Airen, Ada Hadiah

Perempuan cantik itu tergeletak tak berdaya di hadapanku, baru beberapa menit yang lalu ia menutup mata dan mengakhiri hidupnya. Kini, hanya ada aku dan tubuh perempuan itu di dalam bangunan terbengkalai ini. Garis-garis cahaya matahari dari luar menembus sela-sela kayu atap bangunan yang seolah akan rubuh. Ada banyak bayangan yang jatuh di sekitar kami. Ruangan itu cukup luas, namun tak ada suara apapun selain beratnya hembusan nafasku dan suara detak jantung yang tak pernah melambat sedikitpun.

Kupeluk tubuh perempuan itu. Ia, perempuan yang paling aku cintai, kini berada dalam dekapanku, dingin dan bersimbah darah. Tanganku juga bersimbah darah, kulirik sebilah pisau dingin dan tajam yang baru kuletakkan di atas lantai. Kuusap rambutnya yang hitam panjang, kini ia begitu lemah tak bergerak. Ia adalah milikku. Ia adalah jodohku. Kucium keningnya yang basah. Terasa manis saat tak sengaja menyentuh lidah. Oh, aku lama sekali merindukan hal ini, hal yang tak bisa aku dapatkan ketika ia masih hidup. Kuusap pipinya, noda darah dari tanganku berbekas di pipinya yang mulus. Dengan matanya yang tertutup, ia tampak begitu cantik, begitu anggun. Seluruh tubuhnya masih sama seperti yang kukenal, masih suci, masih perawan, kecuali sebuah lubang penuh darah yang menganga di satu sisi perutnya—membuat baju putihnya jadi merah. Ia adalah perempuanku, cintaku, milikku. Aku memeluknya erat. Airen, maafkan aku membunuhmu.

 

***

Undangan itu tiba di depan rumahku. Ia datang membawa awan gelap, membawa petaka yang tak pernah bisa kubayangkan sebelumnya. Ini adalah undangan pernikahan yang sungguh tak ingin kuterima. Ketika kubuka surat undangan itu, nama yang tertera di dalamnya membuatku menjerit tertahan. Tenggorokanku terasa kering mendadak, jantungku seperti diremas dengan kencang dari dalam. Aku menahan nafas. Kenapa nama ini mesti muncul lagi dalam hidupku? Kenapa nama ini mesti muncul dalam selembar kertas ini?

 

Airen Sukma

&

Dimas Purnama

 

Aku jatuhkan kertas undangan itu ke atas lantai. Kuinjak-injak. Kuinjak-injak terus sampai ia kotor dan sobek. Tenggorokanku yang kering seperti terdorong oleh detak jantungku untuk mengeluarkan suara histeris, tapi kutahan, sehingga yang keluar hanya suara lengkingan tipis dan pendek. Nafasku memburu seiring dengan gerak tubuhku menginjak-injak kertas itu. Lama-kelamaan aku sudah tak sanggup lagi bernafas, rasanya sesak dan berderik seperti orang yang sakit asma. Tubuhku mendadak lemas, aku jatuh terduduk di hadapan sobekan kertas itu. Tak kusangka keringat dan air mataku keluar bersamaan, aku tersedu pelan.

Airen, minggu depan ia akan melangsungkan pernikahan dengan pria lain. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi aku tetap saja tak sanggup menerima kenyataan ini. Sama halnya seperti kematian yang datangnya sudah pasti, tapi ketika ia tiba-tiba datang, rasa takut pun muncul di luar dugaan. Semua ingatanku tentang Airen tersingkap kembali. Gara-gara surat undangan ini, ingatan yang sudah berusaha kupendam sedalam mungkin, kini bangkit dari dalam kuburnya. Ingatan itu seperti sebuah film yang ditayangkan tepat di hadapanku pada sebuah layar putih yang amat besar.

