Menuju Nanowrimo 2013

 

nanowrimoNanowrimo sebentar lagi akan dimulai. Para penulis di seluruh dunia sudah mulai ramai membicarakannya di forum-forum maupun social media, begitu pun di situs resmi Nanowrimo yang telah dipoles dengan tampilan baru. Kita mulai menarik napas, mempersiapkan stamina untuk mengalahkan rasa malas dan kebuntuan ide, juga untuk bertahan hidup melewati ini semua.

Saya baru satu kali mengikuti Nanowrimo, yaitu tahun lalu. Untuk orang dengan stamina rendah seperti saya, menulis 50.000 kata dalam sebulan adalah pengalaman yang luar biasa melelahkan, tapi juga menyenangkan. Pada minggu pertama, jumlah kata yang saya tulis masih bisa mengikuti target, bahkan sesekali melebihi. Cobaan berat baru datang pada akhir minggu kedua. Selain stamina yang mulai turun, pekerjaan di kantor pun datang dengan gila-gilaan, bahkan beberapa kali saya harus bekerja lembur sampai pagi. Dalam keadaan itu, Nanowrimo terasa seperti mission impossible. Saya paksakan diri untuk mengejar ketertinggalan demi tujuan besar di akhir bulan: rasa bangga telah berhasil mengalahkan diri sendiri … dan diskon Scrivener.

Memaksakan diri untuk menulis dalam keadaan kurang tidur, tubuh lelah, dan pikiran yang tidak fokus adalah cara mudah meraih “trance“. Tiga ribu kata terakhir benar-benar saya tulis dalam keadaan setengah sadar. Hasilnya ajaib, naskah saya seperti catatan kondisi psikologis seseorang, yang berangsur-angsur berubah dari waras menjadi gila. Hasilnya, saya kalah. Namun merasa menang. Jumlah kata yang ditunjukkan oleh Scrivener (trial version) ternyata tidak cocok dengan jumlah kata yang ditunjukkan word counter resmi. Perbedaannya memang cuma 1000 kata, tapi hal itu baru saya ketahui setengah jam terakhir. Sebenarnya masih ada waktu satu hari, tapi saat itu saya sudah berjanji untuk ikut outing dari kantor ke Pulau Seribu dan sudah nyaris datang terlambat. Akhirnya saya merelakan kekalahan itu, setidaknya saya merasa menang secara tidak resmi.

Tahun ini, saya akan mengikuti Nanowrimo lagi. Namun agak berbeda dari tahun sebelumnya, sebab kali ini saya berencana untuk melanjutkan kumpulan novela yang sedang saya buat. Dalam terminologi Nanowrimo, hal ini bisa dikategorikan sebagai rebel. Tidak mengapa, sebab saya memang membutuhkan momen ini untuk menyelesaikan naskah yang tidak selesai-selesai.

Cerita Horor Kota

CHK

Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti sebuah lomba menulis cerpen horor yang diselenggarakan oleh penerbit PlotPoint. Lomba ini sebenarnya adalah bagian dari rangkaian lomba cerpen lain yang bertema kota. Saya sangat tertarik dengan lomba ini karena lomba cerpen yang “khusus” mengangkat genre horor bisa dibilang sangat jarang.

Cerpen yang saya kirimkan mengambil latar di kota Karawang, kota tempat saya (setidaknya secara resmi, di KTP) tinggal. Seperti yang dipikirkan kebanyakan orang, awalnya saya mencoba mencari urband legend atau kisah mistis yang khas dari kota tersebut. Saya menanyakan hal ini pada seseorang yang sejak kecil tinggal di Karawang, tetapi di luar dugaan ia menyarankan saya untuk tidak mengambil tema tersebut, alasannya karena takut menyinggung pihak-pihak tertentu. Saya agak khawatir juga mendengarnya. Bukan karena takut disantet atau semacamnya, tapi karena merasa alasan saya menulis cerita horor bukan untuk melakukan “demonisasi” terhadap orang-orang yang melakukan praktik tradisi atau kepercayaan kuno. Selama ini ada kecenderungan dalam cerita horor untuk memosisikan budaya tradisional dan kuno sebagai sesuatu yang menyeramkan bagi orang-orang modern. Akhirnya saya memutuskan untuk membalik kebiasaan tersebut, yaitu dengan mengambil sudut pandang orang pribumi yang merasa terancam dengan kedatangan hal-hal asing. Saya kira sudut pandang ini cocok dengan keadaan Karawang yang telah berubah dari lumbung padi menjadi kota industri dengan segala permasalahan sosialnya. Sangat pretensius, ya?

