Dua: Dari Dalam Rekaman Itu

 

Cerita ini adalah bagian dari seri Wa Merah

Hari ini sebuah kartu memori berisi sekumpulan rekaman suara sampai di tanganku. Rekaman dalam bentuk memory card ini adalah benda penyingkap kebenaran yang ditemukan oleh anak buahku yang bertugas di lapangan, ditemukan di dalam sebuah puing-puing rumah setelah kejadian misterius yang menyebabkan satu desa terbakar habis tanpa sisa. Mereka bisa bilang ini adalah kegagalan kepolisian, atau kegagalanku karena akulah yang bertugas dalam kasus Desa Sirna Maya ini. Tapi aku tak peduli, asalkan aku bisa mengetahui kebenarannya, itu sudah cukup, bahkan seandainya karirku terancam karena telah ceroboh membiarkan satu desa terbakar dan membunuh sebagian besar warganya. Ini kasus langka, bahkan untuk ukuran internasional, ini tetap kasus langka yang membuatnya tercetak di koran-koran berbahasa Inggris.

Menurut petugas lapangan, kartu memori ini adalah milik seorang mahasiswi yang sedang melakukan penelitian di desa Sirna Maya, meneliti tentang seorang pembunuh berantai yang sudah lama meneror desa. Seorang mahasiswi yang bodoh bagiku, membahayakan diri sendiri hanya untuk mendapatkan selembar ijazah. Sekilas mendengar isi rekaman ini saat baru ditemukan, isinya adalah serangkaian wawancara dengan penduduk setempat mengenai pembunuh yang disebut Wa Merah. Sekarang, aku akan mendengarkannya dengan lebih seksama.

Aku menyambungkan kartu memori itu dengan kabel USB yang menggantung dari CPU komputer di ruanganku. Dalam beberapa detik, deretan file-file suara berjumlah cukup banyak terpampang di layar komputer. Aku membayangkan, zaman dahulu senior-seniorku harus berhati-hati memutar kaset yang hampir kusut pada sebuah tape usang, namun kini aku hanya perlu mengklik tetikus saja.

Aku mengklik file suara yang berjudul 13 April, lalu memasang headphone pada telingaku. Suara keramaian terdengar samar-samar, lama-lama semakin jelas. Setelah beberapa saat, suara yang lebih lantang muncul dan dapat kumengerti dengan mudah.

“Nama saya Putri Indra Ramadhani, mahasiswi Universitas Jayabumi Indonesia, jurusan psikologi semester sembilan. Sekarang saya akan mewawancarai salah seorang penduduk dari desa Sirna Maya, mengenai ritual ngijo yang menjadi tradisi unik di desa ini,” terdengar suara tawa anak-anak di kejauhan, sepertinya rekaman ini diambil di halaman rumah atau di pinggir jalan, “Pak Aryo, selamat siang, Pak. Apa kabar?”

“Alhamdulillah kabar saya baik-baik aja,” terdengar suara laki-laki, agak serak.

“Bapak adalah seorang tokoh agama di desa ini, betul?”

Laki-laki yang dipanggil Pak Aryo itu tertawa, suara tawa yang renyah.

“Yah, orang-orang suka bilang begitu. Tapi kalau dibilang tokoh sih, sebenarnya saya cuma pengurus mesjid biasa aja.”

“Nah, sebagai seorang pemuka agama, bagaimana pendapat Bapak mengenai ritual ngijo yang udah sering dilakuin penduduk desa ini?” mahasiswi bernama Putri itu terdengar begitu antusias.

Pak Aryo terdiam sejenak, mungkin sedang berpikir.

“Hmmm…, bagaimana ya? Sebenarnya dalam Islam, menyekutukan Allah adalah dosa yang amat besar. Dalam ritual ngijo kan, orang-orang meletakkan bubur kacang ijo di depan pintu rumah dengan harapan bisa menangkal datangnya Wa Merah. Kalau dilihat seperti itu ya, sepertinya meminta perlindungan pada benda mati, makanan pula.”

