Hari ini aku pulang tengah malam lagi. Ya, ini memang menyebalkan. Di kampusku, masa orientasi (alias OSPEK alias perpeloncoan alias kaderisasi alias legalized bully) terjadi selama satu tahun. Coba kalian bayangkan itu! Memang, tidak benar-benar satu tahun non-stop, tapi hanya pada hari-hari tertentu saja, terutama malam sabtu seperti sekarang. Jangan tanya bagaimana caranya kegiatan itu bisa diadakan di kampus sampai tengah malam, mereka punya seribu satu cara—tidak benar-benar seribu satu sih, mungkin sepuluh atau lima belas, tapi itu sudah cukup banyak—untuk mengumpulkan kami di ruang tertutup, lalu memarahi dan memaki-maki kami. Untungnya, kami tidak disuruh memakai pakaian yang aneh-aneh, kami hanya diberi PR membuat sesuatu, dan kalau kami gagal atau salah, habislah kami. Kalau kami sampai disuruh memakai dandanan aneh-aneh dan disuruh pulang tengah malam begini, aku tak bisa membayangkannya. Benar-benar freak! Bisa-bisa aku dikira hantu oleh orang-orang.
Ngomong-ngomong soal hantu, sekarang aku tengah berada di dalam situasi yang amat memungkinkan untuk bertemu dengan salah satu dari mereka. Bukan bermaksud bicara sompral, tapi memang begitu kenyataannya. Sekarang aku ada di depan gerbang kampus, sendirian. Maksudku sendirian adalah tak ada lagi manusia hidup selain diriku dalam radius jarak pandang mata normal. Teman-temanku sudah pulang duluan, semuanya. Padahal dari tadi angkot yang menuju rumahku sudah beberapa kali lewat, tapi aku bersikeras untuk membiarkan teman-temanku pulang lebih dulu. Dan sekarang aku kena batunya, tak ada satu pun angkot yang lewat, baik yang sejurusan denganku ataupun angkot lain, bahkan kendaraan lain apapun tak ada yang lewat. Kakek-kakek penjual gorengan dan bapak-bapak penjual rokok yang biasanya mangkal di depan kampus, tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Mungkin karena sejam yang lalu kota ini habis diguyur hujan deras, sehingga jalanannya sudah terlihat seperti kota hantu pada pukul setengah dua belas malam ini.
Setelah bosan menunggu, aku menoleh sedikit ke arah bagian dalam gerbang kampus. Aku tidak melihat satpam-satpam yang biasanya berjaga. Ini mulai terasa aneh. Kuperhatikan jam besar yang menghiasi bagian dalam gerbang kampusku, sudah hampir jam dua belas rupanya. Dengan agak enggan, aku memandang ke sebelah kiriku. Itu adalah Jalan Gerhana yang gelap dan dipenuhi kotoran burung. Pohon-pohonnya yang tinggi-besar berdesir pelan tertiup angin. Di sebelah kiri jalan ada kantor pos dan beberapa bangunan milik kampus, sementara di kanan jalan ada pagar yang di dalamnya adalah lapangan rumput luas yang memisahkan pagar dengan gedung kuliah mahasiswa teknik sipil. Hanya ada beberapa lampu jalan sampai ke pertigaan di ujung sana. Aku tahu, kalau aku jalan kaki sampai pertigaan itu, di sana aku pasti bisa menemukan angkot. Trayek angkot yang lewat sini memang cukup langka, apalagi tengah malam begini. Kukepalkan genggaman tanganku, berusaha mengumpulkan keberanian. Memangnya aku takut apa? Lagipula di sisi jalan itu ada kantor administrasi (atau entah apa namanya) yang biasanya masih dihuni pegawai sampai tengah malam, aku tak perlu takut, sama sekali tak perlu.
