Ini adalah pengalaman pribadi yang aku alami saat aku baru saja menikah, tepatnya pada malam pengantin. Pengalaman ini sebenarnya agak kurang sopan untuk diceritakan pada khalayak umum, tapi aku harap para pembaca dapat menikmatinya seperti halnya aku menikmati pengalaman ini. Oh ya, cerita ini spesial hanya untuk pembaca yang sudah dewasa dan berusia 18 tahun ke atas. Selamat menikmati.
Istriku bernama Ega, umurnya baru 25 tahun ketika kami menikah. Body-nya sangat proporsional, dengan tinggi 168m dan berat badan 52kg. Wajahnya manis, mirip Nadia Sapirah, rambutnya hitam panjang, dan kulitnya mulus sekali. Soal bentuk tubuhnya, tak perlu ditanya, sebab bisa aku ibaratkan dengan gitar listrik milik gitaris Aerosmith. Sebelum menikah, kami sempat berpacaran selama dua tahun, dan harus aku akui selama dua tahun itu kami sudah melakukan kegiatan yang ‘terlalu jauh’ untuk ukuran budaya timur. Misalnya, kami pernah jalan kaki dari Bandung ke Jakarta. Itu sangat jauh untuk ukuran budaya kita yang biasanya berpacaran di ruang tamu. Untungnya, kami berhasil menahan hasrat masing-masing sampai akhirnya aku berani melamar dia di depan orangtuanya. Ega adalah wanita yang alim, sopan, rajin menabung, serta pemalu. Aku sama sekali tak menyangka bahwa pada malam pengantin kami, ia akan menjadi wanita yang sangat ganas dan buas. Sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya, bahkan dalam mimpi pun tidak.
Dengan jantung berdebar-debar, aku mengetuk pintu kamar pengantin itu. Memang, sejak acara resepsi selesai, aku sibuk di luar membantu beres-beres dan mengobrol dengan ayah mertuaku, sementara Ega sudah masuk duluan ke dalam kamar. Pintu kamar itu dihiasi dengan rangkaian bunga berwarna-warni. Aku penasaran, apa yang sudah dipersiapkan istriku itu ya di dalam?
“Masuk aja, Mas, nggak dikunci,” suaranya yang merdu terdengar dari dalam kamar.
Aku membuka pintu kamar dan mendapati suasana yang membuat adrenalinku bergolak. Semerbak bau kemenyan menyeruak membuatku melayang-layang. Kuperhatikan, tempat tidur kami yang berwarna putih bersih ditaburi dengan kembang tujuh rupa, menambah suasana romantis. Sementara itu, Ega duduk di pinggir ranjang dengan mengenakan pakaian yang sangat menggairahkan, pakaian yang tak pernah kulihat ia pakai sebelumnya. Ia memakai pakaian yang bagus. Aku tak pernah melihat ia memakai pakaian yang bagus sebelumnya.
Ketika aku menatap wajahnya, ia tersipu malu sambil memalingkan wajah. Ia lalu menggeser duduknya dan mengajakku duduk di sampingnya. Dengan perlahan-lahan, aku duduk di sebelahnya dan merangkul pinggangnya, namun ia masih belum berani menatapku.
“Mas…,” ujarnya seraya mendesah, “Mas udah mandi?”
“Udah kok, Sayang. Baru aja, tiga minggu yang lalu,” jawabku jujur.
“Kalo gitu, kunci dulu dong pintunya. Malu kan, kalau kelihatan orang luar,” ucapnya pelan sambil melirik ke arahku.
“Oh iya ya, tunggu sebentar ya…, kamu jangan kemana-mana,” pintaku mesra.
Aku lalu bangkit ke arah pintu, menutupnya dengan rapat dan mengambil kunci. Kukunci sekali dengan kunci kamar, lalu kulengkapi dengan gembok besi. Setelah itu aku mengambil kunci digital yang dilengkapi dengan password 120 digit, tidak lupa dengan sensor infra merah dan alarm badai, sehingga tak mungkin ada orang yang bisa mengintip malam pertama kami yang sangat privat ini. Setelah selesai dengan semua pengamanan itu, tubuhku berdesir, menyadari bahwa sebentar lagi aku akan melakukan sesuatu yang kutunggu-tunggu sejak lama.
“Mas, lampunya dimatiin aja ya?” tanya Ega pelan.
“Boleh aja…, rupanya kamu suka gelap-gelapan ya?” tanyaku menggoda.
“Soalnya kan malu…,”
Plop! Lampu kamar ia matikan, namun celakanya aku lupa membawa senter, sehingga suasana menjadi sangat gelap. Aku tak tahu dimana Ega berada. Dalam kegelapan ini, yang kurasakan hanya keheningan dan rasa penasaran yang membuatku bersemangat.
“Ega…! Kamu dimana, Sayang? Aku nggak bisa melihat kamu nih!”
