Cerita ini adalah bagian dari seri Wa Merah
Suara seorang perempuan berteriak-teriak dari ponselku, suaranya sangat berisik bagaikan sederet petasan yang meledak di malam lebaran, atau seperti kaleng rombeng yang dipukuli dengan gagang kayu; tak ada bedanya, malah mungkin lebih buruk lagi.
“…kamu tuh lama banget! Seenaknya aja kamu ninggalin Mama ngurusin adik kamu sendirian di sini? Mana adik kamu tuh rewelnya minta ampun! Kamu sengaja ya, kabur dari tanggung jawab?” suara itu menusuk-nusuk lubang telingaku.
“Bukan gitu, Ma. Sebentar lagi kok, aku bakal pulang. Penelitiannya masih belum selesai, ini kan untuk skripsi tugas akhir aku, nggak bisa main-main,” jawabku sambil menahan rasa panas di dalam dada.
“Halah! Penelitian? Segala kamu pakai jauh-jauh tinggal di dusun nggak jelas itu. Emangnya kapan Mama pernah kasih ijin kamu tinggal di sana? Minggat seenaknya, pulang cuma dua minggu sekali, kamu pikir kamu nggak punya tanggung jawab lain? Atau kamu mau diusir sekalian dari rumah?”
“Mama tuh cerewet banget sih? Masa cuma ngurusin Si Rizal yang udah kelas tiga SD aja nggak sanggup? Lagian dia nggak rewel-rewel banget kok, justru yang paling rewel selama ini kan Mama! Aku ini udah mahasiswi, aku punya tugas lain, aku mau wujudin cita-cita almarhum Papa, dan aku….”
“Dasar durhaka kamu! Saya curiga kalau kamu bukan bikin penelitian di sana, jangan-jangan….”
“…udah dong, kamu tuh cerewet banget sih!”
“…jangan-jangan di sana kamu jual diri ya? Kamu jadi pelacur ya di sana? Atau kamu kabur sama cowok kamu yang miskin itu? Ngaku aja kamu!”
“Eh, lo kalau nuduh orang jangan sembarangan dong! Mentang-mentang gue udah bersedia manggil lo Mama, bukan berarti lo bisa seenaknya! Dasar pecun!”
“Apa lo bilang? Dasar anak—.”
Aku menutup sambungan telepon dan melemparnya ke atas kasur yang sepreinya bermotif batik. Di sebelah tempat tidur, Bu Halima, janda tua pemilik rumah ini, sedang sibuk melipat pakaian yang habis disetrika. Ia menatapku dengan matanya yang telah dikepung keriput-keriput bukti penuaan, lalu menghela nafas dalam.
“Meskipun dia ibu tiri kamu, kamu harus tetap menghormati dia dong, Neng Putri,” ucapnya tanpa menatap mataku, masih melipat pakaian, “…agama kita memerintahkan supaya kita menghormati orang tua, terutama ibu, kandung atau bukan.”
Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Kalau orang lain yang berbicara seperti itu mungkin aku akan merasa malas menanggapinya, tetapi aku sudah menumpang di rumah Bu Halima hampir selama satu bulan, dan selama itu ia sudah sering mendengarkan curhatku, membantu penelitian skripsi, bahkan mengajarkanku mengaji. Aku sadar betul, sebagai seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan psikologi yang sudah cukup kenyang dengan berbagai teori mengenai kepribadian dan jalan pikiran manusia, aku tetaplah perempuan dua puluh satu tahun yang memiliki kesulitan mengendalikan emosiku sendiri.
“Iya, Bu. Kalau seandainya dia bisa bersikap seperti ibu kandung saya, saya pasti akan menghormati dia. Apalagi semenjak Papa meninggal, dia semakin seenaknya,” ucapku sambil duduk di sampingnya, di dekat sebuah setrika arang yang terlihat seperti artifak peninggalan sejarah bagi orang kota sepertiku.
“Ya sudah. Daripada kamu mikirin itu terus, bagaimana kalau kamu tolongin Ibu beli sayuran di tempatnya Bu Izul. Mau?” tanya Bu Halima sambil tersenyum, keriput di pipinya semakin jelas terlihat.
Aku balas tersenyum dan mengangguk pelan. Bu Halima berdiri untuk mengambil uang dari dalam lemari, namun belum sempat ia menoleh lagi, aku segera menyelinap pergi keluar. Aku akan membeli sayuran dengan uangku sendiri, hal ini tidak seberapa kalau dibandingkan kebaikan Bu Halima membiarkanku tinggal di rumahnya selama sebulan lebih.
