Category: Flash Fiction

Selamat Tahun Baru, Hantu-Hantu yang Selalu Menunggu

Sudah hampir sebulan pesan itu masuk ke inbox Facebook-ku, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena pengirimnya tidak termasuk dalam friendlist, mungkin juga karena kotak masukku sudah penuh dengan berbagai spam. Namun, pada malam tahun baru itu aku tergoda untuk membukanya lewat ponsel.  

Isi pesan itu singkat: Kamu penulis Kara Reshita ya?  

(more…)

Patuh

“Tidak seperti dia, saya patuhi perintah tanpa emosi. Kalau Bos bilang siapkan tali, saya akan siapkan tali dan biarkan Bos gantung diri,” ujarnya.

“Kalau dia?”

“Dia pasti menolak,” jawabnya.

“Dia akan siapkan pistol. Karena menurutnya bunuh diri dengan pistol lebih keren.”

Raja

Kami terdiam di tengah kemacetan lalu lintas. Ia di kursi kemudi, mencoba bersabar memainkan kopling dan rem, sementara aku membaca linimasa Facebook yang sedang diriuhi postingan tentang kedatangan Raja Arab Saudi.

“Di tengah ketimpangan ekonomi ini, ternyata banyak juga ya, rakyat Indonesia yang bangga melihat kekayaan dan kemewahan Raja Saudi,” gumamku sambil merebahkan punggung dan membetulkan posisi sabuk pengaman.

“Memangnya kenapa?” tanyanya, masih suntuk memandangi kemacetan tanpa ujung.

“Aku kira orang-orang akan cemburu melihat keluarga kerajaan superkaya itu, apalagi dibandingkan dengan kondisi kehidupan mereka yang melarat,” jawabku.

“Jangan naif. Tidak semua orang miskin cemburu kepada orang kaya. Ada juga yang sudah ikhlas menerima kasta sosialnya. Melihat orang kaya, mereka akan merasa kagum. Apalagi kalau orang kaya itu seorang raja.”

“Lho, memangnya kenapa kalau raja? Raja orang lain, bukan raja mereka,” tanyaku, mencoba mendebatnya.

“Memang bukan, tapi mereka rindu memiliki seorang raja,” ujarnya, mobil melaju beberapa meter, “dan menurutku, orang Indonesia memang lebih cocok hidup dalam sistem kerajaan.”

“Kenapa?”

“Itu karakter orang Indonesia pribumi selama berabad-abad. Demokrasi a la Barat adalah sistem asing yang baru masuk kemarin sore, kurang cocok dengan kultur kita. Lagipula, sistem kerajaan itu lebih efisien dan efektif. Semua orang fokus dengan bidangnya masing-masing. Tidak seperti sekarang, semua orang dipaksa membuat pilihan di luar kapasitasnya. Hasilnya? Geser terus linimasa Facebook-mu, dan kamu akan lihat betapa bodoh pilihan yang mereka buat.”

Aku agak kesal mendengar penjelasannya itu. Aku tidak suka membayangkan hidup dalam sistem yang mengizinkan segelintir orang mendapatkan status sosial eksklusif hanya karena hubungan darah, seefektif dan seefisien apa pun pemerintahannya. Namun aku dapat memahaminya. Ia sudah merasa putus asa dengan kondisi negara ini. Ia tampak lelah. Aku pun memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.

Saat sedang asyik membahas meme Polwan cantik, tiba-tiba suara sirine terdengar nyaring di belakang kami. Mobil-mobil berusaha bergerak ke pinggir, tapi kondisi jalan terlalu padat untuk bergerak. Sirine di belakang semakin nyaring, meraung-raung. Ia memutar setirnya dengan gusar.

“Pejabat kampret! Sok penting!” makinya saat melihat sedan hitam melaju di sebelah kami, diiringi beberapa pengawal.

Perbankan Gaib

“Sampean tidak percaya saya bisa menggandakan uang?” tanya Eyang Sanca, alisnya mengerut dan posisi duduknya maju ke arahku.

“Nggak percaya. Mana mungkin uang bisa digandakan? Apa Eyang pikir saya ini orang kampung yang bisa dibodohi? Saya ini orang kota, berpendidikan!” jawabku sambil menahan tawa.

Eyang Sanca menarik napas dalam, lalu mengurut-urut jenggotnya. “Pernah ke bank, kan?”

