Horor yang Menghukum dan Mengendalikan

By: Raíssa RuschelCC BY 2.0

Seorang teman pernah berkata bahwa baginya dalam cerita horor selalu ada tokoh yang dihukum karena berbuat salah. Ia mungkin bukan fans horor, tapi pendapatnya mencerminkan pesan yang ditangkap kebanyakan orang dari cerita horor: sekolompok turis yang nekat masuk ke hutan terlarang akhirnya kesurupan, anak muda yang tidak peduli dengan tradisi leluhur dihantui suara gamelan, lelaki pemerkosa dikejar-kejar hantu korbannya. Inti cerita horor bisa disederhanakan dalam rumus “tokoh A melakukan kesalahan X sehingga menanggung akibat menakutkan berupa Y”.

Benarkah cerita horor adalah alat yang digunakan untuk menghukumi dan menghakimi karakter yang (menurut penulisnya) telah melakukan kesalahan? Continue reading Horor yang Menghukum dan Mengendalikan

Kabar dari Laba-Laba

animal-animal-spider-wallpaper

Lagi-lagi ayahku duduk di balik pintu gudang sambil berbicara dengan laba-laba. Tubuhnya semakin kurus hingga aku dapat melihat tulang belakang lehernya yang menonjol saat ia menunduk. Ia meletakkan jari telunjuk di depan bibir ketika aku mencoba menegurnya dari jauh, lalu bergumam dengan kata-kata yang sering kudengar selama dua tahun terakhir.

“Belum ada kabar dari laba-laba. Ibumu belum ingin pulang juga, Rika.”

Aku terluka setiap kali mendengar kata-kata itu, tapi aku yakin lukaku tak sedalam lukanya. Ia merasa dikhianati orang yang ia cintai ketika tiga tahun lalu Ibu pergi meninggalkan rumah begitu saja. Seandainya Ibu masih mencintai kami, ia tidak akan menuruti gelora jiwanya untuk berpetualang mencari fosil laba-laba purba di pedalaman Kalimantan. Seandainya ia masih punya tanggung jawab sebagai seorang ibu, ia akan tetap mengajar di universitas, pulang sore hari dijemput Ayah, lalu menghabiskan waktu bersama keluarga setidaknya setiap akhir pekan. Kami tak pernah memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga, kami hanya ingin ia berada dalam jarak yang bisa diraih. Continue reading Kabar dari Laba-Laba

Warung Kopi Mpok Indah

Katanya Pak Ijul melihat pocong di warung kopi Mpok Indah. Semua orang menertawainya, terutama karena wajah Pak Ijul mirip sekali dengan Bokir, aktor lawas yang sering bermain di film-film Suzanna. Bapak-bapak yang biasa nongkrong di warung kopi itu mulai menerka-nerka kejadian yang dialami Pak Ijul kemarin malam; bagaimana ia mampir ke warung kopi Mpok Indah untuk merayu janda beranak satu itu, lalu berharap akan diberi cemilan atau rokok gratis. Tak lama kemudian, ketika warung sudah sepi dan Mpok Indah sedang pergi ke rumahnya yang ada di bagian belakang warung, sesosok pocong meloncat-loncat pelan di belakang punggung Pak Ijul. Ketika pocong itu sudah berada satu langkah tepat di belakangnya, Pak Ijul baru menyadari ada sesuatu yang janggal. Ia membalikkan badan dan melihat sosok hantu berbalut kain putih itu sedang menatapnya dingin. Mulut Pak Ijul pasti menganga karena kaget, matanya melotot seperti tokoh komik, dan ia berteriak dengan gagap: Po … po …. po… pocooooooong! Lalu ia kencing di celana dan pingsan.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak.

“Nggak! Bukan begitu kejadiannya!” ucap Pak Ijul protes.

“Aah, ngaku aja, elu pasti kencing di celana kan waktu itu? Persis banget lu kayak film horor jadul,” ucap Pak Zaenal dengan mulut masih mengunyah pisang goreng.

“Kagak lah! Gua nggak kencing di celana, apalagi pake teriak po-po-po-pocong segala. Gua baca ayat kursi!” sanggah Pak Ijul sambil melirik dengan sudut matanya. Continue reading Warung Kopi Mpok Indah

Dea

Apa yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini, bisa dibilang bukan sebuah cerita fiksi. Tapi bagaimanapun juga, saya tidak bisa memaksa kepercayaan orang lain. Kalaupun seandainya saya bilang bahwa semua ini kejadian nyata, toh saya ragu kalian akan percaya. Jadi anggaplah ini sebagai sebuah cerita fiksi biasa, atau cerita fiksi yang berpura-pura nyata, seperti film Paranormal Activity atau The Fourth Kind. atau apa saja terserah. Yang penting, saya bisa menceritakan apa yang (dengan terpaksa) harus saya ceritakan. Continue reading Dea

Mereka Tidak Menangis

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha Continue reading Mereka Tidak Menangis

Setan Ondel-Ondel

 

Hari itu, setelah pulang sekolah aku pergi mengaji seperti biasanya. Pak Ustadz memarahiku karena belum bisa menghapal Ayat Kursi dan surat Al-Falaq. Menyebalkan sekali, aku kan anak kecil, masa dimarahi seperti itu? Tapi aku pulang mengaji dengan perasaan senang, aku ingat masih punya mainan baru, hadiah ulang tahun dari Papa.

Sesampainya di rumah, aku segera bermain dengan mainan itu: sebuah robot-robotan Gundam yang tampak keren sekali. Di sampingku duduk Ahmad, sepupuku yang usianya dua tahun lebih tua dariku, saat pulang mengaji tadi ia Continue reading Setan Ondel-Ondel