Bermimpi dan Terjaga

Aku terbangun, duduk tegak di atas tempat tidurku. Keringat mengucur deras di pelipis dan leherku. Sambil meluruskan badan, aku berusaha mengatur nafas yang terengah-engah. Aku baru saja bermimpi buruk. Mimpi yang membuatku kelelahan dan kehabisan tenaga. Kulihat jam di ponselku, jam delapan pagi. Sudah kesiangan rupanya.

Sulit sekali mengingat mimpi apa yang kualami, tapi rasanya mimpi itu sangat panjang. Rasanya aku sudah tidur berhari-hari, dan sekarang baru sadar kalau aku bisa terjaga. Sepertinya aku bermimpi dikejar-kejar sesuatu, sesuatu yang menyeramkan seperti hewan buas. Memang, mimpi berlari atau dikejar sesuatu adalah jenis mimpi yang paling melelahkan. Rasanya aku seperti benar-benar telah berlari puluhan kilometer, dan seingatku bukan pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini.

Aku duduk di sisi tempat tidur sambil mengusap wajah dan menyeka keringat, mengamati kucing peliharaanku, Cipu, yang masuk ke dalam kamar sambil mengeong-ngeong manja. Ah, Cipu, sepertinya aku juga melihatmu di dalam mimpiku semalam. Apakah kamu hewan buas yang mengejar-ngejarku itu? Ah tidak mungkin, mengejar tikus saja kau malas, apalagi mengejar manusia. Aku mengelus-ngelus kepalanya, ia menyender di kakiku, menempelkan beberapa helai bulu berwarna cokelat dari tubuhnya. Beberapa saat kemudian ia pergi ke kolong tempat tidur, seperti menemukan objek lain yang lebih menarik, mungkin cicak atau kecoak.

Aku bangkit berdiri dan memeriksa wajahku di depan cermin besar di depan lemari. Wah, wajahku tampak pucat sekali. Apa separah itu ya mimpiku? Kutarik bagian bawah mataku dengan satu jari, ada garis-garis merah tipis di bagian putih mataku. Seperti orang kurang tidur saja, bukankah aku sudah tidur lama sekali? Delapan jam? Sepuluh jam? Aku bahkan tak ingat semalam aku tidur jam berapa. Mungkin terlalu banyak tidur juga kurang baik untuk kesehatan mata. Kuturunkan tanganku dari wajah. Aku terhenyak, ada sesuatu yang aneh. Sangat aneh. Bayanganku di cermin tidak melakukan hal yang sama, ia tidak bergerak, ia tetap menarik ke bawah matanya dengan satu jari seperti yang kulakukan tadi. Apa-apaan ini? Ini benar-benar tidak masuk akal. Kugoyang-goyang cermin itu. Apa cermin ini rusak? Ah, tolol! Serusak apapun cermin, belum ada sejarahnya bisa membekukan pantulan bayangan! Yang salah pasti mataku. Kugosok-gosok mataku dengan kedua tangan, lalu kupejamkan, kubuka lagi. Masih sama saja. Tiba-tiba saja sekujur tubuhku merinding.

“Meeooongg….”

Aku menoleh ke arah Cipu yang keluar dari kolong tempat tidur, diikuti oleh Cipu yang lain. Ada dua, tiga, empat, lalu lima ekor Cipu. Mereka semua mengeong bersamaan, seperti paduan suara kucing yang jarang latihan. Apa yang terjadi? Sejak kapan Cipu punya saudara kembar sampai empat ekor? Apa kolong tempat tidurku adalah kolong tempat tidur ajaib yang bisa menggandakan kucing?

Aku mundur beberapa langkah, mencoba menjaga jarak dari lima ekor Cipu. Aku tidak tahu mereka baik atau jahat, tapi bisa saja mereka berbahaya. Ketika pandangan mataku teralih kembali pada cermin, aku menyadari bahwa bayanganku sudah tidak sedang memegangi matanya. Ia sudah berubah. Ia berdiri sambil bertolak pinggang, lalu tersenyum menyeringai, tampak sangat jahat. Ia menendang cermin dari balik sana, dan memecahkannya. Sementara itu, lima ekor Cipu melompat dan menerkamku. Satu ekor ada yang langsung hinggap di wajahku, membuatku sulit bernafas. Beberapa helai bulu kucing serasa masuk ke dalam hidungku ketika aku sedang berusaha memberontak.

“Tooloong…! Tolooong…!” aku berteriak, tak tahu minta tolong pada siapa, tapi aku rasa aku harus berteriak.

“Tolooong….! Toolooong…!”