Saya sangat beruntung karena ternyata cerpen saya terpilih menjadi salah satu cerpen yang dibukukan. Buku berjudul “Cerita Horor Kota” itu sudah terbit sekitar seminggu yang lalu dengan cover yang [bagi saya] sangat menarik, begitu pula dengan ilustrasi cat air di dalamnya. Satu-satunya kekurangan dari segi sampul adalah tangan monster yang “keluar” dari belakang buku, itu agak mengganggu (walaupun terlihat keren saat buku masih dibungkus plastik). Kualitas kertas dan cetakannya juga bagus, layak dikoleksi.

Saya tidak akan membahas buku ini, karena saya pikir hal itu bukan bagian saya. Yang jelas, saya merasa agak geli ketika membandingkan cerpen yang saya buat dengan cerpen pemenang lain, sepertinya cerpen saya yang paling tidak nyambung dengan konsep buku ini. Entahlah, biar pembaca yang menilai.

Buku ini bisa didapatkan di toko-toko buku pada umumnya.

Bolos Satu Minggu

 

Satu minggu bolos kerja tidak selalu berarti menyenangkan, terutama bila hal yang memicunya adalah demam tinggi dan sakit kepala yang tak tertahakan. Jumat siang itu saya terpaksa pulang lebih awal dari kantor. Saya membayangkan kepala saya berdenyut-denyut seperti Sun Go Kong yang sedang dibacakan mantera oleh gurunya. Suhu tubuh naik entah hingga berapa derajat, sayang sekali saya tidak memiliki termometer (terakhir kali saya memiliki termometer adalah ketika masih SD dan saya menjatuhkan benda itu hingga air raksa di dalamnya menggenangi lantai). Demam dan pusing semacam itu biasanya akan membaik dengan sendirinya setelah tidur selama beberapa jam, tapi siang itu agak berbeda. Demam tak juga turun meski saya sudah tidur dan bangun berkali-kali.

Esoknya, setelah menjalani tes darah dan rontgen, dokter mengatakan bahwa penyakit saya adalah pneumonia alias radang paru-paru. Lendir kental yang selama dua bulan terakhir ini bertengger di tenggorokan telah turun hingga ke dalam paru-paru. Rupanya keberadaan lendir tersebut yang disertai oleh infeksi viruslah yang membuat saya pusing dan batuk tanpa henti. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat penuh di rumah selama satu minggu. Continue reading Bolos Satu Minggu

Kabar dari Laba-Laba

animal-animal-spider-wallpaper

Lagi-lagi ayahku duduk di balik pintu gudang sambil berbicara dengan laba-laba. Tubuhnya semakin kurus hingga aku dapat melihat tulang belakang lehernya yang menonjol saat ia menunduk. Ia meletakkan jari telunjuk di depan bibir ketika aku mencoba menegurnya dari jauh, lalu bergumam dengan kata-kata yang sering kudengar selama dua tahun terakhir.

“Belum ada kabar dari laba-laba. Ibumu belum ingin pulang juga, Rika.”

Aku terluka setiap kali mendengar kata-kata itu, tapi aku yakin lukaku tak sedalam lukanya. Ia merasa dikhianati orang yang ia cintai ketika tiga tahun lalu Ibu pergi meninggalkan rumah begitu saja. Seandainya Ibu masih mencintai kami, ia tidak akan menuruti gelora jiwanya untuk berpetualang mencari fosil laba-laba purba di pedalaman Kalimantan. Seandainya ia masih punya tanggung jawab sebagai seorang ibu, ia akan tetap mengajar di universitas, pulang sore hari dijemput Ayah, lalu menghabiskan waktu bersama keluarga setidaknya setiap akhir pekan. Kami tak pernah memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga, kami hanya ingin ia berada dalam jarak yang bisa diraih. Continue reading Kabar dari Laba-Laba

Tjokroaminoto: Islam dan Sosialisme

Tjokroaminoto: Islam & Sosialisme

Judul: Islam & Sosialisme
Penulis: HOS Tjokroaminoto
149 halaman
ISBN 9799781639

Sinopsis: http://www.goodreads.com/book/show/5463956-islam-dan-sosialisme

H.O.S. Tjokroaminoto adalah seorang tokoh besar yang sangat disegani pada masa perebutan kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan pada 16 Agustus 1882 di Madiun dan menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang sangat berpengaruh dalam pergerakan nasional dan pemikiran-pemikiran Islam. Soekarno (proklamator RI), Semaoen (pendiri PKI), dan Kartosuwiryo (proklamator DI/NII) adalah beberapa orang muridnya yang sangat terkenal, meskipun pada akhirnya mereka berbeda jalan. Continue reading Tjokroaminoto: Islam dan Sosialisme

Resensi: Doa Ibu

Judul : Doa Ibu
Penulis: Sekar Ayu Asmara
ISBN: 9792248048
Jumlah halaman: 266
Published August 2009 by PT Gramedia Pustaka Utama

