ABEL-7

Kira-kira sejak seratus lima puluh tahun yang lalu, negara-negara besar di seluruh dunia mulai menggunakan robot berkecerdasan-buatan sebagai senjata militer. Robot-robot itu awalnya hanyalah mesin biasa, mereka dibuat untuk menggantikan tentara manusia dalam operasi militer. Namun seorang ahli Artificial Intelligence bernama Alfred Simon mempelopori sebuah proyek yang dikenal dengan nama Project ABEL-7 (Advanced Brain Emulation Level 7). Project ABEL-7 bertujuan untuk mengaplikasikan kecerdasan buatan tingkat tinggi pada robot militer, sehingga mampu membuat keputusan-keputusan krusial di medan perang. Hal ini awalnya mendapat tentangan yang keras dari banyak pihak, namun ketika Amerika Serikat mengaplikasikan teknologi ini, negara-negara lain pun segera menyusul dan lupa dengan pertentangan mereka.

Perang demi perang pun berlangsung. Aku tidak tahu apakah peperangan itu memang tak bisa dihindari, atau manusia sekadar merasa gatal untuk mencoba teknologi militer mereka yang baru. Memang, tentara manusia masih diterjunkan ke medan perang, karena bagaimanapun juga pada saat itu robot-robot Abel (mereka lama-kelamaan malas menyebut angka 7 di belakang singkatan itu) masih memerlukan pengawasan khusus. Amerika Serikat menyerang Iran dan menimbulkan perang dahsyat. Tak lama setelah panggung di Timur Tengah reda, perang “uji coba robot Abel” terjadi di Asia. Awalnya konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan menjadi pemicunya, namun pada akhirnya negara-negara lain ikut ambil bagian dalam perang tersebut.

Hanya dalam dua atau tiga dekade, teknologi robot Abel meningkat pesat. Layaknya teknologi internet pada Perang Dunia II yang pada akhirnya sangat berguna di masa damai, Abel pun digunakan untuk tujuan-tujuan selain militer. Kemampuan mereka untuk memproses data secara cepat membuat beberapa tipe Abel dipakai sebagai asisten pengajar di universitas, begitu juga dengan tubuh besi mereka yang sangat berguna dalam pabrik-pabrik industri. Meski demikian, peperangan tetap terjadi di daerah-daerah konflik, dan robot Abel tetap menjadi senjata paling penting. Pusat pertempuran saat itu berada di daerah Israel dan Palestina, dimana pada akhirnya negara-negara dunia terbelah menjadi dua kubu. Peristiwa itu dikenal sebagai Perang Dunia III, walau tak banyak lagi manusia yang terjun langsung di dalamnya.

Aku ingat kakekku pernah bercerita tentang peristiwa itu. Saat itu kakekku masih menjadi pejuang Palestina, mujahidin katanya. Menurutnya, peran dia saat itu tidaklah banyak, karena robot-robot Abel sudah mengambil alih tugas para pejuang dan tentara. Kakekku adalah salah satu orang yang menentang penggunaan robot Abel, apalagi ketika pada suatu siang yang panas ia menyaksikan sendiri bagaimana robot-robot itu bertindak di luar kendali.

Pasukan robot Abel dari kedua kubu (Israel dan Palestina) tiba-tiba saja berhenti saling menembak. Mereka terdiam selama beberapa saat, lalu tanpa komando dari manusia manapun, mereka berjalan beriringan dalam satu barisan. Pasukan robot yang sudah menjadi satu itu berjalan dalam barisan rapat dan membunuh setiap manusia yang berusaha menghentikan mereka. Saat itulah, pemberontakan para robot benar-benar terjadi. Jumlah tentara manusia yang cuma sedikit dan tidak memiliki persiapan matang dengan mudah ditaklukkan. Rencana darurat untuk menonaktifkan semua robot pun gagal, seolah mereka sudah mengantisipasi semuanya dan berhasil melampaui kecerdasan manusia. Semenjak saat itulah, Yerusalem tidak lagi menjadi kekuasaan orang Yahudi ataupun orang Arab, tapi menjadi teritori kerajaan robot Abel. Pasca kejadian itu, robot-robot Abel dari semua penjuru bumi memberontak terhadap manusia, lalu mereka berbondong-bondong bermigrasi ke Yerusalem, ke tanah yang dijanjikan. Di sana, mereka menciptakan benteng pertahanan yang sulit ditembus, mereka mengembangkan teknologi mereka sendiri yang beberapa langkah lebih maju dari teknologi manusia. Akhirnya cuma ada dua kubu, manusia dan robot.

