Horor yang Menghukum dan Mengendalikan

By: Raíssa RuschelCC BY 2.0

Seorang teman pernah berkata bahwa baginya dalam cerita horor selalu ada tokoh yang dihukum karena berbuat salah. Ia mungkin bukan fans horor, tapi pendapatnya mencerminkan pesan yang ditangkap kebanyakan orang dari cerita horor: sekolompok turis yang nekat masuk ke hutan terlarang akhirnya kesurupan, anak muda yang tidak peduli dengan tradisi leluhur dihantui suara gamelan, lelaki pemerkosa dikejar-kejar hantu korbannya. Inti cerita horor bisa disederhanakan dalam rumus “tokoh A melakukan kesalahan X sehingga menanggung akibat menakutkan berupa Y”.

Benarkah cerita horor adalah alat yang digunakan untuk menghukumi dan menghakimi karakter yang (menurut penulisnya) telah melakukan kesalahan? Bukankah kisah tentang kejahatan yang dikalahkan oleh kebaikan sangat lazim ditemukan dalam jenis cerita apa pun? Saya menanyakan hal ini di sebuah forum diskusi. Dari berbagai komentar yang masuk, kesimpulannya adalah: tidak selalu. Seorang tokoh tidak selalu dihantui karena ia pernah berbuat salah atau melanggar peraturan. Sebagian tokoh dalam cerita horor dihantui atau bahkan diteror hanya karena sedang apes: pengacara yang datang ke kastil terpencil untuk mengurus transaksi real estate, pengendara mobil yang salah jalan dan tersesat, atau orang tua yang mengadopsi anak yang awalnya terlihat polos. Penulis horor tidak selalu “menyiksa” tokohnya karena ingin menujukkan benar-salah, monster dan hantu  juga tidak selalu punya motif untuk membalas dendam, tapi seperti kata Alfred di The Dark Knight, “some men just want to see the world burn“.

Meski begitu, sebagaimana jenis cerita lainnya, cerita horor memang dapat digunakan untuk menyampaikan gagasan benar-salah secara efektif. Namun karena sifatnya yang menakut-nakuti, cerita horor memiliki kecenderungan untuk menyampaikan pesan secara negatif. Pesan moral yang ditampilkan cerita horor biasanya bukanlah dengan gaya positif-eufimistis seperti dalam stiker “terima kasih karena Anda tidak merokok”, melainkan dengan gaya mengancam seperti tulisan di gang-gang sempit “ngebut = bacok” atau “yang buang sampah di sini anjing!”.

Namun apakah penyampaian pesan dalam cerita horor harus segamblang itu? Menurut saya tidak. Cerita yang terlalu menggurui (atau menghakimi) adalah cerita yang buruk. Bila cerita horor terjebak dalam rumus “tokoh A melakukan kesalahan X sehingga menanggung akibat menakutkan berupa Y” secara dangkal maka kita hanya akan membuat cerita-cerita sekelas sinetron Hidayah yang pernah populer di televisi. Ya, cerita horor sekelas sinetron Hidayah mungkin menarik dan menyentuh bagi orang awam, tapi bagi orang yang sudah berpengalaman, cerita seperti itu sangat membosankan dan tidak efektif lagi.

Terkadang, tokoh dalam cerita dihukum karena kesalahan yang tidak ada hubungannya dengan plot. Contohnya adalah stereotip dalam film-film slasher klasik yang menggambarkan perempuan nakal selalu menjadi korban pembunuhan paling awal, sementara perempuan tulus dan perawan berhasil selamat hingga akhir. Stereotip ini kemudian diparodikan oleh film Scream dan–baru-baru ini–Cabin in the Woods.

Sebenarnya gaya penceritaan horor sudah sejak lama digunakan untuk menyebarkan gagasan benar-salah di masyarakat; anak-anak ditakut-takuti dengan wewe gombel agar tidak keluyuran saat malam, masyarakat ditakut-takuti dengan genderuwo agar tidak menebang pohon sembarangan, para orang tua ditakut-takuti dengan kuntilanak agar selalu menjaga bayi mereka. Terlepas dari nyata atau tidaknya hantu-hantu tersebut, kita dapat melihat pola penggunaan cerita horor untuk mengontrol perilaku orang lain.

Penggunaan cerita horor untuk mencuci otak dan mengendalikan perilaku memang dimungkinkan, sebab manusia selalu dipengaruhi oleh rasa takut, dan rasa takut bisa diciptakan secara artifisial. Orang yang baru menonton film Chucky mungkin akan lebih takut ketika melihat boneka dibandingkan orang yang belum pernah menontonnya sama sekali.

Sebuah eksperimen “menciptakan rasa takut” pernah dilakukan pada tahun 1920. Eksperimen kontroversial itu dkenal dengan nama Little Albert Experiment. Pada eksperimen tersebut, Watson dan Rayner melepas seekor tikus putih di dekat balita bernama Albert. Awalnya, Albert sama sekali tidak takut pada tikus itu, ia bahkan menangkap dan memain-mainkannya. Pada tahap selanjutnya, tikus itu kembali dilepas. Namun kali ini setiap kali Albert menyentuh tikus itu, Watson dan Rayner akan memukul sebuah batang besi hingga membuat Albert kaget dan menangis. Setelah hal itu dilakukan beberapa kali, Albert kembali diberikan tikus.  Kini Albert menjadi ketakutan, menangis, dan menghindar setiap kali melihat tikus, meski tidak ada suara mengejutkan itu lagi. Ketakutan terhadap tikus yang sebelumnya tidak ada, kini berhasil diciptakan. Bahkan rasa takut Albert meluas. Ia tidak hanya takut pada tikus itu saja, tapi pada benda-benda lain yang mirip dengannya.

Bayangkan, bila pengondisian yang dilakukan terhadap balita itu bisa dilakukan dalam skala yang lebih besar, yaitu terhadap masyarakat atau penduduk sebuah negeri. Bukankah itu cara yang cukup efektif untuk mengendalikan massa?

Cerita horor dapat digunakan secara politis untuk memengaruhi massa–atau dengan kata lain sebagai propaganda. Film G30S PKI karya pemerintah Orde Baru (yang bisa dibilang film horor) adalah contoh yang paling mudah diingat. Hasilnya sangat efektif selama puluhan tahun. Begitu pula dengan narasi war on terror-nya George W. Bush di media-media yang sempat mengasosiasikan Islam fundamental dengan teror dan ledakan bom.

Namun seperti yang disebutkan di awal, tidak semua cerita horor bertujuan untuk menunjukkan benar-salah atau mengendalikan perilaku. Banyak cerita horor yang dibuat untuk mempertanyakan atau mendekonstruksi kebiasaan umum, ada pula yang dibuat sekadar menjadi hiburan pelepas dopamin dalam otak.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).