Suara teriakanku menggema di dalam kepalaku sendiri, seperti saat kita berteriak di dalam gua yang kosong. Lama-kelamaan aku tenggelam, tenggelam dalam suara-suaraku sendiri, sampai akhirnya aku mampu membuka mata. Ya, aku membuka mata sambil duduk tegak di atas tempat tidurku, dengan tubuh penuh keringat dan nafas terengah-engah. Jadi yang tadi itu hanya mimpi? Memang, terlalu aneh untuk jadi kenyataan, tapi aku sama sekali tak menyangka kalau tadi aku sedang bermimpi.

Aku tiduran lagi, seluruh badanku lemas. Kupandangi langit-langit sambil mencoba mengingat-ingat apa saja yang kulakukan semalam sampai bermimpi buruk seperti tadi. Memangnya semalam aku tidur jam berapa ya? Sekarang hari apa? Bukankah pagi ini seharusnya aku pergi kuliah? Tunggu dulu, bukankah aku sudah bekerja? Atau jangan-jangan aku masih sekolah?

“Meooongg….”

Suara Cipu, kucing peliharaanku. Tanpa bangkit dari tidur, aku melirik ke arah lantai, ada dimana Cipu? Di lantai kamarku tidak ada Cipu, apa dia ada di kolong tempat tidur ya?

“Cipuuu…. Puss…,” kucoba memanggilnya dengan suara yang khas.

“Meooonggg…..”

Aku menoleh ke arah suara itu. Bukan di lantai atau di kolong tempat tidur, tapi di atas. Kulihat Cipu melayang-layang, hampir menyentuh atap kamarku. Aneh sekali! Bagaimana mungkin ia bisa terbang? Tunggu dulu, ada apa dengan diriku ini? Bukankah semua kucing juga bisa terbang? Ya, tentu saja, anak SD juga tahu kalau semua kucing bisa terbang. Dasar bodoh. Mungkin karena baru bangun dari mimpi buruk, sampai-sampai aku shock dan melupakan fakta alami yang lazim ada di RPAL (Rangkuman Pengetahuan Alam Lengkap): kucing adalah salah satu jenis mamalia yang bisa terbang. Meski tak memiliki sayap, kucing memutar-mutar ekornya menjadi baling-baling, seperti helikopter. Dengan cara itulah kucing terbang.

“Ciiipuuu…,” aku memanggilnya lagi. Ia tak menghiraukanku, ia sedang asik mengejar-ngejar cicak di atas sana. Sayang sekali cicak tidak bisa terbang.

Ohya, bukankah aku juga bisa terbang? Kenapa aku sampai lupa? Waktu di SMP kan aku pernah diajari caranya terbang. Aku lalu bangkit dan mengepak-ngepakkan kedua tanganku, seperti sedang meniru gerakan ayam. Akhirnya aku terbang, melayang-layang di dekat Cipu. Kuelus-elus kepalanya, ia menggeliat manja.

“Cipuu, ayo kita berlomba mengejar cicak!” ucapku berbisik padanya. Tentu saja ia tidak mengerti, dia kan kucing, sementara aku manusia. Mana ada kucing yang mengerti bahasa manusia? Tapi kalau aku merebut mangsanya, ia pasti mengerti.

Aku bergerak dengan gesit dan mencoba menangkap cicak yang menempel di dinding. Cicak itu berhasil menghindar. Cipu menyadari maksud dari gerakanku dan langsung ikut berusaha menangkap cicak. Selama beberapa menit kemudian, aku dan Cipu asik berlomba menangkap cicak, sikut-sikutan dan cakar-cakaran, sampai akhirnya cicak itu ada di genggaman tanganku. Aku berhasil!

“Hahaha. Cipu, aku yang menang!” aku berteriak bangga.

“Meoong…,” Cipu tampak kecewa.

“Dan sekarang, karena aku yang menangkapnya, maka ini adalah sarapanku!” ucapku sambil memasukkan cicak itu ke dalam mulutku, hidup-hidup. Tanpa mengunyahnya terlebih dahulu, langsung kutelan cicak itu.

“Wah lezaat sekali…. Sayang kamu kalah ya? Hahaha,” aku meledek Cipu, ia hanya menjilat-jilat tubuhnya tanpa mempedulikanku.

Tiba-tiba ada rasa geli di tenggorokanku. Rasanya ada yang merayap di dinding tenggorokan sambil menggesek-gesekkan kakinya. Apa jangan-jangan cicak itu menyangkut di tenggorokanku ya? Hei! Kenapa aku makan cicak? Ini benar-benar salah! Mana ada orang normal yang memakan cicak sebagai sarapan? Apa aku ini gila? Lagipula, kalau dipikir-pikir… seharusnya kucing kan tidak bisa terbang. Kenapa tadi aku sampai berpikiran kalau kucing bisa terbang ya? Itu kan tidak benar!

“Hei Cipu…! Kenapa kamu bisa terbang? Kamu kan kucing? Kucing tidak bisa terbang!” ucapku padanya.