“Jadi Bapak menentang ritual itu?”

“Nah, tapi gini ya Mbak ya. Pada kenyataannya banyak hal yang nggak kita ketahui latar belakangnya dalam sebuah ritual. Ritual itu kan simbol, lantas ngijo itu simbol dari apa? Kalau melihat kenyataan selama ini, ternyata ngijo memang bisa menangkal Wa Merah, padahal polisi aja nggak bisa. Trus saya harus bilang apa? Saya cuma tau, ada sesuatu di balik itu, sesuatu yang lebih masuk akal daripada bubur kacang ijo ajaib,” Pak Aryo berdeham pelan, “jadi, mau dibilang syirik atau bukan, itu tergantung dari niatnya.”

Aku merasa tercubit mendengar perkataan Pak Aryo dalam rekaman itu. Ia bilang, ternyata ngijo memang bisa menangkal Wa Merah, padahal polisi aja nggak bisa. Memang benar-benar ini adalah kegagalan polisi, kegagalanku, sampai-sampai sekumpulan warga negara Indonesia mempercayai keselamatan mereka pada semangkuk bubur kacang ijo, makanan yang biasa kusantap untuk sarapan.

“Sebenarnya, dari mana asal mula adanya ritual ngijo?” tanya Putri.

“Itu baru, Mbak. Kira-kira enam atau tujuh bulan yang lalu, Pak Amir yang mencetuskan. Waktu itu kasus pembunuhan Wa Merah sedang ramai-ramainya. Beberapa hari setelah itu terbukti, warga yang menuruti saran Pak Amir selamat, sementara yang nggak, dua orang di antaranya jadi korban Wa Merah, dicongkel matanya. Seram kan?”

“Memang dari mana Pak Amir dapat ide ritual itu?”

“Saya nggak tau. Itu rahasia dia sampai sekarang. Dia selalu kabur kalau ditanya masalah itu. Orang-orang pun udah nggak peduli lagi, bagi mereka yang penting mereka bisa selamat tanpa harus pergi dari desa ini.”

“Satu lagi, Pak. Apa Bapak percaya kalau Wa Merah adalah sesosok makhluk gaib?”

Pak Aryo terdiam lagi.

“Itu juga saya nggak tau, Mbak. Orang-orang jadi berpendapat begitu karena selama ini polisi nggak pernah bisa menangkap Wa Merah. Mana mungkin kan, polisi nggak bisa nangkap satu orang aja? Dari situ orang-orang percaya kalau Wa Merah punya kekuatan gaib, bisa ngilang, nembus tembok, dan sejenisnya.”

Pak Aryo mungkin benar, polisi tidak seharusnya disalahkan kalau kami tidak bisa menangkap penjahat berilmu gaib. Mungkin sudah waktunya kepolisian memiliki divisi khusus yang memiliki kekuatan gaib juga—bapak-bapak bersorban yang suka menangkapi hantu di tivi mungkin bisa ikut di dalamnya. Tapi lupakan, aku tidak akan tertarik.

Putri kemudian mengakhiri wawancara singkat dengan Pak Aryo menggunakan basa-basi ala kadarnya, dan rekaman tanggal 13 April pun selesai. Sekarang aku mengklik rekaman tanggal 15 April. Muncul suara, kali ini dengan suasana yang lebih hening.

“Pak Amir, apakah benar Bapak yang menemukan ritual ngijo?” suara Putri terdengar ramah. Dari suaranya aku dapat membayangkan kalau wanita ini cukup enerjik dan mungkin cantik belia. Sayangnya sekarang itu sudah tidak ada artinya lagi.

“Mungkin, bisa dibilang begitu,” Pak Amir menjawab dengan enggan. Suaranya terdengar lebih tua daripada suara Pak Aryo.

“Kalau boleh saya tau, dari mana sih Bapak dapat ide ritual tersebut?”