Sinopsis: http://www.goodreads.com/book/show/6652300-doa-ibu

Saya membaca novel ini jauh setelah saya membaca dan menonton Pintu Terlarang, oleh karena itu sulit untuk tidak membandingkan kedua novel tersebut. Sepertinya, Sekar Ayu Asmara memiliki formulanya sendiri dalam membuat cerita misteri/horor psikologis semacam ini. Ia membuat dua buah plot yang berjalan secara paralel dan ditampilkan secara bergantian, membuat pembaca terus mempertanyakan hubungan dari dua cerita itu. Pada bagian awal, inti cerita masih sangat kabur, namun menimbulkan rasa penasaran dengan adanya sebuah konflik besar: orang yang tiba-tiba lenyap begitu saja di pesta pernikahannya. Pembaca yang telah membaca Pintu Terlarang pasti paham bahwa kita tidak bisa begitu saja percaya pada “realitas” yang ditampilkan dalam latar novel Sekar. Ia senang sekali bermain-main dengan delusi, mimpi, dunia surealis, dan psikoanalisis, tidak terkecuali dengan novel ini. Continue reading Resensi: Doa Ibu

Audio “Petunjuk Sebelum Kembali Membaca Buku Komedi Hantu”

Pada suatu siang, seorang teman bernama Aria me-mention Twitter saya dan mengatakan bahwa semalam ia membacakan salah satu bab buku Setelah Gelap Datang. Saya segera meminta file-nya dan mendengarkan. Menarik juga. Akhirnya, malam ini saya sempatkan untuk menyunting file tersebut dan menambahkan suara latar menggunakan Fruity Loops. Berhubung saya memang tidak pandai menyunting suara, saya cuma menggunakan teknik coba-coba. Lumayan, berhasil menghilangkan noise, tetapi entah kenapa di beberapa bagian malah jadi terdengar kurang jelas. Kalau penasaran, silakan dengarkan.

Setelah Gelap Datang: Aneka Ria Kengerian Selepas Senja

Oleh: Adit Bujbunen Al Buse
Disalin dari REB Magazine

Coba hitung berapa banyak novel bertema horor buatan lokal yang bagus saat ini. Kalau ‘radar’ saya sendiri jujur saja selama ini hanya bisa menangkap di kisaran karya-karya Abdullah Harahap dan tribute-nya (Kumpulan Budak Setan) saja. Selebihnya, entah mengapa, selalu gagal. Mungkin ‘radar’ saya yang kurang canggih.

Jejeran buku novel (yang maunya) bertema horor di rak toko buku-toko buku besar yang saya temui selama ini sepertinya tidak pernah berhasil membuat bergidik untuk mau membaca lebih jauh. Padahal, mereka semua sudah berteriak sekencang mungkin dengan kata-kata yang cukup ‘mengerikan’. Continue reading Setelah Gelap Datang: Aneka Ria Kengerian Selepas Senja

Melihat Hantu?

Beberapa orang yang membaca cerita pendek saya bertanya apakah saya “bisa melihat”. “Melihat” yang mereka maksud tentu bukanlah melihat dalam pengertian harfiah, melainkan melihat makhluk halus.

Jawabannya adalah tidak, saya tidak bisa melihat jin atau makhluk halus lainnya.

Hanya karena saya menulis beberapa cerpen yang bertema supernatural, bukan berarti saya punya keahlian khusus untuk melihat hal-hal gaib. Kenyataannya, tidak semua penulis horor bisa melihat hantu, sebagaimana tidak semua penulis romance punya pacar (no offense kepada penulis romance yang jomblo).

Bertolak belakang dengan dugaan orang-orang, saya cenderung skeptis dengan fenomena supernatural. Bukan berarti saya tidak mempercayai keberadaan makhluk gaib, hanya saja saya seringkali curiga bahwa saat seseorang bercerita mengenai kemampuan atau pengalaman gaibnya, ia mungkin sedang mengalami salah satu dari dua hal: 1) Tertipu oleh halusinasinya sendiri; 2) Membesar-besarkan cerita untuk menarik perhatian.

Tidak ada yang salah dengan kedua hal tersebut. Sebagai orang yang suka menulis horor, saya juga termasuk pada golongan nomor dua. Saya tidak pernah melihat hantu, tapi saya melakukan apa yang biasa dilakukan orang-orang kebanyakan: melihat jemuran bergoyang-goyang tertiup angin, menganggapnya sebagai pocong, menceritakannya kepada orang-orang dengan sangat antusias, lalu merasa puas melihat ekspresi ketakutan mereka.