Kios sayuran sekaligus rumah Bu Izul letaknya tak begitu jauh dari rumah Bu Halima, dan pagi ini sudah banyak ibu-ibu yang berkumpul di sana untuk membeli sayuran atau sekedar bergosip. Aku sudah pernah mewawancarai sebagian besar penduduk desa kecil ini dalam sebulan terakhir, sehingga setidaknya aku masih ingat nama semua orang yang ada di kios sayuran itu, dan mereka juga mengenalku.
“Eh, Neng Putri. Tumben kamu belanja ke sini?” tanya Bu Izul, si penjual sayur, di sebelahnya ada Bu Wati yang sedang asik memilih bawang.
“Iya, bantuin Bu Halima, Bu,” jawabku sambil tersenyum.
Aku berdiri di samping Bu Wati, memilih-milih wortel dan kangkung sambil mendengarkan pembicaraan ibu-ibu yang lain. Aku baru ingat kalau aku tak tahu sayuran apa saja yang ingin dibeli Bu Halima, jadi kurasa aku akan membeli apa saja dan memasaknya sendiri nanti, semoga saja Bu Halima menyukai masakanku.
“Bu, gimana, udah dapet kacang ijonya?” tanya Bu Wati saat melihat Bu Nurmaida datang ke kios sayuran.
“Aduh, belum! Tadi saya dan suami saya pergi ke pasar, tapi sama, kacang ijonya habis semua!” jawab Bu Nurmaida dengan panik.
“Gawat dong nanti malam?” tanya Bu Wati.
“Saya nggak tau mesti cari kemana nih. Apa saya harus ke pasar kota? Bu Izul, kok bisa nggak jual kacang ijo sih?” Bu Nurmaida beralih memandang Bu Izul.
“Maaf, Bu, suami saya sekarang sedang beli ke pasar kota, mudah-mudahan aja sebentar lagi sampai,” jawab Bu Izul.
“Wah kalau sampai nanti malam nggak bisa ngijo, saya nggak tau nih harus gimana…,” Bu Nurmaida melirik ke arahku, “Neng Putri, udah punya persediaan kacang ijo?”
“Nggak punya Bu, soalnya Bu Halima nggak percaya yang gitu-gituan,” jawabku seramah mungkin.
“Wah susah ya tinggal sama orang macam itu. Emangnya kamu nggak takut didatangi Wa Merah, Neng?” tanya Bu Wati.
“Ya takut juga sih…, tapi ya mau gimana lagi, saya cuma bisa berdoa aja. Emangnya Ibu benar-benar percaya ya, kalo bubur kacang ijo bisa menangkal Wa Merah?” tanyaku lagi. Ini sebenarnya bukan pertama kalinya aku menanyakan hal tersebut, sudah berkali-kali dalam sesi wawancara.
“Hmm… bilang ya sama Bu Halima yang suka sok sholehah itu, kita ini bukannya musyrik atau kafir, kita masih sembahyang lima waktu kok. Cuma masalahnya, liat dong kenyataan. Bulan lalu Pakde Barno sama Si Boy meninggal dibunuh Wa Merah karena mereka nggak taruh bubur kacang ijo di depan pintu rumah mereka. Kita-kita yang nurutin nasehat Pak Amir untuk naruh bubur kacang ijo, nggak kenapa-kenapa tuh. Tiga bulan yang lalu juga gitu, Mak Iza meninggal dibunuh karena lupa ngijo,” Bu Nurmaida menjelaskan.
Apabila ada orang awam yang mendengarkan percakapan kami mengenai Wa Merah dan Ngijo, pasti akan mengerutkan dahi atau bahkan menggaruk-garuk kepala. Tapi dari mengerutkan dahi dan menggaruk kepala itulah aku memutuskan untuk menjadikan desa Sirna Maya ini sebagai objek penelitian tugas akhirku yang berjudul “Pengaruh Ritual Mistis Terhadap Sikap Religius Masyarakat Desa”. Melalui wawancara dan penelitian, aku dapat mendefinisikan kedua istilah itu.
