#5BukuDalamHidupku | Peri Sayap Kupu-Kupu, Novel Pertama

Alkisah di zaman dahulu kala sebelum manusia memiliki peradaban modern dan ketika dewa-dewi kahyangan masih bertahta, saya pernah menyelesaikan sebuah novel. Utuh. Sampai ending. Tanpa bantuan Nanowrimo atau himpitan deadline. Novel legendaris itu berjudul “Peri Sayap Kupu-Kupu”.

Ketika itu saya masih kelas satu SMA dan baru mengenal cinta. Tidak ada forum kepenulisan yang saya ikuti, tidak ada lomba menulis yang saya ketahui, tidak ada software khusus untuk menulis novel, juga tidak ada internet di rumah (mungkin yang terakhir itu adalah faktor yang paling menentukan). Setiap pulang sekolah, saya duduk di depan komputer bekas yang dibeli ayah saya. Komputer kuno yang masih diisi Windows 98 dan RAM-nya cuma 512 MB itu adalah media saya untuk menyusun kata-kata yang saya tulis sebelumnya di buku tulis. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam mengetik di depan monitor tabung berwarna kekuningan itu sampai lupa mengerjakan PR dan bermain Playstation. Waktu itu saya tidak punya banyak pengetahuan soal teknik menulis atau dunia penerbitan, yang saya punya hanyalah imajinasi yang meluap-luap di dalam kepala.

Peri Sayap Kupu-Kupu pada dasarnya adalah kompilasi curhat colongan dan self-inserting tanpa tedeng aling-aling. Tokoh utama dalam novel tersebut adalah seorang siswa SMA bernama Jibril yang kesepian, solipsis, dan berkepribadian ganda. Ia sempat menganggap bahwa seluruh dunia, orang-orang di dalamnya, negara, budaya, agama, bahkan Tuhan itu sendiri ada hanya sebagai unsur-unsur dan tokoh-tokoh dalam kehidupannya. Namun semua itu berubah ketika negara api menyerang ketika ia mengenal seorang perempuan. Ia jatuh cinta pada perempuan itu dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa ada manusia lain yang benar-benar “hidup” selain dirinya.

Pada awalnya, novel itu hanya berisi renungan-renungan dan khayalan liar dalam kepala saya yang kemudian saya jejalkan semuanya ke dalam tokoh bernama Jibril itu. Selain itu, ada juga kata-kata puitis yang saya dapatkan setelah membaca buku-buku Kahlil Gibran (yang ketika itu cover-nya belum menyerupai teenlit). Namun di pertengahan cerita, perempuan yang dicintai oleh Jibril ternyata jatuh cinta pada lelaki lain, seorang anak STM yang hobi tawuran, pemakai narkoba, dan konon pernah menghabisi 99 orang dalam tawuran dengan hanya bersenjatakan pisau lipat (yang satu ini pasti pengaruh dari manga dan anime, tidak mungkin tidak). Oh ya, novel ini menggunakan beberapa sudut pandang orang pertama secara paralel, jadi setiap kejadian diceritakan oleh sudut pandang yang berbeda-beda. Lalu di klimaks cerita, muncullah sebah twist, bahwa yang pernah mengalahkan 99 orang anak STM itu ternyata adalah Jibril sendiri … melalui alter-egonya yang bernama Izrail. Adegan perkelahian berdarah-darah pun langsung menggusur kata-kata perenungan dan syair-syair cinta ala Gibran di penghujung novel itu.

Mungkin sekilas kedengarannya seru, tapi bila membaca tulisan aslinya, saya sendiri cuma bisa tertawa. Betapa noraknya gaya tulisan saya waktu itu. Semua tentang kegalauan, curcol, dan kecemburuan.

Setelah menyelesaikan novel itu, saya merasa lega. Dengan naifnya, saya mengirimkan naskah novel itu ke Gagas Media. Tiga bulan kemudian, naskah saya ditolak dan dikembalikan. Alasannya karena kurang sesuai dengan tema dan karakter buku-buku yang mereka terbitkan. Namun sama sekali tidak ada rasa kecewa atau menyesal, sebab sejak awal saya memang tidak berharap banyak.

Akhirnya saya mencetak novel itu menggunakan printer bekas yang dibeli ayah saya dari tetangga. Printer itu hanya bisa mencetak hitam-putih dan masih menggunakan pita (bukan tinta). Setelah dicetak, kemudian naskah itu saya fotokopi dan saya jilid sendiri menggunakan lem Fox. Novel itu pun saya jual di sekolah. Beberapa orang, termasuk salah seorang guru, membeli dan membacanya. Banyak yang bilang bahwa mereka menyukai novel itu, bahkan beberapa waktu lalu ada yang mengatakan bahwa ia lebih menyukai Peri Sayap Kupu-Kupu daripada Setelah Gelap Datang. Entah harus merasa senang atau sedih.

Hingga saat ini, saya masih menyimpan satu jilid novel itu di rumah di Karawang. Sayang sekali, saya tidak sempat memindai cover-nya. Cover novel itu berisi gambar perempuan berambut panjang tanpa wajah yang di punggungnya tumbuh sayap kupu-kupu. Harfiah sekali.

Itulah novel self-publish pertama saya. Lebih tepatnya, itulah novel pertama dan satu-satunya yang pernah benar-benar saya selesaikan … hingga hari ini. Betapa menyedihkan.

Novel Peri Sayap Kupu-Kupu itu menjadi penting bagi saya, selain sebagai novel pertama yang saya buat, juga sebagai bukti bahwa menulis novel bisa terasa sangat ringan dan menyenangkan bila dilakukan tanpa kepura-puraan dan ambisi yang muluk. Seharusnya saya tetap seperti itu; menulis karena memang senang menulis, bukan karena ingin jadi penulis