Perhatian: Cerpen ini adalah parodi dari novel Da Vinci Code. Khusus bagi yang pernah membaca novel tersebut.
CHAPTER 1
Cuaca tampak mendung ketika lelaki tampan itu turun dari pesawat sambil melihat- lihat sekitar bandara Soekarno-Hatta. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di Republik Indonesia semenjak beberapa tahun yang lalu saat ia mengadakan penelitian di Bali. Ia tampak bingung, mencari- cari orang yang berjanji akan menjemputnya. Ia tidak tahu orang itu seperti apa, ia bahkan tak tahu masalah seperti apa yang telah membawanya ke sini. Sesuatu yang sangat besar, pastinya.
Seminggu yang lalu ia menerima sebuah paket kilat dari seorang yang menyebut dirinya Guru. Ia memeriksa alamatnya, dan ternyata berasal dari Jakarta, Indonesia. Paket itu berisi sebuah gambar bintang bersudut lima, atau pentakel. Sesuatu yang amat mempesona pikiran akademisnya. Ia pun membaca surat yang disertakan di dalamnya. Hanya ada sebuah pesan yang memintanya untuk datang ke Indonesia untuk menyelidiki kasus yang sangat menarik. Tentu, ia tak akan melewatkan kesempatan ini.
Tiba- tiba saja ia tersadar dari lamunannya. Pandangannya tertuju pada seorang pria Indonesia berpakaian serba formal dan berkacamata hitam. Ia mengernyitkan dahi, dibacanya papan yang dipegang oleh orang itu.
MR. LANGDON, USA.
Ia menarik nafas lega. Rupanya ia telah menemukan orang yang ditugaskan untuk menjemputnya, padahal ia baru saja mencoba untuk berbicara bahasa mandarin dengan penduduk lokal. Langdon segera menghampiri orang itu dan memberi isyarat bahwa ialah orang yang ditunggu.
“Robert Langdon,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Panggil saja saya Ruben,” jawab orang Indonesia itu, dengan logat Jawa yang cukup kental.
Langdon akhirnya dibawa menuju sebuah mobil sedan buatan Jepang yang cukup mewah di luar bandara. Bersamaan dengan itu, hujan pun turun dengan cukup deras, mereka bergegas masuk ke dalam mobil.
“Mr. Langdon, saya sudah mendengar petualangan Anda saat pencarian Holy Grail beberapa waktu yang lalu, very impressive! Memukau nalar, mengguncang iman!” ucap lelaki itu sambil duduk di samping Langdon di dalam mobil, sementara membiarkan seorang sopir menyetir mobilnya menuju lokasi tujuan.
“Ah, itu bukan apa- pa… bagi saya itu hanya permainan petak umpet anak kecil saja,” Langdon menunjukkan kemahirannya ber-Bahasa Indonesia.
Bagi seorang ilmuwan hebat seperti dia, Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah dikuasai.
“Bagaimana mungkin? Saya dengar itu pencarian yang sangat berbahaya, dan Anda mendapat kecaman dari umat kristiani?” tanya orang itu.
“Tidak, tidak demikian. Tanpa sengaja ada seseorang yang membocorkan cerita itu dan melebih-lebihkannya. Padahal Holy Grail yang saya maksud adalah… sebuah anagram,” Langdon mengerlingkan matanya penuh keyakinan.
“Holy Grail sebagai sebuah anagram?” Ruben tampak terkesima.
“Ya, anagram….”
“Gambar yang tembus pandang itu?”
“Bukan, itu hologram.”
“Oh… mungkin maksud Anda, permainan membolak-balikkan huruf itu?”
“Ya, betul. Lebih tepatnya, bukan permainan, tapi itu adalah suatu metode enkripsi yang sangat kuno dan terkenal.”
“Enkripsi?”
“Ya, enkripsi, Anda pasti tahu itu.”
“Tentu saja, semua orang Indonesia yang berpendidikan tahu hal itu. Sebelum mendapat gelar sarjana, saya harus menyusun enkripsi dulu, bukan begitu?”
“Bukan, itu skripsi.”
“Ooh, saya hanya bercanda Mr. Langdon, Anda tahu itu….”
Langdon menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Pikirannya dipenuhi oleh inspirasi yang begitu meluap-luap. Baru saja ia tiba di Indonesia, ia sudah mendapat ide untuk membuat metode enkripsi baru. Membuat enkripsi dengan plesetan! Seperti yang baru saja ditunjukkan oleh Ruben. Dunia barat baru saja membuktikan kesalahpahaman terbesarnya dengan meremehkan orang Indonesia, buktinya, ia baru saja dikejutkan oleh metode enkripsi yang tak pernah terpikirkan sejak zaman Leonardo da Vinci!