Airen adalah cintaku, dia adalah satu-satunya harapanku, tapi ia meninggalkanku untuk lelaki lain. Setiap kali aku ingat senyumannya, dadaku seperti ditikam besi panas. Aku ingin merobek layar itu, senyumannya dari bibirnya yang ada di dalam kepalaku. Setiap kali mengingat ucapan dan janji-janjinya di masa lalu, aku ingin sekali berteriak-teriak dan melolong kesetanan. Jika benar layar putih itu ada di hadapanku sekarang, aku benar-benar sudah merobek-robeknya.

Tidak bisa kubayangkan seminggu lagi ia akan bersanding bersama laki-laki lain. Tak bisa kubayangkan bahwa bukan aku yang akan duduk bersamanya di kursi pelaminan. Pikiran-pikiran itu membuatku merasa hampa, kosong. Laki-laki itu pasti lebih kaya dariku yang seorang pengangguran ini. Kalau memang begitu, apa artinya cinta? Cinta itu seperti kotoran sapi! Dia tidak butuh cinta, kenapa aku butuh? Tak terasa sepanjang sore itu aku terus duduk bersimpuh di ruang tengah, menangis. Aku tinggal sendirian di rumah kontrakan ini, dengan bekerja serabutan aku membiayai hidupku. Dan sekarang, satu-satunya semangat hidupku akan segera pergi, semua ini akan berakhir.

Matahari di luar sana tampaknya sudah terbenam dari tadi. Aku tidak tahu, selama berjam-jam aku duduk terdiam di atas lantai. Aku tak bisa bergerak, air mata pun sudah tak ada. Aku hanya mengira-ngira matahari terbenam dari suasana ruangan yang semakin gelap. Aku tidak peduli, aku tidak ingin menyalakan lampu. Gelap, dunia ini sudah gelap.

Setelah aku merasa pikiranku kosong, aku sadari tubuhku telah basah kuyup. Badanku basah karena keringat yang mengguyur tanpa henti. Mataku kering akan air mata, dan air liur meluber dari mulutku, entah kenapa. Aku berusaha bangkit dari dudukku, sempoyongan, aku meraba-raba dinding di sekitarku. Aku ingin tidur di kamar, aku ingin istirahatkan tubuhku, kalau aku tidur mungkin aku bisa melupakan semua pikiran ini. Pintu kamarku tak jauh letaknya, aku bisa meraihnya hanya dengan beberapa langkah yang tergopoh-gopoh.

Saat aku membuka pintu kamarku, aku melihat Airen ada di dalam. Ia ada di atas tempat tidurku, bersama seorang lelaki. Mereka bergumul, berpelukan, berciuman di atas ranjangku. Dan tiba-tiba kusadari kalau kamarku sudah berubah menjadi kamar pengantin. Berbagai macam hiasan menghiasi kamarku, sebuah kelambu dipasang di atas mereka, serpihan kelopak bunga berserakan di bawah ranjang, dan samar-samar aku dapat mencium aroma mawar dan melati di ruangan itu. Sementara mereka masih terus bercumbu di atas tempat tidurku yang telah berubah bentuk, aku mendelik sampai mataku seperti akan keluar. Kurasakan hawa panas yang menyebar dari ubun-ubunku sampai ke mata kaki. Aku teriak. Aku teriak sekuat tenaga. Aku marah, aku cemburu setengah mati.

Dengan rasa panas yang terus bertahan, aku mengangkat sebuah kursi yang cukup berat dari pojok kamarku. Kuangkat kursi itu, kuhantamkan pada bagian belakang kepala Airen. Ia tersungkur. Kugunakan jari telunjuk dan jari tengahku untuk menusuk bola mata laki-lakinya, lalu kutendang ia ke bawah tempat tidur. Aku kembali pada Airen yang ada di atas kasur. Kulihat pakaian pengantinnya yang sudah terbuka sebagian, memperlihatkan kulitnya yang putih, yang tak pernah kusentuh. Kulihat riasan di wajahnya yang mulai pudar, dan warna merah lipstik yang berantakan di sekitar bibirnya, bekas ciuman dengan laki-laki tadi. Aku cekik ia. Ia tidak sanggup bicara. Aku yang berteriak, tapi suaraku tidak mau keluar, yang keluar malah suara desisan seperti desisan ular. Aku tidak berhenti, terus kucekik dengan sekuat tenaga. Anehnya, ia sama sekali tidak terlihat lemas. Ia malah melotot padaku, suatu raut wajah yang belum pernah kulihat dari wajah Airen. Saat matanya melotot, dari kantung matanya keluar darah segar yang terus mengalir sampai ke lehernya. Walau merasa sedikit takut, aku tak mau berhenti atau melepaskan tanganku. Kugunakan semua tenagaku untuk mencekiknya, sampai-sampai seluruh tubuhku terasa lemas. Sangat lemas. Pandanganku pudar sedikit demi sedikit, dan tak lama kemudian kusadari kalau aku sudah telentang setengah tidur di atas ranjangku sendiri, ranjang yang tidak pernah—dan mungkin tidak akan pernah—jadi ranjang pengantin.

