Setan Ondel-Ondel

 

Hari itu, setelah pulang sekolah aku pergi mengaji seperti biasanya. Pak Ustadz memarahiku karena belum bisa menghapal Ayat Kursi dan surat Al-Falaq. Menyebalkan sekali, aku kan anak kecil, masa dimarahi seperti itu? Tapi aku pulang mengaji dengan perasaan senang, aku ingat masih punya mainan baru, hadiah ulang tahun dari Papa.

Sesampainya di rumah, aku segera bermain dengan mainan itu: sebuah robot-robotan Gundam yang tampak keren sekali. Di sampingku duduk Ahmad, sepupuku yang usianya dua tahun lebih tua dariku, saat pulang mengaji tadi ia seenaknya mengikutiku ke rumah. Ia juga bermain robot-robotan, namun robotnya dua kali lebih besar dari robotku, sama persis dengan perbandingan badan kami berdua. Badan Ahmad nyaris dua kali lebih besar dari badanku, itu sebabnya kadang aku agak takut pada dirinya. Waktu itu aku masih sangat kecil, jadi belum kenal dengan istilah bullying.

Ia memukulkan robotnya ke arah robotku, katanya robot kami sedang berperang. Kalau sudah begini, biasanya ia akan meminjam robot-robotanku untuk dibawanya pulang. Aku hanya bisa pasrah dan berharap ia segera dijemput ibunya, menyebalkan sekali. Dan konyolnya aku selalu tak tega untuk mengadukan hal itu pada orang tuaku, lalu aku malah berbohong dan bilang kalau mainanku hilang, akhirnya aku yang dimarahi.

Dung! Dung! Dung!

Tiba-tiba saja terdengar suara pukulan gendang yang rasanya sudah tidak asing lagi bagiku. Suara itu datang dari luar rumahku, tapi dari ruang tamu ini terdengar dengan jelas sekali. Aku terperanjat. Suara itu terdengar seperti musik pengiring film horor di telingaku. Langsung saja kulempar mainanku ke lantai, dan aku segera lari sekuat tenaga dari ruang tamu.

Tidak mungkin, itu ondel-ondel!

Nafasku terengah-engah, entah karena berlari atau karena ketakutan. Aku berdiri merapat di balik dinding yang membatasi ruang tamu dengan ruang makan. Dung! Dung! Suara itu masih terdengar. Aku merayap pelan dan mengintip ke arah ruang tamu, kulihat Ahmad yang menatapku keheranan. Dia pasti bingung sekali dengan kelakuanku. Tidak! Tiba-tiba sosok itu terlihat dari balik jendela ruang tamu. Walau hanya samar-samar karena terhalang tirai, tapi aku dapat melihat kepalanya yang besar dan tatapan matanya yang tajam ke arahku, seolah ia dapat melihat menembus dinding. Aku segera menarik kembali kepalaku dan meringkuk. Beberapa tetes keringat mengalir di pelipisku. Aku harus menunggu sampai makhluk itu benar-benar pergi dari depan rumahku.

Tiba-tiba Ahmad menggerakkan tubuh besarnya dan menghampiriku.

“Kenapa lu?” tanyanya heran.

Aku hanya diam. Aku tidak mau menjawab, aku hanya memalingkan wajah.

Dung! Dung! Dung! Suara tabuhan gendang itu tak juga berhenti.

Ahmad berusaha menatap mataku, lalu kemudian ia mengangkat kedua alisnya dan cengar-cengir menakutkan. Gawat, apa yang sedang dipikirkannya?

“Ooh…lu takut ondel-ondel ya?!” ejeknya sambil menertawaiku.

Aku tak bisa menjawab. Kupejamkan mataku, dan kurasakan nafasku yang mulai tersengal-sengal. Ahmad dan ondel-ondel, kombinasi yang lebih seram dari mimpi buruk!

Tiba-tiba saja Ahmad mengenggam pergelangan tanganku dengan tangannya yang besar itu. Mau apa dia? Aku panik seketika. Lalu ia menyeretku sekuat tenaganya. Tidak! Ia ingin menyerahkan aku pada ondel-ondel!

“Jangaaaan!!!” teriakku padanya.

Ia hanya cengar-cengir seperti kuda. Tampaknya ia senang sekali melihat wajahku yang pucat ketakutan.

Aku berusaha melawan. Biasanya aku hanya pasrah saja kalau dikerjai Ahmad, tapi kali ini tidak! Aku akan melawan walaupun harus mempertaruhkan nyawaku. Kutarik tanganku sekuat tenaga, kucakar ia dengan tangan kiriku, kutendang-tendangkan kakiku. Ia tak terlihat takut sedikitpun, cengkraman tangannya malah semakin kuat. Sejurus kemudian ia malah menggendongku, dibawanya aku seperti karung beras di atas punggungnya. Aku menangis sekeras-kerasnya.

