Mereka Tidak Menangis

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha menahan nafas, sementara jantungku berdegup kencang sejak tadi. Lampu kamar yang sudah kumatikan membuat kamar ini menjadi gelap dengan sedikit cahaya bulan dari sela-sela ventilasi di atas jendela, membuatku semakin mudah membayangkan hal-hal menyeramkan dari bayangan yang muncul di dinding.

Ketika aku menutup mata dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan pada bagian belakang leherku. Sentuhan yang halus dan menjalar perlahan-lahan, seperti ada beberapa ekor semut yang sedang berjalan merayap pada tengkuk leherku. Suara tangis itu terdengar semakin nyaring, dan aku mulai meyakini bahwa suara tangis itu sebenarnya berasal dari benda apapun yang kini merayap di kulit punggung dan belakang leherku. Benda itu semakin banyak, mereka berbaris dan berjalan masuk ke balik kaosku dan menjalar ke punggung. Apakah mereka semut? Ataukah sejenis hewan lainnya? Tapi jenis hewan apa yang suara tangisannya sangat nyaring seperti suara tangisan anak kecil?

Tiba-tiba aku merasakan rasa sakit seperti dicubit. Aku menjerit pelan dan merusaha meraih punggungku, mencari sesuatu yang sepertinya baru saja menggigitku. Tapi rasa sakit itu terulang lagi, berkali-kali. Sepertinya semut-semut misterius di punggungku kini menggigitiku secara bergantian. Bukan hanya itu saja, kini aku merasakan semut-semut itu melubangi kulit di leher dan punggungku, lalu mereka masuk ke dalamnya, menelusup ke balik kulitku! Makhluk apa mereka? Sementara satu persatu mereka masuk ke balik kulit, suara tangisan mereka masih terdengar, bahkan setelah mereka berada di dalam tubuhku, suara tangisannya terdengar pelan menembus pori-pori kulit. Mereka berjalan merambat ke sekujur tubuhku, ke perut, tangan dan kepalaku. Aku dapat melihat tonjolan-tonjolan sebesar beras yang berjalan pelan di kedua tanganku. Ada puluhan, tidak, mungkin ratusan! Sekarang aku merasa tubuhku seperti akan meledak. Apa yang sebenarnya terjadi? Tiba-tiba aku teringat pertengkaranku dengan kakak perempuanku beberapa hari yang lalu.

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha menahan nafas, sementara jantungku berdegup kencang sejak tadi. Lampu kamar yang sudah kumatikan membuat kamar ini menjadi gelap dengan sedikit cahaya bulan dari sela-sela ventilasi di atas jendela, membuatku semakin mudah membayangkan hal-hal menyeramkan dari bayangan yang muncul di dinding.

Ketika aku menutup mata dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan pada bagian belakang leherku. Sentuhan yang halus dan menjalar perlahan-lahan, seperti ada beberapa ekor semut yang sedang berjalan merayap pada tengkuk leherku. Suara tangis itu terdengar semakin nyaring, dan aku mulai meyakini bahwa suara tangis itu sebenarnya berasal dari benda apapun yang kini merayap di kulit punggung dan belakang leherku. Benda itu semakin banyak, mereka berbaris dan berjalan masuk ke balik kaosku dan menjalar ke punggung. Apakah mereka semut? Ataukah sejenis hewan lainnya? Tapi jenis hewan apa yang suara tangisannya sangat nyaring seperti suara tangisan anak kecil?

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha menahan nafas, sementara jantungku berdegup kencang sejak tadi. Lampu kamar yang sudah kumatikan membuat kamar ini menjadi gelap dengan sedikit cahaya bulan dari sela-sela ventilasi di atas jendela, membuatku semakin mudah membayangkan hal-hal menyeramkan dari bayangan yang muncul di dinding.