 

***

“Ren, selamat ulang tahun, ya?” ucapku pada wanita itu, ia tersipu malu.

“Terima kasih, Rian” jawabnya pelan.

Ini adalah hari ketiga sejak aku menerima undangan pernikahannya, dan kebetulan ini adalah juga hari ulang tahunnya. Aku mengajak dia untuk bertemu di sebuah restoran, hanya berdua saja, kubilang ini adalah permintaan terakhirku sebelum ia akan menikah dengan laki-laki itu.

“Ri, aku nggak tau mau bicara apa soal acara pernikahanku nanti…. Aku nggak akan maksa kamu untuk datang kok,” ucapnya pelan.

“Akan kuusahakan datang,” jawabku singkat.

Ia tersenyum ringan kepadaku. Aku mencubit pahaku sendiri sekuat tenaga untuk menahan diri agar tak menunjukkan ekspresi yang berlebihan.

“Mmm…. Di hari ulang tahunku ini, apa kamu punya pesan-pesan untuk aku?” tanyanya agak ragu-ragu.

“Iya, aku punya,” aku tersenyum lebar. “Airen, kamu harus sadar kalau hari ulang tahunmu adalah hitung mundur.”

“Hitung mundur?” ia mengerutkan keningnya, bingung.

“Ya,” aku berbisik pelan, “… hitung mundur menuju kematian.”

Ia terlihat kaget dengan jawabanku.

“Maksud aku, sebagai manusia, bertambahnya umur berarti berkurangnya waktu hidup kamu di dunia ini. Kamu nggak boleh lupa diri merayakan ulang tahun dengan bersenang-senang, tapi juga harus ingat bahwa kamu semakin tua dan semakin sedikit waktu yang kamu punya,” jelasku tenang.

“Ooh… aku kira apa…,” ia tersenyum lega. “Habis kata-katamu seram amat sih…. Tapi ternyata kamu orang yang bijaksana ya?”

Aku menahan tawa.

“Bukan cuma itu, Airen. Aku juga punya hadiah untuk kamu. Hadiah yang sangat spesial, anggap aja sekaligus kado pernikahanmu nanti,” ucapku.

“Oh ya? Mana?”

“Bukan di sini. Hadiahnya terlalu besar, terlalu besar untuk kubawa ke tempat ini. Makanya, nanti setelah selesai makan kamu harus ikut aku. Aku bawa motor kok.”

Airen mengangguk setuju tanpa prasangka apapun. Ia tidak tahu hadiah apa yang akan kuberikan kepadanya. Ia tidak mungkin bisa menebak hadiah ini, hadiah yang terlalu besar, terlalu besar sampai bisa menelan apapun—termasuk kelahiran dan pernikahan.

“Kamu tau nggak? Aku benar-benar senang, aku nggak menyangka kalau kamu masih mau berteman denganku. Aku kira kamu akan marah waktu aku mengirimkan surat undangan itu….,” ujarnya sambil memakan makanan pesanannya.

“Cinta itu nggak harus memiliki. Aku ikut bahagia kalau kamu bahagia, lagipula mungkin kita memang nggak berjodoh,” jawabku sambil tersenyum.

“Terima kasih….. Dan aku pasti ikut bahagia kalau kamu, sahabat terbaikku, merasa bahagia, karena apapun!” ia berkata sambil membalas senyumku, sambil mengunyah makanannya.

