Isolasi Mandiri

Sudah seminggu ini saya sekeluarga menjalani isolasi mandiri karena dinyatakan terjangkit Covid-19. Entah varian yang mana. Kemungkinan omicron karena gejalanya tidak terlalu berat. Awalnya saya merasakan demam ringan (37 – 38 derajat celcius), sakit tenggorokan, dan penurunan stamina yang drastis. Setelah beberapa hari, gejala demam dan lemas sudah menghilang, disusul anosmia yang cuma bertahan satu hari. Saat ini, saat menulis blog ini, gejala yang masih saya rasakan hanya batuk menjengkelkan dan kenaikan berat badan (tampaknya ini efek samping dari isoman, bukan dari virus Covid-19 itu sendiri).

Saya memang bukan early adopter. Saya agak bersyukur bahwa saya tertular Covid-19 pada masa sekarang, ketika saya sudah melakukan dua kali vaksinasi dan virus tersebut sudah bermutasi menjadi varian yang lebih lemah dari sebelumnya. Satu-satunya yang saya khawatirkan adalah saat anak-anak saya turut terjangkit penyakit ini. Mereka mungkin punya daya imun yang lebih kuat, tetapi mereka belum divaksin dan masih sulit untuk dibujuk melakukan swab test.

Selama menjalani isolasi mandiri, saya merasakan kepedulian dari orang-orang sekitar. Saya beberapa kali mendapatkan kiriman makanan dan sembako dari teman, keluarga, dan tetangga. Selain itu, petugas Puskesmas juga menghubungi untuk memastikan kondisi. Namun di luar itu, saya merasa sangat terbantu dengan adanya layanan-layanan seperti pesan antar, kurir instan, dan telemedisin. Belanja, membeli makan siang, mengirim dokumen kerja, dan konsultasi dengan dokter dapat dilakukan tanpa harus keluar rumah sama sekali. Tak hanya itu, kebutuhan hiburan dan komunikasi juga terpenuhi melalui perangkat elektronik. Semua itu bisa dilakukan berkat perkembangan teknologi digital dan jaringan internet.

Saya membayangkan bagaimana rasanya menjalani isolasi pada zaman ketika internet belum ditemukan. Isolasi berarti meminimalkan interaksi fisik dengan manusia lain. Pada masa ketika interaksi fisik menjadi sarat mutlak untuk survive, isolasi tentu adalah hal yang sulit. Pada masa itu, penjual dan pembeli harus bertemu untuk dapat bertransaksi, para pekerja harus duduk satu ruangan untuk rapat, dan kita harus datang ke kantor pos untuk mengirimkan surat. Bisa dibilang, isolasi mandiri adalah sebuah priviledge yang ada di zaman sekarang.

Lantas, apakah teknologi memang mempermudah kita melakukan isolasi di masa pandemi, atau justru teknologi memang telah mengondisikan kita untuk terbiasa mengisolasi diri?

Pada masa ketika teknologi belum begitu maju, manusia dituntut untuk selalu memiliki ikatan yang kuat dengan manusia-manusia lain dalam jumlah terbatas dan terkendali (membuat kelompok). Ini terjadi secara alamiah karena tuntutan kondisi alam dan sumber daya. Manusia kemudian mengembangkan teknologi agar dapat lebih mudah menaklukan alam dan mengelola sumber daya. Dengan semakin mudah dan efisiennya proses pemenuhan kebutuhan, manusia tidak lagi membutuhkan ikatan kolektif yang terlalu kuat dan dapat memberi ruang lebih luas bagi individualitas. Semakin efektif dan efisiennya teknologi dalam memenuhi kebutuhan kita, maka semakin luas juga ruang yang bisa kita berikan bagi sisi individualitas kita.

Seorang anak bayi selalu menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta, sementara untuk memenuhi segala kebutuhannya ia bergantung pada orang tua atau pengasuh. Manusia modern pun dapat menjadi seperti itu. Jika kita dapat mengakselarasi kemajuan teknologi hingga titik ekstrim, manusia pun dapat memiliki “orang tua” lagi. Kita dapat menjadi bayi yang individualis murni. Setiap kali kita memiliki kebutuhan yang ingin dipenuhi, kita hanya perlu berteriak atau menangis, lalu mesin berteknologi canggih akan langsung bekerja memenuhi kebutuhan kita.

Namun bagaimana jika sang “bayi” bertingkah “nakal” dan menghambat “orang tua” menjalankan tugasnya? Hukuman apa yang akan ia terima?

Sepertinya saya sudah terlalu jauh melantur. Mungkin ini efek samping dari isolasi mandiri. Sekarang saya mulai lapar. Saya hanya perlu berteriak, “Ok Google! Pesan martabak dari GoFood!”

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).