Bau tanah bekas hujan mendekap hidungku, ditambah lagi bau kotoran burung yang kucium saat melangkah di jalan yang sepi ini. Jalanan ini dipenuhi salju, sangat romantis, tapi bukan salju yang turun dari langit, melainkan salju yang keluar dari anus burung-burung koak di atas sana. Kulihat ke atas, samar-samar aku dapat melihat siluet ranting-ranting pohon yang menaungiku, di atasnya lagi ada langit malam yang diterangi cahaya bulan—entah dimana bulannya berada. Anehnya, aku tak mendengar suara burung-burung sialan itu, apa mereka sudah tidur ya? Syukurlah, berarti aku tak perlu takut dihujani kotoran mereka. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa mahasiswa di kampusku sudah ada yang melakukan penelitian tentang apakah burung bisa buang air sambil tidur ya? Kurasa tidak, mungkin terkecuali beberapa anak burung yang masih suka ngompol.
Aku amati sekelilingku, benar-benar sepi. Kantor yang tadi kumaksudkan ternyata juga sudah sepi. Aku lupa kalau sekarang malam sabtu, week end, semua orang pasti sudah pulang dan bersiap-siap untuk liburan bersama keluarga. Memikirkan bahwa aku adalah satu-satunya manusia yang terlihat di tempat ini, membuatku merinding. Selain merinding karena takut, aku juga merinding karena udara malam kota Bandung yang dingin ini. Aku ingat pernah membaca sebuah artikel di majalah, tentang tempat-tempat angker di Bandung. Di artikel itu, ada seorang paranormal yang melakukan penerawangan terhadap tempat-tempat berhantu dan melaporkannya. Salah satu dari beberapa tempat angker yang ia review adalah Jalan Gerhana ini. Aku masih ingat tulisannya.
…memang jalan ini cukup angker. Pohon-pohonnya yang tinggi dan suasana gelapnya menimbulkan kesan itu. Tapi menurut penerawangan saya, memang ada beberapa kuntilanak yang bersemayam di atas pohon-pohon tersebut. Meski begitu, saya rasa mereka tak punya niat untuk mengganggu manusia….
“Mereka tak punya niat untuk mengganggu manusia,” kuingat terus kata-kata itu. Semoga saja itu benar. Semoga saja memang begitu. Sekonyong-konyong aku teringat slogannya Bang Napi, maskot sebuah acara berita di tivi.
Kejahatan bisa terjadi bukan hanya karena ada niat dari si pelaku, tapi juga karna ada kesempatan! Waspadalah! Waspadalah!
Aaah…! Kugoncang-goncangkan kepalaku. Itu tidak ada hubungannya, dasar bodoh! Pelaku kriminal tidak bisa disamakan dengan hantu gentayangan, tidak mungkin. Dalam keadaan seperti ini, apapun bisa muncul di dalam kepalaku, dan yang berikutnya muncul adalah kata-kata dari trailer film Kuntilanak di bioskop.
Tertawa keras, dia jauh. Tertawa pelan, dia dekat.
Aku tidak yakin apa memang seperti itu kata-katanya, tapi aku ingat benar itulah maksudnya. Aku mencoba menenangkan diriku, aku tak boleh berpikir yang macam-macam. Aku harus tetap rasional.
Beberapa saat kemudian, aku sadari bahwa aku baru berjalan beberapa langkah dari tempatku semula. Jalan ini kok rasanya panjang sekali ya? Apa karena aku terlalu banyak berpikir? Bodoh, seharusnya dalam kondisi ini aku jalan dengan kecepatan penuh, kalau perlu lari saja. Beberapa langkah setelah melewati lampu jalan yang menjulang tinggi, aku mendengar suara gesekan yang melewati telingaku. Suaranya sangat halus, seperti suara daun yang saling bergesekan karena tertiup angin. Suara itu, saking halusnya, bagiku terdengar seperti sebuah bisikan. Seperti seseorang—atau sesuatu—yang berjalan melewati telinga kananku sambil berbisik pelan. Aku melirik ke kanan. Tak ada apa-apa. Hanya daun. Pasti hanya daun.