“Itu rahasia, Neng. Nggak ada satu pun yang saya beri tahu. Yang penting sekarang kan orang-orang bisa selamat,” jawab Pak Amir, agak judes.

“Hmm…, atau mungkin Bapak dapat ide itu dari firasat? Wangsit, Pak?” Putri terdengar agak ngotot.

“Sudah saya bilang, itu rahasia. Mungkin dalam waktu dekat akan saya umumkan alasannya, tapi bukan sekarang!”

Suara menjadi hening sesaat. Mungkin Si Putri merasa tidak enak dibentak begitu oleh narasumbernya. Dasar amatir. Dia kan perempuan, harusnya bisa lah merayu kakek-kakek itu.

“Maaf, Pak. Kalau begitu, saya ganti aja pertanyaannya. Menurut Bapak, Wa Merah itu siapa? Apa benar dia punya kekuatan gaib?” tanya Putri dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya.

“Saya cuma bisa bilang, kalau dia adalah orang yang punya dendam terhadap desa ini,” jawab Pak Amir.

Tiba-tiba rekaman terputus. Sepertinya Pak Amir menolak untuk diwawancara lebih lanjut, atau mungkin Putri yang kehabisan semangat untuk meneruskan wawancara. Tanpa membuang waktu, aku menyetel rekaman selanjutnya, 19 April.

“Ibu Halima, apa pendapat Ibu mengenai ritual ngijo?” suara Putri terdengar tanpa aba-aba dulu.

“Itu perbuatan syirik, menyekutukan Allah. Nggak pantas kita memohon pertolongan pada semangkuk bubur, biarlah Dia saja yang menjadi pelindung kita,” terdengar suara perempuan yang disebut Bu Halima itu, suaranya lembut dan tenang.

“Jadi selama ini Ibu nggak pernah melakukan ritual itu?”

“Nggak pernah sama sekali. Dan Alhamdulillah, sampai sekarang Ibu masih baik-baik saja.”

“Ibu nggak takut didatangi Wa Merah?” tanya Putri memancing.

“Di dunia ini, banyak orang-orang jahat yang jadi kaki tangan setan. Ibu cuma bisa berdoa saja semoga dilindungi dari kejahatan orang-orang semacam itu.”

Tampaknya orang yang bernama Halima ini lebih religius dibandingkan orang-orang yang diwawancarai Putri sebelumnya. Wawancaranya dengan Bu Halima tidak begitu lama, ia mengakhiri rekamannya setelah Bu Halima membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Rekaman-rekaman selanjutnya adalah wawancara Putri dengan beberapa penduduk desa yang tidak terlalu menarik bagiku, hanya ungkapan ketakutan dan cerita-cerita mistis yang terlalu mengada-ada.

Di antara file-file tersebut, aku menemukan sebuah file yang berjudul Laporan 1. Judulnya agak berbeda dengan rekaman lain yang biasanya berupa tanggal perekaman. Merasa penasaran, aku pun mendengarkan rekaman itu. Suara kresek-kresek terdengar pelan, lalu sayup-sayup aku seperti mendengar suara orang sedang mengaji, pelan dan merdu. Tak lama kemudian, suara Putri terdengar menimpa suara-suara lainnya.

“Sekarang tanggal dua puluh tiga April, jam satu dini hari. Tadi malam, sekitar pukul sepuluh, rumah Pak Amir terbakar. Ada yang membakar, saya nggak tau apakah itu Wa Merah atau bukan, tapi orang-orang bilang begitu. Bu Izul selamat, tapi Pak Amir sendiri terkurung di dalam rumah dan baru bisa ditolong beberapa menit kemudian. Ia kehabisan nafas dan nggak tertolong. Pemadam kebakaran datang terlambat, mungkin karena desa ini letaknya jauh dari pusat kota,” Putri menghela nafas, sepertinya ia sedang dalam keadaan gugup, “…satu lagi, saya sudah bertemu dengan Wa Merah. Setelah kejadian kebakaran itu, saya pulang ke rumah Bu Halima karena lupa mengunci pintu. Saat itu, di depan pintu udah ada seseorang bermantel hitam, rambutnya panjang keriting, dan wajahnya kemerahan. Dia mengendus bubur kacang ijo yang saya taruh di depan pintu, lalu dia muntah. Saya ketakutan setengah mati, saya sembunyi di balik pohon. Setelah itu dia langsung menghilang. Seolah memiliki kemampuan supranatural seperti yang dibilang orang-orang. Sekarang rumah Pak Amir udah berhasil dipadamkan, dan saya nggak bisa tidur, saya duduk di dekat Bu Halima yang nggak pernah berhenti mengaji sejak berjam-jam lalu.”

