Tiga: Dari Atas Kursi Merah

 

Cerita ini adalah bagian dari seri Wa Merah

Dulu, sewaktu aku masih berumur lima tahun, aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Aku adalah anak tunggal, jadi tak ada yang menghalangi kasih sayang orang tuaku kepadaku. Kami bertiga hidup dalam kebersamaan yang erat. Kami makan bersama tiga kali sehari, sebab bagi kami makan bersama di meja makan adalah suatu keharusan. Ibu memasak di rumah, Bapak selalu menyempatkan pulang dari tempat kerjanya setiap jam dua belas siang, aku juga selalu ada di rumah, karena aku tidak sekolah. Pekerjaanku di rumah hanya sekedar bermain puzzle dan melihat buku cerita bergambar, sebab aku tak punya teman selain ibuku yang suka membacakan dongeng.

Pagi itu adalah hari minggu yang cerah, cahaya matahari masuk melalui sela-sela ventilasi di ruang makan, burung-burung parkit peliharaan Bapak berkicau dengan riang di dalam sangkar di halaman depan. Ada bubur kacang ijo dan roti tawar, Ibu membuatnya sendiri. Ia memang hebat dalam hal memasak, terutama memasak sarapan. Waktu itu aku duduk di kursi kesayanganku, kursi dari kayu berwarna merah yang dibuatkan oleh bapakku di saat senggangnya. Tapi saat itu waktu senggang Bapak sudah berkurang dari biasanya, sebab dia sudah menjadi nabi. Pada suatu malam malaikat mendatanginya, dan semenjak saat itulah ia diangkat menjadi nabi, semenjak saat itu juga ia menjadi lebih sibuk.

Tapi seperti yang tadi kukatakan, waktu itu adalah hari minggu, jadi Bapak sedang libur. Sebelum menyantap bubur, Bapak memimpin doa menggunakan bahasa yang aku dan Ibu sama-sama tak mengerti. Katanya itu bahasa Tuhan. Setelah itu ia pun menyantap bubur yang ada di hadapannya. Ia tersenyum padaku, Ibu juga. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana senyum mereka saat itu: begitu indah seperti yang ada pada lukisan-lukisan di buku bergambar. Bapak tetap tersenyum padaku ketika menyuap bubur, bahkan ketika mengunyah dan menelannya. Gerakan rahangnya begitu pelan, dengan bibir yang ditarik ke samping, membuat pipinya yang kemerahan agak menggembung. Begitu pula dengan Ibu, ia tampak begitu menikmati bubur yang ia buat sendiri, sementara sekali-sekali ia menyuapi aku. Ia menegur aku karena aku lama mengunyah dan tidak juga menelan, namun tetap dengan penuh senyuman ia mengatakannya. Katanya aku punya kebiasaan buruk seperti itu sejak aku masih sangat kecil: mengunyah makanan terlalu lama dan tidak menelannya.

Senyuman mereka di pagi itu akan terus terpatri dalam ingatanku, begitu pula dengan rasa bubur kacang ijo yang sedikit pahit. Bagiku senyuman mereka abadi, bahkan ketika pada suapan kedua Bapak terjatuh, kepalanya menghantam meja, dan tangannya terkulai lemas. Pada suapan ketiga Ibu terjatuh ke samping, tubuhnya lepas dari kursi dan kemudian terbaring di atas lantai. Dari mulut mereka keluar cairan putih, mata mereka terbuka dengan lebar. Aku ingat, saat Ibu merayuku untuk menelan bubur, ia sempat berkata, “Ayo Sahid, kita akan ke surga.”

Saat itu aku masih mengunyah bubur di atas kursi merah kesayanganku, dan tidak juga menelannya. Apalagi saat Ibu terjatuh ke lantai, tak ada lagi yang mengingatkanku untuk menelan makanan. Aku terus mengunyah, hingga sekumpulan orang melempari rumahku dengan batu dan segala macam benda. Mereka bilang Bapak harus dihukum mati, tapi aku bilang pada mereka bahwa Bapak sudah mati sendiri. Ketika orang-orang dewasa mengamuk dan membawaku ke rumah Pak Lurah, lalu ke rumah sakit, bubur beracun itu masih ada di mulutku, dan tidak sedikitpun kutelan kecuali sedikit cairan hasil kunyahanku yang terasa agak pahit itu.