“Mamaaaaa!!!!” teriakku, aku tahu mamaku sedang tidur siang di lantai atas.

Cklek!

Ahmad membuka pintu utama ruang tamu.

Dung! Dung! Dung!

Suara gendang itu terdengar semakin jelas sekarang, tak ada lagi dinding penghalang antara aku dan ondel-ondel. Aku histeris melihat ondel-ondel itu hanya beberapa langkah dariku, hanya pagar rumah pendek yang menghalanginya.

Ahmad menjatuhkan aku di lantai teras, kepalaku pusing. Lalu ia sendiri segera masuk ke dalam rumah, menutup pintu, dan menguncinya! Aku berlari sekuat tanaga ke arah pintu, kucoba membukanya.

Krek! Krek!

Percuma, pintunya sudah dikunci.

Dung! Dung! Dung!

“Amaaaat…!!!” teriakku sambil menggedor-gedor jendela.

Dari balik jendela aku dapat melihat Ahmad yang menjulur-julurkan lidahnya ke arahku sambil meledek. Dari pantulan bayangan di kaca jendela aku dapat melihat ondel-ondel itu menari-nari di belakangku. Kepalanya yang kotak besar, rambutnya yang tegak dan berwarna-warni, serta matanya yang bulat menakutkan. Ondel-ondel itu tak berhenti tersenyum sambil menari mengikuti irama gendang, seolah ia sudah siap untuk memangsaku.

Dung! Dung! Dung!

Aku menangis sekeras mungkin. Tubuhku jatuh terjongkok di depan pintu tanpa sekalipun berani menatap ondel-ondel secara langsung. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku.

Beberapa saat kemudian pintu rumah dibuka, Mama muncul sambil membawa sejumlah uang receh. Diberikannya uang receh itu kepada ondel-ondel, dan tak lama kemudian ondel-ondel itu segera pergi meninggalkan halaman rumahku. Aku menatap Mama dengan air mata yang masih mengalir.

Mama hanya tertawa geli. Jahat sekali dia.

“Anak laki-laki kok takut ondel-ondel?” ucapnya sambil menuntunku masuk ke dalam rumah.

 

 

Sampai malamnya, aku masih saja terbayang-bayang kejadian saat aku hampir dimangsa ondel-ondel tadi siang. Aku merengek pada Mama dan Papa untuk diizinkan tidur bersama mereka. Walau masih kecil begini, orang tuaku sudah membuatkan kamar untukku, katanya anak laki-laki tidak boleh manja. Aku setuju, aku suka punya kamar sendiri, aku bisa meletakkan mainanku dimanapun aku suka, tapi ini beda! Ini menyangkut masalah hidup dan mati!

“Ma…, boleh ya Aji tidur sama Mama?” rengekku.

“Iiih ngapain sih? Kan kamu udah punya kamar sendiri…,” ucap Mama sambil menonton televisi.

“Pa…?” aku beralih pada Papa.

“Aduuh…, jangan malam ini ya, Ji? Gimana kalo besok malam aja?” Papaku menawar.

“Emangnya kenapa kalo sekarang?” tanyaku memaksa.

“Malam ini Papa lagi ada urusan sama Mama, urusan darurat!” jawab Papa.

Urusan darurat apa sih? Pikirku dalam hati. Mana ada yang lebih darurat dari pada keselamatan anak satu-satunya ini? Papa  senyam-senyum padaku, seolah ingin berkata: tentu saja ada.

“Lagian emangnya kenapa sih, Ji? Biasanya kamu nggak takut tidur sendiri?” tanya Mama sambil memegang pundakku.

“Aji takut dimakan ondel-ondel…,” jawabku akhirnya, terus terang.

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, kemudian berusaha menahan tawanya. Apa sih yang mereka pikirkan? Orang dewasa memang tak pernah menyadari betapa berbahayanya ondel-ondel bagi anak kecil.

“Aji, kamu nggak perlu takut sama ondel-ondel. Ondel-ondel itu isinya orang, Cuma orang yang pake topeng…,” Mama berusaha menjelaskan.

“Emangnya bener isinya orang?” tanyaku lagi.

“Iya, bener.”

“Emang Mama udah pernah liat sendiri kalo isinya orang?” tanyaku penasaran.

Mama berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Belum pernah sih…,” ucapnya ragu-ragu.

“Tuh kan, kalo Mama belum pernah liat sendiri, bisa aja Mama salah, bisa aja isinya bukan orang!” ucapku, tampaknya kalimat paling cerdas yang kuucapkan sepanjang hari ini.

“Lha, kalo bukan orang, trus apa dong isinya?” Papa menyambung, mencoba menggunakan pendekatan yang lebih akademis.

“Setan!!!” balasku dengan pemahaman yang sangat mistis.