“Pernah dong!” jawabku.

“Sampean jangan kaget kalau saya bilang, bank itu sama seperti saya, sama-sama dukun pengganda uang!”

Aku berdeham, sepertinya aku mulai paham jalan pikirannya, tapi aku ingin mengujinya sedikit. “Maksud Eyang?”

“Kalau sampean pergi ke bank, masukin uang di tabungan, deposito, atau investasi lainnya, uang sampean bertambah banyak, kan?” ujarnya sambil melipat tangan di depan dada.

“Iya, saya tau itu.”

“Nah, apa bedanya? Uang sampean sama-sama jadi berlipat ganda tanpa sampean harus kerja dan cuma tidur-tiduran di rumah. Berarti, konsep menggandakan uang itu bukan sesuatu yang ndak masuk akal. Iya toh?”

Kutatap raut mukanya. Aku tak bisa meremehkan dukun ini, ternyata ia pintar berkelit juga.

“Kalau Eyang sama saja dengan bank, lalu buat apa saya pergi ke Eyang? Lebih enak ke bank, biaya administrasinya lebih rendah; kantornya sejuk pakai AC, nggak bau kemenyan seperti ini; petugasnya juga perempuan cantik, bukan kakek-kakek peyot begini,” ucapku pelan.

“Jangan kurang ajar, ya!” suaranya meninggi. “Biar saya kasih tau kenapa saya lebih hebat, bunga yang saya tawarkan itu lima ratus persen! Lebih tinggi dari bank mana pun!”

Tawaku hampir meledak mendengar penjelasannya. Jelas-jelas dia ingin menipuku. “Omong kosong! Mana bisa bunga sebesar itu? Diinvestasikan untuk bisnis apa uang saya? Saham apa?”

“Investasi gaib!”

“Apaan gaib?”

“Ini perbankan gaib! Jelas beda dengan perbankan konvensional!”

Ia mengeluarkan sebuah buku dari kantong kemeja batiknya. Sebuah buku tabungan berwarna hitam dengan tulisan putih “Bank Gaib, Sanca Bank”.

Ia menjelaskan, “Sampean tau, kan, kalau nilai mata uang itu beda-beda? Nilai dolar Amerika lebih besar dari nilai rupiah, misalnya. Sekarang biar saya kasih tau, nilai mata uang di dunia gaib itu nilainya beratus-ratus kali lipat dari nilai rupiah!”

“Mata uang gaib? Apa lagi itu?”

“Sampean belum pernah ke alam jin, kan? Pantas ndak tau. Saya bisa kasih bunga sampai lima ratus persen karena saya ini menjalankan usaha perbankan dan perekonomian antardimensi, tepatnya alam manusia dengan alam jin,” jelasnya. “Ndak semua orang bisa, cuma dukun yang punya kekuatan saja yang bisa”

Aku menghela napas. Menarik juga dukun ini.

Jam Tua yang Menolak Waktu

Orang bilang, jam yang rusak akan tetap menunjukkan kebenaran, minimal dua kali dalam sehari. Namun hal itu tidak berlaku pada jam tua di rumahku. Kedua jarumnya berhenti di angka dua belas. Anehnya, setiap kali pukul dua belas tiba, jarum panjang jam itu akan mundur satu menit, lalu kembali lagi ke tempat semula satu menit kemudian. Seolah-olah jam itu selalu menolak untuk menjadi benar.

Sejak diwariskan oleh almarhum kakekku dua tahun yang lalu, jam itu menjadi bangkai yang berdiri menjulang di pojok kamar, mengawasi ketika kami tidur sambil membuat sempit ruangan dengan badannya yang besar dan hitam. Istriku sering kali terbangun pada tengah malam karena merasa akan ditimpa oleh benda itu, kemudian penyakit asmanya akan kambuh dan aku harus mengambilkan inhaler dari dalam laci.

Sudah lama aku ingin menjual jam itu, tapi tak ada yang menganggap benda itu cukup berharga untuk ditukar dengan uang. Suatu hari, aku mencoba mengutak-atiknya sendiri. Aku bukan ahli reparasi jam antik, tapi berdasarkan informasi yang kudapatkan dari internet, aku tahu bahwa jam itu seharusnya tak bisa bergerak lagi karena rantai pemberat di dalamnya sudah tak pernah ditarik. Entah kekuatan apa yang membuatnya selalu bergerak setiap pukul dua belas. Merasa geram, kupaku jarum panjang jam itu di angka dua belas, memaksanya untuk menjadi benar.

