Kremasi Sunyi

Seperti biasa, saat liburan aku memang menjadi manusia kalong. Bahkan pada pukul dua pagi itu di mana orang-orang biasanya sudah tertidur pulas, aku masih menulis novel di kamar kontrakanku yang sempit, ditemani secangkir kopi dan musik instrumental dari speaker komputerku. Orang bilang, efek kafein adalah meningkatkan denyut jantung sekaligus meningkatkan keinginan buang air, bagiku efeknya lebih dari itu. Kopi membuatku lapar. Aku mengambil toples dan memeriksa isinya, tinggal sepotong biskuit dan remah yang tidak akan sanggup mengganjal perut. Lalu aku ingat, tidak jauh dari tempat tinggalku—mungkin hanya berselang dua atau tiga rumah—terdapat sebuah warung indomi yang biasanya buka dua puluh empat jam. Itulah tujuanku, aku berniat mengisi perut dengan mi rebus panas sembari rehat menghapus penat. Aku bangkit, mengambil dompet dan keluar dari kamar sambil membiarkan komputer tetap menyala. Namun celakanya, ketika kuperiksa isi dompet, tak ada uang sepeserpun. Mau tidak mau aku harus pergi ke ATM, kalau tidak salah waktu itu aku masih menyimpan seratus ribu rupiah di sana. Dan tentu saja, semua ATM di sekitar tempat tinggalku buka dua puluh empat jam. Jadi, sebelum aku pergi ke warung indomi, aku pun memutuskan pergi ke ATM terlebih dahulu.

ATM yang kumaksud ada Continue reading Kremasi Sunyi

Satu: Dari Dalam Semangkuk Bubur

 

Cerita ini adalah bagian dari seri Wa Merah

Suara seorang perempuan berteriak-teriak dari ponselku, suaranya sangat berisik bagaikan sederet petasan yang meledak di malam lebaran, atau seperti kaleng rombeng yang dipukuli dengan gagang kayu; tak ada bedanya, malah mungkin lebih buruk lagi.

“…kamu tuh lama banget! Seenaknya aja kamu ninggalin Mama ngurusin adik kamu sendirian di sini? Mana adik kamu tuh rewelnya minta ampun! Kamu sengaja ya, kabur dari tanggung jawab?” suara itu Continue reading Satu: Dari Dalam Semangkuk Bubur

Tiga: Dari Atas Kursi Merah

 

Cerita ini adalah bagian dari seri Wa Merah

Dulu, sewaktu aku masih berumur lima tahun, aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Aku adalah anak tunggal, jadi tak ada yang menghalangi kasih sayang orang tuaku kepadaku. Kami bertiga hidup dalam kebersamaan yang erat. Kami makan bersama tiga kali sehari, sebab bagi kami makan bersama di meja makan adalah suatu keharusan. Ibu memasak di rumah, Bapak selalu menyempatkan pulang dari tempat kerjanya setiap jam dua belas siang, aku juga selalu ada di rumah, karena aku tidak sekolah. Pekerjaanku di rumah hanya sekedar bermain puzzle dan melihat buku cerita bergambar, sebab aku tak punya teman selain ibuku yang suka membacakan dongeng.

Pagi itu adalah hari minggu yang cerah, cahaya Continue reading Tiga: Dari Atas Kursi Merah

Dua: Dari Dalam Rekaman Itu

 

Cerita ini adalah bagian dari seri Wa Merah

Hari ini sebuah kartu memori berisi sekumpulan rekaman suara sampai di tanganku. Rekaman dalam bentuk memory card ini adalah benda penyingkap kebenaran yang ditemukan oleh anak buahku yang bertugas di lapangan, ditemukan di dalam sebuah puing-puing rumah setelah kejadian misterius yang menyebabkan satu desa terbakar habis tanpa sisa. Mereka bisa bilang ini adalah kegagalan kepolisian, atau kegagalanku karena akulah yang bertugas dalam kasus Desa Sirna Maya ini. Tapi aku tak peduli, asalkan aku bisa mengetahui kebenarannya, itu sudah cukup, bahkan seandainya karirku terancam karena telah ceroboh membiarkan satu desa terbakar dan membunuh sebagian besar warganya. Ini kasus langka, bahkan untuk ukuran internasional, ini tetap kasus langka yang Continue reading Dua: Dari Dalam Rekaman Itu