Sekarang sudah dua puluh tahun berlalu, aku masih saja kesulitan menelan makanan. Aku mengunyah makanan tiga kali lebih lama dari yang dilakukan orang lain. Kadang juga aku sama sekali tidak menelannya, setelah kukunyah, kukeluarkan lagi dari mulutku. Setiap kali aku berusaha menelan makanan cepat-cepat, tenggorokanku terasa sakit, kepalaku pusing, dan aku melihat Bapak yang sedang berdoa dengan bahasa Tuhan. Karena kesulitan menelan makanan itu, aku diasingkan oleh orang-orang, sehingga semenjak umurku tujuh belas tahun aku tinggal sendiri di pekuburan.

Di pekuburan semuanya tenang, semuanya nyaman. Aku diupah dan diberi makan dua kali sehari karena membersihkan batu nisan atau menyapu daun-daun yang selalu saja berjatuhan setiap hari. Aku sering melihat arwah Bapak dan Ibu setiap malam duduk di atas pohon-pohon besar di pekuburan ini, mereka sengaja menggoyang-goyangkan pohon sehingga banyak daun yang berjatuhan, dan aku akan tetap punya pekerjaan karena itu. Kadang juga pada malam hari aku melihat beberapa anak muda yang tidak sengaja melewati tempat ini, lalu aku akan membuat mereka lari terbirit-birit hanya dengan sedikit suara atau kibaran kain putih. Benar-benar aneh. Aku masih saja tidak mengerti mengapa orang-orang bisa takut dengan tempat ini, tempat yang hanya dihuni oleh orang-orang mati ini. Bagiku, orang-orang hidup jauh lebih berbahaya daripada orang-orang mati, oleh karena itulah aku merasa aman tinggal di tempat ini. Setidaknya orang-orang mati tidak akan membuat Ibuku meracuni anggota keluarganya sendiri.

Pagi ini aku terbangun dengan sesuap nasi goreng di dalam mulutku. Aku ingat, semalam Pak Amir yang merupakan penanggung jawab pekuburan ini memberiku sebungkus nasi goreng, aku mengambil satu suap, mengunyahnya lama sekali sampai akhirnya aku ketiduran. Aku mengambil kantong plastik di sisi kasur tempatku tidur, lalu mengeluarkan nasi goreng itu dari mulutku. Mulutku terasa asam. Dengan perlahan aku mengambil segelas air putih di samping kasur dan meneguknya perlahan. Aku segera keluar ruangan tanpa mandi atau mencuci muka, kubiarkan kaos oblong dan celana kain yang kukenakan tampak lusuh dan kusut.

Daun-daun bertebaran lagi di area pekuburan, bahkan di depan ruangan kecil tempatku tinggal. Pasti ini pekerjaan Bapak dan Ibu lagi. Seperti pada pagi-pagi lainnya, aku mengawali hari dengan berdoa di kuburan Bapak dan Ibu, tentu saja aku memilih tinggal di pekuburan ini karena di sinilah mereka dimakamkan. Aku memperhatikan keadaan kuburan Bapak dengan seksama. Seperti yang kuduga, retakan di tanah kuburan Bapak terlihat semakin lebar. Sudah seminggu ini retakan misterius itu muncul, nyaris membentuk garis lurus dari tanah bagian kepala sampai bagian kaki. Pak Amir mengatakan kalau retakan itu muncul karena musim kemarau yang tidak kunjung berhenti. Tapi aku mengetahui sesuatu yang tidak diketahui siapapun, bahwa Bapak sebentar lagi akan bangkit dari kubur, dan retakan itu adalah pertandanya. Bapak adalah nabi, dan karena sekarang sudah hampir tiba hari akhir, maka ia harus bangkit kembali untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang mendurhakainya dulu, yang mengatainya sebagai nabi palsu, dan tentu saja untuk menyelamatkan siapapun yang percaya kepadanya.