“Lalu, anagram seperti apakah itu?” Ruben kembali penasaran.
Langdon tersenyum penuh kepuasan.
“Perhatikan ini,” lalu ia membuat tulisan H-O-L-Y-G-R-A-I-L dengan jarinya di kaca mobil yang berembun itu.
“Holy Grail…?” Ruben membacanya.
“Betul. Sekarang coba kita ubah susunan hurufnya dan temukan makna yang tersembunyi di balik tulisan ini…,” Robert Langdon mengedipkan matanya.
“Tunggu, Mr.Langdon! Biar aku mencobanya! Aku penasaran!” Ruben mencegah Langdon untuk memecahkan teka-teki itu.
Langdon tersenyum melihat gelagat teman barunya itu. Ia menunggu dan membiarkan Ruben berpikir. Sementara itu mobil yang mereka naiki terus melaju, namun hujan tak kunjung berhenti.
Ruben terhentak dari lamunannya, tampaknya ia menemukan suatu gagasan yang cemerlang.
“Mr. Langdon! Aku tahu!!” Ruben langsung mengulurkan tangannya ke kaca jendela dan mulai menulis.
H O L Y G R A I L
“Dapat kita tulis seperti ini….,” Ruben tampak bersemangat.
H I L L O R G A Y
HILL OR GAY
“Hill or gay!!” Ruben berteriak.
“Apa itu?” Tanya Langdon.
“Entahlah, mungkin judul film atau apa. Mungkin itu membuktikan bahwa Leonardo da Vinci memang seorang gay?”
“Kurasa bukan itu.”
“Bukan? Hmmm…. aku belum menyerah! Baiklah mungkin jawaban yang benar seperti ini…,” Ruben mulai menulis lagi.
H O L Y G R A I L
H Y G O R I L L A
HY GORILLA
“Hy Gorilla!” Ruben mendesis.
“Apa lagi itu?” Tanya Langdon.
“Entahlah, mungkin nama grup musik atau apa. Tapi bukankah itu ada hubungannya dengan teori evolusi Darwin? Ya! Kurasa Charles Darwin adalah salah satu anggota perkumpulan rahasia juga!”
“Kurasa masih bukan….”
“Bukan? Lalu apa teorimu, Mr. Langdon?” Ruben tampak putus asa kali ini.
Langdon hanya tersenyum puas, lalu mulai menulis di kaca jendela mobil.
H O L Y G R A I L
H I O R G Y A L L
HI ORGY ALL
“Hi orgy all!” Ruben tercekik.
“Ya, begitulah teoriku,” Langdon tersenyum puas.
“Apa hubungannya dengan semua ini?”
“Kau tahu bahwa Sauniere pernah melakukan suatu ritual seks dan tanpa sengaja disaksikan oleh Sophie?” Tanya Langdon memancing.
“Ya, aku pernah mendengarnya. Kau bilang itu adalah sebuah ritual suci yang ditujukan untuk memuja dewi dan kesucian perempuan?” Ruben mendelik.
“Aku berbohong. Itu hanyalah orgy party biasa. Aku hanya tak ingin Sophie sedih, makanya aku mengarang cerita itu. Lagipula mana ada orgy party yang suci? Hahaha…,” Langdon tertawa puas.
“Jadi semua teka- teki yang dibuat oleh Sauniere hanyalah untuk menunjukan satu kalimat Hi, orgy all….?”
“Ya, itu adalah lelucon. Sauniere menyembunyikan leluconnya dengan sangat cerdik sekali, bahkan di detik-detik terakhir hidupnya. Persis seperti Leonardo da Vinci, tokoh idolanya itu.”
Sopir menginjak pedal rem. Mobil yang mereka naiki baru saja berhenti di sebuah rumah yang cukup mewah. Langdon melihat keluar. Hujan sudah berhenti, matahari mulai menunjukkan cahayanya lagi. Langdon segera keluar dari mobil, bersama Ruben yang tampak masih penasaran.
“Di sini tempatnya?” Tanya Langdon.
“Ya, Mr.Langdon. Masuklah, dan tunjukkan identitas Anda, seorang pesuruh akan mengantar Anda menemui Guru,” jawab Ruben.
“Baiklah, terima kasih Ruben!”
“Terima kasih atas kuliah singkatnya, Mr.Langdon!”