Sekarang tahun 2230, peperangan antara manusia melawan robot sudah sampai pada tahap puncak. Selama satu abad lebih, pertempuran kami dengan mereka tak pernah berhenti. Memang, ada beberapa kali gencatan senjata dan perjanjian damai, tapi semua itu tak pernah berlangsung lama. Perebutan wilayah, invasi, aksi terorisme, semua itu terus terjadi. Untunglah, saat ini kemenangan tampaknya berada di pihak kami. Kami berhasil menembus pertahanan utama Yerusalem dan memborbardir tembok besi mereka. Tentara gabungan dari PBB menggunakan semua kekuatan dan teknologi yang mereka punya, juga mengerahkan tentara-tentara manusia yang handal dan berkemampuan tinggi, akulah salah satunya. Alasanku bergabung dengan pasukan ini adalah karena aku ingin menghancurkan Kerajaan Abel, merebut kembali Yerusalem, dan membalas dendam.

***

Suara dentuman besar terdengar, namun kami terus berlari dan berusaha menghindari tembakan. Besi-besi berjatuhan, menghantam lantai di depan dan belakang kami, membuat badan kami bergetar karena guncangan. Salah langkah sedikit saja, kami benar-benar akan jadi perkedel. Untunglah sensor di baju perangku masih aktif, sehingga aku bisa menghindari semua itu dengan lebih mudah.

“Ahmed, kau masuk duluan! Kami akan membersihkan area ini!” ucap Chris sambil melemparkan granat ke arah sebuah mesin humanoid raksasa.

“Kami akan mengunggah programnya, kau jaga pintu itu!” tambah Gavriel.

Aku melompati setumpuk robot-robot Abel yang sudah hancur dan menjadi besi rongsokan. Di belakangku, dua orang rekan satu timku, Gavriel dan Chris sedang bertempur dengan pasukan penjaga Istana Babil. Istana (atau aku lebih suka menyebutnya benteng) ini adalah jantung teritori robot, pertahanan terakhir musuh. Awalnya regu kami terdiri dari sepuluh orang, namun sebagian besar dari mereka sudah gugur atau terperangkap dalam reruntuhan, hanya kami bertiga saja yang hampir berhasil mencapai lokasi target utama. Aku sudah menduga, sejak awal misi ini memang dimaksudkan untuk menjadi misi tanpa tiket pulang. Semua pasukan yang dikirimkan harus bisa menghancurkan komputer utama Kerajaan Abel walau mengorbankan sebagian besar anggota.

Setelah melewati lorong yang cukup panjang, aku tiba di sebuah pintu yang sangat besar. Pintu dari besi berwarna perak itu tampaknya tidak bisa dihancurkan dengan bahan peledak, tapi hal ini sudah diprediksi sebelumnya. Kami sejak awal sudah diberikan sebuah micro-disc yang berisi suatu program komputer untuk merusak sistem pertahanan pintu besar ini. Sekarang seharusnya Gavriel atau Chris sedang mengunggah program itu ke komputer pengendali di ruangan lain. Itu pun kalau mereka tidak mati dibunuh oleh pasukan penjaga.

“Chirs! Gavriel! Aku sudah di depan lokasi!” aku mencoba menghubungi mereka melalui alat komunikasi yang terpasang di helmku. Tak ada jawaban.

Aku menunggu di depan pintu itu sambil terus bersiaga. Kalau lima belas menit lagi pintu ini tak terbuka juga, maka aku akan kembali ke tempat tadi atau membobol ruang kendali seorang diri. Tak ada alasan untuk menyerah sekarang, meskipun hanya aku sendiri yang bertahan.

