Carrie dan Bullying

Carrie

Beberapa minggu lalu saya baru saja selesai membaca novel Carrie. Saya tahu, saya benar-benar telat. Sebenarnya sudah sangat lama saya ingin membaca novel “klasik” karya pertama Stephen King ini, tapi baru teringat lagi ketika film remake-nya ditayangkan di bioskop. Novel yang singkat ini membuat saya mencari tahu mengenai kasus bullying remaja (saya tidak tahu padanan bahasa Indonesia-nya yang tepat), sekaligus mengingat-ingat apa yang saya maupun teman-teman saya pernah alami.

Entah mengapa, kebanyakan orang yang saya kenal memang mengaku pernah menjadi korban bullying di masa kecilnya, mulai dari yang sekadar dijauhi, diejek-ejek, dipalak uang jajannya, sampai yang disakiti secara fisik atau dipermalukan di depan umum. Saya sendiri pun pernah berada dalam posisi itu ketika kecil. Memang, kebanyakan orang menceritakan pengalaman pahit itu dengan santai, seolah menganggapnya sebagai hal yang lucu, tapi siapa yang tahu pengaruh apa yang dibawanya hingga dewasa? Bukankah pengalaman masa kecil adalah pembentuk jati diri kita?

Menurut stopbullying.gov, tindakan bullying setidaknya memengaruhi tiga pihak: korban, pelaku, dan penonton. Bagi korban, pengaruhnya antara Continue reading Carrie dan Bullying

#5BukuDalamHidupku | Bag of Bones: Stephen King dan Tanda Kurung

Sebenarnya saya merasa sangat bimbang untuk menentukan buku keempat ini. Ada banyak kandidat, mulai dari Perang (novel Putu Wijaya yang pernah saya baca saat SMA), Kumpulan Budak Setan (buku horor lokal favorit saya), hingga Bumi Manusia (ini pasti pilihan yang sangat mainstream). Namun saya kembali teringat bahwa buku yang saya pilih haruslah buku yang paling berpengaruh, bukan yang paling bagus atau keren. Oleh karena itu pada akhirnya saya memilih Bag of Bones, novel Stephen King pertama yang saya baca. Dengan demikian, saya terpaksa melanggar perkataan saya kepada Irwan Bajang bahwa empat buku pilihan saya setelah Goosebumps bukanlah bergenre horor. Ups!

Continue reading #5BukuDalamHidupku | Bag of Bones: Stephen King dan Tanda Kurung

#5BukuDalamHidupku | Peri Sayap Kupu-Kupu, Novel Pertama

Alkisah di zaman dahulu kala sebelum manusia memiliki peradaban modern dan ketika dewa-dewi kahyangan masih bertahta, saya pernah menyelesaikan sebuah novel. Utuh. Sampai ending. Tanpa bantuan Nanowrimo atau himpitan deadline. Novel legendaris itu berjudul “Peri Sayap Kupu-Kupu”. Continue reading #5BukuDalamHidupku | Peri Sayap Kupu-Kupu, Novel Pertama

#5BukuDalamHidupku | Doraemon: Sains Populer dan Orgasme Kosmis

Siapa yang tidak kenal Doraemon? Komik buatan Fujio F. Fujio ini sudah menjelma menjadi ikon masa kanak-kanak bagi sebagian besar orang yang hidup saat ini. Lalu mengapa saya memasukkan Doraeomen dalam daftar ini? Bukan, bukan karena saya sudah kehabisan ide di postingan kedua ini dan terpaksa memasukan judul komik anak-anak yang sangat mainstream ini. Namun setelah melakukan perenungan yang cukup panjang, saya sampai pada satu kesimpulan bahwa Doraemon memiliki peran penting dalam rasa keingintahuan saya seputar sains populer. Doraemon adalah guru pertama yang memperkenalkan saya dengan fisika populer dan pada akhirnya membuat saya menemukan ungkapan konyol semacam “orgasme kosmis”.

Continue reading #5BukuDalamHidupku | Doraemon: Sains Populer dan Orgasme Kosmis

#5BukuDalamHidupku Goosebumps: Misteri Anjing Hantu

Saya perlu berpikir agak keras ketika memutuskan mengikuti acara #5BukuDalamHidupku dari situs irwanbajang.com. Selain karena saya bukan seorang pembaca yang rajin (butuh waktu lama untuk menghabiskan satu buku), deskripsi acara itu juga lumayan berat: “berisi 5 buku paling berpengaruh, 5 buku yang mengubah hidup Anda!”. Rasanya hidup saya yang biasa-biasa ini belum pernah berubah sampai lima kali, itu kalau perubahan yang dimaksud adalah sesuatu yang transformatif atau luar biasa. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil definisi yang pertama yaitu “5 buku paling berpengaruh”, atau dalam penafsiran saya, “5 buku yang paling berkesan dan paling mudah saya ingat saat ini”.

