Suara-Suara Kirana

Aku tidak tahu, seberapa sering pada umumnya manusia melakukan monolog. Pada saat melamun sendirian, pada saat merasa bosan, atau saat kesepian. Manusia kadang berbicara pada dirinya sendiri. Bentuk pembicaraan itu seringkali berupa introspeksi, dan kadang juga berupa pertentangan batin yang dihiasi oleh keraguan. Tapi setahuku, semakin sering seorang manusia melakukan hubungan sosial dengan orang lain, semakin sedikit waktu yang ia punya untuk melakukan monolog—meskipun tak menutup kemungkinan untuk melakukan dialog dan monolog pada saat yang bersamaan. Aku yakin kalian yang membaca tulisan ini juga suka melakukan monolog.

Aku adalah manusia yang memiliki porsi monolog cukup besar dibandingkan orang-orang pada umumnya. Aku rasa aku tidak anti-sosial, apalagi penderita autis, aku hanya agak sulit beradaptasi dengan orang lain, terutama orang yang kupandang lebih superior dari diriku. Melakukan monolog adalah hal yang biasa, seolah sudah jadi hal yang rutin setiap hari, dan aku yakin orang-orang lain banyak juga yang seperti aku. Namun, lama-kelamaan berbicara dengan diri sendiri menjadi sesuatu yang amat membosankan, sehingga diri monolog-ku berusaha mencari teman. Kalian mau tahu? Semuanya bermula dari kejadian itu, ketika aku masih sangat muda dan labil.

Waktu itu aku masih awal-awal kuliah. Tak banyak yang berubah pada diriku di umur yang mulai dewasa itu, aku tetap orang yang tertutup dan lebih banyak berpikir daripada bertindak, seperti sebelum-sebelumnya. Lalu kusadari aku jatuh cinta pada seorang wanita bernama Kirana. Kirana adalah teman sekelasku di banyak mata kuliah, kami saling kenal tapi tak pernah banyak bicara. Dia—berbeda seratus delapan puluh derajat dariku—adalah seorang wanita yang aktif berorganisasi. Dia adalah seorang aktivis yang dikenal hampir semua orang di kampus, dia ramah dan cerdas dalam bergaul. Lebih dari itu, dia adalah primadona—wajahnya manis lengkap dengan lesung pipi, tubuhnya proporsional, ia selalu tampil rapi dan bersih terawat—tak ada laki-laki yang tak menaruh hati padanya, kecuali beberapa temanku yang mengaku homoseksual.

Adalah bukan hal yang sulit untuk mendapatkan alamat rumah dan nomor ponsel milik orang terkenal seperti dia. Aku berhasil mendapatkan nomor ponselnya dari sebuah daftar contact person pada sebuah acara kemahasiswaan. Malam itu ponselku bergetar hebat, atau lebih tepatnya tangankulah yang memegang ponsel itu yang bergetar hebat. Sementara kurasakan jantungku berdetak dengan sangat kencang di balik dadaku, sampai-sampai rasanya aku sulit untuk bernafas. Aku bersyukur tidak punya riwayat penyakit jantung, sehingga aku baik-baik saja. Nomor ponsel Kirana sudah kuketik, sekarang tinggal menekan satu tombol lagi, maka aku akan langsung terhubung dengannya.

Lama sekali setelah itu, aku tak juga menekan tombol call. Berputar-putar dalam kepalaku apa yang akan aku katakan padanya saat telah terhubung melalui telepon, hal yang seharusnya sudah terpikirkan sejak tadi. Apa yang harus kukatan padanya? Bagaimana kira-kira reaksinya ketika mendengar suaraku? Apa dia mengenali suaraku? Bagaimana bila kami kehabisan bahan pembicaraan? Aku mulai menyusun kata-kata, membuat daftar pertanyaan, dan mereka-reka percakapan. Pada saat itulah pertama kalinya aku berbicara dengan Kirana. Kirana yang ada dalam diriku.

“Halo?” ucapku dalam hati, pada diriku sendiri.

“Halo. Ini siapa ya?” ucapku juga, masih dalam hati, tapi sambil membayangkan suara Kirana. Aku dapat dengan mudah membayangkannya karena aku sering medengarkannya ketika ia bicara dengan teman-temannya di kampus.

“Ini aku, Satria.”

“Hai, Satria!  Kok tumben nelpon aku? Tau nomor telpon aku dari mana?”

“Orang terkenal kaya kamu, gampang kok dicari nomor telponnya….”

“Hahaha…. Kamu bisa aja,” aku membayangkan ia tertawa dengan suaranya yang merdu.

“Ini, soal tugas kuliah yang kemarin. Kamu udah dapat kelompok?”

“Belum. Aku belum sempat bikin kelompok, akhir-akhir ini banyak kegiatan.”