Ketika aku menutup mata dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan pada bagian belakang leherku. Sentuhan yang halus dan menjalar perlahan-lahan, seperti ada beberapa ekor semut yang sedang berjalan merayap pada tengkuk leherku. Suara tangis itu terdengar semakin nyaring, dan aku mulai meyakini bahwa suara tangis itu sebenarnya berasal dari benda apapun yang kini merayap di kulit punggung dan belakang leherku. Benda itu semakin banyak, mereka berbaris dan berjalan masuk ke balik kaosku dan menjalar ke punggung. Apakah mereka semut? Ataukah sejenis hewan lainnya? Tapi jenis hewan apa yang suara tangisannya sangat nyaring seperti suara tangisan anak kecil?

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha menahan nafas, sementara jantungku berdegup kencang sejak tadi. Lampu kamar yang sudah kumatikan membuat kamar ini menjadi gelap dengan sedikit cahaya bulan dari sela-sela ventilasi di atas jendela, membuatku semakin mudah membayangkan hal-hal menyeramkan dari bayangan yang muncul di dinding.

Ketika aku menutup mata dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan pada bagian belakang leherku. Sentuhan yang halus dan menjalar perlahan-lahan, seperti ada beberapa ekor semut yang sedang berjalan merayap pada tengkuk leherku. Suara tangis itu terdengar semakin nyaring, dan aku mulai meyakini bahwa suara tangis itu sebenarnya berasal dari benda apapun yang kini merayap di kulit punggung dan belakang leherku. Benda itu semakin banyak, mereka berbaris dan berjalan masuk ke balik kaosku dan menjalar ke punggung. Apakah mereka semut? Ataukah sejenis hewan lainnya? Tapi jenis hewan apa yang suara tangisannya sangat nyaring seperti suara tangisan anak kecil?

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha menahan nafas, sementara jantungku berdegup kencang sejak tadi. Lampu kamar yang sudah kumatikan membuat kamar ini menjadi gelap dengan sedikit cahaya bulan dari sela-sela ventilasi di atas jendela, membuatku semakin mudah membayangkan hal-hal menyeramkan dari bayangan yang muncul di dinding.

Ketika aku menutup mata dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan pada bagian belakang leherku. Sentuhan yang halus dan menjalar perlahan-lahan, seperti ada beberapa ekor semut yang sedang berjalan merayap pada tengkuk leherku. Suara tangis itu terdengar semakin nyaring, dan aku mulai meyakini bahwa suara tangis itu sebenarnya berasal dari benda apapun yang kini merayap di kulit punggung dan belakang leherku. Benda itu semakin banyak, mereka berbaris dan berjalan masuk ke balik kaosku dan menjalar ke punggung. Apakah mereka semut? Ataukah sejenis hewan lainnya? Tapi jenis hewan apa yang suara tangisannya sangat nyaring seperti suara tangisan anak kecil?

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha menahan nafas, sementara jantungku berdegup kencang sejak tadi. Lampu kamar yang sudah kumatikan membuat kamar ini menjadi gelap dengan sedikit cahaya bulan dari sela-sela ventilasi di atas jendela, membuatku semakin mudah membayangkan hal-hal menyeramkan dari bayangan yang muncul di dinding.

Ketika aku menutup mata dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan pada bagian belakang leherku. Sentuhan yang halus dan menjalar perlahan-lahan, seperti ada beberapa ekor semut yang sedang berjalan merayap pada tengkuk leherku. Suara tangis itu terdengar semakin nyaring, dan aku mulai meyakini bahwa suara tangis itu sebenarnya berasal dari benda apapun yang kini merayap di kulit punggung dan belakang leherku. Benda itu semakin banyak, mereka berbaris dan berjalan masuk ke balik kaosku dan menjalar ke punggung. Apakah mereka semut? Ataukah sejenis hewan lainnya? Tapi jenis hewan apa yang suara tangisannya sangat nyaring seperti suara tangisan anak kecil?

Suara tangisan itu terdengar lagi. Malam ini adalah malam kedua aku mendengar suara tangisan misterius itu di kamarku. Suaranya seperti suara tangisan anak kecil, seperti suara bocah laki-laki yang sering bermain kelereng di dekat rumahku. Awalnya aku memang mengira anak itu yang menangis malam-malam, mungkin dia mengigau atau apa, tapi yang jelas, tak mungkin kan ia menangis di kolong tempat tidurku?