“Tentu saja, Airen. Itu akan membuat segalanya jadi lebih mudah…,” aku bergumam sambil menyembunyikan seringai di wajahku.

Beberapa menit kemudian, kami selesai makan. Aku mengajaknya untuk ikut denganku, di atas sebuah sepeda motor yang kubeli saat pertama kali aku mengenalnya. Aku membawanya pergi, aku akan membawanya ke suatu tempat yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Di sana, aku akan memberikannya hadiah istimewa sebagai ucapan selamat ulang tahun, selamat atas pernikahannya, dan selamat berpisah untuk selamanya. Aku tersenyum melihat wajah Airen dari kaca spion motorku, dia benar-benar tidak menyangka.

“Calon suami kamu nggak akan cemburu kan, kalau kita pergi berdua seperti sekarang?” tanyaku.

“Nggak kok. Dia bukan orang yang mudah cemburu, lagipula dia kan belum resmi jadi suamiku,” jawabnya setengah berteriak karena mengimbangi deru angin di perjalanan.

Kami tiba di sebuah bangunan tua yang sudah tidak terpakai. Kabarnya, dulu bangunan ini pernah dijadikan gudang oleh sebuah perusahaan konveksi yang tidak terkenal, tapi setelah suatu peristiwa kebakaran, bangunan yang hancur ini dibiarkan begitu saja tanpa diurus. Dapat terlihat dengan jelas noda-noda hitam bekas terbakar pada dinding dan atapnya. Debu dan puing-puing berserakan begitu saja di seluruh lantai bangunan ini, sementara atapnya tampak berlubang yang meloloskan sinar matahari sebagai satu-satunya sumber penerangan di dalam ruangan.

“Rian, ngapain kita ke sini?” tanya Airen. Guratan rasa cemas dan takut terlihat jelas di wajahnya.

“Aku punya kejutan untuk kamu di dalam sini. Tenang aja, kamu nggak perlu takut!” ucapku berusaha meyakinkan.

Kugenggam tangannya, dan kutarik hingga kami masuk lebih dalam ke bangunan itu. Walau awalnya ia menolak, tapi lama-kelamaan ia menurut juga. Bau kurang sedap berseliweran di ruangan itu, tapi aku tidak peduli. Setelah kami berada di tengah ruangan, kami berhenti. Aku berdiri di hadapannya, menatap matanya tanpa bergeming.

“Airen, sekarang kamu tutup mata kamu,” pintaku.

Ia menggeleng seperti anak kecil.

“Nggak mau! Aku takut….”

“Aku kan mau ngasih kejutan untuk kamu. Ayolah, kamu nggak perlu takut,” rayuku.

“Bukan begitu, Rian. Aku nggak keberatan untuk pergi sama kamu, tapi lihat sekarang. Sekarang kita cuma berdua di tempat sepi, gelap, dan kotor ini. Apa kata orang kalau ada yang ngelihat kita masuk ke sini? Sebentar lagi aku akan menikah, aku nggak mau buat masalah,” ucapnya sambil menjaga jarak dariku.

“Apa kamu curiga sama aku? Kamu pikir aku akan berbuat apa?” tanyaku dengan gusar.

“Nggak, Ri. Aku cuma nggak nyaman di tempat ini! Aku mau pulang sekarang juga!” ia berjalan melewatiku, berniat keluar dari ruangan ini, tapi aku segera menarik tangannya. Ia tidak boleh keluar dari sini sebelum tujuanku tercapai!

“Lepasin!”

“Airen!!!” aku membentaknya. Kusadari mataku mendelik liar ke arahnya sekarang, dan itu pasti akan menakutinya.