Aku berjongkok di depan kuburan Bapak, lalu menepis selapis debu yang menempel di batu nisannya. Kuburan Bapak dan Ibu yang terletak bersebelahan hanyalah berupa gundukan tanah dan batu nisan berwarna abu-abu; tanpa hiasan, tanpa marmer mengkilap, tanpa dupa. Kuburan mereka tampak tak terurus karena seluruh penduduk desa membenci mereka, walaupun sebenarnya Bapak dan Ibu tak pernah sedikitpun membenci penduduk desa ini. Bukankah Bapak dan Ibu meracuni diri mereka sendiri untuk menebus dosa para penghuni desa yang durhaka? Hanya aku saja yang rajin membersihkan batu nisan dan mencabuti rumput liar yang kadang tumbuh di atas gundukan tanah mereka, oleh karena itu aku harus tetap berada di sini hingga suatu saat Bapak bangkit kembali dari kubur.

Lamunanku terpecah ketika aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat di belakangku. Awalnya aku mengira bahwa yang datang adalah Pak Amir, tapi ternyata bukan. Orang itu adalah laki-laki yang beberapa hari lalu sempat kulihat mengunjungi pekuburan ini, laki-laki yang berkepala botak dan selalu memakai pakaian serba putih mulai dari kemeja sampai celananya, hanya sepatunya saja yang berwarna hitam. Laki-laki itu berdiri di sampingku, tertunduk khidmat menatap kuburan Bapak. Siapa dia? Apakah dia salah satu keluargaku yang tinggal di luar desa? Aku tak pernah mengenalnya, lagipula semua sanak keluargaku membenci dan mengutuk kami saat Bapak diangkat menjadi nabi. Beberapa lama kami terdiam, dan tak sekalipun ia menyapa atau bahkan menatap wajahku.

“Buatlah persiapan,” ucap lelaki itu.

“Persiapan?” tanyaku.

“Kamu tahu kan?” ia berjongkok di depan kuburan Bapak, lalu menyentuh bagian retakannya, tetap tanpa menatapku.

“Kebangkitan Bapak?” tanyaku ragu.

Ia menatap ke langit, lalu mengangguk pelan, “buat yang meriah, semeriah mungkin. Tiga hari lagi, tiga hari lagi.”

“Siapa kamu?” tanyaku lagi.

Ia tidak menjawab, ia hanya bangkit berdiri dan kemudian membelakangiku. Lalu dia menghilang. Ia menghilang begitu saja, tanpa kepulan asap atau sambaran petir, tapi hanya seperti kedipan mata. Aku merasa kaget atas keanehan itu, tapi aku lebih kaget lagi dengan perkataan yang ia ucapkan sebelumnya. Tiga hari lagi Bapak akan bangkit, katanya? Tapi dari mana ia bisa tahu? Apakah ia seorang pengikut Bapak? Ah, bukan, Bapak tak punya pengikut. Aku tahu, ia pasti malaikat! Ia pasti malaikat yang membawa kabar bahagia untukku!

Aku begitu bahagia, mungkin ini adalah hari paling bahagia sepanjang hidupku. Tiga hari lagi aku bisa bertemu Bapak, dan mungkin Ibu juga. Selama ini aku hidup sendirian, kesepian, dan selalu dituduh sebagai anak Dajjal, tapi sebentar lagi keadaan akan berubah. Bapak akan bangkit, dan semua orang akan bersujud di hadapannya! Tanpa sempat menyapu dedaunan atau mencabuti rumput, siang itu aku langsung berangkat ke pasar. Kupecahkan celengan tanah liat yang kusimpan sejak tiga tahun lalu, dan untunglah uangnya masih laku. Dengan uang itu aku membeli banyak hal untuk persiapan menyambut kebangkitan Bapak: kembang yang banyak supaya wangi, rokok kretek favorit Bapak, kopi pahit, gula, teh, jajanan pasar, dan baju bekas yang masih bagus untuk menggantikan kain kafan.