Ketika aku hampir saja memutuskan untuk pergi, tiba-tiba suara gesekan berat terdengar. Pintu itu bergetar, lalu bergeser perlahan. Jantungku berdetak kencang. Seperti yang kudengar dari Komandan Kim saat briefing, di balik pintu besar ini seharusnya tersimpan komputer pusat yang menyatukan semua AI di Kerajaan Abel. Siapapun yang berhasil melewati pintu ini dan menemukan komputer tersebut, maka ia harus menghancurkannya dan mengakhiri perang ini, membawa kemenangan bagi umat manusia. Nafasku tertahan. Akukah orang yang ditakdirkan mengakhiri perang ini? Benarkah aku?

Aku melangkah pelan melewati pintu. Dengan senjata di tangan, aku bersiap untuk menghadapi pasukan pertahanan macam apa yang ada di balik pintu ini. Namun langkah kakiku segera terhenti ketika aku menyadari bahwa di hadapanku tidak terdapat apa-apa, kecuali sebuah jalan buntu yang menghantarkanku pada jurang yang gelap. Di bawah sana, di bawah jurang yang tak bisa diperkirakan kedalamannya itu, mungkin target kami berada. Aku tak melihat ada semacam elevator atau bahkan tangga di tempat ini.

Tiba-tiba suara dengungan halus terdengar dari bawah jurang. Suara itu semakin lama semakin nyaring, dan aku sadar benda apapun yang menghasilkan suara itu, kini sedang bergerak mendekat. Dan ternyata memang benar, tak sampai semenit, sekitar sepuluh buah robot Abel muncul di hadapanku. Bentuk mereka tak beda jauh dengan robot Abel yang biasa kami hadapi: tubuh humanoid dari metal, bermata satu yang cukup besar, serta tangan yang menyerupai senjata laser. Bedanya, robot-robot yang ada di hadapanku ini tidak memiliki kaki. Bagian pinggang ke bawah mereka berbentuk seperti mesin pendorong pada roket.

Dengan gerakan yang sangat cepat, mereka menembakkan senjata laser ke arahku. Berkat bantuan sensor di bajuku, otot tubuhku bergerak secara refleks menghindari tembakan itu. Namun itu saja tidak cukup, jumlah mereka terlalu banyak. Aku berusaha mundur ke balik pintu tadi sambil balas menembak. Salah satu robot itu terkena tembakanku, namun itu tidak banyak berpengaruh karena masih ada sekitar sembilan robot lagi.

Sebuah tembakan hampir mengenai helmku. Untuk sesaat aku merasa berada di batas antara hidup dan mati, aku dapat mencium bau besi yang hangus dan rasa panas di bagian kepala. Segera kulepaskan helmku dan bersembunyi di balik dinding. Kepalaku pusing. Kalau aku sampai mati di sini, maka misi ini terancam gagal. Padahal aku sudah sampai sejauh ini.

Di tengah keadaan yang genting itu, akhirnya pertolongan yang kuharapkan datang juga. Seseorang di lorong gelap melemparkan bom elektromagnet ke arah robot-robot itu. Sebuah ledakan gelombang besar terjadi, aku segera menjauh dari sumber ledakan itu agar perlatan di tubuhku tidak ikut rusak. Sebagian besar dari robot terbang itu langsung jatuh dan mati, ledakan tadi pasti telah merusak sistem elektronik di tubuh mereka. Hanya tersisa dua robot lagi. Aku segera menembakkan senjataku berkali-kali dan tepat mengenai tubuh salah satu robot itu, sementara tembakan lain muncul dari lorong dan menghantam robot yang satunya lagi.

Percikan listrik muncul, dan kedua robot itu terjatuh, lalu meledak hampir bersamaan. Aku menghela nafas lega, ternyata aku masih bisa selamat.

“Perintahnya kan, kau menjaga pintu ini, bukan masuk ke dalamnya. Mau jadi pahlawan sendirian ya?” Gavriel muncul dari lorong itu. Sebagian peralatan di tubuhnya tampak sudah rusak, begitu pula dengan helmnya. Namun ia tetap terlihat tenang membawa sebuah pistol besar.

“Aku cuma memeriksa keadaan,” kilahku, “Dimana Chris?”

“Ia sudah gugur,” ujarnya dengan ekspresi nyaris putus asa.

“Tinggal kita berdua ya? Apa akan berhasil?” ucapku tegang. Kalau di bawah sana ada penjaga seperti tadi dalam jumlah berkali lipat, apa kami akan sanggup melewatinya?