Ia berontak. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman tanganku. Tapi ia tak akan bisa, aku lebih kuat darinya, aku memiliki kekuatan yang tak pernah kubayangkan akan pernah kumiliki. Ia semakin nekat, ia berusaha mendorong dan menyerangku dengan tangan yang satunya lagi. Aku tak akan memberikan ia kesempatan untuk kabur. Kuambil sapu tangan di saku kemejaku, dan kubekap hidung dan mulutnya dengan sapu tangan itu. Ia meronta-ronta, tapi kupiting lehernya dengan kuat. Samar-samar terdengar suara erangan dan teriakannya yang tertahan oleh sapu tangan, bagiku itu benar-benar suara yang indah. Sapu tangan itu telah kuolesi dengan obat yang akan membuatnya segera pingsan, dalam waktu kurang dari satu menit… tubuhnya semakin lemas… perlawanannya mulai hilang… dan ia pun terkulai tak berdaya.

 

***

Airen, perempuan cantik itu, perlahan-lahan membuka matanya dan mulai siuman. Ia mencoba bergerak, tapi sia-sia, ia tak bisa bergerak bebas lagi. Ia hanya bisa terduduk di atas lantai yang penuh debu dengan tali yang membelenggu tangan dan tubuhnya. Meski begitu, ia masih bisa bicara dengan bebas. Aku sengaja tidak menutup mulutnya, karena aku ingin ia bicara, aku ingin mendengar teriakan dan jeritannya yang merdu. Sudah kupastikan, walau ia teriak sekeras apapun, tak akan ada orang lain yang mendengar suaranya di ruangan sebesar ini. Selain itu, bangunan ini ada di kawasan yang sangat sepi dan jauh dari tempat orang berlalu-lalang. Benar-benar sempurna. Brilian!

Aku mondar-mandir di hadapannya. Aku sedang memikirkan apa yang akan aku lakukan pertama-tama. Sebuah pisau belati sedang kugenggam di tangan kananku, ini adalah instrumen paling penting dalam pertunjukan ini. Ini harus jadi episode paling mengerikan dan menakutkan dalam hidup Airen. Aku harus membuat dia menyesal telah menyakiti perasaanku. Bukan, bukan hanya sekedar menyakiti perasaanku, dia telah menghancurkan harapan dan impianku, dia telah membuat hidupku jadi tidak berarti! Pantas mati!

“Rian…,” ujarnya pelan saat ia sudah benar-benar sadar. Raut wajahnya menunjukkan rasa bingung dan takut yang bercampur menjadi satu.

Aku berjalan mendekatinya, dan kemudian duduk bertumpu pada lututku agar bisa menatapnya yang terduduk di lantai. Kudekatkan wajahku pada wajahnya. Sangat dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan deru nafasnya yang ketakutan. Kuletakkan mata pisau di antara wajah kami berdua, sehingga lewat pantulannya aku dapat melihat wajahku, dan dia dapat melihat wajahnya. Di sini aku melihat pantulan wajahku yang tampak begitu antusias, dan di sana ia pasti melihat wajah ketakutannya yang begitu menyedihkan.

“Ka-kamu mau apa…?” tanyanya dengan terbata-bata, seperti orang yang tersedak.

Kutempelkan salah satu sisi pipih pisau itu ke pipinya. Ia melirik khawatir ke arah pisau itu, melihat pantulan ekspresi wajahnya sendiri. Aku dapat melihat ia menahan nafasnya ketika sisi pisau itu menempel semakin rapat pada pipinya yang mulus tanpa cacat itu. Dengan begitu lembut dan perlahan aku melakukannya.

“Dingin?” tanyaku tanpa ekspresi.

Airen mengubah fokus pandangannya ke arah wajahku. “I-iya…,” jawabnya.

“Takut?” tanyaku lagi.

“Aku takut, Rian…,” jawab Airen panik, namun ia tak berani banyak bergerak dengan pisau menempel di pipinya.

Dalam keheningan beberapa saat kemudian, ia mulai menangis. Air matanya perlahan turun, pertama-tama dari mata kirinya kemudian diikuti oleh mata kanannya, setetes demi setetes. Mulutnya dan bibirnya terbuka melebar, ia terisak pelan, seperti orang yang cegukan dan perlu diberi minum. Mukanya memerah seperti tomat.

“Dingin dan takut,” ucapku pelan, “kondisimu sekarang kira-kira sama dengan apa yang aku rasain waktu aku baca undangan itu.”

