Category: Cerpen

Lompatan Si Komang

Si Komang
Dua belas tahun yang lalu, ayahku pernah meninggal. Aku masih ingat, peristiwa itu terjadi satu hari sebelum ulang tahunku yang ke sepuluh. Biasanya ba’da Maghrib ayahku pulang dengan tubuh bercucuran keringat (ia sengaja berjalan kaki dari kantor demi menghemat ongkos), lalu ia akan meminum segelas besar air putih di ruang makan dan mengajak ibuku mengobrol. Namun malam itu ia pulang dalam keadaan yang berbeda. Tubuhnya memang penuh keringat, tapi tangan kanannya tidak memegang gelas. Ia malah memegangi dada kirinya yang kembang kempis, sementara napasnya terengah-engah, lalu ia jatuh dari kursi dengan suara berdebam yang keras.

(more…)

Lemari Pemakan Rambut

 

Widya tidak paham kenapa lemari tua itu selalu memakan rambutnya. Setiap kali ia duduk bersandar di pintu lemari, satu atau dua helai rambutnya selalu terjepit dan putus. Pagi tadi, lemari itu kembali memakan rambutnya sebagai sarapan. Saat itu Widya sedang bersolek sambil duduk membelakangi lemari, dan ketika ia bangkit berdiri, ia menjerit kesakitan karena kepalanya terasa ditarik dengan kuat. Ia menoleh. Dua helai rambut hitam panjangnya menjuntai di sela pintu lemari. (more…)

Lelaki yang Menunggu Bayi

Menara listrik di tepi jalan terlihat seperti sepasang tanduk iblis yang sedang memintal benang. Telunjukku gelisah mengetuk-ngetuk setir mobil, sementara kakiku pegal menginjak kopling untuk menghadapi kemacetan tanpa ujung. Ketika aku berhasil melewati sumber kemacetan itu, aku melihat sebuah truk terguling di pinggir jalan. Di bagian belakang truk itu terdapat lukisan perempuan bahenol dengan huruf-huruf yang ditulis menggunakan cat merah: DEMI ISTRI RELA MATI.

Instingku menyimpulkan semua itu sebagai pertanda. Apakah sesuatu yang buruk terjadi pada istriku? Di dalam kota, mobilku kembali terhenti oleh lampu lalu-lintas yang menatap merah dan angka digital yang berhitung mundur, seolah bila angka itu habis maka bencana besar akan terjadi.

Ini adalah pertama kalinya istriku melahirkan dan aku datang terlambat. Aku tak menyangka ia akan melahirkan secepat ini. Terakhir kali kami bertemu tak ada tanda-tanda yang meyakinkan. Tetangganya, Pak Jamal dan Bu Jamal, membawa istriku ke bidan ketika mendengar ia menjerit-jerit sendirian di dalam kamar. Namun bidan menolaknya, ia menyarankan agar istriku dibawa ke rumah sakit karena tak dapat melahirkan secara normal. Pak Jamal meneleponku ketika aku masih melakukan meeting di luar kota. Dengan suara yang terbata-bata karena kebingungan, ia memintaku agar segera datang.

(more…)

Toilet

1-1242736074LgREPsykopainted

Mulanya cuma keran wastafel yang terbuka sendiri. Air mengucur deras tiba-tiba; seorang karyawan yang sedang mengeringkan tangan melompat kaget. Ia segera keluar dari toilet kantor dengan tubuh merinding dan lutut lemas. Sambil setengah berlari, ia masuk kembali ke dalam ruang kerja, kembali bersama kami yang sedang bekerja lembur mengejar tenggat.

Ketika ia menceritakan pengalamannya dengan terbata-bata, aku tak menganggap serius. Ketakutan dalam diri seseorang bisa membuat segala hal di dalam toilet jadi menakutkan, misalnya pengering tangan yang menyala sendiri karena tersenggol lengan, pintu kamar kecil yang sulit terbuka karena berkarat, atau (more…)

Terbenam

Sebagian orang mengenakan bikini atau celana renang, sebagian lagi mengenakan kaos dan celana pendek khas pantai, tapi semuanya menghadap ke arah yang sama: ke barat. Langit sudah mulai bersemu jingga ketika kami tiba di tepi pantai yang ramai itu. Tanggal merah di hari Kamis ini telah menciptakan hari libur baru selama empat hari bagi kebanyakan orang. Ayahku menyewa sebuah kamar yang letaknya tak jauh dari tepi pantai menggunakan uang tabungannya. Niatnya sudah bulat sejak sebulan yang lalu: bila uangnya sudah cukup, ia akan membawa kami melihat matahari terbenam di pantai.