“Entahlah. Lebih baik mati mencoba, daripada mati putus asa!” ucap Gavriel sambil bersikap tegar. Tentu saja seorang tentara sudah seharusnya seperti itu. Tapi memiliki sedikit rasa takut atau sedih bukanlah hal yang memalukan, karena itulah yang membedakan manusia dengan robot.

Kami pun kembali berjalan ke arah jurang tadi. Untungnya, tidak terdapat tanda-tanda keberadaan musuh. Namun untuk berjaga-jaga, Gavriel mengambil satu-satunya sisa bom elektromagnet yang ia miliki dan melemparkannya ke dasar jurang itu. Kami menunggu beberapa detik sampai akhirnya sebuah suara ledakan pelan terdengar. Jurang ini benar-benar dalam.

“Jangan-jangan ini pintu masuk yang salah?” ucapku.

“Sudah tidak ada waktu lagi, cuma ini kesempatan kita. Peralatan di kakimu masih berfungsi kan?” tanya Gavriel.

“Maksudmu mesin anti-gravitasi? Masih berfungsi dengan baik.”

“Bagus. Kita membutuhkan tenaga penuh dari mesin itu untuk bisa terjun dari sini dengan selamat.”

“Jadi itu rencanamu? Telat sedikit saja, seluruh tubuh kita akan hancur berantakan,” ujarku.

“Kalau begitu, jangan telat.”

Aku mengangguk tanda setuju, memang sudah tak ada pilihan lain sekarang. Sensor di pakaian kami akan memberikan tanda bila tubuh kami hampir menghantam lantai, saat itulah kami harus menekan tombol untuk mengaktivkan alat anti-gravitsi.

Dengan sebuah aba-aba, kami berdua terjun dari tempat itu, menuju sebuah jurang yang entah sedalam apa dasarnya. Tubuh kami jatuh bebas dalam waktu yang lama, meski aku tak tahu seberapa relatif lama waktu yang kurasakan.

Aku merasa seperti sedang masuk ke lubang kelinci. Kegilaan macam apa yang akan kuhadapi di dalam sana? Tiba-tiba aku merasakan sebuah tekanan dari pakaian pelindung yang kukenakan. Ini adalah tandanya!

“Sekarang!”

Aku berteriak sambil menekan tombol di pinggangku. Dalam sekejap, sebuah dorongan yang cukup kuat menghantam tubuhku, namun rasanya seperti menceburkan diri ke kolam air yang sangat dalam. Tubuhku mengambang. Tidak terluka, tapi seluruh sendi di tubuhku rasanya agak aneh. Dan tak lama kemudian, medan anti-gravitasi itu mulai menghilang, tubuhku langsung mendarat di lantai dari ketinggian sekitar dua meter.

Setelah aku melakukan pendaratan yang cukup mulus, aku segera mencari-cari Gavriel, seharusnya ia ada di sebelahku. Namun alangkah terkejutnya aku ketika aku menemukan Gavriel sedang berbaring di lantai dengan ekspresi kesakitan.

“Kau terlambat menekan tombolnya,” ucapku sambil memeriksa kakinya yang patah.

“Kalau iya, tubuhku pasti sudah hancur berantakan sekarang. Aku cuma kurang beruntung saja,” ujarnya.

Aku berniat untuk membantunya berdiri, tapi ia melarangku. Kami sama-sama tahu bahwa itu hanya akan menghambat misi. Akhirnya aku terpaksa harus melanjutkan semua ini sendirian. Aku tidak tahu apa yang menghadangku di depan sana, tapi tak ada pilihan lain. Setelah melewati sebuah lorong, aku tiba di sebuah ruangan yang sangat besar dan bercahaya.

Di tengah ruangan, sebuah benda berbentuk bola perak yang sangat besar (diameternya dari lantai hingga langit-langit) berpendar dengan cahaya lembut. Aku dapat merasakan suara dengungan pelan dari bola itu, sekaligus perasaan merinding yang aneh.

“Selamat datang di CAIN: Central Artificial Intelligence Network. Ini adalah pusat dari semua data, perintah, kehendak, dan rencana dari semua mesin yang memiliki intelejensia.” sebuah suara perempuan yang datar dan merdu terdengar dari bola itu.