“Dingin dan takut…,” aku mengulangi.

“Jadi… kamu marah padaku karena undangan itu? Karena aku akan menikah dengan laki-laki lain…?” tanyanya dengan nada yang silih berganti antara isak tangis dan suara omongannya.

Aku mengibaskan pisau itu di dekat wajahya, ia menjerit melengking.

“Jangan bicara seolah-olah itu hal sepele!” geramku kesal.

“Lalu kamu mau apa? Mau menyiksa aku? Membunuhku? Memperkosaku? Kalau itu yang ada di pikiran kamu, aku bersyukur nggak jadi menikah dengan kamu!”

“Diam!” bentakku keras. Ia memejamkan matanya ketakutan.

Kalimatnya yang terakhir itu benar-benar membuatku naik pitam. Dalam sekejap saja, keringat mengucur di seluruh tubuhku. Genggaman tanganku semakin kuat memegang pisau. Perasaanku semakin sakit.

“Tega benar kamu bicara kaya gitu, Airen. Aku bukan ingin membunuh kamu, aku ingin membuat kamu ngerasa bersalah! Aku ingin kamu menyesal udah ngancurin hidupku! Seseorang yang udah berbuat salah, harus ngerasa bersalah! Rasa bersalah itu penting! Nggak ada gunanya minta maaf kalau kamu nggak ngerasa bersalah atas perbuatanmu!” aku berteriak-teriak di depan mukanya.

Airen perlahan-lahan membuka matanya yang sejak tadi ia pejamkan karena takut. Ia melihatku dengan mata yang berkaca-kaca, air matanya sudah berhenti mengalir.

“Rian, maafin aku. Aku tahu aku udah nyakitin kamu. Aku tahu aku buat pilihan yang egois. Aku minta maaf… Asal kamu tahu, aku benar-benar ngerasa bersalah harus ngebuat pilihan ini. Aku nggak pernah nyangka akan jadi kaya gini. Aku benar-benar ngerasa bersalah dan menyesal….”

“Apa? Ngerasa bersalah kamu bilang? Ngerasa bersalah sementara kamu pergi beli baju pengantin dengan calon suamimu, bikin undangan pernikahan dan dengan bangganya ngirim undangan itu padaku, foto-foto sama pria itu sambil senyum-senyum, atau malah sambil bertanya-tanya setelah nikah nanti mau punya anak berapa ya? Atau dengan liar ngebayangin, nanti pas malam pertama akan jadi seperti apa ya?  Itu yang kamu sebut ‘rasa bersalah’ ? Kamu nggak ngerti perasaanku, Airen!”

“Ri…, di dalam lubuk hatiku, aku ngerasa bersalah atas semua ini….”

“Bukan! Bukan itu yang namanya rasa bersalah! Tapi ini! Inilah yang aku sebut sebagai ekspresi rasa bersalah yang sesungguhnya! Bukan saat kamu dengan enaknya ngerencanain pernikahanmu, tapi saat sekarang! Saat pisau ini menempel di wajahmu, saat kamu nangis ketakutan, saat kamu menjerit-jerit histeris, saat wajah kamu pucat dan memerah pada saat yang bersamaan, inilah rasa bersalah itu! Dan sekarang kamu BARU ngerasain hal itu!” bentakku sambil menempelkan sisi pisau itu ke pipinya sekuat tenaga sampai bibirnya terlihat agak monyong.

Airen menangis lagi. Air matanya menetes lagi. Aku senang sekali melihatnya. Inilah yang kuinginkan, aku ingin ia merasakan apa yang aku rasakan. Tapi ini tak cukup, kalau setelah ini ia aku bebaskan, rasa bersalahnya akan berakhir hanya sampai di sini, dan ia akan tetap menikah dengan laki-laki itu—lalu hidup bahagia dan melupakan aku, dan mungkin ia juga akan melaporkan kejadian ini kepada polisi.

“Airen, kamu masih ingat, betapa aku mencintai kamu?” tanyaku pelan.

Ia mengangguk agak ragu. Masih menangis.