Semua ini bermula dari kartu pos tua yang ia temukan saat sedang merenovasi kamar tidurnya. Kartu pos itu berisi lukisan matahari terbenam yang sepertinya dibuat menggunakan tangan. Itu adalah masa ketika semua orang belum memiliki kamera di saku mereka dan belum memiliki email untuk mengirimkan pesan bergambar. Di belakang kartu pos itu ada sebuah puisi yang Ayah tulis untuk Ibu, sebuah janji untuk melihat matahari terbenam bersama. Ia baru ingat bahwa janji itu tak pernah benar-benar terpenuhi, bahkan setelah mereka menikah dan memiliki aku dan adikku, bahkan setelah sebulan yang lalu Ibu meninggal dunia.

“Sebentar lagi mataharinya terbenam,” ucap Ayah sambil menggelar tikar dan mengajak kami duduk di sampingnya.

Adikku, Beni, sedang terpana melihat istana pasir yang dibuat seorang pengunjung. Kubujuk dia untuk merapat. “Membuat istana pasir bisa dilakukan esok hari, sekarang saatnya melihat matahari.” Beni menurut. Ia duduk di antara aku dan Ayah.

Langit semakin merah. Matahari berubah menjadi seperti telur, cahayanya tak lagi menusuk mata. Perlahan-lahan, bola jingga itu turun ke bawah, hampir menyentuh cakrawala. Ayah mungkin teringat pada kartu pos itu, tapi aku sudah pasti teringat pada desktop wallpaper yang sering aku lihat di layar komputer. Intinya tetap sama, manusia selalu ingin merekam hal-hal menakjubkan dari pengalaman mereka. Matahari terbenam adalah sebuah pengalaman menakjubkan. Sebagian orang menghubungkannya dengan kesedihan dan perpisahan karena menandakan berakhirnya hari. Bagiku, matahari terbenam adalah momen retrospeksi. Ketika melihat sebagian bola jingga itu tenggelam ke dalam lautan, kami membayangkan sebagian hidup kami yang juga sudah tenggelam bersama berlalunya waktu. Aku melihat kilau di mata Ayah. Suatu saat aku akan berada dalam posisinya, Beni juga.

Sebagian turis bertepuk tangan ketika akhirnya matahari tampak masuk seluruhnya ke dalam lautan. Beberapa pasangan berpelukan, bahkan samar-samar kulihat ada pula yang berciuman. Hari ini sudah usai, tapi semua orang percaya bahwa masih ada hari esok tempat kami akan melakukan hal-hal yang lebih baik. Bagi kami, berakhirnya hari tidak benar-benar ditandai oleh terbenamnya matahari. Ayah lebih akrab dengan suara bel pulang kantor, aku dan Beni lebih akrab dengan perubahan acara televisi menjadi azan Maghrib dan sinetron.

Suasana di sekitar kami perlahan menjadi gelap. Tak ada lagi cahaya alami dari langit, yang tersisa hanya lampu-lampu buatan manusia yang berasal dari restoran dan hotel di belakang sana. Perlahan-lahan para pengunjung bangun dari atas pasir, menepuk-nepuk pantat mereka, dan mungkin bersiap-siap untuk kembali ke hotel dan menyantap makan malam. Kami bertiga juga bangun. Ayah melipat kembali tikarnya.

“Besok jangan lupa bangun pagi,” katanya, “kita akan melihat matahari terbit.”

Matahari terbit, simbol harapan dan permulaan dari segala kegiatan, penawar dari rasa sendu pemandangan sore ini. Tikar sudah digulung, kami pun membalik badan untuk pulang. Beni masih menoleh ke belakang. Kupanggil namanya. Ia pasti masih penasaran dengan istana pasir tadi. Kupanggil lagi, ia tak juga menyahut. Akhirnya aku kembali berbalik dan berniat menarik tangannya. Kusadari, rupanya Beni tak lagi menatap istana pasir, ia menatap langit. Di atas sana, langit yang hitam perlahan tersibak. Mengintiplah dari balik kegelapan itu, sebuah bola berwarna kuning terang. Kegelapan itu sirna, cahaya menyebar ke segala penjuru. Ada matahari lagi.

Semua orang yang telah beranjak pergi kini membalikkan badan. Tatapan-tatapan mata membisu melihat bola cahaya di hadapan kami yang tak terjelaskan. Tak terjelaskan. Langit kembali menjadi siang. Semakin siang.

Catatan: Cerita singkat ini dibuat berdasarkan mimpi saya beberapa hari lalu. Saya yakin, banyak juga orang yang sering mengalami mimpi semacam ini.