Aku merinding mendengar cerita Putri. Aku ingat, aku sempat datang ke tempat kejadian saat peristiwa kebakaran itu baru saja terjadi. Memang, kebakaran itu tampaknya terjadi karena disengaja, tapi pembakaran itu terjadi dari dalam rumah, bukan dari luar seperti yang dikira masyarakat. Namun saat kejadian itu terjadi, rumah Pak Amir terkunci rapat, ia bahkan melakukan ritual ngijo. Kalau memang Wa Merah yang melakukannya, berarti memang benar ia memiliki ilmu menghilang dan menembus tembok. Apakah itu masuk akal? Sampai saat ini pun kejadian itu masih diselidiki.

Kuputar file rekaman terakhir yang ada di dalam kartu memori itu, file yang memiliki ukuran paling besar dan tidak berjudul. Kutunggu suara apapun yang muncul dari dalam rekaman itu, namun tak ada suara yang muncul. Apakah file-nya rusak? Kalau memang iya, tapi tidak ada pesan error di layar. Atau mungkin alat perekamnya tertekan tanpa sengaja?

Kubiarkan file rekaman itu dalam keadaan play dan speaker menyala, lalu aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke arah dispenser air. Kuambil sebuah gelas plastik, kumasukkan beberapa sendok kopi bubuk instan, lalu kuseduh menggunakan air panas dari dalam dispenser. Dari semalam aku belum tidur, dan sekarang masih harus terjaga untuk mengurusi kasus ini. Kalau seandainya aku seperti Wa Merah mungkin aku sudah menghilang saja untuk beberapa saat. Ah, padahal hari ini anakku yang masih SMP sedang berkutat dengan soal-soal ujian, tapi aku sama sekali tak pernah menemaninya belajar selama ini.

Clap! Clap!

Belum sempat aku menyeruput kopi yang kubuat, sebuah suara halus tiba-tiba saja terdengar dari speaker. Aku segera duduk kembali di depan komputer dan memasang headphone agar aku dapat mendengar suara itu dengan lebih jelas. Ketika headphone itu menempel di kedua telingaku, aku dikejutkan dengan sebuah suara lengkingan panjang dan memilukan. Suara itu suara perempuan, tapi kurasa bukan suara Putri.

“Laaa…. La ilaa ha illallah… Aaa…. Aaaa…!” suara itu, aku tahu, sepertinya suara Bu Halima yang tadi diwawancarai Putri.

Clap! Clap!

Suara aneh itu lagi. Terdengar pelan, namun seperti suara…, suara sesuatu yang keras sedang menusuk sesuatu yang lunak, berulang kali. Bu Halima terdengar menjerit lagi. Ia sedang kesakitan, aku yakin dari suaranya kalau ia sedang kesakitan, tapi mengapa? Di antara suara jeritan, aku dapat mendengar suara geraman—atau lebih tepatnya suara seseorang sedang menggerutu—sangat pelan yang nyaris tak terdengar. Seluruh tubuhku terasa merinding, ini benar-benar menakutkan. Apa yang terjadi dalam rekaman ini? Kenapa Putri bisa merekamnya?

Clap! Clap!