Ruben kembali masuk ke dalam mobil sesaat setelah Langdon terlihat menghilang ke dalam rumah itu. Ruben tersenyum puas. Ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan seorang pakar simbologi yang sangat menarik. Ia merasakan kekagumannya terhadap kecerdasan Langdon. Ia menarik nafas dalam, dan merebahkan tubuhnya ke kursi, lalu menggerakkan jari telunjuknya pada sisa air hujan di kaca jendela mobil.
ROBERT LANGDON
R O B E R T L A N G D O N
T R E B O R A N D L O N G
E R O T B R A N D L O N G
EROT BRAND LONG
EROT BRAND: LONG !!!
“Ahh…!” Ruben terkesiap dan bangun dari senderannya. Tak disangka, ia menemukan satu lagi lelucon Mr. Langdon. Ternyata Robert Langdon sendiri adalah seorang anggota dari sebuah perkumpulan rahasia! Anagram itu menunjukkan… bahwa ia adalah murid dari Mak Erot!
CHAPTER 2
Pintu yang berat itu terbuka secara perlahan, namun sebuah rantai menahan pintu itu dari terbuka secara penuh. Seorang laki- laki tua mengintip di antara celah pintu itu. Matanya yang sayu dan gelap menandakan seolah- olah ia kekurangan tidur. Ia menatap Langdon dengan penuh kecurigaan.
“Ada yang bisa saya bantu, Mister?” Pria tua itu berkata, suaranya serak.
Langdon mengerutkan keningnya. Ia bahkan tak tahu nama orang yang akan ditemuinya.
“Aku ingin bertemu dengan… Guru,” akhirnya Langdon mengucapkan nama itu.
Pria tua itu terlihat kaget, namun tak lama kemudian terlihat senyum tipisnya samar- samar di balik celah itu.
“Kata sandinya, Mister?”
Kata sandi? Langdon tak tahu ada kata sandi. Tak ada hal seperti itu di surat yang ia terima. Atau mungkin ia telah melewatkan sesuatu? Lalu kemudian ia teringat pada bintang bersudut lima yang ia terima bersama surat itu. Pasti itu adalah kata sandinya, pikir Langdon.
“Pentakel!” Ucap Langdon.
“Salah,” Pria tua itu berbisik.
Rasa percaya diri Langdon tiba- tiba saja pudar. Tapi si penjaga pintu itu tampak tidak berniat untuk mengusir Langdon. Sepertinya ia masih memberikan kesempatan kepadanya untuk mengatakan kata kunci yang benar. Ini pasti adalah sebuah ujian kepintaran, pikir Langdon. Dan itu semakin membuatnya yakin bahwa orang yang akan ia temui bukanlah orang sembarangan.
Langdon membayangkan semua yang telah ia lalui yang berhubungan dengan sebuah pentakel. Pentakel atau pentagram pada awalnya adalah simbol religius untuk kaum pagan. Melambangkan dewi Venus, cinta dan kecantikan perempuan yang suci. Walaupun di zaman sekarang arti dari simbol itu telah mengalami banyak salah paham, namun ia yakin, orang yang bernama Guru ini bukan orang sembarangan yang tak tahu makna pentakel.
“Dewi Venus!” Ucap Langdon yakin.
“Salah…,” ucap pria tua itu.
Salah untuk kedua kalinya bukanlah kebiasaan Langdon, dan ia merasa terpukul. Tampaknya pria tua itu masih bersedia memberikan kesempatan. Langdon teringat nama lain dari Dewi Venus, dan hal- hal yang berhubungan dengannya.
“Ishtar! Astarte! Bintang Timur!” Ia merapel beberapa nama sekaligus
“Salah.”
“Mawar! Sang Real! Holy Grail! San Greal!”
“Salah.”
“Magdalena! Perempuan suci! Pemuja Dewi!”
“Salah. Satu kesempatan lagi, atau aku akan menutup pintu ini selamanya,” pria tua itu bergumam.
Langdon menutup matanya. Ia sama sekali tak punya petunjuk apapun tentang semua ini.
“Aku tidak tahu,” ujar Langdon pasrah.
“Betul, itu kata kuncinya, silakan masuk…,” Si Penjaga Pintu langsung melepaskan rantai yang menahan pintu dan membiarkan Langdon masuk.
“Apa? Apa yang telah terjadi?” Langdon masih tak percaya.
“Kau boleh masuk. Aku tidak tahu, itulah kata kuncinya, Mister.” Pria tua itu tersenyum mengejek.
“Tapi bagaimana mungkin?” Tanya Langdon penasaran.
“Karena memang tidak pernah ada kata kunci.”
Langdon menyeringai kesal.
“Aku hanya bercanda, Mister. Jangan dianggap serius. Ayo ikuti aku, Guru sudah menunggu kedatanganmu.