Sssiiiihhhh….
Suara itu terdengar lagi. Aku merinding, jantungku berdetak kencang, sampai rasanya aku bisa mendengar sendiri suara detakannya. Kucoba untuk mempercepat langkahku, tapi kakiku terasa lemas sekali. Ya Tuhan, semoga yang tadi kudengar itu bukan suara tawa kuntilanak. Kalau suaranya sudah sehalus dan sepelan itu, aku tak bisa membayangkan sudah sedekat apa ia denganku sekarang. Jangan-jangan ia sudah melayang-layang di atas kepalaku, atau malah sudah nangkring di pungungku. Aku tak berani melihat ke atas, melirik pun tidak.
Ayo, tertawa saja yang keras. Tertawa saja yang keras. Semakin keras kau tertawa, semakin jauh kau dariku.
Tapi aku meralat lagi pikiranku. Kalaupun sekarang aku mendengar suara tawanya yang terpekik keras, aku pasti akan ketakutan juga. Walaupun itu artinya ia jauh, tapi itu artinya ia ada. Tapi kalau suaranya pelan seperti tadi, itu justru lebih menakutkan lagi. Ah, sialan yang membuat film itu! Benar-benar membuatku bingung. Padahal filmnya sendiri sama sekali tidak seram, tapi kalimat di trailernya itu benar-benar mengganggu! Kucoba alihkan pikiranku.
Jangan bayangkan kuntilanaknya. Bayangkan Julie Estelle saja. Ya, benar. Aku harus membayangkan Julie Estelle saja, itu lebih baik. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang proporsional, hmm…. Kalau istriku nanti seperti itu, pasti aku bahagia sekali.
PLAP!
Tiba-tiba saja sekelilingku menjadi gelap. Gelap sekali. Hanya cahaya samar dari langit yang terhalang ranting-ranting pohon yang membuatku bisa melihat. Ada apa ini? Mati listrik? Aku menjadi panik, dadaku terasa sesak dan membuatku sulit bernapas. Kakiku terhenti. Aku tak tahu harus bagaimana, harus kemana. Apa aku harus kembali ke tempat semula? Atau terus berjalan maju? Atau diam saja di sini sambil jongkok dan menutup mata, sampai semua ini berakhir? Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Kalau seandainya ada yang bisa melihatku sekarang, ia pasti akan bilang kalau wajahku sudah sangat pucat. Pucat seperti mayat.
***
Di Jalan Gerhana yang gelap—dan kini benar-benar gelap—aku berdiri seorang diri. Suara desir angin membelai dahan-dahan pohon di atas kepalaku, membuatku bergidik. Yang bisa kulihat hanyalah bayangan gelap dari keadaan sekitarku, tapi untungnya aku masih bisa melihat jalan karena adanya sedikit cahaya dari langit malam. Akhirnya kuputuskan untuk tetap berjalan maju. Pasti hanya mati listrik, gumamku dalam hati. Langkah kakiku terasa lemah, dan selain suara angin, hanya suara langkah kakiku sajalah yang bisa kudengar.
Srak! Srak! Srak!
Kusadari langkahku seperti terseret-seret.
Tap! Tap! Tap!
Dengan seluruh tenaga yang kumiliki, aku mencoba untuk berjalan lebih cepat dan tanpa menimbulkan banyak suara.
Taptap! Taptap!
Aku berhenti. Kucoba dengarkan suara di sekitarku.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah siapa itu? Suaranya dari arah belakangku….
Aku menoleh ke belakang. Bukan karena aku punya keberanian, tapi karena itu adalah gerakan refleks yang tak bisa kucegah. Tak ada siapa-siapa. Yang kulihat di belakangku hanya bayangan pohon besar yang bergoyang-goyang seperti sedang mengejek, serta beberapa tempat duduk dari besi yang membisu di sisi jalan. Sebuah gerobak milik penjual nasi goreng terpaku diam di dekat tempat duduk itu, tanpa ada tanda-tanda gerakan sama sekali. Aku heran kenapa gerobaknya ditinggal begitu saja.
