Warung Kopi Mpok Indah

Katanya Pak Ijul melihat pocong di warung kopi Mpok Indah. Semua orang menertawainya, terutama karena wajah Pak Ijul mirip sekali dengan Bokir, aktor lawas yang sering bermain di film-film Suzanna. Bapak-bapak yang biasa nongkrong di warung kopi itu mulai menerka-nerka kejadian yang dialami Pak Ijul kemarin malam; bagaimana ia mampir ke warung kopi Mpok Indah untuk merayu janda beranak satu itu, lalu berharap akan diberi cemilan atau rokok gratis. Tak lama kemudian, ketika warung sudah sepi dan Mpok Indah sedang pergi ke rumahnya yang ada di bagian belakang warung, sesosok pocong meloncat-loncat pelan di belakang punggung Pak Ijul. Ketika pocong itu sudah berada satu langkah tepat di belakangnya, Pak Ijul baru menyadari ada sesuatu yang janggal. Ia membalikkan badan dan melihat sosok hantu berbalut kain putih itu sedang menatapnya dingin. Mulut Pak Ijul pasti menganga karena kaget, matanya melotot seperti tokoh komik, dan ia berteriak dengan gagap: Po … po …. po… pocooooooong! Lalu ia kencing di celana dan pingsan.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak.

“Nggak! Bukan begitu kejadiannya!” ucap Pak Ijul protes.

“Aah, ngaku aja, elu pasti kencing di celana kan waktu itu? Persis banget lu kayak film horor jadul,” ucap Pak Zaenal dengan mulut masih mengunyah pisang goreng.

“Kagak lah! Gua nggak kencing di celana, apalagi pake teriak po-po-po-pocong segala. Gua baca ayat kursi!” sanggah Pak Ijul sambil melirik dengan sudut matanya.

“Gaya lu pake baca Ayat Kursi. Qulhu aja kagak apal lu,” balas Pak Zaenal.

“Eh, jangan salah Bang, gini-gini juga ….”

Tampak risih mendengar perdebatan kedua bapak-bapak itu, Mpok Indah angkat bicara. “Begini ye, Jul. Gue bukannya nggak percaya sama cerita elu, tapi disengaja atau nggak, cerita elu tuh bisa nurunin reputasi warung gue. Kesannya warung gue ini angker, nggak pernah dingajiin, jarang disholatin. Kalau kata anak gue, itu namanya pencemaran nama baik. Bisa gue tuntut lu nanti. Ngerti nggak lu?”

Aku ingat kalau Mpok Indah memang sering membangga-banggakan anak gadisnya yang seorang mahasiswi. Namanya Nurma, sekarang ia kuliah di Bandung. Menurut Mpok Indah, Nurma adalah gadis yang cerdas, bahkan IP-nya di setiap semester selalu nyaris empat. Tidak heran kalau ia bisa masuk universitas dengan gratis karena mendapat beasiswa.

“Yah Si Mpok. Aye nggak ada niat ke situ lah, Mpok. Apa untungnya? Lagian mungkin yang angker bukan warung ini, tapi kuburan yang ada sebelah sono noh,” ucap Pak Ijul sambil menunjuk ke arah gang kecil yang gelap dan dinaungi pohon-pohon besar. Di ujung gang itu, samar-samar kami dapat melihat deretan batu nisan yang berdiri tegak. Pak Zaenal buru-buru menepis tangan Pak Ijul. Tidak boleh menunjuk kuburan, pamali katanya.

Area pemukiman warga ini memang bukan daerah perkampungan, bahkan termasuk wilayah yang cukup padat di kota Jakarta, tapi entah bagaimana Mpok Indah bisa memiliki rumah dan membuka warung di daerah yang dekat dengan pekuburan. Aku sendiri sengaja memilih tempat kost di daerah ini bukan karena dekat dengan tempat kerjaku, tapi karena harga sewanya yang jauh lebih murah.

Segelas kopi hitam di hadapanku sudah tinggal ampas, tapi ketiga orang itu masih saja tak henti berdebat. Aku segera membayar kopi pada Mpok Indah. Sebagai seorang pendatang baru di tempat ini, aku tak banyak bicara. Aku lebih senang mendengarkan obrolan orang-orang di sekitarku, itulah kenapa aku sering datang ke warung kopi ini.