Saya pikir, itulah salah satu kesenangan dari menulis cerita horor. Tidak terlalu penting apakah yang saya lihat adalah pocong atau jemuran pakaian, sebab yang paling penting bukanlah kebenarannya, melainkan sensasi yang dirasakan saat mencoba menafsirkan hal misterius itu.

 

 

Jembatan Surga

Untuk Adriane yang kiriman bukunya tersesat di Cimahi

 

Foto: Innah Wulandari

Seumur hidup, Adrian hanya pernah dua kali memberikan bunga kepada wanita dan ia menyesali keduanya. Bunga pertama adalah bunga mawar merah yang ia berikan kepada gadis cinta pertamanya saat SMP. Mawar itu diberikannya saat pulang sekolah dengan tangan yang gemetar karena gugup, tapi segera ditepis secara kasar oleh sang gadis. Sejak saat itu, Adrian menjadi trauma terhadap bunga mawar dan juga terhadap gadis populer yang sombong.

Pemberian bunga kedua yang ia sesali terjadi saat usianya sudah empat puluh tahun, saat ia sudah menjadi seorang dokter dan ilmuwan yang dihormati di bidangnya. Bunga itu bernama “Jembatan Surga”, sebuah bunga yang sangat langka yang ia berikan kepada Hana, wanita yang sangat ia cintai. Continue reading Jembatan Surga

Setelah Gelap Datang

IMG00997-20121215-0902

Buku ini adalah kumpulan cerita yang saya buat dalam kurun waktu yang lumayan lama, tapi memiliki gaya penceritaan dan tema yang tidak jauh berbeda. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar cerita dalam buku ini adalah cerita-cerita suram, tragis, atau mengerikan. Ini bukan buku cerita tentang persahabatan, motivasi, atau hal-hal yang indah (tentunya sejak melihat judul dan cover-nya, tidak mungkin ada orang yang salah paham).

Ada banyak hal yang menginspirasi saya saat menulis kisah-kisah dalam buku ini. Mulai dari pengaruh karya penulis-penulis lain yang sudah terkenal (Stephen King, R.L. Stine, Sekar Ayu Asmara, dan penulis-penulis cerpen di koran yang terlalu banyak untuk disebutkan), hingga karya lintas media seperti foto dan musik. Tentu saja semua itu tidak lepas dari pengalaman saya sehari-hari, tempat-tempat yang saya kunjungi, dan orang-orang yang saya temui. Komunitas dunia maya (Kemudian.com, LCDP, FDKH, BLC, Nanowrimo, dll.) juga memberikan sumbangsih yang sangat besar.

Menyebutkan kekurangan produk sendiri bukanlah hal yang disarankan dalam marketing, tapi saya harus mengarang sebuah peribahasa “hakimi bukumu sebelum bukumu dihakimi oleh pembaca”. Buku ini tidaklah sempurna. Proses pra-produksi yang agak terburu-buru (lebih tepatnya, “sudah kebelet”) menimbulkan adanya kesalahan teknis di beberapa bagian. Masih ada typo di buku ini (silakan cari sendiri). Tidak banyak, tapi bagi saya agak memalukan. Saya teringat dengan perkataan seseorang di twitter yang saya tidak ingat siapa, bahwa “kamu tidak bisa mengedit tulisanmu sendiri”.

Saya memilih menggunakan jasa penerbit indie dan tidak mengirimkan naskahnya ke penerbit konvensional, sebab saya menyadari bahwa genre yang saya tulis ini bukanlah genre yang akan digilai remaja-remaja histeris dan penggemar fanatik yang membuatnya laku jutaan eksemplar. Penerbit [konvensional] pada dasarnya hanyalah investor yang menanamkan modalnya pada tulisan kita, sehingga wajar bila mereka mengutamakan penjualan dan laba yang besar. Akhirnya saya putuskan untuk menggunakan uang tabungan sendiri meski hanya bisa mencetak 100 eksemplar. Oleh karena itu, saya meminta maaf karena tidak bisa membagi-bagikan buku gratis kepada banyak orang, mungkin hanya untuk beberapa orang peresensi saja (sebagaimana orang yang berjualan baju di online shop juga tidak membagi-bagikan baju gratis, hehe).

Tak ada taring yang tak retak. Sepandai-pandainya pocong melompat, sesekali pasti terjatuh juga. Dengan segala kekurangannya, saya sangat bahagia dengan dicetaknya buku ini. Saya harap buku ini bisa diterima oleh orang-orang yang selama ini kesulitan menemukan bacaan sejenis. Saya sangat mengharapkan kritik dan ulasan dari para pembaca. Bagi saya, perjalanan masih panjang, buku ini hanyalah permulaan. Sebab setelah gelap datang, ia tak lantas pergi begitu saja.