Suara jeritan Bu Halima perlahan-lahan memudar dan berhenti, yang terdengar hanya suara tusukan aneh itu dan suara gerutuan laki-laki yang tak dikenal. Aku mengeraskan volume suara di komputerku agar dapat mendengar suara gerutuan itu dengan lebih jelas, namun suaranya terlalu samar sehingga aku hanya dapat mendengarnya secara sepotong-sepotong.

“…aku…, Pak…, Bapak…. Lihat…, Bapak…, Ibu…, lihat… aku, lihat aku….”

Lama kelamaan suara gerutuan itu berubah semakin cepat, nafasnya memburu hingga terengah-engah, dan suara tusukan itu pun akhirnya berhenti. Lalu terdengar suara derik. Sesuatu yang berderik, apakah itu kursi, lemari atau tempat tidur? Setelah itu suara nafas lainnya ikut terdengar, diikuti oleh jeritan tertahan suara perempuan. Sepertinya ini suara Putri. Suara derik terdengar lagi, diikuti oleh suara langkah kaki yang menghantam lantai dengan kuat, seperti orang yang melompat. Laki-laki itu menggeram, lalu berteriak. Suara laki-laki ini menyeramkan, seperti suara T-Rex di film Jurassic Park.

“Tolong! Tolong!” suara Putri terdengar, lama-kelamaan semakin pelan, sepertinya ia berlari menjauh.

Suara langkah kaki yang semakin cepat terdengar berkejaran, lalu segera menghilang, tampaknya kedua orang itu bergerak menjauh dari alat perekam sehingga suara mereka sudah tidak terdengar dengan jelas lagi. Samar-samar aku dapat mendengar suara-suara berdebam, seperti benda-benda berat berjatuhan, lalu suara benda pecah dan sepertinya piring-piring juga berjatuhan. Lalu hening. Tak lama kemudian suara teriakan Putri terdengar diikuti dengan sebuah suara teriakan lelaki tadi, namun kali ini tidak terdengar seperti geraman, melainkan seperti teriakan ketakutan. Apa yang sedang terjadi?

Blam!

Suara hantaman yang sangat kuat terdengar dengan jelas, sepertinya sesuatu yang besar dan berat baru saja terjatuh ke atas lantai. Suara jeritan dan suara benda-benda berjatuhan tak terdengar lagi setelah suara keras tadi, namun tergantikan dengan suara isak tangis Putri yang terdengar samar-samar. Beberapa saat kemudian suara isak tangis itu terdengar semakin jelas, diiringi suara langkah kaki yang terdengar mendekat, lalu suara kresek terdengar, hening.

Keheningan itu bertahan hingga satu menit lebih. Aku menyeruput kopi yang ada di tanganku dan berkonsentrasi pada suara-suara halus yang mungkin terdengar dari rekaman itu. Tiba-tiba suara Putri terdengar dengan jelas, dengan suara yang bergetar.

“Sekarang… sekarang tanggal dua puluh tujuh April, pukul dua tiga puluh pagi. Saya… saya sekarang bersama Wa Merah,” suaranya tercekat, aku dapat mendengar ia menelan ludah, “…sebelumnya, Bu Halima, dia dibunuh. Dia tidur di sebelah saya, Wa Merah menusuk matanya berkali-kali, dengan garpu…, saya lihat, tapi saya nggak bisa apa-apa….”

Putri kembali menangis. Jadi ternyata ia berada di sebelah Bu Halima saat Wa Merah membunuh Bu Halima, dan ia merekam semuanya, suara garpu yang menusuk-nusuk mata, suara jeritan-jeritan itu? Apa yang ada di dalam pikiran perempuan ini? Apa dia sudah gila?

“Saya ketakutan, nggak bisa gerak… seharusnya, saya bisa nolong Bu Halima, tapi nggak bisa. Lalu Wa Merah juga mau bunuh saya, saya lari, tapi ketangkap. Saya siram dia pakai sisa bubur kacang ijo di panci, ternyata, ternyata dia memang takut dengan bubur kacang ijo. Dia lengah, saya dorong lemari, jatuh menimpa dia,” terdengar suara Putri yang sedang menarik nafas dengan susah payah, aku dapat membayangkan ia berusaha menyeka air matanya sendiri, “…konyolnya, sekarang saya seharusnya bisa lari dari sini, nyelamatin diri, tapi saya malah duduk di sini, di samping Wa Merah yang tertindih lemari. Sa… saya akan mewawancara Wa Merah.”