“Eh, Mas, Mas!” suara Pak Ijul terdengar ketika aku membalikkan badan untuk pulang. Aku segera sadar kalau ia memanggilku. Sebab siapa lagi orang yang mungkin ia panggil Mas?

“Ini, bukunya ketinggalan,” ucap Pak Ijul sambil menyodorkan sebuah buku tebal yang tanpa sadar kutinggalkan di meja warung. Aku memang sering membawa buku setiap kali nongkrong di warung ini, sekadar untuk menjadi alibi supaya orang-orang tak sadar kalau aku sebenarnya sedang menguping pembicaraan mereka.

“Oh iya, makasih, Pak. Hampir aja ketinggalan,” ucapku. Belum sempat aku meraih buku itu dari tangan Pak Ijul, ia memutar bukunya dan memperhatikan sampul buku itu.

“Novel horor ya, Mas?” ucapnya setelah melihat gambar vampir berambut pirang dengan mulut penuh darah yang ada di sampul buku itu.

“Eh iya, Pak,”

“Oh,” ujarnya sambil memberikan buku itu padaku, “emangnya nggak takut ya, malam-malam begini baca cerita horor? Ah, tapi nggak bakal seram juga sih ya, hantu kayak beginian sih mana ada di Indonesia? Hahaha.”

“Lah iya,” sambung Mpok Indah, “Si Nurma aja udah nggak percaya sama dedemit, atau pocong, atau genduruwo. Sekarang dia takutnya sama hantu-hantu Barat. Vampir, monster, sama jom … jom ….”

“Jombi?” sahut Pak Zaenal.

“Iye, jombi! Kagak ngerti dah gue, padahal waktu masih kecil, die takut bener sama kalong wewe.”

Aku memutuskan untuk segera pamit segera setelah buku itu ada di tanganku. Aku tak mau mendengarkan obrolan mereka lagi, sekarang sudah jam sebelas malam dan aku tak ingin terlambat ke kantor besok pagi.

Mengingat cerita Pak Ijul tadi, aku jadi ingin tertawa sekaligus merinding. Ingin tertawa karena membayangkan Pak Ijul menjadi salah satu aktor di film-film pocong mesum yang banyak diputar di layar lebar, merinding karena sekarang aku harus melewati pekuburan yang tadi ditunjuknya. Biasanya setiap kali pulang dari warung, aku selalu melewati lokasi ini dan tidak merasakan apa-apa. Tapi kali ini agak berbeda, suasananya terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak terdengar suara kendaraan ataupun suara televisi dari kejauhan, yang terdengar hanya suara kakiku yang menginjak daun-daun kering.

Ketika aku lewat di samping area pekuburan, pohon-pohon rindang dan besar menyambutku, mereka seperti memberi jalan dan menunduk rendah. Cahaya lampu dari kejauhan membuat bayangan pohon-pohon itu tampak seperti cakar raksasa di atas tanah yang ingin menggenggam pergelangan kakiku. Sumber penerangan yang minim di sekitar sini memang membuat pekuburan ini terasa angker, entah kenapa warga setempat tidak memasang lampu jalan yang terang. Mungkin mereka tak ingin mengganggu jasad-jasad yang sedang tidur nyenyak.

Aku mempercepat langkahku, aku tak ingin berlama-lama melewati tempat ini. Tinggal beberapa meter lagi, aku akan tiba di pertigaan, lalu di sana akan ada rumah warga dengan penerangan yang bagus. Aku harus cepat tiba di sana.

Tinggal sedikit lagi menuju pertigaan jalan, langkahku terhenti. Aku melihat sebuah buntalan putih tergeletak di pinggir selokan. Jantungku terasa berhenti berdetak selama beberapa milidetik, tapi kemudian kembali berdetak dengan sangat cepat melebihi sebelumnya. Oh, semoga saja buntalan putih itu tak seperti yang kubayangkan.

Buntalan kain itu tampak jelas karena warnanya kontras dengan kegelapan di sekelilingnya. Aku mengerjapkan mata, lalu  ….

Cerita ini terdapat dalam buku Setelah Gelap Datang.
Cerita ini terdapat dalam buku Setelah Gelap Datang.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).