Pengakuan di Atas Seragam

Cerita ini dibuat untuk event LMCR Rohto 2009, dan menjadi salah satu cerpen favorit.

Akhirnya hari ini aku lulus SMA. Semua murid kelas tiga di sekolahku berpesta-pora, karena tingkat kelulusan di sekolah kami adalah seratus persen. Tentunya ini adalah hal yang cukup istimewa mengingat beberapa tahun terakhir ini ujian nasional selalu menjadi momok yang menakutkan bagi setiap siswa kelas tiga di Indonesia. Sekolahku memang termasuk sekolah unggulan, tapi tetap saja ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi kami.

Kami merayakan keberhasilan ini dengan tradisi yang sangat kuno, dan kebetulan sekolahku termasuk yang cukup liberal Continue reading Pengakuan di Atas Seragam

Requiem

09.05

Jam sembilan pagi, pengawas ujian datang. Aku tak menyangka kalau yang menjadi pengawas di ruang ujian kami adalah seorang pria muda yang terlihat seperti masih mahasiswa—mungkin ia kerja sambilan di bimbingan belajar ini. Walaupun sebagai sesama lelaki, aku bisa mengatakan bahwa wajahnya lumayan tampan, meski tubuhnya agak pendek untuk ukuran orang seumurnya. Ia mengenakan kemeja putih bergaris-garis coklat yang agak kusut, celana jeans biru yang warnanya sudah memudar, dan sepatu kets yang sepertinya sudah satu semester tidak dicuci. Meski begitu, tetap saja banyak teman-teman wanitaku yang berbisik-bisik genit ketika ia memasuki ruangan (mungkin itu karena kami sudah kelas tiga SMA, sehingga perbedaan umurnya tak terlalu jauh). Aku sendiri, hanya senang saja meperhatikan tingkah laku mereka.

Ia meletakkan tas ranselnya di bawah papan tulis dan meletakkan amplop coklat berisi lembar soal dan lembar jawaban di atas meja. Kemudian dia berdeham, memberi isyarat agar seisi kelas memperhatikannya.

“Tolong perhatikan, waktu kalian untuk mengerjakan soal, masing-masing satu jam tiap mata pelajaran. Yang sudah selesai boleh keluar lebih dulu, tapi dilarang berisik. Untuk nomor peserta dan nomor sekolah bisa dilihat di daftar hadir,” ia menunjukkan selembar kertas yang ada di tangannya, “ada pertanyaan?”

Aku sedang menyiapkan pinsil 2B ketika Silvia Continue reading Requiem

Selfi Yang Bodoh

Hari ini adalah hari pembagian rapor di kelasku. Kami duduk di ruang kelas sambil menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa murid tampak mencorat-coret bukunya dengan gelisah, sementara sebagian yang lain ada pula yang tampak tidak peduli. Aku sendiri, aku tak begitu peduli dengan nilai. Bagiku nilai adalah sebuah opini, aku tak harus selalu setuju dengan opini wali kelasku, bukan? Ketidakpedulianku ini adalah gara- gara Selfi, teman sekelas kami yang baru saja pergi meninggalkan kelas ini.

Baiklah, biar kuceritakan tentang Selfi. Selfi adalah seorang gadis manis yang Continue reading Selfi Yang Bodoh