“Sama, aku juga belum buat kelompok. Bagaimana kalau kita sekelompok aja? Anggota yang lain bisa kita rekrut belakangan….”

“Boleh tuh! Aku pasti tertolong banget kalau sekelompok dengan kamu. Soalnya walaupun nggak terlalu menonjol di kelas, tapi aku tau kamu tuh orangnya rajin dan bertanggung jawab. Iya kan, Sat?”

Aku meletakkan ponselku di atas kasur, tak jadi kugunakan. Entah mengapa, hanya dengan membayangkan percakapan itu saja, aku sudah merasa puas. Sepertinya aku tak perlu benar-benar berkomunikasi dengannya. Bukan itu maksudku, tapi untuk saat ini aku belum siap. Mungkin besok, atau besoknya lagi, atau minggu depan saja.

Tapi bagiku, sebenarnya tak ada besok atau minggu depan. Kata-kata “Iya kan, Sat?” selalu terdengar terselip di antara monolog-monolog yang aku lakukan setiap hari, dan kata-kata itu muncul dengan suara Kirana yang mudah kuingat. Lama-kelamaan suara Kirana semakin menggeser suaraku sendiri di dalam monolog. Seolah seperti pengisi suara di tivi, suara-suara itu berganti. Dan kini, aku sudah tak lagi melakukan monolog. Aku hanya perlu melakukan dialog setiap kali aku kesepian atau melakukan introspeksi. Dengan Kirana yang cerdas dan ramah, diskusi dan perenungan yang aku lakukan jadi lebih berarti. Aku tidak hanya membayangkan suara Kirana, tapi juga membayangkan kepribadiannya, caranya menanggapi sesuatu, humor-humornya, sampai pemikiran-pemikirannya yang kritis. Semua itu bisa dengan mudah aku bayangkan, karena selama satu tahun aku sekelas dengannya, aku selalu memperhatikannya dan mencari informasi secara diam-diam.

Bukan hanya dialog yang aku lakukan dengan bayangan Kirana. Aku juga membayangkan kejadian dan adegan yang memacu adrenalin dan rasa terharu, seolah berharap hal itu benar-benar terjadi di dunia nyata. Aku sering membayangkan bertemu dengan Kirana di tengah jalan ketika ia sedang diganggu oleh sekumpulan anak berandalan. Lalu, dengan amat jantan dan gagah berani, aku menolong Kirana dan menghajar berandalan-berandalan itu. Tentu saja hal itu tak mungkin terjadi di dunia nyata. Tapi untuk hal yang satu itu, aku yakin banyak laki-laki normal yang sering mengkhayalkannya juga. Kalian juga kan? Selain itu, aku juga sering memikirkan seribu satu cara untuk menyatakan perasaan cintaku pada Kirana, mulai dari puisi panjang yang romantis, sampai balon-balon udara bertuliskan I LOVE YOU, dan tentunya tak ada satupun yang benar-benar kupraktekkan di dunia nyata.

Percakapanku dengan Kirana di saat-saat sebelum tidur dan di saat-saat aku sedang merenung, berjalan terus dalam waktu yang cukup lama. Kadang-kadang aku mencoba untuk berbicara dengan Kirana yang asli saat di sela-sela kuliah. Tapi kemajuan paling berarti yang bisa kubuat, paling hanya berkata “Hai” atau melempar senyum ketika bertemu dengannya di tengah jalan. Itu sudah luar biasa buatku. Hingga pada suatu hari, aku menyadari bahwa Kirana dalam dialog pribadiku sudah semakin di luar kendali. Kalian mengerti maksudku? Maksudku, selama ini aku hanya menggunakan imajinasi suara Kirana untuk hal-hal yang ingin kudengar dari dirinya, lalu membalasnya seperti monolog biasa. Tapi, lama-kelamaan, Kirana yang ada di dalam diriku mulai bicara tanpa kuperintah. Ia bicara atas kemauannya sendiri! Awalnya aku benar-benar kaget dan merasa takut, tapi lama-kelamaan aku justru merasa nyaman. Sekarang, aku tak perlu susah-susah lagi berimajinasi, karena suara Kirana bisa muncul dengan sendirinya, seolah ia punya kepribadian sendiri!

Ketika jam makan siang, suara Kirana sering mengingatkanku untuk segera makan. “Udah makan siang belum? Makan dulu aja, nanti sakit perut lho,” kira kira begitu ucapnya.

Kadang-kadang aku membalasnya dengan berbicara di dalam hati, “Tanggung, sebentar lagi nih, lagian masih kenyang kok.”

Lalu, kadang-kadang juga, ia kembali membalas, “Makan dulu aja. Ngerjain tugasnya bisa dilanjutin lagi nanti. Iya kan, Sat?”