Aku berjalan dalam kegelapan sambil meraba-raba. Setelah tiga kali aku menabrak lemari dan dua kali menginjak paku payung, aku akhirnya menyadari dimana Ega berada. Aku mengelus-elus rambutnya yang halus sambil tanpa berkata apa-apa. Lama-kelamaan elusanku turun sampai ke bawah, dan aku sadari ada banyak rambut halus yang sekarang sedang aku raba-raba. Sangat halus, seperti bulu kucing atau bulu anjing.
“Ega, kamu belum cukuran ya?”
“Rrrrr….,” ia menggeram. Sungguh nakal.
Aku tersenyum lebar, menyadari bahwa istriku adalah tipe yang akan menjadi buas ketika lampu dimatikan. Dan ternyata benar saja, beberapa saat kemudian ia mulai menggonggong dan melolong seperti serigala. Samar-samar terdengar suara nafasnya terengah-engah. Padahal aku belum melakukan apa-apa, tapi ia sudah terengah-engah begini.
“Grrrooaarrr…!!!”
Aku terkejut dengan suara lenguhannya yang tidak biasa itu. Aku berlari menjauh darinya. Setelah dua kali menabrak meja dan tiga kali menginjak kotoran sapi, akhirnya aku berhasil menemukan tombol untuk menyalakan lampu. Kunyalakan lampunya.
Plop! Suasana kembali terang benderang, dan betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa Ega sudah berdiri di hadapanku tanpa selembar benang pun. Aku memang belum pernah melihat tubuh Ega telanjang sebelumnya, tapi aku tak menyangka tubuh Ega begitu luar biasa. Maksudku, memang benar-benar ‘luar biasa’. Bulu-bulu lebat menghiasi setiap jengkal tubuhnya, dilengkapi dengan moncong dan gigi taring yang sangat eksotis. Ia lalu menggelinjang dan melompat menerkamku, memecahkan cermin dan vas bunga yang ia senggol.
Betapa ganasnya istriku. Sebab, ia adalah manusia serigala.
Aku berlari sambil menghindari serangannya. Aku mencoba keluar dari kamar, tapi aku kesulitan membuka gembok digital yang dilengkapi password 120 digit itu. Akhirnya kudobrak pintu itu dengan sekuat tenaga sebelum Ega berhasil menggigit leherku.
Ketika aku berlari dari kejaran Ega sampai di halaman rumah, orang-orang menjadi panik dan berlarian ke sana ke mari. Mereka menjerit histeris dan tak tentu arah. Bagaikan dunia yang penuh nestapa dan marabahaya dan marijuana.
“Gawat! Ega telah kembali! Malam ini malam bulan purnama!” ucap ayah mertuaku sambil bersembunyi di balik kursi plastik.
“Ini gara-gara ilmu pesugihan kamu, Pak! Anak kita kan yang jadi tumbal!” ucap ibu mertuaku sambil membetulkan kondenya.
“Toloooonggg!!!” aku berteriak ketakutan, Ega sudah memelukku dengan sangat kuat.
Lalu ia mulai menjilati leherku dengan penuh nafsu. Aku menjerit dibuatnya. Lidahnya kemudian menjalar ke arah telingaku, dan ia gigit telingaku dengan giginya yang indah itu. Ia mengunyahnya perlahan sampai telingaku akhirnya putus. Merasakan sensasi itu, teriakanku sudah tak dapat kutahan-tahan lagi. Aku berteriak dan melepaskan segala kegundahan di jiwa, sementara Ega mulai menggigiti leherku dengan buasnya. Awalnya memang terasa agak perih, tapi lama kelamaan aku… menyadari kalau aku akan mati.
“Aaaahhh!!! Toloooonggg!!!”
Tiba-tiba bapaknya Ega mengeluarkan sebuah shotgun dari balik sarungnya—aku tak tahu sejak kapan ia meletakkannya di situ—lalu membidikkanya ke arah kepala Ega. DOR! Ega Si Wanita Serigala jatuh tersungkur di sampingku, lalu ia tewas. Beberapa menit kemudian seorang kyai datang dan membacakan doa untuk mengembalikan Ega ke bentuk semula. Ternyata Ega tidak bisa berubah lagi, tapi orang-orang tidak terlalu ambil pusing, sebab katanya wujud asli Ega memang tidak berbeda jauh dengan wujudnya yang sekarang.
Setelah kejadian itu, aku tak dapat lagi bertemu dengan Ega-ku yang cantik dan seksi. Sebenarnya di dalam hatiku aku masih selalu mencintainya dan merindukannya sepanjang masa, selama hayat masih dikandung badan. Tapi meski begitu, aku juga tak menutup hatiku untuk wanita lain. Oleh karena itu, bagi para pembaca wanita yang ingin merasakan pengalaman seperti yang kuceritakan di atas, jangan ragu-ragu untuk menghubungi emailku di sedotwc@soy.com. Dijamin tidak akan merasa kecewa deh!