Ilustrasi: http://www.scenicreflections.com/download/397170/Red_Sunset_Painting_Wallpaper/

Kabar dari Laba-Laba

animal-animal-spider-wallpaper

Lagi-lagi ayahku duduk di balik pintu gudang sambil berbicara dengan laba-laba. Tubuhnya semakin kurus hingga aku dapat melihat tulang belakang lehernya yang menonjol saat ia menunduk. Ia meletakkan jari telunjuk di depan bibir ketika aku mencoba menegurnya dari jauh, lalu bergumam dengan kata-kata yang sering kudengar selama dua tahun terakhir.

“Belum ada kabar dari laba-laba. Ibumu belum ingin pulang juga, Rika.”

Aku terluka setiap kali mendengar kata-kata itu, tapi aku yakin lukaku tak sedalam lukanya. Ia merasa dikhianati orang yang ia cintai ketika tiga tahun lalu Ibu pergi meninggalkan rumah begitu saja. Seandainya Ibu masih mencintai kami, ia tidak akan menuruti gelora jiwanya untuk berpetualang mencari fosil laba-laba purba di pedalaman Kalimantan. Seandainya ia masih punya tanggung jawab sebagai seorang ibu, ia akan tetap mengajar di universitas, pulang sore hari dijemput Ayah, lalu menghabiskan waktu bersama keluarga setidaknya setiap akhir pekan. Kami tak pernah memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga, kami hanya ingin ia berada dalam jarak yang bisa diraih. (more…)

Jembatan Surga

Untuk Adriane yang kiriman bukunya tersesat di Cimahi

 

Foto: Innah Wulandari

Seumur hidup, Adrian hanya pernah dua kali memberikan bunga kepada wanita dan ia menyesali keduanya. Bunga pertama adalah bunga mawar merah yang ia berikan kepada gadis cinta pertamanya saat SMP. Mawar itu diberikannya saat pulang sekolah dengan tangan yang gemetar karena gugup, tapi segera ditepis secara kasar oleh sang gadis. Sejak saat itu, Adrian menjadi trauma terhadap bunga mawar dan juga terhadap gadis populer yang sombong.

Pemberian bunga kedua yang ia sesali terjadi saat usianya sudah empat puluh tahun, saat ia sudah menjadi seorang dokter dan ilmuwan yang dihormati di bidangnya. Bunga itu bernama “Jembatan Surga”, sebuah bunga yang sangat langka yang ia berikan kepada Hana, wanita yang sangat ia cintai. (more…)

Warung Kopi Mpok Indah

Katanya Pak Ijul melihat pocong di warung kopi Mpok Indah. Semua orang menertawainya, terutama karena wajah Pak Ijul mirip sekali dengan Bokir, aktor lawas yang sering bermain di film-film Suzanna. Bapak-bapak yang biasa nongkrong di warung kopi itu mulai menerka-nerka kejadian yang dialami Pak Ijul kemarin malam; bagaimana ia mampir ke warung kopi Mpok Indah untuk merayu janda beranak satu itu, lalu berharap akan diberi cemilan atau rokok gratis. Tak lama kemudian, ketika warung sudah sepi dan Mpok Indah sedang pergi ke rumahnya yang ada di bagian belakang warung, sesosok pocong meloncat-loncat pelan di belakang punggung Pak Ijul. Ketika pocong itu sudah berada satu langkah tepat di belakangnya, Pak Ijul baru menyadari ada sesuatu yang janggal. Ia membalikkan badan dan melihat sosok hantu berbalut kain putih itu sedang menatapnya dingin. Mulut Pak Ijul pasti menganga karena kaget, matanya melotot seperti tokoh komik, dan ia berteriak dengan gagap: Po … po …. po… pocooooooong! Lalu ia kencing di celana dan pingsan.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak.

“Nggak! Bukan begitu kejadiannya!” ucap Pak Ijul protes.

“Aah, ngaku aja, elu pasti kencing di celana kan waktu itu? Persis banget lu kayak film horor jadul,” ucap Pak Zaenal dengan mulut masih mengunyah pisang goreng.

“Kagak lah! Gua nggak kencing di celana, apalagi pake teriak po-po-po-pocong segala. Gua baca ayat kursi!” sanggah Pak Ijul sambil melirik dengan sudut matanya. (more…)

Himejikuhibiniu

Feni anak yang aneh, atau lebih tepatnya, anak yang bebal. Begitulah yang selalu diutarakan oleh guru-gurunya sewaktu SD. Feni memang bukan anak yang bodoh atau malas, ia bahkan selalu masuk dalam peringkat tiga besar di kelasnya. Makanya, saat itu orangtuanya tidak benar-benar merasa khawatir meskipun ada satu kejanggalan pada diri Feni.