Mereka berdua saling berpandangan, entah apa yang mereka pikirkan.

“Makanya, kamu jangan nakal-nakal kalo nggak mau dimakan ondel-ondel!” ujar Papa yang secara tidak langsung telah membenarkan teori bahwa ondel-ondel adalah setan.

Mama mendelik ke arah Papa, seolah ingin memarahinya dari jarak jauh. Saat mata Mama melotot, dia agak sedikit mirip dengan ondel-ondel. Papa hanya senyam-senyum, tapi aku tahu ia ketakutan; seolah takut tidak mendapatkan sesuatu yang ia inginkan, entah apa.

Singkat cerita, permohonanku tidak dikabulkan. Papa malah menggendongku dan dengan tenangnya membawaku masuk ke dalam kamar. Ia merebahkan aku di atas tempat tidur sambil mengecup keningku.

“Papa…,” aku merengek lagi.

“Jangan takut, Aji. Anak laki-laki harus berani! Harus kuat! Kaya Papa dong nih, pemberani!” ucap Papa dengan sebuah penekanan pada kata ‘pemberani’.

“Bohong! Papa juga penakut! Sama kaya Aji!” lawanku.

“Enggak kok! Papa nggak takut sama ondel-ondel!” balas Papa.

“Bohong! Aji tau, sebenernya Papa juga takut sama ondel-ondel!” aku memberi sanggahan.

“Eee-nak aja! Mana buktinya?” tantang Papa.

“Buktinya, Papa tidur sama Mama! Kalo Papa emang pemberani dan nggak takut ondel-ondel, harusnya Papa tidur di kamar lain, sendirian, kaya Aji!” ini adalah kalimat cerdas kedua yang kuucapkan hari ini.

Papa tidak membalas lagi, ia hanya garuk-garuk kepala kebingungan. Beberapa saat kemudian Mama muncul di ambang pintu.

“Pa, Aji udah tidur?” tanyanya dari depan pintu kamarku.

Papa menoleh ke arah Mama, membuat tanda Ssst… dengan jarinya, lalu menatap lagi ke arahku.

“Ji, kamu nggak usah takut, kamu kan jagoan! Kalo ondel-ondel itu muncul lagi, kamu keluarin aja jurus-jurus yang ada di film Naruto!” ujar Papa sambil bangkit dan memperagakan beberapa jurus pukulan, “Raikiri! Hia… Rasengan!”

Aku terkekeh geli. Aku saja tidak hapal nama jurus-jurus itu.

Papa keluar dari kamar, Mama menutup pintu sambil mematikan lampu kamarku. Sekarang cuma ada aku sendiri di ruangan yang gelap ini. Kumiringkan badanku ke arah kanan, kuusahakan untuk memejamkan mata. Aku harus tidur dan tidak boleh memikirkan ondel-ondel itu lagi. Setelah beberapa menit akhirnya aku terlelap juga.

Tapi aku terbangun lagi.

Samar-samar aku dapat melihat jam dinding di sebelahku, pukul 12 kurang 5 menit. Lima menit lagi tepat pukul dua belas malam! Kenapa aku malah terbangung tengah malam begini? Aku berguling di atas tempat tidurku, kanan dan kiri bergantian. Aku merasa gelisah.

Entah mengapa aku merasa seperti ada yang memperhatikanku sejak tadi. Apakah hanya perasaanku saja? Dengan melawan rasa takut aku menoleh ke arah jendela. Mataku kupejamkan, tapi mengintip sedikit-sedikit. Kalau aku pura-pura tidur, hantu juga pasti malas mengganggu, pikirku.

Kulihat jendela kamarku. Ada yang aneh, ada sesuatu yang tidak biasa. Ada sebuah bayangan yang bergerak-gerak di balik jendela itu. Siapa itu? Papa? Atau Mama? Tapi bayangan itu terlihat lebih besar dari manusia normal. Di kepalanya terlihat rambut yang berdiri seperti terbuat dari batang bambu. Bayangan itu menari-nari, bergoyang ke kanan dan ke kiri. Ia sedang mengintipku dari balik jendela, tapi ia tahu kalau aku cuma pura-pura tidur.

Ondel-ondel!

Aku segera berbalik dan menutup wajahku. Gawat! Ia pasti datang untuk memangsaku! Dalam heningnya malam, aku dapat mendengar suara-suara. Suaranya menggedor jendela. Ia mengetuk-ngetuk jendela seperti irama gendang yang selalu mengiringinya. Aku menahan nafas. Suara ketukan itu semakin lama semakin keras, seolah ia akan memecahkan kaca dan menerobos masuk!

Aku tidak tahan lagi, aku segera loncat bangkit dari tempat tidur. Berlari secepat mungkin ke arah pintu kamar. Kubuka pintunya dengan sedikit berjinjit.