Malamnya, ketika hampir pukul 12 tepat, kulihat jarum panjang jam itu mencoba memberontak. Ia berusaha mundur dan maju satu menit, tapi tertahan oleh paku yang kupasang. Aku tertawa melihatnya, sekarang ia tak bisa lari lagi dari kebenaran. Setelah puas “membalas dendam” pada jam tua itu, aku pun naik ke tempat tidur sambil berencana membuang benda rongsokan itu besok pagi.

Rasanya aku sudah tidur lama sekali, tapi ketika terbangun, kamar masih gelap. Istriku masih tidur dan tidak ada sinar matahari yang menerobos tirai jendela. Kuperiksa jam di ponsel, dan betapa terkejutnya aku karena angka digital itu masih menunjukkan pukul 00.00. Aku menunggu dalam waktu yang kupikir sudah hampir lima menit, tapi jam di ponsel tetap sama, tetap pukul nol-nol-nol-nol.

Aku bergeming di atas tempat tidurku dalam waktu yang sangat lama, yang tak ingin kuhitung sama sekali. Istriku tak pernah bangun; matahari tak pernah terbit. Bahkan tanpa perlu memeriksanya terlebih dahulu, aku tahu bahwa jam tanganku, jam dinding di ruang tamu, jam besar di alun-alun kota, dan semua jam di dunia ini telah berhenti berputar. Jam tua itu tak pernah tunduk menjadi pengikut, ia memiliki waktunya sendiri.

Lemari Pemakan Rambut

 

Widya tidak paham kenapa lemari tua itu selalu memakan rambutnya. Setiap kali ia duduk bersandar di pintu lemari, satu atau dua helai rambutnya selalu terjepit dan putus. Pagi tadi, lemari itu kembali memakan rambutnya sebagai sarapan. Saat itu Widya sedang bersolek sambil duduk membelakangi lemari, dan ketika ia bangkit berdiri, ia menjerit kesakitan karena kepalanya terasa ditarik dengan kuat. Ia menoleh. Dua helai rambut hitam panjangnya menjuntai di sela pintu lemari. (more…)

Toilet

1-1242736074LgREPsykopainted

Mulanya cuma keran wastafel yang terbuka sendiri. Air mengucur deras tiba-tiba; seorang karyawan yang sedang mengeringkan tangan melompat kaget. Ia segera keluar dari toilet kantor dengan tubuh merinding dan lutut lemas. Sambil setengah berlari, ia masuk kembali ke dalam ruang kerja, kembali bersama kami yang sedang bekerja lembur mengejar tenggat.

Ketika ia menceritakan pengalamannya dengan terbata-bata, aku tak menganggap serius. Ketakutan dalam diri seseorang bisa membuat segala hal di dalam toilet jadi menakutkan, misalnya pengering tangan yang menyala sendiri karena tersenggol lengan, pintu kamar kecil yang sulit terbuka karena berkarat, atau (more…)

Terbenam

Sebagian orang mengenakan bikini atau celana renang, sebagian lagi mengenakan kaos dan celana pendek khas pantai, tapi semuanya menghadap ke arah yang sama: ke barat. Langit sudah mulai bersemu jingga ketika kami tiba di tepi pantai yang ramai itu. Tanggal merah di hari Kamis ini telah menciptakan hari libur baru selama empat hari bagi kebanyakan orang. Ayahku menyewa sebuah kamar yang letaknya tak jauh dari tepi pantai menggunakan uang tabungannya. Niatnya sudah bulat sejak sebulan yang lalu: bila uangnya sudah cukup, ia akan membawa kami melihat matahari terbenam di pantai.

Semua ini bermula dari kartu pos tua yang ia temukan saat sedang merenovasi kamar tidurnya. Kartu pos itu berisi lukisan matahari terbenam yang sepertinya dibuat menggunakan tangan. Itu adalah masa ketika semua orang belum memiliki kamera di saku mereka dan belum memiliki email untuk mengirimkan pesan bergambar. Di belakang kartu pos itu ada sebuah puisi yang Ayah tulis untuk Ibu, sebuah janji untuk melihat matahari terbenam bersama. Ia baru ingat bahwa janji itu tak pernah benar-benar terpenuhi, bahkan setelah mereka menikah dan memiliki aku dan adikku, bahkan setelah sebulan yang lalu Ibu meninggal dunia.

