Bulan Mei baru saja berlalu. Setidaknya ada dua hal yang selalu saya ingat mengenai bulan Mei. Pertama, adalah hari ulang tahun adik saya dan istri saya. Kedua, adalah kerusuhan Mei 98 yang berujung pada pelengseran Soeharto.
Saya bukan mahasiswa yang ikut berdemonstrasi, bukan pula korban kerusuhan tersebut. Saat itu, saya masih sangat kecil, tidak suka menonton berita, apalagi berita politik. Saya cuma ingat bahwa pada suatu siang, orang tua saya buru-buru mengumpulkan dokumen-dokumen penting, menyiapkan kunci, dan berjaga-jaga di depan rumah, seolah akan terjadi kebakaran atau bencana alam. Tetangga kompleks berkerumun di luar rumah dengan wajah khawatir, kata mereka “kerusuhannya sudah dekat, sudah sampai pasar”.
Namun, hari itu tidak terjadi apa-apa. Di televisi, saya melihat orang-orang sedang menjarah barang elektronik dari sebuah pusat perbelanjaan. Saat masuk sekolah, seorang teman bercerita dengan bangga bahwa saudaranya yang tinggal di Jakarta berhasil “mendapatkan” televisi dan VCD player dalam kerusuhan tersebut. Benar-benar membingungkan, bukankah mereka pencuri?
Beberapa waktu kemudian, setelah Soeharto lengser, saya sempat pergi ke pasar dan melihat coretan-coretan di pintu ruko yang menurut saya sangat aneh. Coretan-coretan itu bertuliskan “PRIBUMI”, “MUSLIM”, atau “ISLAM”. Setahu saya, coretan-coretan di dinding biasanya adalah nama geng (misalnya nama geng motor atau geng anak-anak STM) dan seharusnya tidak ada geng bernama “PRIBUMI”, “MUSLIM”, dan “ISLAM”. Barulah beberapa waktu kemudian saya mengerti bahwa tulisan-tulisan itu dibuat agar toko mereka tidak dijarah massa, karena (konon) hanya toko milik “Cina” dan “Kristen” saja yang akan dijarah.
Belasan tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, saya sedikit mengerti mengapa kebencian rasial seperti dalam kerusuhan itu bisa muncul dan menimbulkan kehancuran. Saya sudah sering mendengar pengakuan dari beberapa orang yang saya kenal tentang mengapa mereka “anti-Cina”. Semua kisah itu hampir sama, selalu berawal dari masalah kesenjangan sosial dan diskriminasi di tempat kerja/usaha, yang kemudian melebar menjadi rasisme dan xenofobia.
Begitu pula cerita dari seorang bapak-bapak yang tanpa sengaja saya temui di kereta, Jumat malam lalu.
Awalnya, bapak itu bercerita tentang keluarga, menanyakan apakah saya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Ketika saya jawab bahwa saya belum setahun menikah dan belum memiliki anak, ia dengan senang hati memberikan tips dan trik. Dengan suara lantang untuk mengimbangi bisingnya deru kereta, ia menjabarkan posisi-posisi seksual yang menurutnya jitu untuk membuahi perempuan. Tangan kanannya ditegakkan, lalu tangan kirinya membuat lingkaran, lalu mulailah ia memperagakannya. Para penumpang lain sesekali melirik kami, mungkin merasa risih atau malah merasa penasaran.
Ia begitu senang dengan topik itu hingga saya selalu gagal membelokkan arah pembicaraan. Barulah saat membicarakan masalah pekerjaan, perhatiannya teralih. Dengan berapi-api, ia menjelaskan bagaimana seorang pemilik perusahaan multinasional bisa menghindari pajak, merugikan pemerintah, dan menyengsarakan para pekerja. Ia juga bercerita bagaimana seorang pekerja dengan kemampuan yang baik bisa dikalahkan oleh pekerja yang memiliki kedekatan ras/suku/agama dengan pemilik perusahaan. Pada titik itu, saya setuju. Eksploitasi dan diskriminasi di dunia kerja memang sering kali terjadi. Bagaimanapun, perusahaan kapitalis memang bukan lembaga yang demokratis.
