuah restoran, hanya saja dapur di hadapannya penuh dengan kardus-kardus bekas dan perabotan yang jarang dipakai. Di salah satu sisi dapur, di depan kompor, ia dapat melihat sesosok lelaki bertubuh tinggi–setinggi Aji, tapi cara berdirinya agak lebih tegap–berdiri membelakanginya. Ia dapat melihat tali celemek di belakang leher lelaki itu. Tampaknya ia sedang memasak sesuatu.

“Udah pulang, Sayang? Nggak kena macet, kan?” ucap lelaki itu tiba-tiba tanpa menoleh. Suara itu terdengar merdu, manis, dan sangat lancar meluncur dari mulutnya. Tidak seperti Aji yang ucapannya selalu datar dan pantang berbasa-basi. Sri tidak menjawab pertanyaan itu, kepalanya terasa hampa dan ringan.

Ketika lelaki itu membalikkan badan dan memperlihatkan senyum paling manis yang pernah ia lihat, Sri pun mengucapkan pertanyaan itu–pertanyaan paling aneh yang pernah ia ucapkan kepada suaminya.

“Kamu siapa?”


Kisah ini sekarang telah dicetak menjadi sebuah novel yang lengkap. Untuk mendapatkan novel ini silakan klik di sini.

Patuh

“Tidak seperti dia, saya patuhi perintah tanpa emosi. Kalau Bos bilang siapkan tali, saya akan siapkan tali dan biarkan Bos gantung diri,” ujarnya.

“Kalau dia?”

“Dia pasti menolak,” jawabnya.

“Dia akan siapkan pistol. Karena menurutnya bunuh diri dengan pistol lebih keren.”

Mata

siapa yang mengajarimu
caranya menyembunyikan sendu?

kamu berdiri di situ
mengalihkan matamu dari mataku

seolah tahu
sepasang kaki yang tak berpisah
tak bisa melangkah maju

Baju Pink Nala

Mungkin Nala seperti bunga. Ia memakai baju pink pada pesta itu untuk menarik perhatian serangga dan burung yang dapat membantunya melakukan penyerbukan. Namun mungkin Nala tidak tahu, bahwa warna pink pada bunga juga berfungsi untuk menjauhkan predator, dan aku merasa diriku lebih mirip sesosok predator daripada burung penyerbuk. Itulah kenapa aku sama sekali tak membalas sinyal-sinyal yang ia berikan selama pesta, baik senyuman, kerlingan mata, atau bahasa tubuh lainnya. Bahkan ketika ia lewat di depanku dan mencoba menyapa, secara halus aku menghindarinya.
(more…)

Suara Mesin, Suara Rakyat

“Setelah berabad-abad, akhirnya kita menyadari bahwa manusia tidak mampu mewakili aspirasi manusia lain. Power tends to corrupt. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan suatu demokrasi langsung yang adil, bersih, dan efisien, kita membutuhkan suatu alat yang mampu mengelola, mengalkulasi, dan mengeksekusi aspirasi tiap-tiap warga negara dengan rasional, cerdas, tegas, ringkas, tanpa bias, dan tanpa faktor-faktor emosional yang membatasi seorang manusia.”

Aku sedang membaca paragraf itu ketika kudengar namaku dipanggil lewat pengeras suara. Kutitipkan buku berjudul Demokrasi Mesin: Sebuah Pengantar di atas pangkuan Aini yang sedang asyik bermain game ponsel, kemudian segera melangkah menuju bilik suara. Kotak besi setinggi tiga meter itu berpendar kehijauan, dan ketika aku membuka pintunya, aku dapat melihat sebuah kursi dan helm kaca yang tergantung di atasnya. Ternyata benar, interior bilik suara sudah lebih nyaman dibandingkan Pemilu sebelumnya. Kursinya tampak lebih empuk dan pencahayaannya lebih memadai.

Seketika, aku teringat pada buku yang kubaca tadi. Menurut buku itu, dahulu kala bilik suara Pemilu hanya berisi selembar kertas dan paku.


