Tanggung Jawab Slender Man

Slender man

Dua orang gadis berumur 12 tahun mengajak seorang temannya untuk menginap di rumah mereka. Keesokan harinya mereka bermain petak umpet di sebuah hutan, dan di hutan itulah mereka memegangi dan menusuk temannya sebanyak sembilan belas kali di bagian badan, lengan, dan kaki. Ini bukan dendam atau perampokan, ini adalah sebuah persembahan untuk Slender Man yang mendatangi mimpi salah satu dari mereka. Dengan penuh luka, sang korban berhasil keluar dari hutan dan ditemukan oleh seorang pesepeda yang kebetulan melintas. Untunglah ia selamat. Tusukan-tusukan itu meleset beberapa milimeter dari bagian vital.

Paragraf di atas bukanlah sebuah fanfiction Slender Man dari situs Creepypasta. Itu adalah rangkuman dari berita yang saya baca tadi pagi di The Independent, yang ternyata–karena motifnya yang sensasional–juga menjadi pemberitaan di berbagai media asing lainnya. Peristiwa itu terjadi Sabtu lalu di Wisconsin dan kedua pelaku kini sudah ditahan polisi.

Siapa yang tidak mengenal Slender Man? Semua orang yang sering mengunjungi forum atau situs luar pasti pernah melihat meme ini. Apalagi bagi mereka yang pernah memainkan versi video game-nya (yang sampai sekarang tidak pernah saya selesaikan karena ngeri). Tokoh fiktif yang lahir dari sebuah lomba Photoshop di tahun 2009 ini telah menjadi legenda urban, khususnya di internet. Legenda Slender Man telah menginspirasi lahirnya ratusan karya-karya kreatif, baik dalam bentuk cerpen, fotografi, gambar ilustrasi, dan video game. Namun sayangnya, dua remaja delusional dari Wisconsin itu mengambil inspirasi yang salah.

Kasus semacam ini bukanlah fenomena baru. Sesekali kita memang menemukan kasus-kasus “aneh” dari suatu tempat di bumi ini. Kasus pembunuhan atau bunuh diri yang [konon] terinspirasi oleh musik, video game, film, dan sastra sudah cukup sering kita temukan. Kali ini, kambing hitamnya adalah Slender Man, Creepypasta, dan cerita horor pada umumnya. Creepypasta dan berbagai situs horor lain yang pernah mempopulerkan Slender Man membuat pernyataan tertulis berisi ucapan belasungkawa dan penjelasan bahwa mereka tidak pernah mendukung hal yang dilakukan kedua perempuan itu. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka menerima banyak e-mail yang menyalahkan mereka atas kasus tersebut.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Dalam benak saya, muncul kembali pertanyaan klasik yang selalu muncul berkali-kali: seberapa jauh kita harus [merasa] bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman orang lain mengenai karya kita? Orang yang membuat cerita dan meme Slender Man tentu tak berniat memengaruhi orang lain agar menumbalkan temannya sendiri. Begitu pula orang-orang yang membuat The Raid 2, Grand Theft Auto, atau bahkan Tom & Jerry. Namun apakah kita harus melimpahkan akibat dari penafsiran “sakit” itu kepada para kreator yang tidak bermaksud buruk?

Untuk menentukan batas tanggung jawab moral mengenai hal ini, kita mungkin memerlukan diskusi panjang. Namun saya tidak percaya bahwa kita harus selalu bertanggung jawab terhadap penafsiran orang lain, apalagi penafsiran yang jauh menyimpang. Orang-orang gila dapat menjadikan apa pun sebagai inspirasi. Kita bisa membuat cerita tentang makhluk-makhluk lucu berpelukan di taman yang indah, dan mungkin akan ada seorang sosiopat yang menerjemahkan itu sebagai ajakan untuk “mengirim” anak-anak kecil ke surga. Bila manusia selalu merasa takut disalahpahami, niscaya manusia tidak akan pernah berkarya.

Saya mungkin bias. Saya mungkin berpikiran seperti ini karena saya gemar menulis cerita horor dan [alhamdulillah] sampai saat ini belum ada orang yang menjadi pembunuh setelah membaca tulisan saya. Bayangkan bila ada. Sekali pun saya tidak merasa bertanggung jawab secara hukum, tapi saya mungkin akan memiliki beban mental yang luar biasa. Saya tidak bisa tidak peduli sama sekali. Setidaknya saya harus melakukan hal-hal sederhana seperti memberi peringatan untuk cerita yang tidak cocok bagi pembaca di bawah umur.

Mungkin akan ada yang berpikir bahwa saya hanya sedang membuat pembenaran, lalu mengajukan pertanyaan lain yang lebih sensitif, seperti “kalau begitu, apakah pembuat film porno tidak bertanggung jawab terhadap banyaknya kasus perkosaan?”. Saya tidak tahu, ini mungkin membutuhkan pembahasan berbeda. Atau ambil contoh lain, misalnya ketika sekelompok teroris membunuh orang-orang tak bersalah karena keliru menafsirkan kitab suci agama, apakah kita akan menyalahkan kitab sucinya? Atau Tuhan yang menurunkannya? Bila sekelompok orang membuat sekte ajaran sesat karena menafsirkan agamamu secara sembarangan, siapakah yang akan kamu salahkan?

Ilustrasi dari:
http://beforeitsnews.com/contributor/upload/106013/images/Slenderman-irl.jpg

Referensi:

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).