Tanpa lebih lanjut mengorupsi word count, saya akan memperkenalkan buku pertama saya untuk acara ini. Sudah bisa ditebak dari judul tulisan, buku itu adalah Goosebumps: Misteri Anjing Hantu.

ANJING-ANJING HANTU ITU SUDAH MENUNGGUNYA SELAMA BERABAD-ABAD! Continue reading #5BukuDalamHidupku Goosebumps: Misteri Anjing Hantu

Terbenam

Sebagian orang mengenakan bikini atau celana renang, sebagian lagi mengenakan kaos dan celana pendek khas pantai, tapi semuanya menghadap ke arah yang sama: ke barat. Langit sudah mulai bersemu jingga ketika kami tiba di tepi pantai yang ramai itu. Tanggal merah di hari Kamis ini telah menciptakan hari libur baru selama empat hari bagi kebanyakan orang. Ayahku menyewa sebuah kamar yang letaknya tak jauh dari tepi pantai menggunakan uang tabungannya. Niatnya sudah bulat sejak sebulan yang lalu: bila uangnya sudah cukup, ia akan membawa kami melihat matahari terbenam di pantai.

Semua ini bermula dari kartu pos tua yang ia temukan saat sedang merenovasi kamar tidurnya. Kartu pos itu berisi lukisan matahari terbenam yang sepertinya dibuat menggunakan tangan. Itu adalah masa ketika semua orang belum memiliki kamera di saku mereka dan belum memiliki email untuk mengirimkan pesan bergambar. Di belakang kartu pos itu ada sebuah puisi yang Ayah tulis untuk Ibu, sebuah janji untuk melihat matahari terbenam bersama. Ia baru ingat bahwa janji itu tak pernah benar-benar terpenuhi, bahkan setelah mereka menikah dan memiliki aku dan adikku, bahkan setelah sebulan yang lalu Ibu meninggal dunia.

“Sebentar lagi mataharinya terbenam,” ucap Ayah sambil menggelar tikar dan mengajak kami duduk di sampingnya.

Adikku, Beni, sedang terpana melihat istana pasir yang dibuat seorang pengunjung. Kubujuk dia untuk merapat. “Membuat istana pasir bisa dilakukan esok hari, sekarang saatnya melihat matahari.” Beni menurut. Ia duduk di antara aku dan Ayah.

Langit semakin merah. Matahari berubah menjadi seperti telur, cahayanya tak lagi menusuk mata. Perlahan-lahan, bola jingga itu turun ke bawah, hampir menyentuh cakrawala. Ayah mungkin teringat pada kartu pos itu, tapi aku sudah pasti teringat pada desktop wallpaper yang sering aku lihat di layar komputer. Intinya tetap sama, manusia selalu ingin merekam hal-hal menakjubkan dari pengalaman mereka. Matahari terbenam adalah sebuah pengalaman menakjubkan. Sebagian orang menghubungkannya dengan kesedihan dan perpisahan karena menandakan berakhirnya hari. Bagiku, matahari terbenam adalah momen retrospeksi. Ketika melihat sebagian bola jingga itu tenggelam ke dalam lautan, kami membayangkan sebagian hidup kami yang juga sudah tenggelam bersama berlalunya waktu. Aku melihat kilau di mata Ayah. Suatu saat aku akan berada dalam posisinya, Beni juga.

Sebagian turis bertepuk tangan ketika akhirnya matahari tampak masuk seluruhnya ke dalam lautan. Beberapa pasangan berpelukan, bahkan samar-samar kulihat ada pula yang berciuman. Hari ini sudah usai, tapi semua orang percaya bahwa masih ada hari esok tempat kami akan melakukan hal-hal yang lebih baik. Bagi kami, berakhirnya hari tidak benar-benar ditandai oleh terbenamnya matahari. Ayah lebih akrab dengan suara bel pulang kantor, aku dan Beni lebih akrab dengan perubahan acara televisi menjadi azan Maghrib dan sinetron.