Hal-hal semacam itu berlangsung terus, sampai kadang-kadang aku mempertanyakan diriku sendiri, apa aku sudah mulai gila? Tapi ketika aku mulai berpikir ke arah sana, suara Kirana selalu muncul lagi, “Enggak kok, kamu nggak gila. Kamu tau kan? Sebenarnya setiap orang pasti punya suara-suara semacam ini di dalam kepalanya, hanya saja mereka nggak pernah membicarakannya dengan orang lain. Kamu pasti percaya sama aku. Iya kan, Sat?”

Mungkin itulah yang ingin kutanyakan pada kalian yang membaca cerita ini, apa benar semua orang memiliki suara-suara seperti suara Kirana yang kudengar?

Seiring dengan berlalunya waktu, suara-suara Kirana masih terus setia menemaniku. Ia malah terdengar semakin kuat saja, sampai kadang-kadang ia bercerita tentang masalah pribadinya padaku. Pada awal semester enam, aku mendapatkan kabar yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. Saat itu aku memang sudah tidak sekelas lagi dengan Kirana asli, sehingga aku sudah lama tak mendengar kabarnya, sampai pada suatu pagi aku membaca tulisan di papan pengumuman. Berita duka cita, telah meninggal dunia seorang teman yang bernama Kirana Nurul Fajri. Ternyata Kirana meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di jalan raya. Ya, Kirana yang asli. Aku shock dan sedih mengetahuinya. Aku terlalu asyik berkomunikasi dengan suara Kirana di dalam kepalaku, sampai-sampai tidak sempat untuk mengungkapkan perasaanku pada Kirana yang asli. Selama beberapa hari, suara-suara di dalam kepalaku menghilang. Tak ada yang mengingatkanku untuk makan siang, atau untuk mengerjakan tugas kuliah.

Kukira setelah Kirana meninggal, suaranya yang ada di dalam kepalaku benar-benar sudah terhapus. Tapi ternyata tidak. Seminggu kemudian suara itu muncul lagi, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ia mengajakku bicara dan berdiskusi seperti biasa, seolah-olah memberitahuku bahwa ia tidak ada hubungannya dengan Kirana yang telah meninggal. Setelah dialog yang cukup panjang, aku berhasil diyakinkannya bahwa Kirana yang kucintai sesungguhnya belum mati, ia hidup dalam diriku.

Malam ini seperti biasa, aku bercengkrama dengan Kirana sebelum tidur. Di tanganku ada sebuah foto. Foto ukuran kartu pos yang memperlihatkan senyum Kirana, lengkap dengan lesung pipinya, foto yang sama dengan yang dipasang di papan pengumuman saat hari kematiannya. Sambil memandangi foto itu, aku berdialog dengannya. Kalian pernah melakukan teleconference di internet, atau melakukan video-call melalui layanan 3G di ponsel? Ya, kira-kira seperti itulah rasanya.

“Eh, Kirana, hari ini aku nulis cerita lho tentang kamu….”

“Ohya? Waaah… aku seneng banget dengernya. Aku nggak nyangka ternyata kamu ada bakat jadi penulis…. Nanti aku baca ya?”

“Hahaha…. kamu bisa aja. Tentu, nanti kamu harus baca.”

“Apa aja yang kamu ceritain tentang aku?”

“Yah, banyak deh, sejak awal kita ketemu, dan bagaimana aku mengagumi kamu.”

“Duuh…jadi malu nih. Apa di situ kamu bilang kalau aku cantik?”

“Enggak tuh. Pede banget sih kamu?”

“Hahaha… biar aja. Oh ya, trus, ceritanya mau kamu kirim ke surat kabar?”

“Hahaha… enggak lah. Keenakan kamu aja, nanti kamu jadi terkenal kalau ceritanya dimuat di surat kabar!”

“Lalu? Masa cuma buat disimpen sendiri?”

“Engga juga kok. Hari ini udah aku posting di internet, di sebuah situs komunitas penulis yang lumayan populer.”

“Bagus, bagus, aku yakin pasti banyak yang baca.”

“Terus, rencananya nanti juga akan kubukukan dalam buku kumpulan cerpen. Semoga aja bisa terbit!”

“Semoga aja yah…. Eh udah malem nih, tidur gih. Nanti kamu kesiangan kuliah lho? Besok kan kuliah pagi….”

“Iya, iya, aku tahu. Selamat tidur ya….”

“Selamat tidur juga. Mimpi indah ya…. Oh ya, besok kamu ada waktu untuk ngobrol-ngobrol sama aku lagi kan?”

“Hmm… coba aku ingat-ingat dulu….”

“Sat…?”

“Hmmm…..”

“Iya kan, Sat?”

“…iya.”

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).