Mewawancara Wa Merah? Tepat dugaanku sejak awal, perempuan ini memang bodoh! Apa dia terobsesi dengan penelitian atau apa, aku tidak tahu, tapi yang jelas seharusnya dia segera pergi dari situ dan menghubungi polisi! Orang-orang pers pasti senang sekali kalau punya anggota orang gila seperti Si Putri ini.

“Wa Merah…, benar Anda Wa Merah?” tanya Putri.

Aku mendengar sebuah erangan, bukan jawaban. Aku sama sekali tidak punya keyakinan kalau Wa Merah mau diajak bicara—atau apakah dia bisa berbicara.

“Siapa… nama kamu, kalau boleh…?” tanya Putri lagi.

Suara erangan itu lagi, lalu Wa Merah menjawab dengan suara yang serak, seperti suara orang yang sedang sakit tenggorokan, “Bapak bilang… aku Sahid. Sahid, sekarang Bapak sudah jadi nabi, semalam malaikat datang ke kamar Bapak. Sahid, duduklah di kursi yang Bapak buatkan, kamu suka kan? Sahid, bilang sama Ibu, besok tolong buat bubur kacang ijo yang biasanya untuk sarapan ya? Sahid, Sahid, Sahid….

“Sahid…, kenapa kamu membunuhi orang-orang desa ini…?”

“Bapak, Ibu, dan Sahid, sarapan bersama. Bubur kacang ijo. Lalu Bapak dibunuh, orang-orang bunuh Bapak! Orang-orang! Orang-orang! Lalu Sahid jadi nabi pengganti Bapak. Sahid turunkan azab Tuhan, yang pedih! Pedih!”

“Jadi…, jadi semua ini kamu anggap azab? Balas dendam?”

“Bapak, Ibu…, rindu….”

“Sahid…?”

“Bapak, Ibu…, rindu….”

“Kenapa kamu takut… bubur kacang ijo?”

“Bapak, Ibu…, rindu. Sarapan, Sahid nggak habiskan sarapan. Maaf, Ibu. Kata Ibu, telan, telan makanannya, jangan hanya dikunyah. Bubur buatan Ibu enak, Sahid nggak mau telan, biar nggak cepat habis. Maaf, Sahid nggak ikut pergi ke surga, maaf. Jadi kesepian…, Sahid diusir, jauh, tapi dekat kubur Bapak dan Ibu.”

“Kamu… kesepian?”

“Bapak, Ibu…, rindu….”

Wa Merah atau Sahid mengulangi kalimat itu berulang kali. Aku yakin, pikiran orang ini sudah tidak normal. Dia mungkin dikuasai oleh rasa dendam, kesedihan, atau kerinduan yang luar biasa kepada kedua orangtuanya. Sekarang apa yang akan dilakukan Putri? Demi Tuhan, dia seharusnya segera pergi dari situ. Maksudku, bagaimana kalau Wa Merah memang memiliki ilmu menghilang? Tertindih lemari tentu bukan halangan yang sulit untuknya. Sial, aku mulai ikut-ikutan mempercayai takhayul.

“Kamu punya bapak? Ibu?” pertanyaan Wa Merah membuatku tersentak. Pembunuh gila ini balik bertanya pada Putri? Waw, aku rasa ia tak segila yang kupikirkan.

“Ibu. Ya, ibu tiri,” jawab Putri pelan, tampaknya ia sudah lebih tenang sekarang.

“Ibu.. tiri?”

“Semacam nenek sihir yang brengsek. Selalu berisik.”