Namun, kesimpulan yang ia tarik membuat saya kecewa. Ia mengaitkan ketidakadilan yang ia alami dengan masalah ras. Lebih jauh lagi, secara serampangan, mengaitkannya dengan agama.
“Orang-orang Cina memang begitu. Mereka kan, cuma sedikit yang agamanya Islam. Kebanyakan kalau nggak Kong Hu Chu, ya Kristen. Di agama mereka itu nggak ada aturan, semuanya boleh,” ujarnya, lalu tertawa.
Bahkan orang awam seperti saya pun tahu bahwa penjelasannya itu tidak masuk akal. Lebih jauh lagi, ia menyarankan saya untuk jangan pernah membagi ilmu kepada orang-orang Cina (Tionghoa) dan hanya boleh membagi ilmu kepada orang-orang Melayu, karena menurutnya, orang Melayu “tidak akan berbuat jahat” seperti itu.
Saya sadar, ada orang-orang Cina, Korea, Jepang, Eropa, atau Amerika yang merasa superior dan menganggap rendah bangsa lain, khususnya Indonesia. Namun sikap seperti itu lebih mungkin tumbuh karena kelas sosial-ekonomi mereka. Mengelompokkannya ke dalam isu ras hanya akan membuat kita lengah, sebab eksploitasi bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak terbatas oleh ras, kewarganegaraan, atau hubungan darah.
Fenomena xenofobia “anti-pendatang” juga bisa kita lihat pada daerah-daerah yang sedang mengalami industrialisasi pesat. Ketika pabrik-pabrik dibangun, pencari kerja dari luar kota berdatangan, warga “pribumi” yang tidak siap pun akhirnya terpinggirkan, lalu timbullah kecemburuan yang dipelintir ke isu ras, suku, agama, partai politik, mazhab, bahasa–pokoknya apa pun yang bisa membedakan “kita” dan “mereka”.
Konflik rasial memang bukan barang baru di Indonesia. Masalah ini sudah dijadikan alat pemecah belah sejak sebelum masa kemerdekaan. Namun, isu rasisme kembali terasa ramai sejak Pilpres 2014 lalu, sebuah pilpres yang brutal dan vulgar, “pesta” demokrasi yang dipenuhi orang-orang mabuk. Penggunaan isu rasisme untuk meraih dukungan politik, bagi saya, adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan, bahkan menjijikkan. Beberapa hari lalu pun sempat muncul kampanye KAMMI yang diduga memiliki nuansa rasis yang cukup kental.
Saya ingat, seorang lelaki keturunan India (atau Sri Lanka? Maaf, saya lupa) pernah memuji-muji orang Indonesia di depan saya. Menurutnya, orang Indonesia sangat toleran dan berpikiran terbuka dibandingkan orang-orang di Malaysia (negara tempat ia tinggal) yang sangat rasis dan diskriminatif. Dalam hati, saya merasa bangga, tapi sedikit pesimis bila melihat perkembangan terkini. Ide-ide rasisme (dan mungkin juga, fasisme) masih cukup sering digoreng, baik oleh ormas bersorban atau mahasiswa bertopeng Guy Fawkes KW3. Bila ini berlanjut, bukan tidak mungkin suatu saat kita akan menyaksikan kelahiran sesosok pemimpin fasis yang membenci ras lain, mendiskriminasi warga keturunan, dan menebar teror di bumi pertiwi: Lord Voldemort
Ya, saya menggunakan contoh Voldemort karena Hitler sudah terlalu mainstream.
Obrolan kami baru berhenti ketika kereta api berhenti di stasiun Cikarang. Bapak itu pamit kepada saya dan turun dari kereta. Dalam hati, meski saya menentang pemahamannya, saya tidak bisa membencinya. Ia adalah manusia biasa, seorang ayah yang harus menghidupi keluarganya dengan membanting tulang dan mendapat perlakuan tak adil. Sayangnya, kemarahan dan kebenciannya telah salah sasaran dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Setelah ia turun, saya akhirnya bisa bernapas lega. Stasiun tujuan saya masih lumayan jauh, mungkin masih sempat untuk tidur sebentar. Belum sempat mata saya terpejam, saya menoleh ke kiri. Seorang perempuan muda bermata sipit duduk di kursi seberang sejak tadi, menatap kami lewat pantulan di kaca jendela. Entah apa yang ia pikirkan.