Bayangkan skenario berikut.
Kamu adalah seorang gadis muda yang cantik jelita. Suatu hari, ada seorang laki-laki yang meneleponmu dan mengungkapkan perasaannya dengan begitu bersemangat.
“Sudah lama aku suka sama kamu. Kalau kamu jadi pacarku, aku pasti akan mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku akan memberi kamu kado, bunga, surat cinta, puisi. Aku juga akan mengantar jemput kamu setiap hari dan mengajakmu kencan ke restoran, bioskop, atau karaoke semingu sekali. Asik, kan? Oh, ya, rumah kamu yang di Jalan Mawar Nomor 5, kan?”
“Iya,” jawabmu.
Setelah itu telepon pun ditutup. Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pikiranmu masih berusaha mencerna apa maksud lelaki itu. Mungkin dia memang sekadar mengungkapkan perasaannya saja?
Namun, malam minggu berikutnya, tiba-tiba saja ia datang ke rumahmu di Jalan Mawar Nomor 5. Ia membawakan bunga, hadiah, dan mengajakmu pergi kencan berduaan. Saat orangtuamu menanyakan siapa dirinya, ia memperkenalkan diri sebagai pacarmu.
“Saya pacar anak Om. Kami jadian seminggu yang lalu,” jawabnya dengan percaya diri.
Bagaimana perasaanmu? Kamu tidak pernah bilang bahwa kamu bersedia menjadi pacarnya, lalu kenapa dia mengaku-ngaku? Saat kamu protes kepadanya, ia cuma akan bilang: “Lho, kamu, kan, nggak nolak aku waktu itu?”
Ijab Kabul
Beberapa hari yang lalu, saya dua kali ditelepon oleh telemarketer yang berbeda. Satu dari bank, satu dari perusahaan asuransi. Keduanya memiliki cara menjual yang hampir sama. Pertama-tama, mereka akan menjelaskan produk mereka, menceritakan apa saja yang akan saya dapatkan dan apa saja kelebihannya dibandingkan produk lain. Bicara mereka cepat seperti rapper. Mereka tidak menanyakan apa-apa, kecuali: “Sampai di sini, paham, ya, Pak?”. Saya pun hanya menjawab “iya”. Setelah serangkaian kata-kata yang panjang seperti kereta api, mereka langsung bertanya apakah alamat saya masih sama dengan alamat yang tertera di database mereka.
“Masih sama,” jawab saya.
“Kalau begitu bukti berlangganan/pembeliannya akan saya kirim ke alamat tersebut, ya, Pak.”
Tunggu dulu. Ada yang aneh. Saya tidak pernah bilang bahwa saya setuju untuk menggunakan produk/jasa yang ia tawarkan. Dari mana ia menyimpulkan bahwa saya bersedia? Hanya karena saya diam, bukan berarti saya setuju.
Ada banyak variasi gaya bicara lain yang pernah saya temui dari para telemarketer. Intinya, banyak dari mereka yang mencoba mengaburkan pertanyaan konfirmasi, baik menggantinya dengan pertanyaan lain yang kurang jelas atau tidak menanyakannya sama sekali. Padahal, ijab kabul adalah bagian yang amat penting dalam sebuah proses jual-beli, bahkan paling penting. Ijab kabul menandakan kejelasan bahwa si pembeli memang berniat membeli produk/jasa yang ditawarkan tanpa ada paksaan serta paham dengan hak dan tanggung jawabnya. Ijab kabul harus dilakukan dengan sejelas mungkin. Bahkan, kalau bisa, dinyatakan secara lisan (“saya menyatakan membeli barang/jasa X dengan harga X dengan ketentuan X”). Gaya bahasa marketing yang berusaha mengaburkan proses ijab kabul, menurut saya, bisa disetarakan dengan percobaan penipuan.
Memang, kita sudah terbiasa untuk menganggap remeh hal-hal semacam itu. Ketika menginstal software, berapa banyak dari kita yang membaca Terms and Conditions sebelum menekan I agree? Saya akui, saya pun masih sering menggunakan rumus “Next-Next-Next-I agree“. Membaca tulisan rumit dan panjang itu terlalu memusingkan, apalagi kalau software yang kita install adalah software gratisan (apalagi bajakan, yang artinya sejak awal kita sudah melanggar terms and conditions). Namun, di situlah celah kita untuk bisa tertipu. Kebiasaan buruk itu suatu saat bisa berakibat fatal. Misalnya, bila suatu hari nanti kita menjadi presiden, kita mungkin akan asal menandatangani surat tanpa membacanya dulu.
Jadi, apa yang akan kamu lakukan terhadap lelaki brengsek yang mengaku-ngaku sebagai pacarmu itu?