“Nak Sahid, kok tumben kamu belanja sebanyak itu? Ada apa nih?” tanya Pak Amir dengan heran ketika aku kembali ke pekuburan sambil membawa seplastik belanjaan.

“Bukan apa-apa, Pak. Saya cuma akan kedatangan tamu,” jawabku seadanya.

“Oh…, keluarga jauhmu?”

“Iya. Keluarga,” jawabku sambil tersenyum.

“Ya sudah. Saya cuma mau pesan, hati-hati dengan kesehatanmu, akhir-akhir ini banyak yang sakit di desa,” ucap Pak Amir sambil menepuk bahuku.

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Setelah itu Pak Amir segera pergi meninggalkan pekuburan, aku langsung masuk ke dalam kamar dan menyimpan barang-barang. Untunglah Pak Amir tak memeriksa barang-barang apa saja yang kubeli, aku harap ia tak curiga.

Malamnya, adalah malam bulan sabit. Aku belum tidur, aku duduk di depan kuburan Bapak sambil diterangi cahaya dari lampu petromak, lalu aku menaburkan kembang yang tadi kubeli. Aku ingin, saat Bapak keluar dari dalam kubur nanti, ia merasa nyaman karena mencium bau yang harum. Saat ia keluar, aku akan langsung memakaikannya baju baru. Kalau seandainya Ibu juga bisa keluar, aku sudah menyiapkan pakaian perempuan yang kubeli di pasar loak, sebuah daster bermotif batik yang menjadi kesukaan Ibu dulu. Aku senang sekali, akhirnya aku punya kesempatan untuk membahagiakan mereka setelah kukira semuanya telah terlambat.

Aku membawa serta kursi merah dari kayu yang dibuatkan Bapak saat aku masih kecil dulu. Kursi itu ternyata masih kuat, sehingga masih bisa kududuki sekarang. Kursi ini adalah pemberian Bapak sewaktu aku berulang tahun yang ke lima, aku masih ingat walaupun samar-samar. Saat itu Ibu selalu protes karena aku tidak bisa diam saat ia membacakan dongeng, sehingga Bapak mendapatkan ide untuk membuat kursi yang menarik untukku. Setelah ada kursi merah ini, aku jadi senang duduk di atasnya, sehingga Ibu bisa membacakan dongeng tanpa repot-repot menyuruhku duduk rapi.

Ketika di suatu pagi Bapak menceritakan pengalamannya didatangi malaikat pun, ia menyuruhku duduk di kursi ini. Di atas kursi ini, aku mendengarkan pengakuan Bapak bahwa ia telah diangkat menjadi seorang nabi, dan untuk pertama kalinya pula ia berbicara dalam bahasa Tuhan, bahasa yang sampai sekarang tak kumengerti artinya.

“Sahid, semalam Bapak didatangi oleh malaikat. Bapak benar-benar senang, malaikat itu memberi tahu semua rahasia kehidupan, dan Bapak ditugaskan untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Kamu pasti bangga, Nak, bapakmu ini sekarang sudah menjadi nabi.”

Aku mengambil sebungkus nasi uduk dari dalam kantong plastik. Nasi ini adalah jatah makananku malam ini yang diberikan oleh Pak Amir. Biasanya, aku jarang sekali menghabiskan nasi bungkus, sebab aku harus bersusah payah untuk menelan setiap suapnya. Tapi kali ini, aku akan berusaha untuk menghabiskannya, sebab tak ada lagi yang perlu ditakuti.