“Nenek sihir…. Ibu sering baca dongeng dulu… Ibu bilang, Sahid, Nenek sihir itu nenek yang jahat. Kalau ada anak-anak yang nggak habisin makanannya, anak itu akan dimakan oleh nenek sihir.

Jadi sewaktu kecil Wa Merah sering dibacakan dongeng nenek sihir oleh ibunya? Itu agak di luar kebiasaan. Biasanya anak-anak yang tinggal di pedalaman desa akan lebih sering mendengar cerita-cerita tentang genduruwo, buto ijo, atau kolong wewe daripada nenek sihir pemakan anak yang seperti dongeng Eropa itu.

“Iya…, ibu saya yang sekarang adalah nenek sihir kaya gitu.”

“Aku… untuk aku… Ibu kamu, untuk aku…. Nggak apa-apa, walau nenek sihir, aku ingin… punya….”

Putri terdiam. Benar-benar perkataan yang memilukan. Setelah semua ini, aku harus segera meminta pendapat psikolog terhebat di negara ini mengenai kondisi kejiwaan Wa Merah, aku yakin ini akan jadi objek penelitian yang menarik.

Keheningan itu bertahan cukup lama, hanya beberapa kali dipecahkan oleh suara batuk Wa Merah dan isak tangis Putri. Kemudian suara ribut perlahan-lahan terdengar semakin nyaring. Suara apa itu?

“Sejak tadi…, di luar sana rumah-rumah udah terbakar. Saya nggak tahu apa penduduk yang lain selamat atau nggak. Saya bahkan nggak tahu apa saya akan selamat atau nggak. Tapi apapun yang bakal terjadi, kepada siapapun yang nemuin rekaman ini, tolong sampaikan pada ibu tiri saya, Nyonya Rafika,” Putri menarik nafas dalam, “…aku tau aku emang nyebelin, dan kamu juga nyebelin. Sebenernya kamu nggak terlalu beda cerewetnya sama almarhumah mama kandung aku, tapi justru itu. Justru itu aku jadi nggak suka dengan kamu. Nggak ada yang boleh meniru-niru Mama, dan kamu udah berusaha keras untuk menjadi mirip dengan mama kandung aku. Jadi aku…, aku… terima kasih.”

Sesaat kemudian suara berisik terdengar semakin jelas. Lalu aku dapat mendengar suara barang-barang berat berjatuhan, disertai dengan saura jeritan Putri yang melengking. Apa yang terjadi? Apakah rumah itu sudah terbakar? Ataukah Wa Merah berhasil melepaskan diri dan menyerang Putri? Dari dalam rekaman itu, aku mendengar suara-suara yang semakin lama semakin tidak jelas, aku mendengar perkataan-perkataan Wa Merah dalam bahasa yang aku tidak mengerti artinya. Bahasa yang tidak dimengerti siapapun dan tak bisa kudengar hingga selesai, karena saat itu juga rekamannya berhenti.

///

Aku berjalan pelan ke arah sel itu. Sel khusus yang disediakan untuk orang-orang seperti dia. Apa yang membedakannya dengan sel-sel penjara lain? Sebenarnya yang membedakannya adalah adanya kemenyan, berbagai jenis kembang, dan bumbu-bumbu dapur konyol yang diletakkan oleh anak buahku kemarin pagi. Tentu saja, di depan pintu sel juga diletakkan semangkuk bubur kacang ijo, yang konon bisa menahan dia untuk tidak kabur menggunakan ilmu supranaturalnya. Sial, terkutuklah tempat ini, sekarang kami telah membawa ritual ngijo dari desa ke kota.

Aku berdiri di depan Wa Merah, menatap dirinya yang meringkuk di pojokan, kami  dihalangi oleh jeruji-jeruji besi yang konon tak ada artinya. Ia selalu begitu, meringkuk tak bergerak. Pernah aku mencoba memberinya makanan, namun ia hanya mengunyah-ngunyahnya, lalu memuntahkannya kembali. Semenjak itu ia tak pernah mau makan lagi, tubuhnya tampak lemah, tak ada lagi kemarahan atau kegarangan yang pernah digambarkan oleh penduduk Sirna Maya. Mungkinkah karena ia sudah tak punya tujuan hidup lagi? Karena ia sudah selesai membalas dendam terhadap seisi desa itu?

