Sudah hampir sebulan pesan itu masuk ke inbox Facebook-ku, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena pengirimnya tidak termasuk dalam friendlist, mungkin juga karena kotak masukku sudah penuh dengan berbagai spam. Namun, pada malam tahun baru itu aku tergoda untuk membukanya lewat ponsel.
Isi pesan itu singkat: Kamu penulis Kara Reshita ya?
Kara Reshita. Nama itu tiba-tiba saja melemparku ke sebelas tahun silam. Sebelas tahun, bayangkan, itu bukan waktu yang sebentar. Saat itu aku baru bergabung dalam sebuah forum kepenulisan online, Kemudian.com—sebuah situs tempat penulis-penulis amatir mempublikasikan karya mereka serta membaca dan mengomentari karya penulis lain, jauh sebelum mereka mengenal Wattpad, Storial, dan semacamnya.
Kara Reshita adalah nama tokoh utama sekaligus judul cerbung yang pertama kali kumuat di situs itu. Ia adalah permulaan dari setumpuk cerita-cerita lain yang tak pernah selesai kutulis. Membaca nama itu, dadaku sedikit sesak, seperti bertemu teman masa kecil dengan janji-janji yang tak pernah kutepati.
Iya. Itu udah lama banget. Kenapa?
Aku membalas pesan itu. Sebagian karena aku penasaran, sebagian lagi karena aku menghargai pengirimnya. Tidak banyak pembaca yang mau repot-repot menelusuri media sosial penulis amatir sepertiku hanya untuk bertanya soal cerita yang tak selesai.
Meski begitu, aku tak berharap ia akan membalas. Pesan itu sudah terlalu lama kuabaikan. Pengirimnya mungkin sudah lupa–atau sudah tak peduli. Kumasukkan ponsel itu ke dalam saku. Aku harus berangkat mengikuti acara malam tahun baru 2019. Hujan gerimis terus turun. Orang-orang yang berjalan pelan sekitar Bundaran HI tampak tidak peduli. Sebagian dari mereka membuka payung, sementara sebagian lainnya meluncurkan kembang api ke langit Jakarta. Ketika kembang api itu meledak, ponselku juga bergetar. Ada balasan di Facebook Messenger:
Aku cuma ingin minta penjelasan, apa yang terjadi dengan Kara?
Aku menghela napas, kemudian memadamkan ponselku. Aku tidak tahu. Pergantian tahun semakin dekat. Hujan turun semakin deras. Orang-orang berkerumun semakin padat. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang terjadi pada Kara Reshita. Ia adalah tokoh yang kuciptakan sebelas tahun lalu, mati bunuh diri karena suatu hal misterius. Misterius, artinya tidak ada yang mengetahui penyebabnya, termasuk penulisnya sendiri. Itulah kesesatan paling nyata dari orang yang menulis tanpa membuat perencanaan matang. Kara mati bunuh diri karena suatu hal yang menakutkan, hanya itu yang bisa kujelaskan.
Terkadang, aku membayangkan bahwa setiap tokoh fiksi yang kita ciptakan benar-benar hidup dalam sebuah dunia. Eksistensi mereka sangat tergantung pada kehendak pengarang. Ketika si pengarang tidak menyelesaikan ceritanya atau menelantarkan tokoh-tokoh itu begitu saja, maka keberadaan mereka akan terombang-ambing dalam nasib yang tak tentu—dalam sebuah limbo. Kara Reshita kini mungkin sedang berada dalam kondisi itu, semata-mata karena aku tidak bisa menuntaskan kisahnya.
Hitung mundur mulai bergema. Hujan deras kini disusul angin yang meniup kuat. Orang-orang berdesakan di sekeliling panggung utama. Aku setengah berharap akan melihat Kara di antara kerumunan manusia itu, lalu aku akan bertanya kepadanya: apa yang sebenarnya terjadi? Namun aku tak menemukannya. Tidak sebelas tahun lalu, tidak pula hari ini.
Kalau aku tak juga menemukannya, mungkin ia yang akan menemukanku lebih dulu.
Hitung mundur mencapai angka satu. Semua orang bersorak. Aku pun berucap: selamat tahun baru, hantu-hantu yang selalu menunggu!