Suasana di sekitar kami perlahan menjadi gelap. Tak ada lagi cahaya alami dari langit, yang tersisa hanya lampu-lampu buatan manusia yang berasal dari restoran dan hotel di belakang sana. Perlahan-lahan para pengunjung bangun dari atas pasir, menepuk-nepuk pantat mereka, dan mungkin bersiap-siap untuk kembali ke hotel dan menyantap makan malam. Kami bertiga juga bangun. Ayah melipat kembali tikarnya.

“Besok jangan lupa bangun pagi,” katanya, “kita akan melihat matahari terbit.”

Matahari terbit, simbol harapan dan permulaan dari segala kegiatan, penawar dari rasa sendu pemandangan sore ini. Tikar sudah digulung, kami pun membalik badan untuk pulang. Beni masih menoleh ke belakang. Kupanggil namanya. Ia pasti masih penasaran dengan istana pasir tadi. Kupanggil lagi, ia tak juga menyahut. Akhirnya aku kembali berbalik dan berniat menarik tangannya. Kusadari, rupanya Beni tak lagi menatap istana pasir, ia menatap langit. Di atas sana, langit yang hitam perlahan tersibak. Mengintiplah dari balik kegelapan itu, sebuah bola berwarna kuning terang. Kegelapan itu sirna, cahaya menyebar ke segala penjuru. Ada matahari lagi.

Semua orang yang telah beranjak pergi kini membalikkan badan. Tatapan-tatapan mata membisu melihat bola cahaya di hadapan kami yang tak terjelaskan. Tak terjelaskan. Langit kembali menjadi siang. Semakin siang.

Catatan: Cerita singkat ini dibuat berdasarkan mimpi saya beberapa hari lalu. Saya yakin, banyak juga orang yang sering mengalami mimpi semacam ini.

Ilustrasi: http://www.scenicreflections.com/download/397170/Red_Sunset_Painting_Wallpaper/

First World Problem: Aplikasi Messenger

Di ponsel saya saat ini sudah bertumpuk banyak sekali aplikasi pengirim pesan: WhatsApp, Line, Facebook Messenger, Hangouts (sebelumnya Google Talk), dan yang terbaru BBM for Android. Semboyan negara kita memang Bhinneka Tunggal Ika dan setiap orang berhak membuat dan menggunakan alat komunikasi pilihannya sendiri. Namun dilihat dari sudut pandang pengguna, menurut saya “banjir” aplikasi pengirim pesan ini sangat tidak efisien terhadap sumber daya. Bayangkan, bila semua aplikasi tersebut aktif dalam satu waktu, berarti semakin banyak memori dan daya baterai yang dihabiskan. Belum lagi aplikasi social media lainnya seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Padahal fungsi dari seluruh aplikasi itu bisa dibilang sama, perbedaannya cuma pada gaya dan model bisnis.

Sayangnya, saya tidak bisa begitu saja memilih salah satu aplikasi dan membuang yang lainnya. Aplikasi pengirim pesan dan social media selalu terhubung dengan kepentingan orang lain. Bila salah satu kelompok teman memilih menggunakan WhatsApp, kelompok teman lainnya menggunakan Line, keluarga menggunakan BBM, teman-teman komunitas dunia maya menggunakan Facebook dan Hangouts, berarti untuk bisa  terhubung dengan mereka semua dengan mudah, saya harus memasang semua aplikasi tersebut. Untuk itu, saya pikir ada baiknya bila kita memiliki sebuah aplikasi chatting yang universal dan bisa digunakan semua orang. Pada masa-masa kejayaan YM dan AIM dulu, saya bisa menemukan aplikasi “penjembatan” yang bisa login ke semua penyedia layanan chatting itu. Namun untuk saat ini, saya belum menemukan satu aplikasi yang bisa login ke WhatsApp, Line, dan BBM secara sekaligus.

“Aplikasi chatting yang universal, kamu bilang?” ucap seorang pembaca, yang mungkin adalah Anda sendiri, “Bukannya kita punya teknologi canggih dan universal yang bernama … SMS? Satu aplikasi yang bisa digunakan di semua ponsel, baik yang pintar maupun yang dungu.”

