Tlng

Api di perapian itu bergoyang-goyang ketika aku menambahkan sebatang kayu bakar. Kucoba meniup-niup perapian itu agar apinya dapat menyala lebih besar, tapi tak berhasil. Tubuhku tetap menggigil, padahal aku sudah mengenakan sweater yang cukup tebal. Kurasa tubuhku sudah terbiasa dengan udara kota Karawang yang panas, sehingga sulit menyesuaikan diri dengan udara dingin Pangalengan. Sejak dua hari yang lalu saat awal libur kuliah, aku dan dua orang temanku, Norman dan Sonia, berlibur di perkebunan ini. Perkebunan kentang dan sayuran di selatan Bandung yang cukup luas ini—aku tak tahu berapa hektar tepatnya—adalah milik pamanku. Kami tiba di sini dengan dua sepeda motor, Norman berdua dengan Sonia dan aku sendiri. Lalu selama dua malam kemarin kami tidur di rumah yang besar dan luas milik Mang Indra, pamanku yang kaya raya namun tetap sederhana. Ya, sejujurnya, cuma di tempat ini aku bisa melihat perapian yang sesungguhnya, selain di film-film.

“Jang, dua teman kamu itu kemana?” tanya Mang Indra sambil berjongkok dan mengambil sebatang besi untuk mengatur posisi kayu bakar.

Namaku Andri, tapi pamanku—seperti orang Sunda kebanyakan—memanggilku Ujang.

“Jalan-jalan, Mang. Katanya mau menghirup udara pagi di perkebunan,” jawabku sambil menggosok-gosokkan kedua tangan.

“Kasihan atuh kamunya, masa ditinggal sendiri?”

“Nggak apa-apa kok, Ujang emang nggak mau ikut ke luar, habisnya dingin pisan!”

Sambil tersenyum ramah, Mang Indra menyodorkan sepiring besar jagung rebus yang tampak masih panas. Benar-benar cocok untuk sarapan pagi, apalagi bila ditambah dengan teh manis hangat. Setelah itu, Mang Indra pergi untuk melanjutkan pekerjaannya di kebun belakang.

Sudah berapa banyak jagung yang aku habiskan? Aku tak ingat, aku terlalu malas menghitung, tapi masih aku sisakan beberapa untuk Norman dan Sonia. Jam besar antik milik pamanku menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas ketika pintu ruang tamu itu terbuka dan Norman muncul dari baliknya. Tanpa basa-basi, matanya tertuju pada jagung rebus dan langsung menghampiri piring di hadapanku.

“Wah parah, masa gue cuma ditinggalin segini? Nanti Sonia gimana?” protes Norman.

“Santai, Bos. Masih banyak tah di dapur!”

“Dapur? Maksud lo di kebun?”

“Gampang lah, tinggal direbus lagi. Kalau nungguin kamu, bisa keburu dingin nanti,” ujarku, “Oh iya, Sonia mana?”

“Sonia? Tadi masih ngobrol-ngobrol sama… Pak Darwin… atau Darmin gitu, di kebun sana. Maklum, mahasiswi pertanian, seneng banget kalau udah ngewawancara petani, ” jawab Norman sambil melahap jagung rebus.

“Masa pacar sendiri ditinggal gitu aja?” ujarku menggodanya.

“Habis gimana lagi? Dia lama banget, ngobrol sama Pak Darwin itu, lo tau sendiri, mana gue ngerti? Lagian gue laper banget, kan belum sarapan,” jawabnya, kemudian ia meminum teh manis milikku.

“Kalau dia nyasar gimana?” tanyaku.

“Ah, santai aja. Paling juga dia nelpon, atau minimal SMS,” jawab Norman.

Aku memperhatikan ponselku yang tergeletak di atas karpet. Sinyalnya lemah sekali. Dalam keadaan biasa saja, sinyal di daerah pegunungan ini memang tidak terlalu bagus, ditambah lagi dengan banyaknya gangguan jaringan pada hampir semua provider ponsel belakangan ini.

Satu jam telah berlalu, kini sudah pukul sepuluh lewat lima belas. Meski hari semakin siang, namun udara semakin dingin. Kulihat ke luar jendela, ternyata langit sedang mendung, tampaknya sebentar lagi akan hujan. Beberapa tetes gerimis turun sambil menyenggol permukaan kaca jendela. Aku mulai khawatir pada Sonia. Dalam hati sebenarnya aku merasa kesal pada Norman, dia terlihat tidak bertanggung jawab. Padahal dulu ia begitu bersemangat menjadi sainganku. Ya, dulu kami memang sempat bersaing untuk mendapatkan Sonia, tapi aku kalah. Meski begitu, konyolnya aku masih tetap berteman baik dengan mereka berdua.