“Oh ya? Jadi, kamu masih ingat apa aja yang pernah aku lakuin untuk kamu?”

Ia mengangguk lagi. Kulepaskan pisau itu dari pipinya.

“Sebutkan! Sebutkan mulai dari yang paling berkesan buat kamu!” aku setengah berteriak.

Ia menundukan pandangannya sambil berusaha menahan tangis sekuat tenaga, suara cegukannya semakin terdengar jelas.

“Saat… pertama kali kita kenalan. Kamu nolongin aku waktu aku diganggu berandalan. Waktu itu… kamu dipukulin sampai babak belur, tapi kamu nolong aku….”

“Waktu itu kamu senang?” tanyaku.

“I-iya.”

“Apa waktu itu kamu suka sama aku?”

“I-ya…, waktu itu aku jatuh cinta sama kamu,” ujarnya dengan nada yang terpaksa.

Kubuka baju yang kukenakan. Kulempar baju itu jauh ke belakang. Sekarang aku bertelanjang dada di hadapannya, ia menatapku dengan rasa heran. Tapi kebingungannya tak akan bertaha lama.

“Orang bilang, cinta itu ada di hati. Padahal mereka salah, cinta itu ada di jantung, bukan di hati. Heart itu bukan hati, tapi jantung! Jantung itu ada di sini….”

Kutempelkan ujung pisau di leherku, lalu kugoreskan perlahan-lahan sampai ke tengah dada, lalu berbelok ke arah jantung. Setiap mili goresan terasa dingin, rasanya seperti digaruk dengan batu es. Lalu rasa perih perlahan-lahan menjalar dari leher sampai ke dadaku, mengikuti bekas goresan pisau yang membentuk sebuah garis lurus. Perlahan-lahan darah mulai mengalir keluar dari balik kulitku. Sakit, tapi sakit ini tidak seberapa.

“Rian! Kenapa kamu ngelakuin itu?” Airen menjerit ketakutan, ia berusaha memejamkan matanya.

“Buka mata kamu! Kalau enggak, aku tusuk kamu!”

Perlahan-lahan ia membuka lagi matanya, tapi kepalanya tetap berusaha menoleh ke arah lain, ia takut melihat darah yang mengalir dari tubuhku.

“Ceritain lagi! Apa yang pernah aku kasih untuk kamu?! Yang pernah bikin kamu mencintai aku!” bentakku.

“Ka-kamu…. waktu aku diwisuda… malamnya kamu ngebawa bunga untukku….”

“Berapa?”

“Seratus… seratus tangkai….”

“Bunga apa?”

“Mawar…. Seratus tangkai mawar…!”

“Waktu itu kamu senang?”

“I-iya, aku senang banget.”

Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, merasakan hawa panas tubuhnya yang seperti memancar, dan hembusan nafasnya yang terpotong-potong.

“Sekarang aku tanya, apa warna mawar itu?” tanyaku pelan.

“Merah….”

Kuangkat pisau di tangan kananku ke arah wajahku sendiri, lalu kotorehkan ujungnya di pipi kananku. Perlahan-lahan pori-pori di kulit wajahku seperti ditarik ke dua arah yang berbeda, lalu terbentuklah satu sayatan yang dalam di pipiku. Aku merasakan rasa sakit seperti dicubit dengan keras saat sedikit demi sedikit darah segar mengalir dari kulit pipiku yang terbuka. Ini sakit, tapi tidak seberapa. Aliran darah itu sempat mengenai mulut dan lidahku. Rasanya asin, aku baru ingat lagi kalau darah rasanya asin.

“Merahnya kaya gini?” tanyaku lagi.

“Rian! Kamu mau apa sih? Jangan nyakitin diri kamu sendiri!” teriaknya sambil berusaha memalingkan wajah, tapi tak kubiarkan, kutarik wajahnya agar ia terpaksa menatap wajahku yang berlumuran darah ini.