“Pak, ini bubur kacang ijonya,” seorang sipir menghampiriku dengan membawa dua mangkuk kecil berisi bubur kacang ijo, “kenapa dua mangkuk Pak? Katanya satu juga udah cukup?”

“Nggak apa-apa. Supaya lebih ampuh. Saya takut dia bisa menghilang dari sini,” ucapku sambil menerima dua mangkuk itu.

Sipir itu segera pergi sambil membawa bubur kacang ijo yang sudah basi dan meninggalkan aku bersama Wa Merah, dan dua mangkuk bubur. Wa Merah semakin meringkuk di sudut, wajahnya tertutup rambut dan badannya menggigil ketika aku membuka pintu sel dan meletakkan satu mangkuk bubur di dalam selnya. Setelah aku mengunci kembali pintunya, aku duduk di depan jeruji besi sedekat mungkin.

“Ayo, Sahid, kita sarapan,” ucapku sambil menyuap sesendok bubur ke mulutku.

Ia menatap ke arahku saat aku sedang mengunyah, lalu menelan. Ia mengendus-endus, namun menarik wajahnya kembali. Pada suapanku yang kedua, ia akhirnya merangkak pelan dan mendekati bubur kacang ijo yang tadi kuletakkan. Ia mengendus-endusnya lagi, lalu menatap ke arahku.

“Mungkin nggak seenak buatan ibu kamu, tapi ini enak. Saya biasa makan ini untuk sarapan,” lalu aku menyuap lagi.

Dengan tangan yang gemetar, ia menggenggam sendok, lalu berusaha memasukkan satu sendok bubur ke dalam mulutnya. Usaha pertama gagal, sendoknya terjatuh. Namun ia mencoba lagi. Usaha kedua, ia berhasil memasukkan bubur kacang ijo itu ke dalam mulutnya. Matanya melotot, ia terbatuk-batuk, namun masih berusaha menahan dirinya untuk tidak muntah. Nafasnya tersengal-sengal, lalu ia mulai mengunyah.

“Enak?” tanyaku sambil tak berhenti makan.

Ia mengangguk pelan, masih berusaha mengunyah.

“Begitu? Jadi kamu nggak bisa makan kalau nggak ada yang menemani kamu makan?” gumamku, “Nah sekarang, kamu harus habisin sarapan kamu, Sahid.”

Aku meletakkan mangkuk bubur dan mengambil telepon genggam di saku celanaku. Aku ingin tahu perkembangan saksi terpentingku dalam kasus ini.

“Halo?” sebuah suara perempuan terdengar.

“Halo, Ibu Rafika, selamat pagi,” ucapku.

“Selamat pagi. Maaf, saya baru bangun tidur.”

“Maaf saya ganggu. Gimana keadaan Putri?”

“Dia.., dia masih koma. Belum sadar. Udah beberapa hari ini saya nungguin dia di rumah sakit, tapi belum ada tanda-tanda,” jawabnya dengan suara serak.

“Saya berharap dia segera sadar. Dia itu saksi penting, Bu.”

“Iya, dan dia anak saya.”

“Baik, tolong kabari saya kalau ada perkembangan lagi.”

“Iya, Pak.”

Setelah berbicara basa-basi dengan Bu Rafika, aku pun menutup teleponnya. Kalau saja aku bisa bertanya pada Putri apa yang terjadi pada saat kebakaran itu, mungkin aku bisa mendapat petunjuk yang lebih baik. Setidaknya, untuk saat ini aku bisa mulai menginterogasi Wa Merah.

Ketika pandanganku kembali ke dalam sel, Sahid sedang tersenyum padaku dan memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Ia sudah menghabiskan bubur kacang ijonya

 

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).