“Mamaaa!!! Papaaa!!!” teriakku sambil berlari menyusuri lorong.

Rumah ini terasa sangat gelap malam ini. Apakah memang begini setiap malam? Aku tidak tahu, aku tidak pernah bangun sendirian tengah malam begini. Begitu gelapnya, sampai aku bahkan lupa ke arah mana kamar orang tuaku. Aku terus berlari ke arah yang bisa kulihat dengan mata.

BRUG!

Aku menabrak sesuatu, aku jatuh terduduk karena terpental oleh benda itu. Kepalaku sakit. Apa sih yang kutabrak ini? Aku melongok ke atas, tinggi sekali. Aku dapat melihatnya di antara kegelapan, tubuhnya luar biasa besar, ia tersenyum padaku sambil bergoyang ke kanan dan ke kiri. Ia perlihatkan kumisnya yang lebat dan gigi taringnya yang panjang melengkung keluar. Wajahnya merah seperti darah. Kata orang, kalau wajahnya merah, berarti ondel-ondel laki-laki. Aku dikangkangi oleh tubuhnya yang sangat besar itu, aku merinding. Ondel-ondel raksasa!

Aku segera bangkit dan berlari ke arah yang berlawanan. Dapat kudengar dengan jelas, suara berdebam di belakangku. Ondel-ondel itu mengikutiku! Ia berlari dan membuat suara keras di lantai. Kutolehkan sedikit kepalaku. Ada dua…, bukan!  Empat ondel-ondel raksasa mengejarku! Satu ondel-ondel lelaki berkumis yang berwajah merah tadi, dan tiga ondel-ondel perempuan yang berwajah putih.

“Aaaaa…!!!” aku berteriak sekeras yang aku bisa.

Akhirnya tiba juga aku di kamar orang tuaku. Kugedor-gedor pintu kamarnya sambil menahan pipis. Mereka masih juga tidak mendengarku. Kugedor-gedor lagi. Tidak ada jawaban. Para ondel-ondel itu semakin dekat ke arahku. Aku dapat melihat gigi taringnya yang sudah siap mencabik-cabik tubuhku.

“Mamaaa!!!” kupukul-pukul pintu itu sekuat tenaga.

Ondel-ondel semakin dekat. Kulihat mereka sudah menyiapkan garpu dan pisau di tangan mereka, bahkan ondel-ondel berkumis sudah memasang celemek di lehernya. Air liur mereka menetes sambil menatapku dengan lapar seperti pembawa acara kuliner di tivi.

“Tidaaaaak!!!” teriakku.

Ckrek!

Pintu terbuka. Segera kupeluk Mama dan Papa yang keluar dari pintu itu. Kulepaskan tangisku sepuasnya di pelukan mereka.

“Aji, kamu kenapa, Sayang?” tanya Mama kebingungan.

“Ondel-ondel, Ma, Pa!” ujarku sambil menunjuk ke arah ondel-ondel itu tadi berdiri.

Papa bergerak ke arah itu sambil memperhatikan sekeliling, “Mana ondel-ondelnya? Nggak ada tuh? Ah, kamu ngigau nih?”

Aku tidak tahu apakah aku mengigau atau tidak, aku hanya bisa menangis. Bukan menangis karena sedih, tapi karena perasaan lega yang tak terkira saat bertemu orang tuaku. Untunglah.

“Yaudah, yuk tidur sama Mama dan Papa aja ya?” ajak Mama sambil menggendongku masuk ke dalam kamarnya.

Aku hanya mengangguk sambil menyeka air mata di kedua mataku. Papa mengekor di belakang kami sambil menutup pintu.

Ah, akhirnya. Kini aku tidur di dalam pelukan mereka berdua. Kehangatan yang tiada tara dan rasa aman yang tak mungkin tergantikan oleh apapun. Aku merasa nyaman sekarang, aku tidak takut lagi pada ondel-ondel, karena Mama dan Papa ada di dekatku.

Aku tersenyum bahagia saat tangan mereka mengusap-usap rambutku, meninabobokan aku. Ingin sekali kuucapkan terima kasih kepada mereka, kedua orang tuaku, lalu kubuka mataku sedikit dan kuintip wajah mereka.

Wajah mereka jadi besar. Wajah Papa jadi merah. Wajah Mama jadi putih. Rambut mereka jadi jabrik dan warna-warni. Gigi taring Papa lebih besar dari biasanya dan bibir Mama lebih dower dari biasanya.

Papa dan Mama berubah jadi ondel-ondel—dan mereka mendekapku dalam pelukan! Aku menahan nafas. Kupejamkan mataku sekuat tenaga.

Dengan terbata-bata kubaca Ayat Kursi yang baru kuhapal sepotong-sepotong. Pak Ustadz, besok aku pasti sudah hapal Ayat Kursi, aku yakin itu.

 

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).