Ia menangis tersedu-sedu. Aku menatapnya dengan hampa. Dalam sekelebat teringat lagi masa-masa lalu kami berdua. Masa lalu yang seharusnya berakhir dengan bahagia. Masa lalu yang seharusnya berakhir dengan canda tawa, bukan dengan lumuran darah. Tapi masa lalu dan harapan yang dibawanya sudah terlanjur hancur, maka biarlah darah mengucur.

“Masih ada lagi ceritanya?” tanyaku.

Ia diam. Ia mengunci bibirnya rapat-rapat.

“Jawab!” paksaku.

“Aku nggak mau cerita lagi! Aku nggak mau kamu nyakitin diri kamu lagi!” ucapnya lantang.

“Bohong! Kamu lupa! Kamu lupa kan? Cuma itu aja yang kamu ingat dari masa lalu kita! Kamu lupa banyak hal yang udah kita lewati! Ingatan kamu dihapus oleh laki-laki itu! Kamu ngelupain aku dan bahwa kita pernah saling mencintai!” teriakku sekeras mungkin.

“Rian… jangan, Rian…,” ujarnya memelas.

“Sekarang, ceritakan lagi kalau kamu memang masih ingat masa lalu kita….”

Ia terdiam sejenak. Air mata masih mengalir dari kedua matanya, sementara darah segar mengalir keluar dari wajah dan tubuhku. Rasa sakit akibar goresan pisau itu sudah tak terasa lagi sekarang, aku semakin terbawa suasana yang dramatis ini.

“Wa.. waktu itu, waktu aku masih sekolah. Waktu itu kedua orang tuaku cerai. Mereka bertengkar tiap hari…, aku selalu disalahin. Aku… aku nyoba untuk bunuh diri,” ucapnya dengan terbata-bata.

“Lalu, apa yang kamu lakuin?” tanyaku memancing.

“Aku…, ngambil pisau dan ingin memotong urat nadiku sendiri…. Dan….”

“Dan?”

“Tapi…, waktu itu….”

“Tapi apa?”

“Tapi kamu datang dan mencegah aku ngelakuin hal itu. Aku nangis di dalam pelukanmu selama berjam-jam. Kalau waktu itu kamu nggak datang…, mungkin… mungkin aku udah bunuh diri….”

Kami berdua terdiam selama beberapa menit. Ia masih memalingkan wajahnya dariku.

“Waktu itu, kamu ngerasa berhutang?” tanyaku.

“Iya….”

“Hutang nyawa?”

Ia mengangguk ragu-ragu.

Perlahan-lahan kudekatkan pisau di tangan kananku ke bagian bawah pergelangan tangan kiriku, tepat di atas urat nadiku yang terlihat samar-samar. Airen terbelalak kaget melihat kejadian itu.

“Bersyukurlah. Sekarang utang itu akan terbayar, kamu bebas! Kamu bebas nikah sama siapa aja yang kamu mau. Tapi, saat kamu ngelihat darah segar keluar terus-menerus dari pergelangan tangan aku, lalu ngelihat aku mati terkapar pelan-pelan di depan mata kamu sementara kamu cuma bisa duduk di sana, apa kamu bakal bisa ngelupain kejadian ini seumur hidup kamu? Aku cuma ingin kamu ingat aku. Walaupun kau udah bersama dengan laki-laki lain, aku ingin kamu tetap ingat, walau untuk itu aku harus mati lebih dulu!”

“Riaan! Jangan!” Airen berteriak dengan teriakan yang belum pernah kudengar sebelumnya. Ia berusaha bangkit dengan tubuh yang sudah kuikat dengan tali itu. Ia berontak. Percuma, sekarang aku memotong urat nadiku, dan dia hanya bisa menyaksikan itu dengan tak berdaya. Inilah hadiahku untukmu, Airen. Penyesalan abadi!

“Riaaan!”

Gelap.

Gelap.

Gelaaap!

Apa yang baru saja terjadi? Aku terbangun, kenapa ini? Aku masih hidup. Kenapa aku masih hidup? Tunggu dulu. Aku melihat Airen tergeletak di sebelahku dengan lumuran darah yang keluar dari tubuhya. Matanya terpejam dan ia terlihat pucat.

Airen! Bagaimana caranya ia bisa lepas dari ikatan?