Satu Lukisan Terakhir

(Selasa, 4 Januari)

Dear Erika,

Tube-tube cat itu berpindah lagi. Kau mungkin mengira aku salah ingat–kau memang selalu meragukan ingatanku–tapi aku yakin kalau aku hapal benar bagaimana caraku menyusunnya. Selalu berurutan dari kiri ke kanan: Merah, biru, kuning, jingga, cokelat, hitam, dan putih. Tak pernah sekalipun kuubah, sebab aku tak ingin waktuku terbuang untuk memilih warna atau salah mengambil cat. Kuas-kuas berbagai ukuran di sebelah kanan, botol turpentine dan minyak linseed di sebelah kiri, lalu deretan tube cat itu. Dan biasanya ada kau di belakangku yang menatap tanpa suara. Tapi semenjak kau pindah–seperti yang kuceritakan pada suratku yang lalu–aku juga pindah ke studio yang baru. Di sini suasanya lebih tenang, tak ada suara kendaraan, karena jalan raya jaraknya jauh dari sini, dan juga tak ada kamu. Jujur, aku merasa lebih nyaman ketika melukis tanpa ditontoni oleh perempuan cantik sepertimu. Bukan apa-apa, kau tahu aku tak begitu suka melukis objek manusia, namun ketika kau berada di dekatku, aku selalu tergoda untuk melukismu. Dan aku tahu lukisanku tak mungkin bisa lebih indah dari aslinya.

Panggil aku gombal, terserah. Mungkin kau bahkan sedang menertawai suratku ini karena menggunakan gaya bahasa asing, yang biasa kita jumpai di Continue reading Satu Lukisan Terakhir

Selfi Yang Bodoh

Hari ini adalah hari pembagian rapor di kelasku. Kami duduk di ruang kelas sambil menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa murid tampak mencorat-coret bukunya dengan gelisah, sementara sebagian yang lain ada pula yang tampak tidak peduli. Aku sendiri, aku tak begitu peduli dengan nilai. Bagiku nilai adalah sebuah opini, aku tak harus selalu setuju dengan opini wali kelasku, bukan? Ketidakpedulianku ini adalah gara- gara Selfi, teman sekelas kami yang baru saja pergi meninggalkan kelas ini.

Baiklah, biar kuceritakan tentang Selfi. Selfi adalah seorang gadis manis yang Continue reading Selfi Yang Bodoh