“Man, sebentar lagi ujan tuh. Apa kita nyusul Sonia aja?” tanyaku.

Norman terdiam sejenak, tapi kemudian bangkit dan mematikan televisi, “…iya, bener. Lama banget, dia,”

Sesaat sebelum kami sempat mengambil payung dan bersiap untuk keluar rumah, ponsel Norman berdering. Ia memperhatikan monitor ponselnya, tampaknya hanya SMS. Setelah beberapa saat terdiam, tiba-tiba ia melihat ke arahku dan melotot, wajahnya terlihat seperti orang yang ketakutan. Lalu ia segera menekan tombol di ponselnya dan menelepon seseorang. Seperti tak mendapat jawaban, ia melakukan itu sampai empat kali, dan kemudian menyerah.

“Sialan! Operator sialan!” umpatnya.

“Ada apa, Man?”

Ia tidak menjawab apa-apa dan hanya menyodorkan ponselnya padaku. Kubaca isi SMS itu dengan hati berdebar. Ini benar-benar pesan yang pendek, pendek sekali.

 

Tlng

 

Apa ini? Tlng? Tolong? Merasa bingung, kuperiksa rincian pengirimannya.

 

Sender:

Sonia hunny

+628785433211

Sent:

09:10:56

31-07-2008

Aku menahan nafas sambil mencoba memikirkan apa maksud dari pesan ini. Kalau tlng memang berarti tolong, itu artinya Sonia dalam bahaya! Tunggu dulu, sekarang sudah pukul sepuluh, tapi pesan ini dikirim pada pukul sembilan lebih sepuluh menit, itu adalah lima menit sebelum Norman tiba di sini. Itu sudah satu jam yang lalu! SMS ini terlambat, dan mungkin kami juga sudah terlambat. Aku merinding memikirkannya.

Aku menatap ke arah Norman sambil mengembalikan ponsel itu ke tangannya.

“Andri, ayo kita cari Sonia! Gue nggak tahu apa dia cuma bercanda atau beneran, tapi kalo SMS ini dikirim sejam yang lalu, harusnya sekarang dia udah pulang!” Norman baru terlihat panik sekarang, ia langsung menggenggam payung dan bersiap keluar.

“Man! Gimana kalau panggil polisi dulu?” aku memberi saran.

“Nggak usah, nggak ada waktu lagi! Kalo kita udah tau ada apa, baru telpon polisi!”

Aku mengangguk setuju dan mengikuti Norman ke luar rumah. Sekarang kami harus menyusuri ladang dan kebun yang luas itu di tengah gerimis yang semakin deras.

 

***

 

Tanah perkebunan yang memang becek, menjadi semakin licin setelah terkena air hujan. Ketika aku berlari dan melompati gundukan tanah di antara pohon wortel, aku terpeleset dan jatuh sambil bertumpu dengan tangan. Norman membantuku berdiri dan memberi isyarat untuk tak melambatkan langkah. Aku tak peduli tangan dan pakaianku kotor atau basah, kami harus menemukan Sonia. Payung yang kami bawa akhirnya kami tinggalkan begitu saja karena terasa menghambat. Kurasa saat ini isi pikiran kami berdua hampir sama: Kalau satu jam yang lalu Sonia meminta tolong, itu artinya kami sekarang sudah sangat terlambat. Apa yang terjadi dengan Sonia saat ia bersama Pak Darmin? Sejak bertemu dengan Pak Darmin sehari yang lalu, aku sudah merasa kalau ia memang agak aneh. Usianya sekitar empat puluh lima tahun, tapi tubuhnya masih kekar dan tegap. Mang Indra pernah bercerita padaku bahwa sebelum bekerja padanya, Pak Darmin pernah keluar-masuk penjara. Semoga saja semua itu tak ada hubungannya.

“Di sini! Tadi Sonia ngobrol sama Pak Darwin di sini!” ucap Norman sambil mengusap wajahya yang basah oleh hujan.

“Pak Darmin maksudnya? Tapi sekarang nggak ada siapa-siapa!”

“Mana gue tau?” ujar Norman pelan.

“Apa kita telepon polisi aja?”

“Percuma, Ndri. Lo kan tau, dari tadi ada gangguan jaringan telepon. Sial! Gara-gara SMS-nya dateng terlambat, kita jadi kebingungan gini.”

“Ini gara-gara kamu! Kalo seandainya kamu nggak ninggalin Sonia di sini, nggak akan jadi gini!” aku menjadi panik ketika memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada Sonia.