Kulanjutkan lagi langkah kakiku, pasti hanya suara gema. Beberapa saat kemudian suara itu terdengar lagi, dan kusadari kalau suara langkah di belakangku memang ada, dan bukan suara gema. Jantungku berdetak semakin cepat, tapi aku tak berani menoleh lagi. Suara langkah itu terdengar semakin cepat, hampir melebihi kecepatan langkahku. Kini aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.
Ada seseorang. Aku tak tahu siapa, yang kulihat hanya siluet saja, tapi jelas ada seseorang yang berjalan di belakangku.
Aku berusaha berpikir rasional. Memangnya kenapa kalau ada orang yang jalan di belakangku? Ini kan jalan umum, siapa saja berhak jalan di sini. Mungkin orang itu juga sama sepertiku, kebingungan dalam gelap ketika tiba-tiba saja listrik mati. Tapi kenapa saat sebelum listrik mati aku tak menyadari keberadaannya ya? Ini kan jalan lurus, dan sejak awal di sepanjang jalan ini tak ada satupun bangunan yang lampunya masih menyala, seharusnya ia ada di sana sejak tadi. Aneh sekali.
Tap! Tap! Tap!
Saat aku berjalan lagi, aku menyadari bahwa bau kotoran burung yang sejak awal amat menyengat, mendadak hilang saat lampu mati. Apa bagian jalan yang aku lewati sekarang bersih dari kotoran burung? Tapi beberapa langkah kemudian aku mencium bau lain. Bau busuk. Bau busuk seperti bau bangkai. Apakah di sekitar sini ada bangkai burung atau bangkai tikus? Baunya menyengat sekali. Perutku rasanya seperti ditarik ke atas dan diaduk-aduk, aku ingin muntah. Kutahan rasa mual itu, dan aku menoleh ke belakang. Orang itu masih ada di belakangku. Dan semenjak aku berhenti untuk mencari-cari sumber bau bangkai, orang misterius itu tetap berjalan dan menjadi semakin dekat denganku. Tiba-tiba aku terpaku, tak bisa bergerak, di dalam kepalaku muncul pikiran bahwa dari orang itulah bau bangkai ini berasal!
Orang itu berjalan semakin cepat, semakin dekat. Bau bangkai terasa semakin menyengat dan membuatku sesak.
TAP! TAP! TAP!
Berlari! Orang itu tak lagi berjalan, ia berlari! Ia berlari ke arahku!
TAP! TAP! TAP!
Aku menahan nafas dan mengumpulkan semua tenaga pada kedua kakiku. Aku berlari secepat mungkin. Aku tak peduli orang itu hantu atau manusia, aku tak ingin makhluk berbau bangkai itu berlari mendekatiku. Langkah-langkahku panjang, nafasku tersengal-sengal—antara tegang, lelah berlari, dan mencoba menahan bau busuk yang semakin kuat. Kenapa jalan ini terasa jauh sekali? Aku sering lewat sini ketika siang hari, dan hanya butuh beberapa menit saja sampai bisa tiba di ujung, tapi sekarang jalan ini tak berujung!
Suara langkahku dan suara langkah orang itu terdengar nyaring di tempat yang gelap dan sepi ini. Kubaca semua doa yang bisa kuingat dalam hati. Ada di mana aku sekarang? Pertanyaan itu mencuat dalam pikiranku. Ini bukan tempat yang aku kenal! Ini bukan jalan yang pernah aku lewati!
TAP! TAP! TAP!