Requiem

09.05

Jam sembilan pagi, pengawas ujian datang. Aku tak menyangka kalau yang menjadi pengawas di ruang ujian kami adalah seorang pria muda yang terlihat seperti masih mahasiswa—mungkin ia kerja sambilan di bimbingan belajar ini. Walaupun sebagai sesama lelaki, aku bisa mengatakan bahwa wajahnya lumayan tampan, meski tubuhnya agak pendek untuk ukuran orang seumurnya. Ia mengenakan kemeja putih bergaris-garis coklat yang agak kusut, celana jeans biru yang warnanya sudah memudar, dan sepatu kets yang sepertinya sudah satu semester tidak dicuci. Meski begitu, tetap saja banyak teman-teman wanitaku yang berbisik-bisik genit ketika ia memasuki ruangan (mungkin itu karena kami sudah kelas tiga SMA, sehingga perbedaan umurnya tak terlalu jauh). Aku sendiri, hanya senang saja meperhatikan tingkah laku mereka.

Ia meletakkan tas ranselnya di bawah papan tulis dan meletakkan amplop coklat berisi lembar soal dan lembar jawaban di atas meja. Kemudian dia berdeham, memberi isyarat agar seisi kelas memperhatikannya.

“Tolong perhatikan, waktu kalian untuk mengerjakan soal, masing-masing satu jam tiap mata pelajaran. Yang sudah selesai boleh keluar lebih dulu, tapi dilarang berisik. Untuk nomor peserta dan nomor sekolah bisa dilihat di daftar hadir,” ia menunjukkan selembar kertas yang ada di tangannya, “ada pertanyaan?”

Aku sedang menyiapkan pinsil 2B ketika Silvia Continue reading Requiem

Tlng

Api di perapian itu bergoyang-goyang ketika aku menambahkan sebatang kayu bakar. Kucoba meniup-niup perapian itu agar apinya dapat menyala lebih besar, tapi tak berhasil. Tubuhku tetap menggigil, padahal aku sudah mengenakan sweater yang cukup tebal. Kurasa tubuhku sudah terbiasa dengan udara kota Karawang yang panas, sehingga sulit menyesuaikan diri dengan udara dingin Pangalengan. Sejak dua hari yang lalu saat awal libur kuliah, aku dan dua orang temanku, Norman dan Sonia, berlibur di perkebunan ini. Perkebunan kentang dan sayuran di selatan Bandung yang cukup luas ini—aku tak tahu berapa hektar tepatnya—adalah Continue reading Tlng

Jalan Gerhana

Hari ini aku pulang tengah malam lagi. Ya, ini memang menyebalkan. Di kampusku, masa orientasi (alias OSPEK alias perpeloncoan alias kaderisasi alias legalized bully) terjadi selama satu tahun. Coba kalian bayangkan itu! Memang, tidak benar-benar satu tahun non-stop, tapi hanya pada hari-hari tertentu saja, terutama malam sabtu seperti sekarang. Jangan tanya bagaimana caranya kegiatan itu bisa diadakan di kampus sampai tengah malam, mereka punya seribu satu cara—tidak benar-benar seribu satu sih, mungkin sepuluh atau lima belas, tapi itu sudah cukup banyak—untuk mengumpulkan kami di ruang tertutup, lalu memarahi dan memaki-maki kami. Untungnya, kami tidak disuruh memakai pakaian yang aneh-aneh, kami hanya diberi PR membuat sesuatu, dan kalau kami gagal atau salah, habislah kami. Kalau kami sampai disuruh memakai dandanan aneh-aneh dan disuruh pulang tengah malam begini, aku tak bisa Continue reading Jalan Gerhana

Airen, Ada Hadiah

Perempuan cantik itu tergeletak tak berdaya di hadapanku, baru beberapa menit yang lalu ia menutup mata dan mengakhiri hidupnya. Kini, hanya ada aku dan tubuh perempuan itu di dalam bangunan terbengkalai ini. Garis-garis cahaya matahari dari luar menembus sela-sela kayu atap bangunan yang seolah akan rubuh. Ada banyak bayangan yang jatuh di sekitar kami. Ruangan itu cukup luas, namun tak ada suara apapun selain beratnya hembusan nafasku dan suara detak jantung yang tak pernah melambat sedikitpun.

Kupeluk tubuh perempuan itu. Ia, perempuan yang paling aku cintai, kini berada dalam dekapanku, dingin dan bersimbah darah. Tanganku juga Continue reading Airen, Ada Hadiah