Cerita ini memenangkan Sayembara Fiksi Ilmiah Vol. 2 di Serana 42. Baca selengkapnya.

 

Raja

Kami terdiam di tengah kemacetan lalu lintas. Ia di kursi kemudi, mencoba bersabar memainkan kopling dan rem, sementara aku membaca linimasa Facebook yang sedang diriuhi postingan tentang kedatangan Raja Arab Saudi.

“Di tengah ketimpangan ekonomi ini, ternyata banyak juga ya, rakyat Indonesia yang bangga melihat kekayaan dan kemewahan Raja Saudi,” gumamku sambil merebahkan punggung dan membetulkan posisi sabuk pengaman.

“Memangnya kenapa?” tanyanya, masih suntuk memandangi kemacetan tanpa ujung.

“Aku kira orang-orang akan cemburu melihat keluarga kerajaan superkaya itu, apalagi dibandingkan dengan kondisi kehidupan mereka yang melarat,” jawabku.

“Jangan naif. Tidak semua orang miskin cemburu kepada orang kaya. Ada juga yang sudah ikhlas menerima kasta sosialnya. Melihat orang kaya, mereka akan merasa kagum. Apalagi kalau orang kaya itu seorang raja.”

“Lho, memangnya kenapa kalau raja? Raja orang lain, bukan raja mereka,” tanyaku, mencoba mendebatnya.

“Memang bukan, tapi mereka rindu memiliki seorang raja,” ujarnya, mobil melaju beberapa meter, “dan menurutku, orang Indonesia memang lebih cocok hidup dalam sistem kerajaan.”

“Kenapa?”

“Itu karakter orang Indonesia pribumi selama berabad-abad. Demokrasi a la Barat adalah sistem asing yang baru masuk kemarin sore, kurang cocok dengan kultur kita. Lagipula, sistem kerajaan itu lebih efisien dan efektif. Semua orang fokus dengan bidangnya masing-masing. Tidak seperti sekarang, semua orang dipaksa membuat pilihan di luar kapasitasnya. Hasilnya? Geser terus linimasa Facebook-mu, dan kamu akan lihat betapa bodoh pilihan yang mereka buat.”

Aku agak kesal mendengar penjelasannya itu. Aku tidak suka membayangkan hidup dalam sistem yang mengizinkan segelintir orang mendapatkan status sosial eksklusif hanya karena hubungan darah, seefektif dan seefisien apa pun pemerintahannya. Namun aku dapat memahaminya. Ia sudah merasa putus asa dengan kondisi negara ini. Ia tampak lelah. Aku pun memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.

Saat sedang asyik membahas meme Polwan cantik, tiba-tiba suara sirine terdengar nyaring di belakang kami. Mobil-mobil berusaha bergerak ke pinggir, tapi kondisi jalan terlalu padat untuk bergerak. Sirine di belakang semakin nyaring, meraung-raung. Ia memutar setirnya dengan gusar.

“Pejabat kampret! Sok penting!” makinya saat melihat sedan hitam melaju di sebelah kami, diiringi beberapa pengawal.

Pohon Titit

1

Satu malam setelah dikhitan, aku duduk termenung di kamar sambil menahan rasa perih dan memandangi tititku yang masih dibungkus perban. Ayah datang sambil membawa tumpukan amplop. Ia mengajakku berhitung. Kalau uangku cukup, katanya, aku boleh membeli sepatu roda. 

Aku tidak begitu memperhatikan ketika ia mengeluarkan lembaran uang dari setiap amplop dan mencatat jumlahnya. Saat itu, ada pertanyaan lain yang membuat kepalaku gatal. Pertanyaan ini bagi orang lain mungkin terasa remeh, tapi kelak akan menghantuiku seumur hidup. 

Aku bertanya, ada di mana potongan kulit tititku yang disunat itu? 