Saya tahu. Dorongan untuk kembali ke dasar itu sangat brilian. Namun saya teringat, hal apa yang membuat orang-orang pada awalnya beralih dari SMS ke mobile messenger? Setahu saya, orang-orang berbondong-bondong pindah dari layanan SMS ke BBM (dan mulai saat itu menolak membalas SMS dari temannya yang tidak punya BlackBerry) karena masalah biaya. Biaya paket data untuk menggunakan aplikasi chatting, terutama paket yang unlimited dan gratis, dianggap lebih murah daripada tarif SMS dan MMS. Saya tidak hapal tarif SMS seluruh operator saat ini, tapi selama biaya SMS masih lebih mahal daripada biaya paket data, rasanya akan sulit untuk mengajak orang kembali menjunjung tinggi aplikasi persatuan, aplikasi SMS.

 

Suspense dan Bom di Bawah Meja

“Anggaplah ada sebuah bom di kolong meja di hadapan kita. Tak ada yang terjadi, lalu tiba-tiba bum! Muncul ledakan. Penonton terkejut, tapi sebelum kejutan itu, yang terlihat hanya adegan biasa-biasa saja. Sekarang coba bandingkan dengan situasi suspense. Bomnya ada di bawah meja, tapi penonton mengetahui itu, mungkin karena mereka melihat sang pelaku meletakkannya di sana. Penonton tahu bahwa bom itu akan meledak pada pukul satu. Terdapat sebuah jam di dalam ruangan. Penonton melihat bahwa jam itu menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit. Dalam kondisi tersebut, penonton ikut berpartisipasi dalam adegan yang dilihatnya. Mereka tergoda untuk memberi peringatan pada tokoh-tokoh di layar, ‘Jangan mengobrol terus. Ada bom di bawah meja dan bom itu akan segera meledak!’. Pada kasus pertama, kita membuat penonton merasakan kejutan selama lima belas detik, sementara pada kasus kedua kita membuat mereka merasakan ketegangan selama lima belas menit.”

Paragraf di atas adalah terjemahan bebas dari penjelasan Alfred Hitchcock ketika diwawancarai oleh Francois Truffaut mengenai perbedaan antara suspense (tegangan) dan surprise (kejutan). Analogi bom ini sangat terkenal (mungkin sampai terkesan klise) sehingga sering dijadkan acuan untuk membuat adegan suspense dalam cerita.

Dalam bahasa Indonesia, suspense diterjemahkan menjadi “tegangan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan tegangan sebagai istilah sastra yang berarti “ketidakpastian yang berkelanjutan atau suasana yang makin mendebarkan yang diakibatkan oleh jalinan alur dalam cerita rekaan atau lakon” dan juga istilah psikologi yang berarti “keadaan mencekam sebagai akibat perasaan khawatir, terhambat, frustrasi, atau terlalu bergelora”. Namun dalam tulisan ini saya tetap akan menggunakan istilah suspense agar tidak membingungkan.

Kalau melihat contoh “bom di kolong meja tersebut”, mungkin bisa dimaklumi bahwa suspense sering kali disandingkan dengan genre thriller (selain itu juga horor dan misteri), sebab genre ini memang yang paling sering menggunakan suspense secara maksimal. Oleh karena itu, kita sering mendengar istilah suspense thriller. Meski begitu, suspense pada dasarnya bukanlah sebuah genre, melainkan teknik bercerita yang dapat digunakan dalam berbagai media, baik sastra, film, atau pertunjukan, dan dapat digunakan dalam genre apa pun, mulai dari komedi hingga percintaan dengan kadar yang bervariasi.

Tegangan dalam cerita percintaan misalnya adegan seorang pemuda yang berselingkuh dan hampir berpapasan dengan pacarnya di tengah jalan, atau sebuah lamaran pernikahan yang nyaris ditolak. Dalam cerita komedi, suspense bisa berupa adegan tokoh yang melakukan hal bodoh yang tanpa disadari akan mempermalukan dirinya sendiri. Dalam cerita horor dan thriller, contoh suspense sudah sangat banyak dan sepertinya tak perlu disebutkan lagi.

Ada sangat banyak tips membuat adegan suspense yang bisa kita temukan di internet. Namun hanya dengan penjelasan Hitchcock di awal tulisan, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa ciri penting dari suspense adalah adanya ketidakpastian. Ketidakpastian ini harus didahului dengan memberi tahu pembaca tentang sesuatu yang “mungkin” akan terjadi. Dalam contoh tersebut, ketidakpastiannya adalah berupa bom yang mungkin akan meledak (dan mungkin juga tidak). Ketidakpastian itulah yang membuat pembaca merasakan suspense.