“Oh? Jadi lo nyalahin gue?” ucap Norman sambil melotot padaku.

Aku mencengkeram kerah bajunya dan menatapnya dalam. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Sonia, aku tak akan memaafkan kecerobohan orang ini. Kalau aku jadi dia, berada di posisinya, aku tak akan secuek itu untuk meninggalkan Sonia bersama dengan seorang laki-laki mencurigakan.

“Tenang, Ndri, sabar. Kalo lo kaya gini, Sonia nggak akan ketemu,” Norman berusaha menenangkanku.

Aku melepaskan cengkeramanku dan menarik nafas dalam.

“Gimana atuh?”

“Supaya cepet, kita harus berpencar!” Norman menunjukkan dua arah yang berlawanan sambil berlari pergi.

Aku berpisah dengan Norman dan berusaha mendaki tempat yang lebih tinggi agar dapat melihat perkebunan dengan lebih jelas. Ketika sampai di atas, aku sudah tak ingat lagi berapa pohon wortel dan pohon kol yang kuinjak, mudah-mudahan Mang Indra bisa mengerti alasanku. Aku perhatikan sekeliling. Dari tempat setinggi ini, seharusnya aku dapat menemukan Sonia dengan mudah di antara barisan tanaman yang tingginya tak lebih dari enam puluh senti. Kecuali…, kecuali kalau Sonia tergeletak di atas tanah. Aku merinding memikirkan kemungkinan itu.

Aku mencoba pergi ke rumah Pak Darmin yang tak jauh dari tempat itu. Aku tak tahu apakah rumah kecil ini memang tempat tinggalnya ataukah hanya tempat persinggahannya saja saat bekerja di kebun, tapi sehari yang lalu aku melihat orang itu duduk-duduk di tempat ini. Kucoba mengetuk pintunya, tapi tak ada jawaban apa-apa. Pintu ini terlihat rapuh, kalau seandainya aku ingin mendobraknya, pasti bisa terbuka. Kuurungkan niat itu, aku tak punya bukti untuk menuduh Pak Darmin. Setelah aku mencoba mengintip lewat jendela, aku punya dugaan bahwa rumah ini kosong. Aku tak tahu ada di mana Pak Darmin sekarang, tapi aku sadar bahwa yang sebenarnya kucari adalah Sonia.

Dari rumah itu, aku berjalan beberapa meter lagi dan mendaki dua buah undakan yang ditanami rumput basah. Tak lama kemudian aku menemukan sebuah bangunan kecil dari kayu yang tampak terisolir dari perkebunan. Dalam pikiranku, muncul secercah harapan. Betapa bodohnya aku, harusnya aku berpikir dari sudut pandang Sonia dalam keadaan normal. Mungkin saja saat ia melihat gerimis mulai turun, ia segera masuk ke bangunan itu untuk berteduh—atau mungkin untuk menghindar dari suatu bahaya. Aku segera berlari menuju bangunan kayu itu sementara hujan semakin deras.

Pintu kayu di hadapanku tampak rapuh dan tak terawat, tapi tertutup rapat. Saat aku berusaha untuk mendorong pintu itu, aku melihat sesuatu berwarna hijau yang terhimpit di bawah pintu, seperti kain. Kutarik benda itu dan aku menyadari sesuatu yang membuatku menahan nafas ketakutan. Kain berwarna hijau itu adalah sobekan sweater yang dipakai Sonia. Aku yakin itu, aku yakin karena aku melihat ia memakainya saat pergi dengan Norman tadi pagi, dan karena akulah yang membelikan sweater itu untuknya saat ia ulang tahun setahun yang lalu. Kuperhatikan sobekan kain itu, di tepinya ada bercak merah yang tampak seperti darah.

Segera kuambil ponsel dari saku celanaku dan kutelepon Norman. Aku harus minta bantuan, ini mulai tampak berbahaya.

Tut-tut-tut…

Masih gangguan! Sial! Dengan putus asa, kucoba menelepon nomor Sonia.

Tut-tut-tut…

Sama saja. Sangat menyebalkan! Kenapa di saat seperti ini mesti ada gangguan jaringan? Dengan nyaris putus asa, kucoba mengirim SMS pada Norman dan memberi tahu posisiku sekarang. Tapi percuma, SMS yang kukirim berkali-kali terus saja gagal, beberapa di antaranya tetap pending dan entah kapan akan sampai.