Wa Merah adalah sesosok makhluk setengah siluman berwajah kemerahan yang sudah menghantui desa Sirna Maya semenjak setahun yang lalu. Selama setahun ini sudah tercatat sepuluh kasus pembunuhan sadis (meliputi mutilasi, menusuk mata korban dengan sendok atau garpu, dan tindakan kanibal) yang diyakini dilakukan oleh Wa Merah. Polisi menduga bahwa Wa Merah adalah seorang psikopat yang sangat lihai dan cerdas, sehingga mereka tak pernah berhasil menangkapnya. Namun menurut masyarakat, Wa Merah adalah manusia jahat yang mendalami ilmu hitam seperti menghilang, menembus dinding, atau kebal senjata. Bagiku, ia terdengar seperti Jack The Ripper versi lokal.
Ngijo adalah sebuah ritual unik yang dilakukan warga sejak beberapa bulan yang lalu untuk menangkal Wa Merah memasuki rumah saat malam. Ngijo dilakukan dengan meletakkan semangkuk bubur kacang ijo di depan pintu masuk rumah, atau tempat-tempat lain yang memungkinkan. Orang yang pertama kali mencetuskan ritual ini adalah Pak Amir, suami Bu Izul. Ia percaya bahwa Wa Merah takut terhadap bubur kacang ijo, meskipun darimana ia mengetahui hal tersebut adalah rahasia yang tak pernah ia ungkapkan pada siapapun. Warga desa percaya bahwa satu pertanda Wa Merah berniat memasuki rumah seseorang namun tertolak karena bubur kacang ijo, adalah ditemukannya bekas muntahan cair berwarna putih atau bening di dekat bubur tersebut diletakkan.
Suara mesin vespa tua terdengar mendekat ke arah kami, rupanya Pak Amir yang datang sambil membawa sebuah bungkusan besar di jok belakang vespanya. Laki-laki berkumis putih itu segera memarkir vespanya dan menurunkan bungkusan tanpa menoleh ke arah kami.
“Ada Pak?” tanya Bu Izul.
“Ada, tapi cuma segini. Nanti katanya mau dikirimi persediaan pakai mobil, tapi nggak bisa minggu-minggu ini,” ucap Pak Amir sambil meletakkan bungkusan besar berisi kacang ijo itu.
“Alhamdulillah, untung ada,” ucap Bu Nurmaida lega, “saya langsung beli sekarang aja ya, Bu Zul?”
“Boleh kok, boleh.”
Pak Amir dan Bu Izul segera membagi-bagi kacang ijo dalam bungkusan besar itu dan memberikan bungkusan kecilnya pada Bu Nurmaida. Sementara itu aku tak berniat untuk ikut membelinya, sebab aku takut Bu Halima akan menyangka aku musyrik karena mempercayai hal-hal mistis seperti itu. Aku sudah selesai berbelanja dan berniat untuk segera pulang ke rumah Bu Halima ketika tiba-tiba saja Pak Amir memanggilku.
“Neng, Neng Putri!”
“Iya, ada apa Pak?”
“Ini, buat jaga-jaga,” ucap Pak Amir sambil memberikan sebungkus kecil kacang ijo kepadaku.
“Nggak usah, Pak. Soalnya….”
“Ini untuk keselamatan kamu. Kamu memang bukan orang sini, tapi nggak ada salahnya hati-hati,” ucap Pak Amir sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Bu Halima pasti nggak mau….”
“Tolong kasih tau dia, ini bukan soal syirik atau nggak. Ada sesuatu, yang jadi alasan saya,” Pak Amir menatap mataku dalam-dalam.
Pak Amir langsung mengambil tanganku dan memaksaku menerima bungkusan itu, kemudian ia buru-buru masuk ke dalam rumah melewati Bu Izul yang masih berjualan. Bu Izul tersenyum kepadaku, aku membalas senyumnya. Aku tidak tahu akan aku apakan sebungkus kacang ijo ini. Bu Halima adalah orang yang sangat religius—mungkin paling religius di desa ini—dan aku rasa ia tak akan mau melakukan ritual ngijo.
Saat aku memperlihatkan bungkusan kacang ijo itu, Bu Halima langsung mengambilnya dan memasaknya. Aku sempat mengira kalau ia sudah berubah pikiran dan mau melakukan ritual, tapi aku salah besar, malamnya ia langsung menyajikan dua mangkuk bubur kacang ijo untuk kami makan bersama.
“Ini untuk dimakan manusia, bukan untuk dimakan dedemit,” ucap Bu Halima sambil mengajakku duduk di depan meja makan.
“Iya, Bu. Maaf, bukan maksud saya untuk itu, tapi tadi Pak Amir….”
“Sudahlah…, cukup Allah saja yang jadi pelindung kita,” potong Bu Halima sambil tersenyum meyakinkanku.