Cipu yang sedang asik berjilat-jilat menoleh padaku. Ada raut kaget di wajahnya. Kemudian secara perlahan-lahan, ia turun ke lantai.

“Meooong…,” ucapnya, seolah-olah ingin berkata: oh iya, aku lupa!

Aku menghembuskan nafas lega. Huff… setidaknya sekarang kucingku Cipu sudah terlihat seperti kucing normal pada umumnya. Lalu, sekarang, aku masih melayang di dekat atap kamarku. Apa benar ya manusia bisa terbang? Apa benar, waktu di SMP aku diajarkan bagaimana caranya terbang? Ah, itu salah! Manusia tidak bisa terbang! Kalau manusia bisa terbang, tidak perlu ada pesawat terbang! Yang aku pelajari waktu SMP dulu, bukan terbang, tapi berenang! Bodoh sekali aku ini.

Saat menyadari bahwa aku tidak bisa terbang, tiba-tiba saja aku terjatuh. Jatuh yang lama sekali. Aku baru sadar kalau atap kamarku ternyata sangat tinggi.

“Aaaaaaa…!” aku berteriak sekuat tenaga. Aku takut ketinggian!

Dalam sekejap, aku merasakan sakit saat kepalaku membentur lantai. Tapi lama kelamaan rasa sakit itu hilang, dan dengan anehnya aku sadar aku sedang terduduk lemas di atas tempat tidur.

Tubuhku penuh keringat dan nafasku tersengal-sengal. Sekarang aku sadar kalau yang tadi itu hanya mimpi. Ternyata aku baru saja terbangun dari mimpi buruk. Lagi.

Kutampar pipiku sendiri. Kucubit berkali-kali. Sakit! Tampaknya sekarang aku sudah terjaga. Ini sudah bukan mimpi lagi. Untuk meyakinkan diriku sendiri, kuajukan beberapa pertanyaan. Pertanyaan pertama, apakah manusia bisa terbang? Tidak. Kedua, apakah kucing bisa terbang? Tidak. Ketiga, apakah aku akan makan cicak sebagai sarapan? Tidak! Yes! Ternyata aku sudah bangun!

Kuperiksa agendaku. Sekarang hari Selasa, aku masih harus menghadapi ujian semester. Ujian semester hari pertama kemarin, aku benar-benar gagal menjawab soal, aku frustasi dan patah semangat. Kulihat di samping bantalku ada tabung kecil berisi pil obat tidur. Apa karena obat tidur ini ya, aku jadi mimpi buruk sampai berlapis-lapis? Aku memang menderita insomnia sejak lama, dan akhir-akhir ini aku semakin tergantung pada obat tidur. Benar-benar tidak sehat, tapi setidaknya ini cukup menjelaskan fenomena mimpi pangkat tiga (atau lebih) yang baru saja kualami.

Mimpiku semalam rasanya sangat aneh. Tapi lebih anehnya lagi, saat di dalam mimpi aku sama sekali tak merasa kalau itu aneh. Ya, kurasa itu hal biasa. Kita tak pernah sadar bahwa kita sedang bermimpi, kecuali setelah kita terbangun. Dan sekarang aku baru sadar kalau semua itu adalah mimpi.

Saat melihat ponselku, aku menyadari kalau sekarang sudah pukul enam. Satu jam lagi aku harus sudah ada di kampus untuk mengikuti ujian semester, aku tidak boleh terlambat! Kemudian aku segera mandi dan bersiap-siap. Buku, kartu tanda peserta ujian, alat tulis, semuanya sudah kumasukkan ke dalam tas.

Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai, lengkap dengan topi kesayanganku dan sepatu. Aku mengunci pintu kamarku dan berjalan ke halaman rumah kontrakanku. Ketika aku akan membuka pintu pagar, kusadari kalau Cipu, kucingku, sedang duduk diam di depan jalan raya. Ya, tempat tinggalku memang berbatasan langsung dengan jalan raya, itu adalah sebuah keuntungan sendiri untukku yang selalu bepergian dengan kendaraan umum. Aku tersenyum melihat Cipu. Semalaman aku bermimpi banyak hal mengerikan tentang kucing itu.

“Pusss…. Cipu…,” aku mencoba memanggilnya sambil menutup pagar.

Bukannya berjalan ke arahku, ia malah berlari ke arah jalan raya, seperti ingin menyeberang. Dari arah yang melintang, sebuah mobil bus besar datang dengan kecepatan tinggi. Cipu terjebak di tengah jalan raya, ia celingak-celinguk kebingungan.

Gawat! Aku harus menolongnya! Aku tak akan membiarkan Cipu dilindas oleh mobil itu! Aku berlari sekuat tenaga ke tengah jalan. Aku akan melompat. Aku akan melompat dan melindunginya! Sesaat sebelum melompat ke jalan, muncul satu pertanyaan di dalam benakku: apakah nyawa Cipu lebih penting dari nyawaku sendiri? Ya! Nyawa Cipu lebih penting dari nyawaku atau nyawa seluruh umat manusia di seluruh dunia! Aku menjawab dengan tegas dan yakin.