Ia bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. 

“Me-ji-ku-hi-bi-ni-u. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila ungu. Itulah warna pelangi,” ucap Bu Titin, guru SD-nya, sambil berusaha bersenandung dengan nada yang aneh.

Awalnya murid-murid merasa heran dengan penjelasan warna-warna itu. Sebelumnya mereka hanya mengenal tiga warna pelangi dan satu warna langit: merah, kuning, hijau, di langit yang biru. Mereka bahkan tak tahu nila itu apa, selain sejenis ikan. Namun Bu Titin adalah guru yang realistis, ia memang sempat menggerutu karena lagu anak-anak itu terlampau menyederhanakan ilmu pengetahuan, tapi ia maklum, sebab ilmu memang harus diberikan secara bertahap. Ia pun berusaha untuk tetap sabar dan memberikan penjelasan sederhana.

“Bu, kenapa (more…)

Mata Ayam

Sepasang mata itu selalu menghantui Gufran. Ia tidak kenal mata itu, namun ia yakin mata itu bukan mata manusia. Bentuknya terlalu kecil dan bulat, bahkan meski hanya melihatnya di dalam mimpi pun, ia benar-benar yakin akan hal itu. Setiap kali bangun tidur di pagi hari, sepasang mata itu masih terus terbayang. Gufran sudah mencoba menceritakan hal ini pada beberapa orang temannya, namun tak ada yang menanggapi dengan serius. Sebagian temannya mengatakan bahwa Gufran terlalu berlebihan dalam menanggapi mimpi, sebagian lagi meledek Gufran sudah gila.

Namun dalam mimpinya yang terbaru, semuanya menjadi jelas. Sepasang mata itu bergerak agak menjauh, sehingga ia bisa melihat bahwa pemilik mata itu (more…)

Nada Terakhir Untuk Robi

Robi, seperti Hachiko yang menunggu majikannya pulang, selalu duduk di tempat yang sama setiap senja. Di kursi tua di depan danau, anak sepuluh tahun itu menatap langit yang semakin lama semakin redup kehabisan cahaya. Ia memelihara seekor anjing yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Lucunya, anjing itu juga bernama Robi–bukan Hachiko. Menamakan nama anjing sama dengan nama pemiliknya tentu adalah hal yang terasa agak kejam, namun kenyatannya memang Robi sendirilah yang memberinya nama demikian. Masalah dalam identifikasi diri, gangguan dalam pertumbuhan kejiwaan, begitulah kata orang-orang.

Robi dan Robi sudah lama dikenal oleh warga sekitar Danau Panorama, sebuah danau yang terletak di dalam Perumahan Panorama Permai, perumahan yang sering terendam banjir ketika musim hujan tiba. Menurut warga penghuni perumahan, orangtua Robi terseret arus ketika terjadi banjir setahun yang lalu, kemudian (more…)

Satu Lukisan Terakhir

(Selasa, 4 Januari)

Dear Erika,

Tube-tube cat itu berpindah lagi. Kau mungkin mengira aku salah ingat–kau memang selalu meragukan ingatanku–tapi aku yakin kalau aku hapal benar bagaimana caraku menyusunnya. Selalu berurutan dari kiri ke kanan: Merah, biru, kuning, jingga, cokelat, hitam, dan putih. Tak pernah sekalipun kuubah, sebab aku tak ingin waktuku terbuang untuk memilih warna atau salah mengambil cat. Kuas-kuas berbagai ukuran di sebelah kanan, botol turpentine dan minyak linseed di sebelah kiri, lalu deretan tube cat itu. Dan biasanya ada kau di belakangku yang menatap tanpa suara. Tapi semenjak kau pindah–seperti yang kuceritakan pada suratku yang lalu–aku juga pindah ke studio yang baru. Di sini suasanya lebih tenang, tak ada suara kendaraan, karena jalan raya jaraknya jauh dari sini, dan juga tak ada kamu. Jujur, aku merasa lebih nyaman ketika melukis tanpa ditontoni oleh perempuan cantik sepertimu. Bukan apa-apa, kau tahu aku tak begitu suka melukis objek manusia, namun ketika kau berada di dekatku, aku selalu tergoda untuk melukismu. Dan aku tahu lukisanku tak mungkin bisa lebih indah dari aslinya.

Panggil aku gombal, terserah. Mungkin kau bahkan sedang menertawai suratku ini karena menggunakan gaya bahasa asing, yang biasa kita jumpai di (more…)