Hal lain yang sangat berpengaruh dalam suspense adalah besarnya taruhan. Semakin besar taruhannya, berarti semakin besar juga suspense yang ditimbulkan. Taruhan yang dimaksud di sini adalah suatu peristiwa yang bisa menimpa tokoh atau memengaruhi jalannya cerita. Bayangkan bila bom dalam contoh tersebut diganti dengan beberapa batang petasan korek, tentu pembaca/penonton akan merasakan intensitas suspense yang berbeda, sebab hal yang dipertaruhkan relatif lebih kecil (hanya luka-luka).

Suspense juga bisa dibedakan dari kejutan dan misteri. Perbedaan antara suspense dan kejutan sudah dijelaskan lewat analogi bom di atas, yaitu ada-tidaknya ketidakpastian yang diantisipasi oleh penonton/pembaca. Hitchcock juga membedakan antara suspense dan misteri. Menurutnya, ketika kita menebak-nebak pelaku kejahatan dalam cerita misteri, yang menonjol adalah teka-teki intelektual yang tidak emosional, padahal emosi adalah hal penting dalam suspense. Meski demikian, tentu saja cerita misteri atau detektif juga bisa memasukkan suspense dalam plotnya sehingga teka-teki intelektual itu ikut terasa menegangkan secara emosional.

Penggunaan suspense dalam sebuah cerita adalah hal yang penting, sebab bisa mencegah cerita menjadi terlalu datar dan membosankan. Bisa dibilang, ini adalah teknik paling mujarab untuk “mengunci” perhatian pembaca/penonton agar tidak berpaling hingga cerita selesai. Namun menerapkan suspense bukanlah hal yang mudah, sebab seperti teknik bercerita lainnya, kreativitas dan latihan lebih dibutuhkan daripada sekadar pengetahuan teori.

Referensi:

Click to access hitchcockinterview.pdf

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
http://www.doctorsyntax.net/2010/09/alfred-hitchcocks-bomb-suspense.html

Menuju Nanowrimo 2013

 

nanowrimoNanowrimo sebentar lagi akan dimulai. Para penulis di seluruh dunia sudah mulai ramai membicarakannya di forum-forum maupun social media, begitu pun di situs resmi Nanowrimo yang telah dipoles dengan tampilan baru. Kita mulai menarik napas, mempersiapkan stamina untuk mengalahkan rasa malas dan kebuntuan ide, juga untuk bertahan hidup melewati ini semua.

Saya baru satu kali mengikuti Nanowrimo, yaitu tahun lalu. Untuk orang dengan stamina rendah seperti saya, menulis 50.000 kata dalam sebulan adalah pengalaman yang luar biasa melelahkan, tapi juga menyenangkan. Pada minggu pertama, jumlah kata yang saya tulis masih bisa mengikuti target, bahkan sesekali melebihi. Cobaan berat baru datang pada akhir minggu kedua. Selain stamina yang mulai turun, pekerjaan di kantor pun datang dengan gila-gilaan, bahkan beberapa kali saya harus bekerja lembur sampai pagi. Dalam keadaan itu, Nanowrimo terasa seperti mission impossible. Saya paksakan diri untuk mengejar ketertinggalan demi tujuan besar di akhir bulan: rasa bangga telah berhasil mengalahkan diri sendiri … dan diskon Scrivener.

Memaksakan diri untuk menulis dalam keadaan kurang tidur, tubuh lelah, dan pikiran yang tidak fokus adalah cara mudah meraih “trance“. Tiga ribu kata terakhir benar-benar saya tulis dalam keadaan setengah sadar. Hasilnya ajaib, naskah saya seperti catatan kondisi psikologis seseorang, yang berangsur-angsur berubah dari waras menjadi gila. Hasilnya, saya kalah. Namun merasa menang. Jumlah kata yang ditunjukkan oleh Scrivener (trial version) ternyata tidak cocok dengan jumlah kata yang ditunjukkan word counter resmi. Perbedaannya memang cuma 1000 kata, tapi hal itu baru saya ketahui setengah jam terakhir. Sebenarnya masih ada waktu satu hari, tapi saat itu saya sudah berjanji untuk ikut outing dari kantor ke Pulau Seribu dan sudah nyaris datang terlambat. Akhirnya saya merelakan kekalahan itu, setidaknya saya merasa menang secara tidak resmi.