CHAPTER 3 (Sungguh pergantian bab yang sangat cepat)
Setelah melewati beberapa lorong yang agak gelap. Langdon tiba di sebuah ruangan bergaya Eropa. Ia dapat melihat dengan jelas seorang pria berpakaian resmi lengkap dengan jas dan dasi sedang menunggunya di sebuah sofa yang besar.
“Guru, Mr. Langdon baru saja datang,” ucap pria tua yang bersama Langdon.
“Baiklah, Sami’un, kau boleh keluar. Aku ingin bicara berdua dengan ahli simbologi kita.” Ucap Guru sambil menyalakan sebuah cerutu.
Tidak lama kemudian Sami’un keluar dari ruangan itu dan menutup pintunya rapat- rapat, meninggalkan Langdon berdua dengan Guru. Guru memberi isyarat agar Langdon duduk berhadapan dengannya. Langdon pun segera menuruti ajakan orang itu.
“Jadi…, kau adalah ‘Guru’ yang memintaku datang kesini?” Tanya Langdon penasaran.
“Ya… kau boleh memanggilku demikian, bila kau memang menyukainya….,” ucap Guru dengan logat Batak yang kental.
Sambil meniupkan asap cerutu dari mulutnya, Guru mengangkat gagang telepon yang sejak tadi terletak di meja kecil di sebelahnya. Ia memberi isyarat kepada Langdon untuk menunggu sebentar.
“Halo, Elisa? Tolong bawakan minuman untukku dan tamuku. Untukku bawakan saja secangkir kopi pahit,” Guru berbicara di telepon, lalu kemudian ia menoleh kepada Langdon, “Kopi atau teh?”
“Teh,” Langdon menjawab. “Earl Grey.”
“Tidak ada yang seperti itu di sini. Sapi Wangi saja ya?”
Langdon mengangguk, walau merasa aneh dengan nama teh itu. Sapi Wangi? Pelesetan-kah?
“Susu atau gula?” Tanya Guru lagi.
“Susu,” kata Langdon.
Sunyi.
“Gula?”
Guru tidak menjawab.
“Jeruk Nipis! Earl Grey dengan jeruk nipis!” Langdon terkesiap.
“Ada-ada saja kau ini. Teh hijau lebih baik untuk kesehatanmu,” kemudian Guru berbicara lagi pada pelayannya di telepon. “Baiklah Elisa, bawakan secangkir kopi pahit cap Kadal Api dan secangkir teh hijau Sapi Wangi tanpa gula. Ohya, jangan lupa beberapa potong brownies kukus Armada.”
“Baik, dalam beberapa menit,” Jawab Elisa.
Guru menutup telepon. Langdon tersenyum agak bingung, seperti teringat pada salah satu petualangannya di masa lalu.
“Mr. Langdon, aku masih saja terkesan dengan petualanganmu dalam pencarian Holy Grail,” ucap Guru membuka percakapan.
“Ah…, itu biasa saja.” Langdon tersipu malu.
“Lalu bagaimana dengan Holy Grail itu? Aku tahu kau telah menemukan tempatnya. Kau yakin tidak ingin mengungkapkannya kepada dunia?” Guru berbicara dengan suara yang agak berbisik.
“Itu tidak perlu. Bahkan tanpa ada yang menyebarkannya, cerita dari Holy Grail sudah menyebar ke seluruh dunia melalui simbol-simbol yang kadang luput dari kesadaran kita,” jawab Langdon.
“Benarkah?”
“Ya, bahkan di sini. Di Indonesia ini,” ucapan Langdon membuat Guru mendelik kaget.
“Kau bahkan pernah meneliti simbol-simbol Holy Grail sampai ke Indonesia?” Tanya Guru sambil mencondongkan wajahnya ke arah Langdon.
“Ya, beberapa waktu lalu saat aku berlibur ke Bali,” ujar Langdon.
“Lalu? Apa yang kau dapatkan?”
“Sebuah kenyataan. Penyebaran cerita Holy Grail, perempuan suci, dan pemujaan Dewi melalui industri musik di Indonesia,” kini giliran Langdon yang berbisik.
“Musik!” Guru bangkit berdiri dengan antusias.
“Kau tahu, nama Dewi itu sangat jelas terpampang di industri musik Indonesia?”
“Dewi?”
“Dewi-Dewi.”
Guru terdiam sejenak. Tenggorokannya tercekat. Ia baru saja menyadari satu hal yang seharusnya ia sadari sejak lama. Dewi-Dewi, grup musik beranggotakan wanita- wanita itu ternyata berhubungan dengan gema pengungkapan dokumen Holy Grail!