“Sebentar lagi mataharinya terbenam,” ucap Ayah sambil menggelar tikar dan mengajak kami duduk di sampingnya.

Adikku, Beni, sedang terpana melihat istana pasir yang dibuat seorang pengunjung. Kubujuk dia untuk merapat. “Membuat istana pasir bisa dilakukan esok hari, sekarang saatnya melihat matahari.” Beni menurut. Ia duduk di antara aku dan Ayah.

Langit semakin merah. Matahari berubah menjadi seperti telur, cahayanya tak lagi menusuk mata. Perlahan-lahan, bola jingga itu turun ke bawah, hampir menyentuh cakrawala. Ayah mungkin teringat pada kartu pos itu, tapi aku sudah pasti teringat pada desktop wallpaper yang sering aku lihat di layar komputer. Intinya tetap sama, manusia selalu ingin merekam hal-hal menakjubkan dari pengalaman mereka. Matahari terbenam adalah sebuah pengalaman menakjubkan. Sebagian orang menghubungkannya dengan kesedihan dan perpisahan karena menandakan berakhirnya hari. Bagiku, matahari terbenam adalah momen retrospeksi. Ketika melihat sebagian bola jingga itu tenggelam ke dalam lautan, kami membayangkan sebagian hidup kami yang juga sudah tenggelam bersama berlalunya waktu. Aku melihat kilau di mata Ayah. Suatu saat aku akan berada dalam posisinya, Beni juga.

Sebagian turis bertepuk tangan ketika akhirnya matahari tampak masuk seluruhnya ke dalam lautan. Beberapa pasangan berpelukan, bahkan samar-samar kulihat ada pula yang berciuman. Hari ini sudah usai, tapi semua orang percaya bahwa masih ada hari esok tempat kami akan melakukan hal-hal yang lebih baik. Bagi kami, berakhirnya hari tidak benar-benar ditandai oleh terbenamnya matahari. Ayah lebih akrab dengan suara bel pulang kantor, aku dan Beni lebih akrab dengan perubahan acara televisi menjadi azan Maghrib dan sinetron.

Suasana di sekitar kami perlahan menjadi gelap. Tak ada lagi cahaya alami dari langit, yang tersisa hanya lampu-lampu buatan manusia yang berasal dari restoran dan hotel di belakang sana. Perlahan-lahan para pengunjung bangun dari atas pasir, menepuk-nepuk pantat mereka, dan mungkin bersiap-siap untuk kembali ke hotel dan menyantap makan malam. Kami bertiga juga bangun. Ayah melipat kembali tikarnya.

“Besok jangan lupa bangun pagi,” katanya, “kita akan melihat matahari terbit.”

Matahari terbit, simbol harapan dan permulaan dari segala kegiatan, penawar dari rasa sendu pemandangan sore ini. Tikar sudah digulung, kami pun membalik badan untuk pulang. Beni masih menoleh ke belakang. Kupanggil namanya. Ia pasti masih penasaran dengan istana pasir tadi. Kupanggil lagi, ia tak juga menyahut. Akhirnya aku kembali berbalik dan berniat menarik tangannya. Kusadari, rupanya Beni tak lagi menatap istana pasir, ia menatap langit. Di atas sana, langit yang hitam perlahan tersibak. Mengintiplah dari balik kegelapan itu, sebuah bola berwarna kuning terang. Kegelapan itu sirna, cahaya menyebar ke segala penjuru. Ada matahari lagi.

Semua orang yang telah beranjak pergi kini membalikkan badan. Tatapan-tatapan mata membisu melihat bola cahaya di hadapan kami yang tak terjelaskan. Tak terjelaskan. Langit kembali menjadi siang. Semakin siang.

Catatan: Cerita singkat ini dibuat berdasarkan mimpi saya beberapa hari lalu. Saya yakin, banyak juga orang yang sering mengalami mimpi semacam ini.

Ilustrasi: http://www.scenicreflections.com/download/397170/Red_Sunset_Painting_Wallpaper/