Setelah membaca doa, kami pun menyantap bubur kacang ijo itu. Sejujurnya, aku tidak begitu suka dengan bubur kacang ijo, dari kecil lidahku tidak terlalu cocok dengan rasanya. Aku lebih suka bubur ayam yang gurih daripada makanan yang manis-manis. Tapi demi menghormati Bu Halima, aku berusahan memakannya, meskipun tidak sampai habis.
Malam itu Bu Halimah tidur duluan, aku menawarkan diri untuk mencuci piring dan mengunci pintu. Aku memang mencuci piring bekas Bu Halima, tapi aku membiarkan sisa bubur kacang ijo milikku di atas meja makan. Selesai mencuci piring, aku mengambil sisa bubur itu dan membawanya ke depan pintu rumah. Aku rasa aku harus ngijo. Bukan aku ingin menjadi syirik seperti yang dikatakan Bu Halima, tapi aku merasa kalau hal ini perlu dilakukan. Awalnya, aku memang menganggap cerita tentang dedemit itu dan ritual ngijo hanya semacam mitos belaka, dan sebagai orang kota aku tentunya tak akan percaya dengan hal-hal yang terlalu mistis. Namun semenjak aku melakukan penelitian secara mendalam dan melihat sorot mata Pak Amir tadi pagi, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar mitos. Aku berkesimpulan bahwa Pak Amir bukanlah tipe orang yang mendapatkan ide ritual itu berdasarakan wangsit atau firasat.
Dengan perlahan, aku meletakkan semangkuk bubur kacang ijo itu di depan pintu kayu rumah Bu Halima. Besok aku akan bangun pagi-pagi sekali sebelum Bu Halima bangun, lalu menyingkirkan benda ini sampai tak ada bekas. Setelah selesai melakukan ngijo, aku segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Semoga saja Bu Halima tidak tahu, bisa-bisa ia akan marah atau malah mengusirku dari sini.
Saat ini sudah pukul sebelas malam, dan saat aku akan masuk ke dalam kamar untuk tidur, suara keributan dan teriakan terdengar dari arah luar. Aku segera berlari keluar tanpa sempat membangunkan Bu Halima. Aku membuka pintu, melangkahi bubur kacang ijo yang tadi kuletakkan, dan melihat kobaran api dari beberapa rumah penduduk. Aku berlari menuju arah nyala api itu dan aku melihat beberapa orang penduduk desa juga keluar dari rumah masing-masing dan tampak terkejut.
“Kebakaran! Kebakaran!”
Rumah yang paling parah terbakar adalah rumah Bu Izul dan Pak Amir, tempat tadi pagi aku membeli sayuran. Kobaran api tampak menyelimuti rumah itu, melahap apapun yang ada di dekatnya: atap rumah, jendela, pintu, dan segala macam benda yang ada. Di depan rumah terbakar itu, Bu Izul menangis tersedu-sedu ditemani beberapa warga yang berusaha menenangkannya, sementara para warga lelaki bolak-balik berusaha memadamkan api.
Beberapa saat kemudian, empat orang bapak-bapak keluar dari dalam rumah yang terbakar. Mereka menggotong sesosok tubuh yang tak bergerak. Aku tahu dari jeritan Bu Izul yang semakin histeris bahwa sosok itu adalah Pak Amir. Tubuhnya memang tidak sampai gosong terbakar, tapi hitam karena terkena asap.
“Lemas, kehabisan nafas,” ujar Pak Aryo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Innalillahi wa innailaihi rajiun,” sahut semua orang di tempat itu.
Bu Izul langsung memeluk tubuh suaminya yang sudah tak bernafas itu, lalu ia menangis semakin keras. Suasana suram terasa menelan semua orang yang berada di tempat ini. Pantulan cahaya dari kobaran api memantul di wajah Bu Izul dan menerangi malam layaknya api unggun raksasa.
“Ini… ini pasti pekerjaan Wa Merah! Dia datang lagi!” ucap Bu Izul sambil berusaha menghentikan tangisnya.
“Memangnya tadi Ibu nggak ngijo?” tanya Bu Nurmaida dengan suara yang bergetar.
Bu Izul tak menjawab, ia hanya memalingkan wajahnya sambil menatap wajah Pak Amir. Bu Nurmaida tak berusaha melanjutkan pertanyannya. Aku dapat melihat ekspresi ketakutan pada wajah setiap warga yang ada di tempat ini, mereka saling pandang satu sama lain dan tangan-tangan mereka gemetar. Teror Wa Merah terjadi lagi, kali ini dengan membakar rumah penduduk.