Ayah tertawa mendengarnya. Ia bilang, aku tidak perlu khawatir. Potongan kulit tititku itu diambil dr. Yatno, dikubur di halaman belakang kliniknya di antara pohon petai dan pot anggrek. 

Dokter Yatno adalah orang yang mengkhitanku. Ia tampak terlalu sangar untuk ukuran dokter yang menyunat anak kecil. Wajahnya lebar, hidungnya besar, dan ia memiliki brewok tebal yang membuatku takut. Bahkan sebagai anak kelas 5 SD saat itu, aku merasa penampilan dr. Yatno tidak mencerminkan seorang dokter yang bersih dan higienis. 

Lantas, untuk apa ia menanam potongan kulit tititku? Ayah kembali tertawa. Katanya, dari potongan titit yang ditanam itu, nantinya akan tumbuh pohon titit. Pohon itu semakin lama akan semakin besar, daunnya lebat dan rantingnya panjang-panjang. Bila musimnya tiba, di setiap ranting pohon itu akan tumbuh menjuntai titit-titit kecil yang sama persis dengan tititku. 

Aku membayangkan bahwa dr. Yatno akan memetik titit-titit kecil itu saat ia tidak sempat membeli makanan. Ia akan memasaknya dengan kecap asam manis, lalu melahapnya. 

Ayah terkejut. Imajinasiku terlalu mengerikan, katanya. Dokter Yatno bukanlah seorang kanibal. Titit-titit kecil itu kelak akan berguna untukku sebagai titit cadangan. Aku teringat bahwa beberapa waktu sebelumnya tititku memang pernah terjepit ritsleting celana dan itu membuatku menangis karena takut tititku akan putus. Aku tidak perlu khawatir lagi sekarang. Itulah alasan sebenarnya mengapa laki-laki harus dikhitan. 

Penasaran, aku bertanya apakah ayah juga menanam pohon titit saat ia dikhitan dulu. Ayah mengangguk, kemudian sambil menyelesaikan hitungannya, ia berkata bahwa semenjak menikah dengan Ibu, ia sudah tiga kali berganti titit cadangan. 

Aku tidak sempat bertanya lebih lanjut, sebab saat itu aku baru sadar bahwa berdasarkan catatan yang Ayah tulis, uangku sudah lebih dari cukup untuk membeli sepasang sepatu roda. 

Perbankan Gaib

“Sampean tidak percaya saya bisa menggandakan uang?” tanya Eyang Sanca, alisnya mengerut dan posisi duduknya maju ke arahku.

“Nggak percaya. Mana mungkin uang bisa digandakan? Apa Eyang pikir saya ini orang kampung yang bisa dibodohi? Saya ini orang kota, berpendidikan!” jawabku sambil menahan tawa.

Eyang Sanca menarik napas dalam, lalu mengurut-urut jenggotnya. “Pernah ke bank, kan?”

“Pernah dong!” jawabku.

“Sampean jangan kaget kalau saya bilang, bank itu sama seperti saya, sama-sama dukun pengganda uang!”

Aku berdeham, sepertinya aku mulai paham jalan pikirannya, tapi aku ingin mengujinya sedikit. “Maksud Eyang?”

“Kalau sampean pergi ke bank, masukin uang di tabungan, deposito, atau investasi lainnya, uang sampean bertambah banyak, kan?” ujarnya sambil melipat tangan di depan dada.

“Iya, saya tau itu.”

“Nah, apa bedanya? Uang sampean sama-sama jadi berlipat ganda tanpa sampean harus kerja dan cuma tidur-tiduran di rumah. Berarti, konsep menggandakan uang itu bukan sesuatu yang ndak masuk akal. Iya toh?”

Kutatap raut mukanya. Aku tak bisa meremehkan dukun ini, ternyata ia pintar berkelit juga.

“Kalau Eyang sama saja dengan bank, lalu buat apa saya pergi ke Eyang? Lebih enak ke bank, biaya administrasinya lebih rendah; kantornya sejuk pakai AC, nggak bau kemenyan seperti ini; petugasnya juga perempuan cantik, bukan kakek-kakek peyot begini,” ucapku pelan.