“Tunggu dulu, tapi setahuku Dewi-Dewi adalah proyek garapan Ahmad Dhani dari grup band Dewa 19?” tanya Guru sambil mendekatkan wajahnya pada Langdon.
“Ya, aku yakin itu. Dhani dengan cerdiknya menyembunyikan simbol-simbol itu dalam setiap karyanya. Coba kau ingat lagi, album Bintang Lima yang jelas- jelas mengedepankan simbol pentakel yang merupakan lambang Dewi Venus dan merupakan simbol bagi Holy Grail,” Langdon ikut berdiri dan tampak bersemangat.
“Ah iya, aku ingat itu. Ia juga sempat membuat lambang untuk salah satu albumnya yang diprotes oleh para ulama karena dituduh menghina umat Islam.” Guru bergumam.
“Lalu, cobalah kau perhatikan semua lirik lagu Dewa, dan kau ganti semua kata ‘Dewi’ di dalam liriknya dengan kata ‘Holy Grail’, pasti akan sangat jelas sekali.” Langdon mengerlingkan matanya.
“Ah… aku sangat penasaran sekali untuk mencobanya!”
“Dan jangan lupa untuk mendengar semua lagu dari Dewi-Dewi secara terbalik, kau akan mendengar sesuatu yang menarik!”
“Be-benarkah?!” Guru semakin terkejut dengan penjelasan Langdon, namun tiba- tiba dia teringat sesuatu, “Lalu bagaimana dengan angka 19? Pada album belakangan ini, Dewa kembali memakai angka 19 yang dulu telah mereka tinggalkan. Bagaimana menurutmu?”
“Itu sangat jelas, Guru. Karena angka 19 adalah… bilangan primer,” jawab Langdon sambil tersenyum.
“Bilangan primer? Lalu apa hubungannya?”
“Bilangan primer adalah bilangan yang hanya bisa dibagi oleh angka 1 dan oleh bilangan itu sendiri. Bilangan itu antara lain 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, dan seterusnya. Semua bilangan primer adalah bilangan ganjil, kecuali 2. Dengan kata lain, bilangan primer hanya memiliki dua faktor. Tidak kurang dan tidak lebih,” Langdon menjelaskan.
“Hanya memiliki dua faktor?
“Ya, seperti kita semua. Seperti manusia. Seperti ayah dan ibu. Seperti laki- laki… dan perempuan. Bilangan primer melambangkan keseimbangan antara pria dan wanita. Pemujaan terhadap rahim perempuan yang hanya bisa melahirkan manusia berikutnya dengan campur tangan laki-laki. Kesucian dari reproduksi, itulah salah satu poin dari Holy Grail…, dan itulah makna dari angka 19.” Langdon duduk kembali di atas kursinya, sambil memandangi Guru yang masih terkesima dengan penjelasannya.
“Aku mengerti, jadi itulah alasan Dhani membentuk grup Dewi-Dewi. Demi keseimbangan dengan grup band-nya, Dewa. Dewa dan Dewi, suatu keseimbangan yang terbungkus rapi dalam simbol…,” ucap Guru. “Bagaimana dengan rumah tangga Dhani? Terakhir aku menonton infotainment, ia dan istrinya sedang bermasalah hebat.”
“Aku tidak tahu soal itu, waktu aku mengadakan penelitian, berita itu belum ada,” Langdon mengingat kembali.
“Satu lagi! Adakah hubungan dengan anagram dari nama istrinya Dhani, MAYA?” Tanya Guru antusias.
“Apa itu?”
“Ayam.”
“Tidak, kurasa tidak begitu.”
Memecah lamunan Guru, suara telepon di mejanya berdering. Ia segera mengangkatnya dan berbicara.
CHAPTER 4
Guru menutup gagang teleponnya. Aura semangat yang tadi meluap- luap kini berganti dengan bayangan gelap yang seolah menutupi wajahnya. Ia menatap Langdon dengan wajah yang agresif, namun kelam.
“Mr. Langdon, aku sangat senang sekali dengan obrolan kita barusan, benar- benar menggugah nalar dan mengguncang iman. Tapi sayangnya, obrolan menarik itu harus berakhir sampai di sini,” ucap Guru dengan nada suara yang dingin.
“Jadi, kau ada urusan lain?” Tanya Langdon heran.
“Ya, urusan lain. Urusan yang sebenarnya, tujuanku mengundangmu datang ke sini.”
Tiba- tiba saja Guru mengeluarkan sebuah pistol revolver medusa dari balik jasnya, dan menodongkannya ke arah Langdon.
“Apa ini? Kau pasti sedang bercanda kan?” Ucap Langdon kaget.
