Pak Ade bingung. Pengeluaran keuangannya terasa tidak terkendali. Baru saja satu minggu pasca-gajian, tapi saldo di rekeningnya tinggal seujung kuku. Ia tidak tahu ke mana saja uangnya ia belanjakan. Sebagian untuk jajan, sebagian untuk hura-hura, sebagian lagi untuk menunjang gaya hidup, tapi tak ada alokasi untuk tabungan, apalagi investasi.
Ia pun duduk di depan rumahnya, memakai sarung dan kaos oblong, sambil mengobrol dengan anak dan istrinya. Istrinya berkeluh kesah mendengar kondisi keuangan keluarga. Ia menyalahkan Pak Ade yang belakangan hobi mengoleksi batu akik, bahkan membeli beberapa batu dengan harga fantastis hanya karena dibujuk teman-temannya. Sementara itu, Pak Ade dengan santai menyalahkan istrinya yang sering kalap belanja online, membeli baju dan sepatu yang cuma sesekali dipakai saat pergi ke undangan. Anak mereka yang masih TK tidak mengerti apa-apa, tidak paham kalau sebenarnya ia juga ikut disalahkan karena sering merengek minta dibelikan mainan BoBoiBoy dan Avengers.
Di tengah kesesakan itu, Pak Ade merenung. Ia melihat ayam peliharaannya yang sedang mematuk-matuk tanah di pekarangan bersama anak-anaknya yang masih piyik. Ayam itu jarang sekali ia beri makan. Ia percaya bahwa ayam kampung sejati haruslah dilepas agar mencari makan sendiri, entah dari remah-remah sisa makanan, cacing, atau serangga. Tiba-tiba renungannya itu sampai pada sebuah titik puncak, ia seperti mendapatkan satori, pencerahan, iluminasi. Hidayah.
“Ayam saja bisa hidup,” kata Pak Ade sambil mengelus-elus janggutnya.
Istrinya hanya mengangguk, berusaha memahami ke mana arah pembicaraan suaminya, sementara anaknya sedang asyik menonton DVD.
Pak Ade menyambung ucapannya, kali ini dengan suara yang dalam dan bijak seperti Morgan Freeman.
“Tuhan Maha Adil, semua makhluk ada rezekinya masing-masing. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan,” ucapnya. “Lihatlah ayam-ayam itu. Mereka tidak bekerja, apalagi gajian. Setiap hari kerjanya cuma mematuk-matuk tanah, ciap-ciap, petok-petok, tapi mereka bisa hidup. Beranak pinak pula. Apa pernah Ibu lihat ayam yang mati kelaparan?”
Istri Pak Ade menggeleng. Tiba-tiba saja, berkat optimisme yang ajaib itu, ia tidak lagi merasa khawatir dengan masa depannya. Ia tidak khawatir apakah bulan ini uang mereka cukup untuk belanja, membayar tagihan listrik, dan biaya sekolah anak. Cukup dengan pikiran positif itu. Tawakal, pikirnya. Ayam saja bisa hidup, apalagi manusia.
Namun tanpa diketahui Pak Ade dan keluarganya, diam-diam sang induk ayam menguping pembicaraan mereka berdua. Sambil mondar-mandir menggiring anak-anaknya, ayam betina itu menggerutu, bahkan memaki-maki Pak Ade yang telah merendahkan harga dirinya sebagai ayam. Tentu saja, bagi manusia yang tidak paham bahasa ayam, suaranya hanya terdengar petok-petok random.
“Manusia bangsat!” caci si ayam betina itu. “Kamu kok tidak tahu kalau setiap hari aku bekerja membanting tulang? Kamu pikir kami cuma petok-petok, ciap-ciap, mematuk-matuk tanah, lalu serangga dan cacing akan muncul dengan sendirinya, menyerahkan diri seolah mereka tidak butuh kehidupan? Kampret! ‘Ayam saja bisa hidup’ katamu? Ya tentu saja aku hidup, karena aku mati-matian bekerja, menafkahi anak-anakku yang banyak dan kecil-kecil ini. Bahkan anak-anakku ini pun sudah kuajak mencari makan. Kamu pikir, mereka bisa hidup begitu saja kalau tidak bekerja? Kamu pikir, anak-anakku ini turun dari langit, tekotekotekotek, begitu? Kamu tidak tahu belakangan ini aku pusing memikirkan jumlah populasi serangga yang semakin berkurang. Belum lagi cacing tanah yang sulit ditemukan karena tanahnya sudah kalian tutup dengan beton dan aspal semua. Aku ini perempuan, single parent, tapi aku berjuang, tidak pernah pasrah. Tidak seperti kepala gundulmu itu! Kalau kamu meremehkan perjuanganku, sini kamu! Sini, kamu dan keluargamu itu, coba mematuk-matuk tanah sepertiku! Memangnya kamu mau? Dasar monyet sok penting.”
Pak Ade masih menikmati semilir angin di sore hari. Ia sempat berpikir untuk mencari kerja sampingan atau menggadaikan barang-barang simpanannya, tapi sejak mendapatkan pencerahan tadi, ia mengurungkan niat itu. Santai saja, pikirnya. Pikiran harus positif. Kalau pikiran kita positif, semesta pun akan bekerja untuk memenuhi segala keinginan kita. Itulah rahasia kehidupan.
Sang ayam masih mondar-mandir di depan Pak Ade, sesekali menatapnya tajam penuh kebencian. Ia ingin lihat, sampai kapan optimisme ajaib Pak Ade itu akan bertahan. Mungkin nanti, pikirnya, sampai mereka kehabisan uang dan kelaparan. Barulah pada saat itu mereka akan sadar bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib pemalas seperti dirinya. Ayam betina itu terkekeh-kekeh. Ia ingin lihat. Ia ingin lihat Pak Ade dan keluarganya mematuk-matuk tanah.
Benarlah dugaannya. Tak lama kemudian, Pak Ade kehabisan uang. Bukan lagi nol, tetapi minus. Barang-barang simpanannya dijual dan digadaikan. Mereka mulai hidup prihatin. Sang ayam tertawa-tawa puas. Itulah akibatnya kalau optimis membabi buta. Optimis itu harus realistis, ujarnya. Tawakal boleh, tapi ikhtiar tidak bisa ditawar-tawar.
Ayam itu masih bisa tertawa, hingga pada suatu hari Pak Ade memutuskan untuk menyembelihnya.
“Alhamdulillah, ternyata kita masih bisa makan enak di tanggal tua begini,” kata Pak Ade di depan meja makan. Aroma ayam bakar tercium harum, menggugah selera mereka sekeluarga. “Benar, kan, kata Bapak? Tidak usah khawatir. Ayam saja bisa hidup, apalagi kita.”
“Tapi kan, ayamnya sudah mati, Pak?” celetuk anaknya.
Pak Ade dan istrinya tertawa-tawa.