“Jangan kurang ajar, ya!” suaranya meninggi. “Biar saya kasih tau kenapa saya lebih hebat, bunga yang saya tawarkan itu lima ratus persen! Lebih tinggi dari bank mana pun!”

Tawaku hampir meledak mendengar penjelasannya. Jelas-jelas dia ingin menipuku. “Omong kosong! Mana bisa bunga sebesar itu? Diinvestasikan untuk bisnis apa uang saya? Saham apa?”

“Investasi gaib!”

“Apaan gaib?”

“Ini perbankan gaib! Jelas beda dengan perbankan konvensional!”

Ia mengeluarkan sebuah buku dari kantong kemeja batiknya. Sebuah buku tabungan berwarna hitam dengan tulisan putih “Bank Gaib, Sanca Bank”.

Ia menjelaskan, “Sampean tau, kan, kalau nilai mata uang itu beda-beda? Nilai dolar Amerika lebih besar dari nilai rupiah, misalnya. Sekarang biar saya kasih tau, nilai mata uang di dunia gaib itu nilainya beratus-ratus kali lipat dari nilai rupiah!”

“Mata uang gaib? Apa lagi itu?”

“Sampean belum pernah ke alam jin, kan? Pantas ndak tau. Saya bisa kasih bunga sampai lima ratus persen karena saya ini menjalankan usaha perbankan dan perekonomian antardimensi, tepatnya alam manusia dengan alam jin,” jelasnya. “Ndak semua orang bisa, cuma dukun yang punya kekuatan saja yang bisa”

Aku menghela napas. Menarik juga dukun ini.

Sejak Kita Menghujat Para Koruptor

sejak kita menghujat para koruptor tanpa nama
korupsi menjadi basa-basi saja
menjadi bahan obrolan kita di warung kopi
sepulang kerja selepas senja

mengumpat telah membuat kita akrab
cangkir demi cangkir kita lahap
hingga dada kita berdebar-debar
oh!
itu pasti rasa keadilan
yang datang berkobar-kobar

tenanglah kawan
mari kita hapalkan
empat puluh lima butir Pancasila
beserta maknanya
dan kita pun menjadi anti korupsi

anti korupsi
anta korupsi
antum korupsi
ana korupsi

lama-lama kita
sama gombalnya dengan cinta


konon orang korupsi karena
cinta dunia
miskin iman di dalam dada

konon orang korupsi karena
bapak ibunya
lupa berdoa sebelum senggama

mungkin orang korupsi semata
demi menjadi
bahan obrolan kita di warung kopi
sepulang kerja selepas senja

Ayam Saja Bisa Hidup

Pak Ade bingung. Pengeluaran keuangannya terasa tidak terkendali. Baru saja satu minggu pasca-gajian, tapi saldo di rekeningnya tinggal seujung kuku. Ia tidak tahu ke mana saja uangnya ia belanjakan. Sebagian untuk jajan, sebagian untuk hura-hura, sebagian lagi untuk menunjang gaya hidup, tapi tak ada alokasi untuk tabungan, apalagi investasi.

Ia pun duduk di depan rumahnya, memakai sarung dan kaos oblong, sambil mengobrol dengan anak dan istrinya. Istrinya berkeluh kesah mendengar kondisi keuangan keluarga. Ia menyalahkan Pak Ade yang belakangan hobi mengoleksi batu akik, bahkan membeli beberapa batu dengan harga fantastis hanya karena dibujuk teman-temannya. Sementara itu, Pak Ade dengan santai menyalahkan istrinya yang sering kalap belanja online, membeli baju dan sepatu yang cuma sesekali dipakai saat pergi ke undangan. Anak mereka yang masih TK tidak mengerti apa-apa, tidak paham kalau sebenarnya ia juga ikut disalahkan karena sering merengek minta dibelikan mainan BoBoiBoy dan Avengers. (more…)