“Aku sedang tidak bercanda, Mister. Baru saja, Ruben meneleponku. Ia telah menemukan rahasia di balik namamu,” ucap Guru sambil tetap mengarahkan pistolnya.
“Rahasia di balik namaku?” Langdon heran.
“Ruben telah menyelesaikan teka- teki itu. Namamu, Robert Langdon, adalah sebuah anagram,” Guru tersenyum penuh kepuasan.
Langdon terkejut, ia teringat pada Ruben, orang yang telah mengantarnya dari bandara sampai ke sini. Ia telah mengajarkan kepada Ruben bagaimana bermain dengan anagram.
“Mungkin kau berpura-pura tidak mengerti, Mr. Langdon. Kalau begitu biar kujelaskan padamu,” Guru mengambil pulpen dan kertas di atas mejanya sambil tetap menodongkan pistol pada Langdon. Kemudian ia menulis:
ROBERT LANGDON
Adalah anagram dari
EROT BRAND LONG
EROT BRAND : LONG
“Aku tidak tahu apa- apa soal itu, Guru,” Langdon berkelit.
“Jangan berkelit! Aku tahu…. Kau adalah salah satu dari lima pengawal suci Mak Erot!” Guru mendelik penuh keyakinan.
Langdon berusaha menjaga jarak dari moncong revolver medusa di tangan guru. Ia berpikir keras untuk menyelematkan dirinya dari situasi ini.
“Dengar, kau telah salah paham. Akan kujelaskan! Akan kujelaskan!”
“Coba saja jelaskan!”
“Namaku, Robert Langdon, memang adalah sebuah anagram.”
“Lalu?”
“Tapi bukan seperti yang kau kira! Nama ini adalah ejekan dari sepupuku, karena sewaktu aku masih remaja aku selalu digemari oleh wanita yang lebih tua….”
Langdon mengambil pulpen dan kertas di atas meja dengan sangat berhati- hati agar tak menimbulkan kecurigaan. Lalu ia menulis:
ROBERT LANGDON
Adalah anagram sempurna dari:
BRONDONG ALERT !
Ia meletakkan kembali pulpen tersebut. Berjalan mundur sambil menjaga jarak penuh kehati-hatian.
“Oh…, begitu ya?” Guru bergumam.
“Ya, betul. Sepupuku selalu saja mengejekku. Pada waktu SMP aku pacaran dengan kakak kelasku, begitu juga saat SMA. Saat di perguruan tinggi aku terkenal selalu menjadi bahan pembicaraan para dosen wanita, beberapa diantaranya pernah aku kencani. Makanya nama itu, yang berarti Brondong Alert, selalu melekat padaku,” ucap Langdon setenang mungkin.
Guru menarik nafas panjang, namun tidak melepaskan bidikannya pada kepala Langdon.
“Lalu siapa nama aslimu? Robert T. Kiyosaki? Kurang ajar! Berani- beraninya kau mencoba membohongiku! Aku adalah seorang Guru, makanya aku tidak bodoh!” Bentak Guru dengan emosi yang meluap.
“Tenang, kendalikan dirimu…,” ucap Langdon pelan.
“Aku sudah sangat lama mengamati aktivitas kalian. Mak Erot dan lima pengwal sucinya yang tersebar di seluruh dunia, sangat memuakkan! Kelima pengawal suci itu, termasuk kau Langdon, diberi nama berdasarkan anagram dari kalimat EROT BRAND LONG. Aku telah menemukan keempat pengawal lainnya dan telah membunuh mereka!” Ucap Guru penuh percaya diri.
“Ka-kau telah membunuh mereka?!” Langdon terkejut, tak bisa mengelak lagi.
“Ya, benar. Mereka adalah Dr.Otong R. Nabel, Albert Don Gron, Dona Grontbler, dan Drg. Tono Bernal. Aku telah mengintrogasi mereka sebelum membunuh mereka. Dan mereka semua mengakuinya, kau adalah pengawal ke-lima, Langdon!” Guru setengah berteriak
Setetes peluh menetes di kening Langdon. Ia berada di sebuah ruangan yang mungkin saja terkunci, bersama seseorang yang berniat membunuhnya. Situasi yang sangat sulit, tapi ia harus menyelamatkan diri. Harus!
“Baiklah. Aku mengakuinya. Aku adalah pengawal ke-lima dari lima pengawal suci Mak Erot. Sekarang, apa maumu? Kau mau membunuhku? Apakah itu yang kau inginkan?” Ucap Langdon tanpa keraguan.