Sambil mengumpulkan keberanian, perlahan-lahan kubuka pintu kayu itu. Keadaan di dalam cukup gelap, maka kubiarkan pintunya terbuka agar mendapatkan cahaya dari luar. Apakah Sonia ada di dalam sini? Apa yang telah diperbuat oleh Pak Darmin padanya? Setelah melihat sobekan kain dan bercak darah di depan pintu, aku tak mampu lagi berpikir positif. Aku hanya punya dugaan pahit dan menakutkan: Pak Darmin mencoba memperkosa Sonia, dan kemudian karena ia melawan, ia pun membunuh Sonia—atau setidaknya melukainya sampai ia bersembunyi di ruangan ini. Kurasakan keringat dingin keluar dan air mata mulai mengambang di mataku saat khayalan itu muncul.

“Sonia…!” kucoba memanggil namanya.

Tak ada jawaban.

Ruangan itu hanya dipenuhi oleh kayu-kayu bakar dan beberapa alat pertanian yang tampaknya sudah rusak, tapi samar-samar aku dapat mencium bau aneh yang tidak menyenangkan. Kucoba sekali lagi memanggil Sonia, tapi tetap tak ada jawaban. Saat aku mengintip ke balik sebuah gerobak, aku melihat sesuatu. Sesosok jasad yang seolah mengamini semua dugaan burukku tergeletak di pojok ruangan. Sonia ada di sana. Tubuh telanjangnya yang tak pernah aku lihat sebelumnya, kini bersimbah darah. Ada banyak bekas sayatan di perutnya, juga lehernya yang menganga hampir putus. Aku menjaga jarak, aku tak berani menyentuhnya.

Kakiku terasa lemas. Aku berlutut dan menutup mulutku dengan tangan. Air mataku menetes dari kedua mata, sementara ususku terasa seperti ditarik paksa ke tenggorokan. Rasanya seperti perpaduan antara ingin menangis dan ingin muntah. Norman pasti juga akan shock kalau mengetahui hal ini. Ia pasti akan merasa bersalah sekali, pasti. Kalau seandainya dia tidak meninggalkan Sonia sendirian, atau setidaknya kalau SMS Sonia tidak datang terlambat, mungkin ini tidak benar-benar terjadi. Apa lagi yang bisa kulakukakn sekarang selain menyalahkan orang lain dan menangis tersedu-sedu?

Suara dering ponsel menyela suara tangisku. Kuambil ponsel di saku celanaku, dan berpikir kalau itu SMS balasan dari Norman setelah membaca SMS dariku yang sempat pending, tapi ternyata aku salah. SMS itu adalah pesan nyata dari orang yang kini tergeletak penuh darah di hadapanku.

 

Tlg

Sender:

Sonia kartika

+628785433211

Sent:

08:21:25

31-07-2008

Tlg? Tolong? Tampaknya satu lagi pesan yang tiba terlambat dari Sonia. Pesan ini satu karakter lebih singkat dari pesan Tlng yang ia kirim ke ponsel Norman. Tunggu dulu, pesan ini dikirim pada pukul delapan lewat dua puluh, kira-kira empat puluh lima menit lebih awal sebelum ia mengirim pesan ke ponsel Norman. Kenapa ia lebih dulu meminta bantuan kepadaku daripada kepada Norman? Lagipula ada sesuatu yang aneh. Kucoba urutkan semua kejadian ini. Norman tiba di rumah Mang Indra dan langsung memakan jagung rebus bersamaku, saat itu adalah pukul sembilan lewat sepuluh. Setahuku, perjalanan dari sini ke rumah Mang Indra paling lama adalah dua puluh menit. Itu artinya… Sonia mengirim SMS ini kepadaku saat Norman masih bersamanya!

Jantungku berdetak amat kencang ketika membuat kesimpulan itu. Aku berharap semoga saja dugaanku ini salah. Kucoba menelepon nomor Sonia melalui ponselku.

Tuuuut….

Kali ini tersambung! Kalau ponsel Sonia masih tersimpan bersama jasadnya yang ada di hadapanku sekarang, mungkin sebentar lagi aku akan mendengar nada dering ponselnya. Benar saja. Sedetik kemudian, dering ponsel Sonia terdengar di ruangan itu, tapi bukan dari jasad yang ada di hadapanku, melainkan dari belakangku, di dekat pintu masuk. Apakah ponsel Sonia terjatuh di dekat pintu? Kubalikkan tubuhku, dan ketika aku menoleh, aku melihat Norman, berdiri di samping daun pintu.