Aku memiringkan tubuhku ke arah kanan, berbaring menghadap ke dinding dan berusaha untuk tak mempedulikan suara aneh itu. Tapi suara itu semakin nyaring, bahkan terdengar meraung-raung. Aku berusaha menahan nafas, sementara jantungku berdegup kencang sejak tadi. Lampu kamar yang sudah kumatikan membuat kamar ini menjadi gelap dengan sedikit cahaya bulan dari sela-sela ventilasi di atas jendela, membuatku semakin mudah membayangkan hal-hal menyeramkan dari bayangan yang muncul di dinding.

Ketika aku menutup mata dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan pada bagian belakang leherku. Sentuhan yang halus dan menjalar perlahan-lahan, seperti ada beberapa ekor semut yang sedang berjalan merayap pada tengkuk leherku. Suara tangis itu terdengar semakin nyaring, dan aku mulai meyakini bahwa suara tangis itu sebenarnya berasal dari benda apapun yang kini merayap di kulit punggung dan belakang leherku. Benda itu semakin banyak, mereka berbaris dan berjalan masuk ke balik kaosku dan menjalar ke punggung. Apakah mereka semut? Ataukah sejenis hewan lainnya? Tapi jenis hewan apa yang suara tangisannya sangat nyaring seperti suara tangisan anak kecil?

***

Semua pertengkaran itu berawal dari makan malam. Aku benci setiap kali harus makan bersama dengan kakak perempuanku. Dia itu begitu cerewet. Selalu mengatakan ini-itu, “Makan sayurnya, Dik”, “Habiskan nasinya, nanti mereka nangis.” Sejak kapan nasi bisa menangis? Ayolah, aku sudah bukan anak umur lima tahun! Aku sudah SMA, dan sejak kapan ada anak SMA yang percaya bahwa nasi bisa menangis? Bahkan ibuku saja sudah tak pernah lagi menggunakan dongeng murahan itu.

“Mana mungkin nasi bisa nangis? Kakak gila ya?” aku protes setelah makan malam.

“Kamu kan nggak tahu,” kilahnya.

“Ah, percuma Kakak kuliah tinggi-tinggi, kalau masih percaya dengan dongeng anak-anak,” balasku kesal.

“Bukan masalah dongengnya, tapi bagaimana kita menghormati jasa petani yang udah susah payah menanam padi, bagaimana kita menghargai nasi yang kita punya sekarang—sementara banyak orang di luar sana yang bersusah payah untuk mencari sesuap nasi!” jawab kakakku sambil membereskan piring dan sisa makanku.

“Ya tapi bukan begitu caranya. Menganggap nasi bisa nangis, itu semacam halusinasi yang gawat. Kakak perlu dibawa ke psikiater! Kakak skizo!”

“Apa? Enak aja, kurang ajar kamu! Emang kenapa kalau Kakak percaya nasi itu bisa nangis?”

“Kakak musyrik!”

“Apa!” ia menggeram kesal.

“Mungkin Kakak nggak sadar, cerita tentang nasi yang bisa nangis itu adalah bawaan dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Coba pikir-pikir, kenapa orang selalu bilang ‘nanti nasinya nangis’ saat kita nggak menghabiskan nasi, tapi nggak pernah bilang ‘nanti mi-nya nangis’ saat kita nggak menghabiskan mi goreng? Semua itu bersumber dari kepercayaan tentang Dewi Padi, bahwa nasi itu adalah jelmaan dari Dewi, makanya ada cerita begitu. Kalau Kakak percaya cerita seperti itu, berarti Kakak musyrik!” aku menjelaskan dengan penuh semangat. Ini adalah teori yang sudah kususun dengan sedemikian rupa untuk menangkal pendapat kakakku.

Kakakku semakin terlihat kesal, ia bahkan terlihat hampir saja membanting piring di tangannya, “ah peduli amat sama kamu! Kamu tuh semakin pinter semakin membangkang!”