Kubuka bungkusan dari kertas itu, isinya nasi uduk dan paha ayam goreng, serta sedikit sambal. Kugunakan tangan kananku untuk mengambil sesuap nasi dan kumasukkan ke dalam mulutku. Kukunyah perlahan. Biasanya aku membutuhkan waktu sampai sepuluh menit hanya untuk mengunyah satu suapan, tapi kali ini akan kupaksa untuk bisa lebih cepat. Aku mengunyah selama kurang lebih tiga menit, lalu kupaksakan untuk menelannya. Ketika nasi itu masuk ke dalam tenggorokan dan turun semakin dalam, aku merasakan sakit luar biasa di sekujur leherku, seperti orang yang dicekik. Nafasku sesak dan terengah-engah, pandanganku mulai kabur, lalu aku mendengar suara ayah yang membaca doa dalam bahasa Tuhan, doa yang sama yang ia ucapkan setiap kali akan makan bersama. Kupejamkan mataku, lalu aku menarik nafas sambil menelan nasi itu seluruhnya. Seperti ada belenggu yang terlepas ketika aku berhasil menelannya, membuatku tertawa terbahak-bahak sambil meneteskan air mata. Ibu, lihatlah aku, Ibu. Aku berhasil menelan makanan seperti yang kau ajarkan. Seandainya, seandainya saja aku bisa melakukan ini dua puluh tahun yang lalu, mungkin aku tak akan ada di sini sekarang, mungkin aku akan ikut bersama kalian dan tak mungkin merasa kesepian seperti ini.

Malam itu aku tidur di kamar seperti biasa. Tadinya aku ingin tidur di depan kuburan Bapak dan Ibu, tapi aku takut ada orang yang melihat dan merasa curiga, aku tak ingin rencanaku gagal. Berbeda dengan pagi-pagi yang lain, pagi ini aku terbangun dengan mulut yang kosong, tanpa ada sisa nasi yang bersarang di rongga mulutku seperti biasanya. Ini mungkin adalah pagi terbaik dalam hidupku, sebab nanti malam Bapak akan bangkit, dan aku benar-benar tak sabar. Dengan penuh semangat, aku mencuci muka dan menggosok gigi, lalu segera keluar dari ruangan kecil tempatku tinggal itu.

Di area pekuburan, aku tak melihat ada sehelai daun pun yang terjatuh. Tampaknya Bapak dan Ibu tak sempat menggoyang-goyangkan pohon, sebab mereka sibuk untuk acara nanti malam. Ketika aku berjalan ke arah kuburan Bapak dan Ibu, aku melihat ada sesuatu yang aneh di tempat itu. Kerumunan orang sedang berkumpul di kuburan mereka, tampaknya orang-orang itu adalah penduduk desa ini, tapi apa yang sedang mereka lakukan? Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, aku segera berlari sekuat tenaga ke arah kerumunan orang itu, dan apa yang kulihat selanjutnya membuatku terkejut bukan main.

Mereka, orang-orang itu, menggali kuburan Bapak dan Ibu. Orang-orang tua memegang sekop dan menginjak-injak tanah suci tempat pembaringan Bapak dan Ibu, lalu mereka menggalinya, membuat lubang yang dalam serta merusak kembang-kembang yang baru saja kutaburkan semalam. Apa maksudnya semua ini? Mengapa mereka melakukan hal itu? Aku berusaha menerobos kerumunan itu dan ingin mencegah mereka, tapi beberapa orang menghalangiku dan memegangi tanganku, salah satunya adalah Pak Amir.

“Maaf, Sahid, kuburan Bapak dan Ibumu harus kami pindahkan dari sini,” ucap Pak amir sambil mengenggam pergelangan tangan kananku dengan kuat.

“Kenapa Pak? Kenapa?” aku berusaha memberontak, tapi mereka semakin erat memegangiku.

“Sudah seminggu ini di desa ada wabah penyakit dan berbagai bala bencana. Para sepuh percaya bahwa hal itu karena adanya kuburan nabi palsu, bapakmu, di dekat desa. Makanya kami mau memindahkan kuburan mereka ke tempat yang jauh dari pemukiman warga,” ucap Pak Amir.

“Jangan! Jangan Pak!” teriakku marah.

“Nggak usah, Pak Amir, kita bakar aja kedua mayat ini. Kalau kita pindah, cuma akan bawa petaka di tempat lain,” ucap seorang laki-laki bertopi tudung yang sedang menggali kuburan Ibu dengan tangan dan sekopnya yang najis.

“Iya, betul Pak!” ucap lelaki yang lain.