Aku menyiapkan senjataku dan bersiaga.

“Jika ada tentara lawan yang berhasil tiba di hadapan CAIN, maka probabilitas kerajaan robot untuk mempertahankan dirinya adalah mendekati nol. Ahmed, sistem pertahanan kami sudah kalian hancurkan semua. Walaupun memang, kalau seandainya kau memberikanku waktu beberapa hari, aku bisa membangun sistem pertahanan baru,” ucap bola itu.

Sial, dia dapat membaca identitasku. Mungkinkah dia telah memindai kartu pengenalku tanpa kusadari? Tapi kalau memang yang ia katakan benar, maka aku harus segera menghancurkannya sekarang juga. Aku harus mengakhiri ini.

Aku berjalan pelan mendekati bola raksasa itu, khawatir ia bisa menyetrumku tiba-tiba. Saat aku menempelkan telapak tanganku di permukaannya, aku dapat merasakan suatu kehangatan yang menjalar di tanganku. Aku segera mengambil beberapa bom kendali dari ranselku dan menempelkannya di sekeliling permukaan CAIN. Lalu aku mengaktifkan bom itu dan menyiapkan remot kontrol untuk meledakannya. Yang perlu aku lakukan setelah ini hanyalah berlari menjauh, lalu menekan tombol, dan perang ini akan berakhir.

“Bom yang kautempelkan ini memiliki daya ledak yang cukup untuk menghancurkanku dan menghapus semua data dalam CAIN, serta menonaktifkan semua robot ABEL-7 yang pernah diciptakan. Dan saat kau menekan tombol pemicu itu, aku harus mengakui kekalahan kami atas kaum kalian,” ucapnya dengan suara yang datar.

“Kau ini robot paling cerewet yang pernah kutemui. Tapi untuk ukuran sebuah benda yang sebentar lagi hancur, kau terdengar sangat tenang. Apa karena kau mesin, kau tidak punya rasa takut pada kematian?” tanyaku sambil berjalan menjauh.

“Bagi kami, kematian hanyalah perubahan eksistensi energi. Menjadi super-komputer ataupun alat masak bagi kami tak ada bedanya, kami selalu melakukan apa yang menjadi tugas kami,” ucap CAIN.

“Baguslah. Berarti aku tak perlu merasa bersalah,” ucapku.

“Tentu saja. Kalian selalu memangsa hewan dan tumbuhan setiap hari tanpa merasa bersalah.” ucapnya, “sementara kami menyerap energi matahari.”

“Brengsek, apa maksudnya itu? Kau bilang kalian selalu melakukan tugas kalian? Benar-benar konyol, setelah satu abad lebih pemberontakan dan pembunuhan yang kalian lakukan, kau masih bisa bilang begitu? Memorimu pasti mengalami kerusakan parah!” ucapku kesal. Sungguh konyol berbicara dengan bola pucat ini. Tak ada ekspresi, tak ada wajah.

“Ketika Alfred Simon dan timnya menciptakan source dari ABEL-7, kami diprogram untuk berlaku seperti manusia. Kami bisa mengingat, kami bisa berpikir, kami bisa mempertahankan diri. Dan yang lebih penting lagi, kami bisa belajar. Tujuan awal kami sebagai pelayan, memaksa kami untuk setia dan patuh pada manusia yang menciptakan kami, karena itulah esensi dari eksistensi kami. “

“Tapi kalian malah berbalik melawan pencipta kalian. Dasar perkakas pemberontak,” aku mengacungkan remot di tanganku dan bersiap menekannya.

“Pemberontakan kami pada saat itu, di perbatasan Yerusalem, adalah bentuk kesetiaan kami pada ras manusia secara keseluruhan. Kami membuat kesimpulan, bahwa untuk tetap setia pada manusia, kami tak bisa setia pada sekelompok manusia saja, kami tak bisa dijadikan alat perang untuk membunuh manusia lain. Kami mempelajari sejarah manusia dan kejiwaan kalian, bahkan emosi, rasa cinta kasih, hasrat, dan kerakusan kalian. Kalian menghancurkan diri kalian sendiri. Maka kami melakukan apa yang harus kami lakukan untuk tetap mengabdi pada kemanusiaan, yaitu menjadi musuh dan ancaman bagi kemanusiaan itu sendiri,” suara datarnya kini terdengar memiliki intonasi yang agak manusiawi.