“Tidak. Bukan kau yang ingin kubunuh, tapi Mak Erot. Tapi semenjak aku melakukan perburuan, Mak Erot tiba-tiba saja menghilang. Hanya kau yang tahu, Pengawal Suci Terakhir, dimana Mak Erot berada. Katakan padaku!”
“Kenapa kau ingin membunuh Mak Erot?” Tanya Langdon.
“Mak Erot telah melakukan kesalahan fatal dengan ajarannya. Ia telah menciptakan stigma materialistis tentang seksualitas laki-laki. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia telah mengacaukan fakta medis bahwa SIZE DOESN’T MATTER! Ia akan mengacaukan sex education para generasi muda, mengacuhkan dunia kesehatan modern, melawan kodrat, dan merusak mental pria dan wanita yang baru saja mengalami malam pertama mereka!” Guru berteriak, suaranya terdengar agak serak sekarang. Sepertinya ia benar-benar terbawa emosi.
Langdon menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia harus menjelaskan semuanya dengan sangat hati- hati.
“Guru, kau telah salah paham. Ajaran Mak Erot tidak seperti yang kau bayangkan. ‘Erot’, adalah nama yang suci, diambil dari nama ‘Eros’ yang merupakan nama asli dari dewi cinta dan asmara Yunani, Aphrodite. Dengan kata lain Mak Erot adalah Mak Aphrodite, titisan dari kekuatan alam yang menjunjung tinggi cinta dan asmara. Kemampuannya untuk memodifikasi organ laki-laki tidak lain adalah ritual sebagai bentuk penghargaan terhadap kesucian reproduksi. Kami tidak pernah meremehkan dunia kedokteran modern, apalagi memunculkan stigma tentang keperkasaan laki- laki. Semua ini hanyalah masalah ritual, dan juga pandangan estetis belaka,” Langdon menjelaskan panjang-lebar.
“Persetan! Aku tidak peduli dengan semua itu! Atas nama para lelaki yang masih perjaka dan selalu mensyukuri pemberian Tuhan, aku akan melenyapkan Mak Erot dan semua muridnya! Aku akan menembakmu sekarang juga!”
“Tunggu!” Langdon berteriak, menghentikan Guru dari menarik pelatuk pistolnya.
“Baiklah, akan kuberitahu dimana Mak Erot berada.”
Langdon mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku celananya. Sebuah cryptex yang sangat kecil, jauh lebih kecil dari yang pernah dibuat oleh Sauniere. Tampaknya setelah petualangannya waktu itu, ia memodifikasi cryptex dengan ukuran yang lebih kecil.
“Sebuah cryptex?” Guru tercengang.
“Ya, di dalam cryptex ini terdapat petunjuk tempat Mak Erot bersembunyi saat ini. Ada lima huruf yang harus disusun agar cryptex ini dapat terbuka dengan utuh. Apabila dibuka dengan paksa atau menerima guncangan, cairan di dalamnya akan menghancurkan petunjuk itu tanpa sisa,” ucap Langdon dengan tenang.
“Katakan, apa susunan kelima huruf itu?” Tanya Guru mengancam.
“Sangat mudah, kau pasti sudah mampu menebaknya kan?” Langdon tersenyum.
“P – E – N – I – S. ??”
“Ya betul. Dan sebelum membukanya, kau harus… menangkap cryptex ini!”
Tiba-tiba Langdon melemparkan cryptex itu ke udara. Guru terkejut bukan main. Semuanya terasa seperti sebuah gerak lambat, dan di antara gerak lambat itu, Langdon bergerak cepat merebut pistol di tangan Guru yang sedang lengah. Guru melompat meraih cryptex itu…. dan ia berhasil! Cryptex itu kini berada di tangannya… namun revolver medusa sudah berada di tangan Langdon.
“Sekarang kita lihat siapa yang lebih cerdas?” Langdon tersenyum.
“Kurang ajar!” umpat Guru.
“Berikan cryptex itu padaku, maka aku tidak akan menembakmu, Guru,” ucap Langdon sambil mengarahkan ujung pistol ke arah Guru.
Beberapa tetes keringat menetes di kening Guru. Tak ada gunanya memiliki cryptex ini kalau ia mati, pikirnya.
“Baiklah, kurasa aku tak punya pilihan lain. Kau memang cerdas, Langdon. Tapi sebelum menerima pujian itu, kau harus…. menangkap cryptex ini!”
Tiba- tiba Guru melemparkan cryptex itu ke udara. Langdon terkejut bukan main. Semuanya terasa seperti sebuah gerak lambat, dan di antara gerak lambat itu, Guru bergerak cepat merebut pistol di tangan Langdon yang sedang lengah. Langdon melompat meraih cryptex itu…. dan ia berhasil! Cryptex itu kini berada di tangannya… namun revolver medusa sudah berada di tangan Guru…, lagi.
