Setiap membaca novel-novel terjemahan, saya sering merasa kesulitan hingga harus mencari tulisan dalam bahasa aslinya (maksudnya: bahasa Inggris) terlebih dahulu. Meski membaca buku terjemahan (apalagi yang diterjemahkan dengan buruk) adalah hal yang menyebalkan, tapi saya sadar bahwa menerjemahkan tulisan bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali saya mencobanya, dan biasanya gagal.
Siang tadi, dari sebuah grup literatur horor, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah cerpen yang lumayan menarik. Cerpen itu berjudul “On the River” oleh Guy de Maupassant (1850-1893). Iseng-iseng, saya mencoba menerjemahkan cerpen tersebut. Awalnya tidak terlalu sulit. Namun memasuki pertengahan cerita, terjemahan saya semakin amburadul. Selain karena terjebak dengan penerjemahan kata per kata, penyebab kekacauan lain adalah gaya bahasa cerpen yang agak tidak biasa. Ketika narator berganti peran menjadi si pendayung, kalimat-kalimatnya menjadi penuh dengan tanda koma dan terputus-putus. Mungkin penulisnya sengaja melakukan itu, mungkin juga tidak. Yang jelas, ketika saya mencoba menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, tulisan ini menjadi buruk. Apalagi ketika ternyata di tengah-tengah cerpen ada sebuah puisi yang sulit saya pahami. Lengkaplah usaha saya memorak-porandakan karya orang ini. Lain kali saya akan mencari tulisan yang lebih mudah.
Update: Sepertinya cerpen yang saya terjemahkan dari bahasa Inggris ini asalnya ditulis dalam bahasa Prancis.
Cerpen sumbernya bisa dibaca di sini. Cerpen yang sudah saya terjemahkan (dan harus saya katakan, tidak terlalu berhasil) bisa dibaca di bawah ini. Silakan bila ada yang ingin mengoreksi atau memperbaiki.
—————————————————————————————————–
Di Atas Sungai
Musim panas lalu aku menyewa sebuah rumah kecil di tepi sungai Seine, beberapa leagues1 dari Paris, dan tidur di sana setiap malam. Setelah beberapa hari, aku berkenalan dengan salah seorang tetanggaku, laki-laki berumur antara tiga puluh dan empat puluh tahun, contoh orang paling mengherankan yang pernah kutemui. Ia telah lama berperahu dan tergila-gila dengan kegiatan berperahu. Ia selalu berada di tepi sungai, di atas sungai, atau di dalam sungai. Ia pasti dilahirkan di atas perahu, dan pada akhirnya juga akan meninggal di atas perahu.
Suatu malam ketika kami berjalan di sepanjang tepi sungai Seine, kuminta ia menceritakan kehidupannya di sungai. Lelaki yang baik itu langsung tertarik, bicaranya menjadi fasih, bahkan puitis. Ada gairah di dalam hatinya, sebuah gairah yang mengisap-isap dan tak tertahankan—sungai itu. (more…)