“Bukan membangkang, tapi kritis!”

***

Aku bergulingan di atas tempat tidur, rasa gatal menjalar di seluruh tubuhku, sekarang nasi-nasi setan itu sudah menyebar di setiap anggota badanku. Aku menangis, aku menangis tersedu-sedu, tapi suara tangis itu bukan berasal dari diriku, melainkan dari gerombolan nasi setan yang telah mengambil alih mulut dan mataku. Aku mencoba teriak, tapi tak terdengar suara apapun selain suara tangisan nasi yang mendadak hilang dan berganti dengan suara tawa cekikikan.

“Kamu tidak mau memakan kami, sekarang kami yang akan memakan kamu! Hahaha!”

Aku bangkit, melompat dari atas tempat tidur dan membenturkan kepalaku sendiri ke dinding. Aneh, aku tak merasakan apa-apa! Kuperhatikan sekujur tubuhku. Kulitku berubah pucat, putih dan lembek. Aku.., tidak mungkin! Aku berlari ke arah pintu dan keluar dari kamar. Di belakangku, tampak beberapa ekor semut yang berusaha naik ke atas tubuhku, mereka benar-benar mengira aku adalah nasi.

Aku menggedor-gedor pintu kamar kakakku, tapi tak ada jawaban. Aku mengulanginya lagi sambil berlutut lemas di depan pintu. Tonjolan-tonjolan sebesar nasi di sekujur tubuhku semakin banyak, bahkan aku dapat merasakan kulit pipiku yang berkedut-kedut ketika mereka bergerak. Ini tidak masuk akal! Mengapa bisa jadi begini? Apakah kakakku mengguna-gunai aku karena tersinggung dengan ucapanku waktu itu? Kalau memang iya, jahat benar dia. Dasar wanita penyihir sialan.

Tiba-tiba sebuah suara jeritan melengking memecah umpatanku di dalam hati. Aku tahu suara jeritan itu berasal dari dalam kamar kakakku, dan itu adalah suara jeritan kakakku. Ada apa dengan dia? Dengan menggunakan sisa-sisa kekuatan tubuh yang masih bisa kukendalikan, aku mendobrak pintu kamarnya dan mendapati ia sedang berguling-guling di lantai kamar. Ketika wajahnya menatapku, aku dapat melihat tonjolan-tonjolan sebesar nasi pada pipi dan lehernya, bergerak pelan dan merambat ke seluruh tubuhnya. Ia mengerang dan matanya meneteskan air mata, sementara tangannya berusaha menggaruk-garuk leher dan punggung. Di lantai, di dekat kakinya, aku dapat melihat barisan nasi yang berjalan seperti barisan semut. Nasi-nasi itu merayap ke tubuh kakakku, lalu masuk ke dalamnya melalui lubang hidung, telinga, bahkan lewat sela-sela kelopak matanya. Kakakku menangis semakin menjadi-jadi.

“Kalian tidak makan kami, kami yang makan kalian! Kalian tidak makan kami, kami yang makan kalian! Kalian tidak makan kami, kami yang makan kalian!” suara itu terdengar berulang-ulang, sangat ramai, sangat berisik. Suara itu bukan hanya berasal dari nasi yang ada di lantai, tapi juga dari nasi-nasi yang telah berada di dalam tubuhku dan tubuh kakakku.

“Tapi mana mungkin? Kakak kan selalu menghabiskan nasi!” protesku dengan suara yang tercekat.

“Tadi siang…, tadi siang sewaktu makan di kantin kampus. Nasi gorengnya nggak enak, masih… masih ada sisa…, beberapa sendok…,” kemudian Kakak menggelepar-gelepar, sepertinya ia sudah tak sanggup menguasai dirinya lagi.

Aku tidak sanggup melihat kejadian itu, itu terlalu menakutkan untukku. Aku ingin berteriak memanggil kakakku, tapi suaraku kembali tak terdengar. Mereka, nasi-nasi itu, sudah mengambil alih mulut dan tenggorokanku, sehingga yang terdengar keluar dari mulutku hanyalah kalimat, “…kalian tidak makan kami, kami yang makan kalian!”

Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada di kakiku, aku membalikkan tubuh, keluar dari kamar kakakku. Betapa kagetnya aku ketika aku melihat di hadapanku telah berdiri ayahku, dengan wajah yang putih pucat seperti nasi. Ia berdiri di atas kedua kakinya yang tampak gemetar, lalu mengayunkan tangannya untuk memukulku. Untungnya pukulan itu tidak berhasil mengenaiku, lalu aku mendorongnya sampai ia terjatuh.  Aku menjaga jarak. Apa yang terjadi pada dirinya? Apakah ia juga telah dikuasai oleh pasukan nasi? Ia lalu bangkit dengan sangat perlahan, berjalan sempoyongan dan berusaha untuk menggapaiku. Ia telah menjadi zombi!

Aku berusaha berlari sekuat tenaga, tapi kakiku terasa kian berat, akhirnya aku hanya bisa berjalan sambil meraba-raba dinding. Ayahku berusaha mengejar dari belakang, tapi untungnya ia bergerak dengan sangat lambat dan sempoyongan, sehingga ia tak akan sanggup menangkapku. Aku menggunakan segenap sisa kekuatanku, aku harus mencari sesuatu sebelum seluruh tubuhku benar-benar diambil alih dan menjadi zombi.

Setelah melalui langkah-langkah yang payah dan beberapa kali menghindari sergapan ayahku, aku tiba di pintu dapur. Namun setelah aku berhasil membuka pintu, kaki kananku mati rasa. Aku terjatuh seketika itu juga, hanya kaki kiriku saja yang masih bisa kukendalikan. Menggunakan tumpuan kedua tangat, aku menyeret tubuhku sendiri masuk ke dapur. Nafasku tersengal-sengal, seluruh tubuhku gemetar. Tiba-tiba saja, ayahku melompat, ia menubruk dan menerkamku yang sedang merayap di lantai. Ia memegangi pinggangku dan mencakar-cakar pakaianku, lalu ia membuka mulutnya lebar-lebar dan berusaha menggigitku—atau mungkin memakanku. Kutahan kepalanya dengan kedua tangan, untung saja tenaganya tak terlalu kuat, sehingga pada akhirnya aku berhasil memukulnya dan menendangnya dengan kaki kiriku hingga ia agak menjauh.

Sekarang aku berada di kolong meja dapur, sementara kedua kakiku sudah tak bisa digerakkan lagi. Kugoyang-goyangkan meja itu sampai seluruh benda yang ada di atasnya berjatuhan. Sebuah pisau dapur terjatuh dan memantul satu meter di sebelahku, itulah benda yang kubutuhkan. Segera kuambil pisau itu, lalu aku menarik nafas dalam. Kugoreskan ujung mata pisau itu pada betis kakiku yang sudah berwarna putih pucat. Sebuah sayatan terbentuk, kulitku terbuka dan kutarik ke dua sisi yang berlawanan. Untunglah pada tahap ini kakiku masih mati rasa. Setelah kulitku terbuka menganga, darah mulai mengalir keluar, bersama dengan segerombolan nasi yang berjejalan di dalamnya. Nasi-nasi itu sudah tak lagi berwarna putih, tetapi merah karena mereka berenang di dalam darah di tubuhku. Kupijat dan kuperas betisku itu, memaksa agar nasi-nasi itu keluar dari tubuhku. Semakin banyak nasi yang bisa kukeluarkan, semakin kendali atas kakiku mulai kembali, dan itu artinya rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Setelah kira-kira tiga sendok nasi yang berlumuran darah bisa kukeluarkan dari kakiku, aku menjerit tertahan, perihnya bukan main.