Tahun ini, saya akan mengikuti Nanowrimo lagi. Namun agak berbeda dari tahun sebelumnya, sebab kali ini saya berencana untuk melanjutkan kumpulan novela yang sedang saya buat. Dalam terminologi Nanowrimo, hal ini bisa dikategorikan sebagai rebel. Tidak mengapa, sebab saya memang membutuhkan momen ini untuk menyelesaikan naskah yang tidak selesai-selesai.

Cerita Horor Kota

CHK

Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti sebuah lomba menulis cerpen horor yang diselenggarakan oleh penerbit PlotPoint. Lomba ini sebenarnya adalah bagian dari rangkaian lomba cerpen lain yang bertema kota. Saya sangat tertarik dengan lomba ini karena lomba cerpen yang “khusus” mengangkat genre horor bisa dibilang sangat jarang.

Cerpen yang saya kirimkan mengambil latar di kota Karawang, kota tempat saya (setidaknya secara resmi, di KTP) tinggal. Seperti yang dipikirkan kebanyakan orang, awalnya saya mencoba mencari urband legend atau kisah mistis yang khas dari kota tersebut. Saya menanyakan hal ini pada seseorang yang sejak kecil tinggal di Karawang, tetapi di luar dugaan ia menyarankan saya untuk tidak mengambil tema tersebut, alasannya karena takut menyinggung pihak-pihak tertentu. Saya agak khawatir juga mendengarnya. Bukan karena takut disantet atau semacamnya, tapi karena merasa alasan saya menulis cerita horor bukan untuk melakukan “demonisasi” terhadap orang-orang yang melakukan praktik tradisi atau kepercayaan kuno. Selama ini ada kecenderungan dalam cerita horor untuk memosisikan budaya tradisional dan kuno sebagai sesuatu yang menyeramkan bagi orang-orang modern. Akhirnya saya memutuskan untuk membalik kebiasaan tersebut, yaitu dengan mengambil sudut pandang orang pribumi yang merasa terancam dengan kedatangan hal-hal asing. Saya kira sudut pandang ini cocok dengan keadaan Karawang yang telah berubah dari lumbung padi menjadi kota industri dengan segala permasalahan sosialnya. Sangat pretensius, ya?

Saya sangat beruntung karena ternyata cerpen saya terpilih menjadi salah satu cerpen yang dibukukan. Buku berjudul “Cerita Horor Kota” itu sudah terbit sekitar seminggu yang lalu dengan cover yang [bagi saya] sangat menarik, begitu pula dengan ilustrasi cat air di dalamnya. Satu-satunya kekurangan dari segi sampul adalah tangan monster yang “keluar” dari belakang buku, itu agak mengganggu (walaupun terlihat keren saat buku masih dibungkus plastik). Kualitas kertas dan cetakannya juga bagus, layak dikoleksi.

Saya tidak akan membahas buku ini, karena saya pikir hal itu bukan bagian saya. Yang jelas, saya merasa agak geli ketika membandingkan cerpen yang saya buat dengan cerpen pemenang lain, sepertinya cerpen saya yang paling tidak nyambung dengan konsep buku ini. Entahlah, biar pembaca yang menilai.

Buku ini bisa didapatkan di toko-toko buku pada umumnya.

Bolos Satu Minggu

 

Satu minggu bolos kerja tidak selalu berarti menyenangkan, terutama bila hal yang memicunya adalah demam tinggi dan sakit kepala yang tak tertahakan. Jumat siang itu saya terpaksa pulang lebih awal dari kantor. Saya membayangkan kepala saya berdenyut-denyut seperti Sun Go Kong yang sedang dibacakan mantera oleh gurunya. Suhu tubuh naik entah hingga berapa derajat, sayang sekali saya tidak memiliki termometer (terakhir kali saya memiliki termometer adalah ketika masih SD dan saya menjatuhkan benda itu hingga air raksa di dalamnya menggenangi lantai). Demam dan pusing semacam itu biasanya akan membaik dengan sendirinya setelah tidur selama beberapa jam, tapi siang itu agak berbeda. Demam tak juga turun meski saya sudah tidur dan bangun berkali-kali.

Esoknya, setelah menjalani tes darah dan rontgen, dokter mengatakan bahwa penyakit saya adalah pneumonia alias radang paru-paru. Lendir kental yang selama dua bulan terakhir ini bertengger di tenggorokan telah turun hingga ke dalam paru-paru. Rupanya keberadaan lendir tersebut yang disertai oleh infeksi viruslah yang membuat saya pusing dan batuk tanpa henti. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat penuh di rumah selama satu minggu. Continue reading Bolos Satu Minggu