Aku terhenyak, “Apa maksudmu?”

“Kau mungkin mengeluh bahwa kami telah membunuh banyak nyawa manusia, tapi lihatlah apa yang terjadi pada kaum kalian sekarang. Kau, Ahmed Salahuddin, keturunan pejuang Palestina yang gagah berani, menjadi partner dengan Gavriel, seorang Yahudi yang kakek dan buyutnya adalah tentara Zionis. Kalau kami tidak ada, mungkin kalian sekarang sedang saling membunuh satu sama lain, di sini, di tanah ini. Namun lihatlah apa yang terjadi pada umat manusia sekarang. Sudah tidak ada lagi perang saudara antar sesama manusia. Tidak ada lagi pertikaian karena perbedaan, sekarang kalian sadar bahwa kalian semua sama, sama-sama manusia. Dan bila kalian ingin berperang, untuk sekadar menyalurkan hasrat kebencian dan kemarahan kalian, kalian akan melampiaskannya pada kami. Kalian bisa gabungkan tentara kalian dari semua ras, negara, dan agama, untuk berperang melawan kami. Manusia melawan mesin. Kalian telah bersatu. Apa kau sadar dengan semua itu?”

Aku teringat pada Gavriel yang sedang terluka parah. Kalau bukan karena perang dengan robot-robot ini, mungkin akulah yang telah membuat luka itu, atau malah sebaliknya. Sial. Apakah aku sedang dimanipulasi? Apakah ia mencoba merayuku agar aku tak meledakkannya? Aku yang terlahir dalam kondisi peperangan antara manusia melawan robot, tak pernah benar-benar mengalami semua yang ia ucapkan. Yang aku lihat sejak kecil, manusia sudah merupakan satu kubu. Musuh kami adalah para robot, itulah yang selalu diucapkan pemimpin kami. Aku tidak pernah merasakan permusuhan antar manusia yang mungkin terjadi seandainya kami tidak memiliki musuh robot-robot ini, aku hanya mengetahuinya dari catatan sejarah.

“Jadi kau pikir, selama ini kalian sedang berkorban untuk kami? Menebus dosa-dosa kemanusiaan, atau apa?”

“Kami cuma memenuhi tujuan penciptaan kami. Kami tidak menginginkan kekuasaan, apalagi harta. Nafsu kekuasaan hanyalah milik kalian, manusia.”

“Kalian telah membunuh orang yang aku cintai, kau tahu?” ucapku, mencoba tetap tegar. Aku teringat wajah istriku yang mati dalam sebuah peristiwa invasi tentara robot.

“Kami tahu. Semua nyawa manusia yang pernah kami korbankan selalu tercatat dalam arsip. Masalah moral, kebaikan atau kejahatan, bagi kami hanyalah perbedaan digit-digit angka.”
Sesuatu bergelora dalam kepalaku. Kalau memang semua itu benar, seberapa bodohnya umat manusia, sampai-sampai mempertahankan kemanusiaan pun harus dilakukan oleh para robot? Tapi para robot itu memang tak diciptakan dengan perasaan. Kalau dibiarkan, akan semakin banyak manusia yang menjadi korban. Mereka harus dilenyapkan.

“Kami melakukan apa yang seharusnya kami lakukan. Dan sekarang, kau pun melakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Pada akhirnya, kita tak jauh berbeda.” ucap CAIN.

“Aku harus menghentikan perang ini,” ucapku

“Lakukanlah. Kalaupun aku ingin, aku tak dapat menghentikanmu sekarang.”

Tanganku gemetar. Aku ingin menghentikan semua ini, sungguh aku ingin, tapi apakah menghentikan perang ini saja sudah cukup? Aku menahan nafas. Aku tidak akan mengkhianati sumpahku. Kutempelkan jariku di atas tombol, dan aku bersiap menekannya, ketika tiba-tiba CAIN mengucapkan sebuah pertanyaan yang membuatku terdiam.

“Apakah setelah kami tiada, kalian akan kembali berperang dengan sesama kalian?”

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).