“Sialan! Mati kalian! Bapak akan bangkit!” ucapku sekuat tenaga.

“Sudah, sudah. Akan kita apakan mayat-mayat ini, kita rapatkan lagi nanti, yang jelas sekarang pindahkan dulu mayatnya ke samping musholla,” ucap Pak Amir pada lelaki itu.

“Kalian bakal menyesal! Kalian bakal dihukum!” teriakku pada mereka.

Tiga orang warga yang berbadan cukup kekar memegangiku, lalu mereka menyeretku dengan paksa. Aku sudah berusaha melawan sekuat tenaga, tapi tubuh lemahku ini tak bisa berbuat apa-apa dibandingkan kekuatan tiga orang itu. Aku diseret semakin jauh dari kuburan Bapak dan Ibu, dan sekarang aku dapat melihat jasad Ibu yang berbalut kain kafan mereka angkat keluarkan dari dalam lubang kubur. Aku berteriak sekuat tenaga, berharap mereka mau menghentikan tindakan mereka. Tapi lama kelamaan aku hanya bisa menangis tersedu-sedu, sambil tubuhku dibawa semakin jauh, lalu dilempar ke dalam kamarku sendiri.

Aku terjerembab di atas kasur, lalu ketiga orang itu segera keluar kamar dan menutup pintu. Aku berlari mengejar mereka, namun ternyata pintunya telah dikunci. Kupukul-kupul, kucoba mendobrak, namun sia-sia saja. Aku terduduk bersandar pada pintu sambil menangis sejadi-jadinya. Bukankah seharusnya malam ini Bapak akan bangkit? Bukankah seharusnya malam ini aku bisa melepaskan kerinduanku selama dua puluh tahun? Bagaimana dengan baju baru untuk Bapak, rokok kretek, teh dan kopi yang sudah kubeli kemarin? Bagaimana dengan kursi merah dari kayu itu?

Ketika aku sedang meratap dan menangis, aku merasa ada seseorang yang sedang mengawasiku. Kuangkat kepalaku, aku melihat laki-laki berbaju putih dan berkepala botak sedang duduk di atas kursi merahku yang kuletakkan di sudut kamar. Itu malaikat! Dia datang!

“Jangan menangis,” ucapnya tanpa memandang wajahku.

“Tapi… tapi mereka sekali lagi mendurhakai Bapak! Mereka kejam!” ucapku.

Ia bangkit dari kursi merah, lalu berjalan pelan ke arahku, “Banyak nabi yang disiksa atau dibunuh, tapi itu tak mengurangi kemuliaan mereka. Dan saat itu, kau tahu apa yang akan terjadi?”

“Apa?” tanyaku sambil menyeka air mata.

“Azab. Tuhan akan mengirimkan azab kepada orang-orang yang membunuh dan mendurhakai utusan-Nya,” jawabnya tenang.

“Tuhan akan memberi azab untuk penduduk desa ini?” tanyaku penasaran.

“Ya, tapi Tuhan selalu bekerja melalui perantara,” lalu ia semakin mendekat ke arahku dan berjongkok di hadapanku, “dan kau tahu, siapa yang akan jadi perantara?”

Tubuhku gemetar dengan hebat ketika memikirkan jawaban dari pertanyaan itu, “aku?”

Ia menatap mataku dalam-dalam, seolah ia bisa masuk ke relung jiwaku yang paling dalam, “ya, kaulah perantaranya. Mulai sekarang, kau adalah nabi.”

Aku menahan nafas. Air mataku berhenti menetes, namun tubuhku masih gemetar. Jadi sekarang, aku akan menggantikan Bapak menjalankan tugasnya? Aku akan menurunkan azab pada penduduk desa yang durhaka ini? Apa yang akan kupilih: hujan batu, banjir besar, kebakaran massal, atau gempa bumi? Yang mana? Yang mana? Malaikat tersenyum lebar di hadapanku, seolah menyetujui apapun yang ingin kuperbuat. Bapak, Ibu, lihatlah aku, suatu saat aku akan memimpin dunia dari atas kursi merah kesayanganku itu.

 

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).