“Aaaaah…!” aku berteriak sambil melompat, lalu memeluk Cipu erat. Aku berguling-guling di jalan raya.

DRASSSH!!!

Benda besar dan berat—mobil bus—itu, melindas kepalaku. Rasanya aku sama sekali tak bisa bernafas. Tulang-tulang tengkorakku remuk dan terhimpit menjadi satu, lalu menghalangi kerongkongan dan jalan nafasku. Aku merasakan wajahku gepeng, dua dimensi seperti film kartun. Aku tidak bisa melihat, tentu saja aku tidak bisa, mungkin sekarang bola mataku sudah menggelinding entah kemana. Saat roda belakang mobil besar itu melindasku sekali lagi, aku merasakan ada cairan yang muncrat keluar dari hidung dan telingaku. Aku merasakan rasa sakit yang luar biasa. Kenapa aku melakukan semua ini? Apa yang tadi aku pikirkan? Kenapa nyawa seekor kucing bisa lebih penting dari nyawaku sendiri? Itu salah! Itu tidak benar! Itu adalah logika paling aneh yang pernah ada!

Aku terbangun. Seluruh tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga. Jadi… aku baru saja terbangun dari mimpi burukku? Lagi? Untuk kesekian kali? Aku benar-benar lelah, ini adalah tidur paling melelahkan yang pernah kualami. Berkali-kali aku terbangun, namun kali ini aku tidak sedang terduduk di atas kasur. Aku terbangun di halaman depan rumah, di dekat pot-pot tanaman. Benar, semalam aku memang tidur di sini. Itu hal biasa kan?

“Cipu… baru bangun ya?” tanya Niko yang sejak tadi memandangiku dari atas pagar.

“Iya, aku habis bermimpi buruk. Mimpi yang panjaaaang sekali,” ucapku sambil bangkit berdiri dengan keempat kaki dan merenggangkan seluruh tubuhku.

“Mimpi apa kamu? Dasar kucing pemalas, tidur terus!” ucap Niko. Ohya, Niko adalah kucing liar jantan berbulu hitam yang suka mencuri di rumah majikanku.

“Aku tidak terlalu ingat. Tapi seingatku, dalam mimpi-mimpiku itu, aku menjadi manusia—majikanku sendiri!”

“Ah, mimpimu itu mengada-ada!”

“Eh, Niko. Tapi sampai sesaat sebelum aku bangun tadi, aku masih percaya dan yakin seratus persen bahwa aku adalah manusia lho! Baru sekarang, setelah aku bangun, aku sadar bahwa aku adalah seekor kucing. Ternyata pengalamanku sebagai manusia hanyalah mimpi.”

“Yah, namanya juga mimpi. Kita tidak pernah sadar bahwa kita sedang bermimpi, kecuali setelah kita terbangun. Semua kucing tahu itu.”

“Tapi, Niko, apa kamu yakin kalau kamu memang kucing? Maksudku, setelah mengalami mimpi berlapis tadi, aku jadi ragu… apakah aku memang seekor kucing, ataukah saat ini aku sedang bermimpi menjadi seekor kucing?”

“Lalu, kamu itu apa? Setelah kamu bangun nanti ternyata kamu adalah seekor jerapah? Begitu?”

Aku tertawa dalam hati mendengar komentar Niko. Mungkin saja aku adalah seekor jerapah, atau mungkin singa? Asalkan bukan tikus.

“Pusss…. Cipu…! Ada makanaaan Cipuuu…,” tiba-tiba terdengar suara manusia, suara majikanku.

Majikanku meletakkan sepiring ikan segar di depan pintu. Ah tampaknya lezat sekali. Aku menatap Niko dan mendesis pelan, memberinya kode bahwa makanan itu adalah milikku. Niko memang adalah kucing garong yang gemar mencuri, tapi meski begitu ia sangat menghormatiku. Aku segera berlari menyambut majikanku dan makanan itu. Mengeong manja sebagai ucapan terima kasih, lalu langsung melahap ikan segar itu. Oh…, nikmatnya.

Sambil makan, aku lagi-lagi teringat perkataan itu: kita tak pernah sadar bahwa kita sedang bermimpi, kecuali setelah kita terbangun. Aku rasa itu benar-benar menarik. Bagaimana dengan kamu? Iya, kamu yang sedang membaca tulisan ini. Coba kamu tampar dan cubit pipi kamu sendiri. Walau aku tahu, rasa sakit pun ternyata bisa menipu. Tapi setidaknya kamu harus mulai berpikir dari sekarang: apa kamu yakin bahwa kamu sedang tidak bermimpi?

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).