Aku berusaha menguatkan diriku, kulakukan hal yang sama pada betis yang satunya lagi, kuperas-peras sampai nasi-nasi itu keluar. Aku menjerit menahan sakit, tapi aku tak punya pilihan lain, aku harus mengeluarkan mereka dari tubuhku sebelum seluruh tubuhku diambil alih. Setelah operasi brutal itu kuanggap selesai, aku dapat melihat genangan darah yang cukup banyak di sekitar kakiku. Ini benar-benar ide yang buruk, aku berhasil mengeluarkan sebagian besar nasi dari kakiku, tapi tetap saja sekarang aku tak bisa berjalan karena pendarahan yang tidak berhenti. Tampaknya aku menggoresnya terlalu dalam, lagipula masih banyak nasi yang ada di balik kulit wajah, tangan, dan punggungku, meski mereka belum sampai mengambil alih.

“Kami makan kamu!” suara ayahku terdengar cukup nyaring, ia merangkak ke arahku, dan kini aku sudah tak bisa lagi menghindar.

Ia mencekikku, dan tampaknya ia mencekikku dengan seluruh tenaga yang ia punya. Aku tak mampu bernafas, mataku berkunang-kunang dan kepalaku pusing. Apakah aku akan mati di sini? Gara-gara aku sering tidak menghabiskan nasi? Ini benar-benar akhir hayat yang tak pernah terbayangkan dalam hidupku.

DUAK! Sebuah suara benturan terdengar keras. Ayahku yang tadi sedang mencekik leherku kini terpental ke samping, ia berguling-guling sampai membentur lemari makanan. Aku sadar, yang menolongku adalah ibuku sendiri. Ibu berdiri di hadapanku dengan memegang sebuah tongkat golf milik ayahku. Aku menatap wajahnya, kulitnya masih normal, tidak ada tonjolan-tonjolan nasi atau suara-suara aneh. Apakah itu artinya seumur hidupnya ibuku tidak pernah membuang-buang nasi? Jadi ia tak terkena serangan itu?

“Kita harus pergi dari sini,” ucap ibuku sambil membantuku berdiri dan merangkulku.

Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, tapi suaraku sudah tak bisa kugunakan lagi, nasi-nasi itu sudah mengambil alihnya. Ibuku merangkulku keluar dari dapur dan menyusuri lorong kamar. Ketika kami melewati kamar Kakak, aku dapat mendengar suara jeritannya yang sangat memilukan, diikuti suara gumaman para nasi yang tak pernah berubah. Tampaknya kakakku berusaha melawan pengaruh nasi itu di tubuhnya, sehingga ia menjadi begitu tersiksa.

Setelah bersusah payah, kami akhirnya tiba di pintu keluar rumah. Ibuku menidurkan aku di sofa dekat pintu, sementara ia membuka pintunya. Nafasku tersengal-sengal menahan rasa perih di kedua kakiku. Sekarang kami akan pergi kemana? Apakah ada orang yang bisa menyembuhkanku? Apakah ada cara untuk mengeluarkan nasi-nasi ini dari tubuhku?

“Kita harus pergi dari sini, pasti ada orang yang bisa menolong kamu di rumah sakit,” ucap ibuku, seolah bisa membaca pikiranku.

Setelah pintu terbuka, Ibu melongok keluar, tapi kemudian masuk lagi. Sekujur tubuhnya terlihat gemetar, wajahnya pucat pasi, ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mulut dan tampak ketakutan. Apa yang terjadi? Apa yang terjadi dengannya? Sambil bertumpu pada satu tangan, aku mengangkat tubuhku, sementara satu tanganku yang lain kugunakan untuk menyeka tirai di dekat jendela. Kini aku dapat melihat keadaan di luar melalui jendela rumah. Mobil-mobil ringsek memenuhi jalan raya seperti baru saja terjadi tabrakan beruntun, kobaran api menyala-nyala dari tempat yang jauh menghiasi siluet malam, dan orang-orang yang kukenal berjalan sempoyongan sambil menyerang satu sama lain. Semua ini persis seperti yang sering kulihat di film-film zombi. Sekarang aku tahu, kakakku memang salah. Nasi tidak menangis, mereka tidak pernah benar-benar menangis, mereka membalas dendam!

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).