Ketika aku melihatnya, aku sudah tahu pikiran apa yang sepantasnya tertanam di benakku. Aku bukan orang bodoh yang akan tertipu bila ia mengatakan, gue nggak sengaja nemuin hapenya di kebun sana. Ponsel itu pasti sudah ada bersamanya sejak tadi, dan pesan Tlng yang masuk ke ponselnya adalah pesan yang ia kirim sendiri menggunakan ponsel Sonia—dan ia tahu pesan itu akan tiba terlambat. Tapi kenapa? Bukankah Norman dan Sonia saling menyukai? Walaupun kadang ia kurang perhatian pada Sonia, tapi aku sama sekali tak melihat alasan untuk melakukan perbuatan sekeji ini. Aku sudah kenal dengan Norman selama dua tahun. Aku sudah kenal dengan Sonia selama satu tahun. Aku rela membiarkan Sonia bersama Norman, karena aku merasa sudah mengenal mereka berdua, dan aku ingin melihat Sonia bahagia walaupun bersama orang lain. Kenapa sekarang semuanya hanya terlihat seperti mimpi buruk?

“Norman!” aku berteriak padanya sambil bangkit berdiri.

Ia maju dua langkah tanpa ekspresi dan menyodorkan dua buah sekop yang ia pegang di tangannya.

“Andri, bantuin gue dong. Gali yang dalam ya.”

 

***

Srook! Srook!

“Sori ya, Ndri. Selama ini gue ngebohongin lo.”

Srook! Srook!

“Seharusnya kamu jujur, Man.”

Srook!

Norman mengusap keringat di pelipisnya, dan lalu kembali menggali. Aku juga tak hentinya menggali.

“Kalo gue bilang bahwa gue punya kelainan jiwa, lo pasti bakal ngejauhin gue, ya kan Ndri?”

“Nggak juga. Mungkin ini semua bukan kemauan kamu.”

Srook!

“Nggak. Mungkin ini emang kemauan gue. Waktu gue jalan bareng Sonia di tempat sepi di perkebunan, insting gue bilang gue pengen banget nusuk dia, bunuh dia, nyembelih lehernya. Bukan karena gue benci dia, bukan karena gue mau dapet keuntungan, tapi itu dorongan perasaan gue.”

“Terus, kamu juga akan bunuh saya, Man?”

Srook!

“Nggak tahu. Kalau perasaan itu nggak muncul, ya berarti nggak. Jangan takut, ya.”

Aku meletakkan sekop itu dan mengusap keringat di belakang leher. Tanganku terasa pegal dan sakit. Lubang yang kami buat sudah cukup dalam rupanya.

“Udah lumayan. Kayanya udah cukup nih…,” ujar Norman.

“Man, kamu masih inget?”

“Apa?”

“Dulu, waktu kita bersaing untuk ngedapetin Sonia.”

“Hmm… iya. Masih inget. Konyol ya? Dua orang sahabat bisa ngecengin satu cewek yang sama,” ia tersenyum sambil pandangannya menerawang.

“Sejujurnya, bahkan waktu dia udah jadi pacar kamu, saya masih punya perasaan ke dia, kadang saya cemburu, kadang saya masih ngedeketin dia waktu kamu nggak ada. Saya juga pernah ngajak dia jalan bareng berdua, diam-diam.”

“Ya, udahlah. Nggak usah ngerasa bersalah gitu. Lagian sekarang udah nggak ada yang perlu kita rebutin lagi kan?” Norman tersenyum padaku sambil membunyikan jari-jari tangannya.

Aku menatap ke arah beberapa meter di belakang Norman, seperti ada seseorang yang kulihat, lalu aku mendelik dan terkejut.

“Mang Indra!” ucapku setengah berteriak.

“Hah?” Norman menoleh dengan cepat ke arah belakang.

BUKK!

Norman jatuh tersungkur setelah bagian belakang kepalanya kuhantam dengan sekop. Ia menggeliat-geliat dan berusaha bangkit. Ia membuka-buka mulutnya seperti ikan mas koki, entah ingin bicara atau ingin teriak, tapi aku tak akan memberikannya kesempatan untuk melakukan apapun.

BUKK!

Kuhantam ia sekali lagi dengan semua tenagaku yang masih tersisa. Ia jatuh terlentang. Kupukul kepalanya berkali-kali dengan sekop sampai darah segar mengalir keluar dari dahinya. Untuk jaga-jaga, kuambil batu besar di dekat lubang galian dan sekali lagi kuhantam kepalanya. Ia berhenti bergerak.

Nafasku tersengal-sengal. Paru-paruku terasa sesak dan parau. Aku berlutut sambil berusaha mengendalikan nafas. Sial, tampaknya aku harus menggali satu lubang lagi.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).