Aku dapat merasakan orang itu berlari dengan cepat sekali, tampaknya dalam waktu dekat ia sudah akan mampu membalapku. Apa ia akan menangkapku? Untuk apa? Tapi kalau tidak, kenapa ia harus berlari? Kalau memang dia manusia, dia seharusnya memanggil-manggilku dari jauh, bukannya berlari mengejarku! Dalam kepalaku muncul bayangan mayat hidup yang tidak hanya berjalan—dikenal sebagai walking dead—tapi juga berlari—mungkin disebut running dead. Wajahnya yang busuk dan lembek, seperti bangkai yang sudah berhari-hari dimakan bakteri dan cacing. Kulit wajahnya penuh dengan kerutan yang menjadi pembatas antara sembulan-sembulan daging yang menyeruak keluar sambil meneteskan cairan lengket. Dari cairan itulah mungkin bau busuk yang sekarang aku rasakan berasal. Belum lagi bola matanya yang terkatung-katung di dalam rongganya. Dan apabila ia berhasil menangkapku, ia mungkin akan memelukku erat-erat, sampai aku pingsan, lalu menelanku… bukan, menyerapku bulat-bulat ke dalam daging busuknya.
Aaagh…! Khayalan macam apa itu?! Aku harus tetap konsentrasi berlari. Aku tidak tahu apa ini ada artinya, tapi insting primitifku mengatakan untuk tak pernah berhenti. Kalau berhenti, mati.
TAP! TAP! TAP! BRUKK!!!!
Aku terjatuh. Aku tak tahu aku tersandung sesuatu atau tersandung kakiku sendiri, tapi aku merasa aku jatuh karena badanku terlalu condong ke depan saat berlari. Tubuhku berdebam dan tanganku menahan sakit yang cukup membuatku meringis. Tapi aku tak mau berhenti, aku juga tak boleh menengok ke belakang. Aku segera bangkit dan berlari lagi sebelum manusia bangkai itu berhasil menangkapku.
Beberapa saat kemudian aku melihat secercah cahaya di ujung sana. Cahaya putih terang itu perlahan-lahan menyebar ke arah horizontal seperti barisan semut yang bersinar. Itu, aku tahu tempat itu. Itu adalah tempat fotokopi yang ada di pertigaan jalan! Aku hampir sampai! Kali ini aku habis-habisan, aku benci olahraga sprint, tapi sekarang bagaimanapun juga aku harus mencintainya. Seperti seorang pelari cepat yang hampir tiba di garis finish, semangatku kembali muncul. Dengan satu hentakan kuat, aku berhasil tiba di ujung jalan itu, dan dalam seketika aku mendengar suara desahan itu lagi. Sssiiiihhhh…. Lagi-lagi seperti ada sesuatu yang melewati telinga kananku sambil berbisik pelan.
***
Tempat fotokopi di depanku memang sudah tutup, tapi warung kopi dan warung rokok masih ramai oleh pengunjung. Beberapa bapak-bapak dan anak muda sedang duduk di depan warung kopi sambil merokok dan mengobrol santai. Sekumpulan anak muda bertampang mahasiswa tampak sedang asyik menyantap nasi goreng di salah satu kedai makanan. Terang benderang. Suasana di sini terang benderang.
Kuusap wajahku dengan kedua tangan, membasuh keringat dingin. Samar-samar aku dapat merasakan sisa bau bangkai yang tadi menyelimutiku. Ketika mencium itu, sekonyong-konyong perutku terasa seperti dipijit-pijit, dadaku naik ke atas, dan cairan dari perutku terasa dipompa sampai tenggorokan. Aku muntah. Muntahanku encer dan berwarna putih, seperti kotoran burung, dan berbau busuk seperti bau yang tadi kucium.
Aku menoleh ke belakang, ke arah jalan yang tadi gelap dan menakutkan. Tapi di sana terang, lampu jalan juga menyala tanpa gangguan. Tampak tiga orang pria bertampang mahasiswa yang berjalan beriringan sambil bersenda gurau dari tempat aku datang tadi. Tapi tak ada bayangan hitam yang berlari-lari—atau siapapun yang datang seorang diri. Ada dimana aku tadi?