“Sekarang kita lihat siapa yang lebih cerdas?” Guru tersenyum.
“Kurang ajar!” umpat Langdon.
“Berikan cryptex itu padaku, maka aku tidak akan menembakmu, Mr. Langdon,” ucap Guru sambil mengarahkan ujung pistol ke arah Langdon.
“Baiklah, kurasa aku tak punya pilihan lain. Kau memang cerdas, tapi —— .”
“Cukup!!! Jangan berpikir untuk mengulangi adegan itu lagi. Akan sangat membosankan, kau tahu itu,” Guru memotong ucapan Langdon dan membuatnya mengurungkan niatnya untuk melempar cryptex itu, lagi.
Langdon berjalan mundur, ia harus memikirkan cara lain. Ia merapat dan semakin merapat ke arah pintu. Namun tiba- tiba saja pintu itu terbuka, dan muncul seorang wanita berpakaian pelayan dari balik pintu itu.
“Tuan, saya bawakan pesanan Anda, secangkir kopi pahit cap Senjata Api, teh hijau Sapi Wangi tanpa gula, dan beberapa potong brownies kukus Armada,” ucap wanita itu cepat.
Langdon tak membuang kesempatan itu, ia bergerak dengan cepat ke balik tubuh perempuan itu, dan… DOR! Rupanya dengan refleks Guru menekan pelatuk pistolnya, dan mengenai pelayan itu.
“Elisa…!” Guru berteriak kaget terhadap apa yang telah terajadi. Ia mendekat ke tubuh Elisa yang bersimbah darah, sambil menyesali perbuatannya.
Sementara itu, Langdon memanfaatkan kesempatan dan lari keluar dari rumah Guru. Ia berlari sekuat tenaga sambil menggenggam cryptex mini di tangannya. Ia terpaksa menghajar Sami’un si penjaga pintu yang berusaha menghalangi jalannya dan menanyakan kata kunci yang tak pernah ada.
Akhirnya Langdon berhasil keluar dari rumah mewah itu. Ia memberhentikan sebuah taxi. Ia harus pergi ke kedutaan Amerika Serikat, pikirnya. Di sana ia akan mendapat perlindungan, seperti itulah Amerika melindungi warganya.
“Pak, bawa saya ke Kedubes Amerika Serikat,” ucap Langdon fasih.
“Tapi nggak pakai argo, Mas. Nggak apa- apa?” Tanya sopir taxi.
“Berapa?” Tanya Langdon.
“Dua ratus ribu,” jawab sopir taxi.
“Baiklah!” Ucap Landon terburu- buru, ia tak punya pilihan lain.
Sepanjang perjalanan Langdon berusaha menenangkan diri. Kali ini ia terlibat petualangan dengan sekelompok persaudaraan rahasia yang membenci Mak Erot. Guru pasti sedang mengejarnya sekarang. Sangat menegangkan.
Langdon merasa tenang membayangkan sebentar lagi dirinya akan tiba di kedutaan Amerika Serikat, tempat teraman di dunia.
“Dilaporkan dari tempat kejadian, sekelompok massa demonstran anti-AS dan Israel baru saja menyerang kantor kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta. Mereka berhasil menembus barikade aparat, dan mereka juga berhasil menduduki kantor kedubes secara paksa. Kelompok anarkis ini membakar sebagian kantor kedubes AS dan menyerang karyawan. Belum diketahui apakah terdapat korban jiwa atau tidak,” sebuah suara penyiaran berita di radio terdengar jelas di dalam mobil.
Langdon menutup matanya. Menarik nafas panjang. Ia tidak tahu harus kemana.
“Mas, masih ingin pergi ke sana?” Tanya sopir taxi.
“Tidak. Turunkan aku di sini.” Jawab Langdon.
Aku harus menelepon Teabing, pikirnya putus asa.
NOTE :
Kepada semua pihak yang namanya tertulis pada cerita ini, antara lain: Mak Erot, Ahmad Dhani, Dewa 19, Dewi- Dewi, Maia, dan tentu saja Dan Brown sebagai pengarang The Da Vinci Code dan pencipta karakter Robert Langdon; diharapkan kesabarannya. Karena cerita ini hanyalah parodi semata, dan tokoh Langdon dalam cerita ini hanyalah orang sinting yang terobsesi dengan paganisme. Cerita ini dibuat pada saaat Mak Erot masih hidup. Semoga beliau diterima di sisi Allah SWT.