Ketika sirine pemadam kebakaran terdengar dari kejauhan, aku memutuskan untuk kembali ke rumah Bu Halima. Tak ada yang dapat kulakukan di sana, namun aku merasakan firasat buruk yang membuatku merinding ketika membayangkan bahwa kebakaran itu dilakukan dengan sengaja. Kalau memang Wa Merah melakukan aksinya lagi, Bu Halima bisa berada dalam bahaya karena tadi aku lupa mengunci pintu rumah. Aku melangkahkan kakiku sampai ke halaman depan rumah Bu Halima, kira-kira sepuluh meter dari pintu masuk. Pada saat itulah aku melihat sesosok manusia berada di depan pintu rumah.
Sosok itu mengenakan mantel hitam panjang dan berdiri membelakangiku sehingga aku tak dapat melihat wajahnya. Aku segera bersembunyi di balik batang pohon mangga di dekat tempat itu, berharap orang itu tak menyadari kehadiranku. Dengan mengintip, aku mengamati apa yang ia lakukan. Ia berdiri di depan bubur kacang ijo yang kuletakkan tadi, lalu menunduk dan mengendus-ngendus. Tiba-tiba ia mundur selangkah dengan cepat, tampak seperti orang yang terkejut, lalu ia menopangkan tangannya pada pagar kayu yang terletak tak jauh dari pintu rumah. Sekarang aku dapat melihat wajahnya dengan samar-samar. Rambutnya panjang sebahu dan keriting, wajahnya memiliki bekas luka bakar dari pelipis sampai ke leher, ada jenggot hitam lebat yang menggantung di dagunya. Orang itu melotot selebar-lebarnya, lalu menunduk. Ia terbatuk-batuk, lalu muntah. Cairan bening keluar dari mulutnya dan membasahi ubin hitam di dekat mangkuk bubur, sebagian ada yang jatuh ke dalam mangkuk. Nafasnya terengah-engah seperti orang yang sedang ketakutan, matanya setengah terpejam seperti sedang menahan sakit.
Sekonyong-komyong ia membalikkan badannya, dan menatap tajam penuh kewaspadaan, sekilas aku melihat wajahnya yang berwarna kemerahan. Gawat! Aku langsung merapat ke balik pepohonan dan menahan nafas. Aku tahu, orang itu pasti adalah pembunuh berantai berilmu gaib yang menggemparkan desa, dan mungkin juga orang yang telah membakar rumah Pak Amir: Wa Merah! Kalau sampai ia menemukanku, aku pasti akan dibunuhnya! Jantungku berdetak dengan sangat kencang, keringat dingin mulai membasahi tengkuk leherku. Aku berpikir aku akan mendengar suara langkah orang itu berlari atau berjalan meninggalkan tempat itu, tapi aku tak mendengar apa-apa. Apakah ia masih di sana? Atau sudah pergi? Dengan sisa-sia keberanian dalam diriku, aku mencoba mengintip dari sela-sela pepohonan. Ternyata ia sudah tidak ada. Langkahnya benar-benar tak terdengar, sampai-sampai aku tak menyadari kalau ia sudah pergi. Apa benar dia menguasai ilmu menghilang seperti yang dikatakan orang-orang?
Dengan kaki yang masih gemetar, aku melangkah ke arah pintu masuk rumah Bu Halima, tempat lelaki itu tadi berdiri. Dalam setiap langkah, mataku tak henti melirik ke kanan dan kiri, penuh kewaspadaan, kalau-kalau Wa Merah masih bersembunyi di sekitar sini. Ketika aku semakin dekat dengan pintu masuk, samar-samar aku dapat mendengar suara Bu Halima yang membaca Ayat Kursi keras-keras dari dalam rumah, seperti orang yang sedang ketakutan. Aku melihat ke bawah, ke arah lantai. Muntahan encer Wa Merah menggenang di lantai dan menetes pada pinggir undakan lantai, cairannya seperti muntahan orang yang tidak makan apa-apa—atau telah muntah berkali-kali. Sebagian cairan itu juga ada yang tercampur dengan bubur kacang ijo. Dari pola yang terbentuk pada percampuran muntahan dan bubur kacang ijo itu aku dapat merasakan sesuatu yang mengerikan, seperti kesakitan yang tiada tara. Dari dalam semangkuk bubur itu, aku merasakan tragedi yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata.