Tamu Terakhir

18+

Organ tunggal sudah tak terdengar sejak satu jam yang lalu dan tamu-tamu mulai surut. Ningrum menahan diri untuk tak menggosok matanya yang terasa perih, lalu melirik ke arah Dimas, suaminya, yang juga tampak tak kalah lelah. Di halaman rumahnya, orang-orang sudah mulai membereskan kursi, sementara hidangan resepsi sudah hampir habis. Tak ada lagi yang datang dari arah gerbang kecuali angin dingin dan nyamuk-nyamuk.

“Nggak akan ada tamu lagi, kan?” gerutu Dimas.

“Mungkin masih,” ucap Ningrum pelan, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

“Ah, kalau pun ada, paling juga besok. Sekarang kayanya kita bisa istirahat.”

Sepasang suami istri yang baru selesai makan tampak langsung berpamitan ketika menyadari bahwa kursi-kursi mulai diangkat. Merekalah tamu terakhir di acara pernikahan itu. Ningrum menghela napas sambil memandangi bulan pucat yang mengintip sedikit di ujung langit.

Ia masuk kamar terlebih dahulu, sementara Dimas masih berbasa-basi dengan anggota keluarga. Tanpa sempat mengagumi keindahan dekorasi kamar pengantin, ia langsung mendekati cermin untuk berganti pakaian dan membersihkan riasan. Tukang riasnya sudah pulang terlebih dahulu sejak sore sehingga mau tidak mau ia harus melakukannya sendiri. Sambil mengoleskan cairan pembersih, Ningrum memandangi wajahnya sendiri di cermin. Perempuan yang biasanya jarang berdandan itu harus tampil bak seorang puteri selama satu hari, dan meski ia tidak membencinya, ia merasa seperti orang lain.

Ia memang sudah seharusnya menjadi orang lain, pikirnya. Ketika para tamu mengucapkan “selamat menempuh hidup baru”, ia benar-benar meresapinya ke dalam hati. Segalanya benar-benar akan menjadi baru, mulai malam ini. Ini akan menjadi salah satu malam paling bersejarah dalam hidupnya.

Ia tiba-tiba saja menjadi sangat gugup ketika menghapus lipstik di bibirnya, dikatupkannya bibirnya itu, lalu dibuka lagi. Berciuman saja belum pernah. Satu-satunya kontak fisik paling dekat dengan lawan jenis yang pernah ia lakukan adalah pelukan paksa dari mantan pacarnya saat ia meminta putus. Lelaki yang telah dikenalnya bertahun-tahun itu telah mengkhianati kepercayaannya dan Ningrum tidak suka memberikan kesempatan kedua. Ia hampir saja mengalami depresi karena peristiwa itu, untunglah pada saat itu ia bertemu dengan Dimas.

Ningrum percaya bahwa Dimas adalah lelaki sejati. Ia dewasa, mapan, dan serius. Tidak seperti laki-laki lain yang hanya bisa mengumbar janji, Dimas adalah orang yang tegas. Dua bulan sejak menyatakan cinta, Dimas langsung melamar Ningrum. “Cinta tidak bisa menunggu”, kata Dimas. Ningrum setuju.

Wajah ningrum hampir bersih. Saat akan meneteskan obat mata, samar-samar ia mendengar suara lolongan anjing, padahal seingatnya tak ada satu pun tetangganya yang memelihara anjing. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa suara itu berasal dari televisi, atau mungkin radio, atau mungkin ringtone ponsel orang yang sedang membereskan piring di dapur.

Ia memang tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa seharian ini ia terus teringat pada  kisah yang pernah diceritakan neneknya dulu. Konon, ada sesosok tamu misterius yang senang mendatangi pesta pernikahan gadis-gadis di desa mereka. Sosok itu akan datang sebagai tamu terakhir saat tamu-tamu lain sudah pulang. Orang lain akan melihatnya sebagai laki-laki biasa, tetapi sang pengantin perempuan akan melihat tamu itu sebagai lelaki berkepala anjing. Ia akan melotot, menjulurkan lidah, lalu mengendus-ngendus menyalami pengantin. Menurut neneknya, lelaki itu bisa mencium bau darah perawan, bahkan saat darah itu belum keluar. Ia akan menunggu di sekitar kamar pengantin, kadang merangkak seperti anjing, kadang berjalan seperti manusia.

Sejak awal acara resepsi, Ningrum selalu memperhatikan para tamu, tetapi tak ada yang aneh. Bahkan tamu terakhir yang ia lihat tampak sangat ramah dan seperti manusia. Ningrum terkekeh sendiri, menyadari betapa konyol ketakutan yang ia rasakan. Neneknya adalah orang tua yang depresi dan gagal dalam pernikahan, jadi sepertinya cerita itu memang ia karang sendiri untuk melepas stres.

Ningrum merebahkan diri di atas tempat tidur pengantin. Kelopak-kelopak bunga mawar yang berserakan di atas kasur tidak berhasil menimbulkan suasana romantis dan malah membuat ia merasa gatal. Ia gelisah. Ia ingat pada cerita teman-teman kantornya sewaktu ia masih bekerja dulu, bahwa malam pertama itu menyakitkan. “Besok paginya sampai nggak bisa jalan,” kata seorang temannya. Namun ia berusaha tetap tenang, toh ia yakin kebanyakan pengantin tidak langsung melakukannya di malam pertama.

Pintu kamar diketuk. Ningrum terkejut. Bukannya bangkit dan membukakan pintu, ia malah meringkuk di pojok kasur dan memejamkan mata. Jantungnya berdebar kencang, tangannya meremas ujung bantal keras-keras. Saat akhirnya Dimas masuk ke dalam kamar, ia membuka matanya sedikit dan tersenyum lemah, seolah baru saja ketiduran. Dimas yang tak mengerti kode itu langsung berjalan mendekat dan mencoba mencium bibir istrinya. Ningrum terkejut bukan main.

Ada suara napas anjing di luar sana, pikir Ningrum. Ia sedang mengendus di balik jendela, atau di balik pintu, atau di samping lemari. Ditahannya tubuh Dimas, lalu ia menggeleng.

“Aku capek banget,” ujarnya.

Dimas terdiam sesaat, lalu berusaha tersenyum. “Aku juga,” ujarnya. Ia merebahkan badan dan sesekali melirik punggung istrinya yang pura-pura tidur.


Tepat seperti perkiraan Dimas, keesokan harinya beberapa tamu masih berdatangan. Kebanyakan dari mereka adalah kerabat orang tua Ningrum, tapi ada pula teman-teman kuliahnya yang kemarin berhalangan hadir. Ningrum memperhatikan semua tamu, mulai dari wajahnya, bau tubuhnya, gerak-geriknya. Mereka semua tampak normal, tak ada yang menjulurkan lidah atau berusaha mengendusnya.

Setelah semua tamu pulang, Ningrum dan Dimas segera mengepak barang. Hari ini juga Dimas mengajaknya pindah ke rumah baru karena ia tidak ingin lama-lama tinggal bersama mertua. Ningrum sebenarnya merasa berat meninggalkan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sejak kecil itu, tapi ia tak bisa berbuat banyak sebab kedua orang tuanya pun mendukung keinginan Dimas. Suaminya itu memang sudah membeli sebuah rumah di perumahan yang baru dibangun. Tempatnya asri dan letaknya pun tak begitu jauh.

Saat tiba di rumah baru, Ningrum berkeliling dan mengecek setiap ruangan. Bangunannya memang mungil, tapi cocok bagi pasangan yang hanya tinggal berdua. Saat memeriksa halaman belakang, ia melihat tanah kosong yang cukup luas. Tanah itu adalah lahan yang belum dibangun dan masih ditutupi semak-semak tinggi. Ia hendak masuk kembali dan membantu Dimas membereskan barang-barang, tapi sudut matanya melihat beberapa bagian semak bergerak-gerak. Tidak ada angin, pikirnya. Ia memicingkan mata, lalu menyadari ada sesuatu yang mengendap-endap, merangkak di antara rumput-rumput. Sesuatu itu berwarna hitam dan ia yakin ia bisa melihat sepasang mata kemerahan sedang mengintip tenang.

Ia hampir saja menjerit, tetapi sepasang tangan memeluknya dengan kuat. Saat ia menoleh ke belakang, Dimas berhasil mencuri ciuman pertamanya. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan sensasi asing yang baru dirasakannya, tapi terdengar suara semak yang bergemerisik di belakangnya. Sesuatu itu merangkak semakin dekat. Mungkin itu anjing, mungkin itu manusia anjing–tamu terakhir yang ingin menyalaminya dan menunggu darah perawannya.

“Anjing!” ucap Ningrum sambil mendorong tubuh Dimas sekuat tenaga.

“Apa?” Dimas mengerutkan alis, tak ada senyum di wajahnya.

“Ada anjing!” teriak Ningrum sambil menunjuk ke arah semak-semak, tapi tentu saja, tak ada apa-apa di sana kecuali rumput-rumput yang berdiri tegak.

“Kamu aneh. Kenapa, sih?” tanya Dimas, menggenggam tangan istrinya.

“Tadi ada anjing di sana.”

“Enggak ada apa-apa, kok” ujar Dimas, lalu menghela napas. “Ya udah. Kita beres-beres dulu.”

Selama membereskan barang-barang, Ningrum terus memasang telinga baik-baik. Setiap kali ia mendengar suara gemerisik dari arah halaman belakang, ia akan menoleh, lalu memastikan bahwa pintu dan jendela sudah terkunci.

Malam pertama mereka di rumah baru terasa sepi. Ningrum tidur duluan dengan alasan lelah sehabis membereskan rumah. Ia tidak tahu apa yang dilakukan Dimas setelah ia tidur, tapi ia sempat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Suara gemerisik rumput sesekali terdengar sebelum lampu kamar dimatikan dan mereka benar-benar terlelap.


Rumah-rumah di sekitar mereka belum banyak dihuni. Satu-satunya tetangga yang sempat Ningrum ajak bicara hanyalah sepasang suami istri dengan satu anak yang tinggal persis di seberang mereka. Pagi itu Ningrum sedang menyirami tanaman, lalu ia melihat tetangganya sedang duduk-duduk di teras. Mereka berbincang tentang banyak hal, mulai dari lokasi pasar terdekat hingga soal prospek perumahan itu beberapa tahun ke depan. Setelah selesai menyiram, Ningrum pun pamit pada keluarga itu dan masuk ke dalam rumah.

Dimas sedang duduk di ruang tengah, sibuk mengatur saluran televisi yang masih terlihat seperti kumpulan semut. Melihat Ningrum masuk, Dimas tidak tersenyum. Wajahnya dingin, berbeda dari biasanya.

“Tadi ada SMS, tuh,” gumamnya pelan.

“SMS?” Ningrum segera meraih ponselnya yang ia tinggal di samping televisi dalam keadaan tersetrum.

Ia kira itu adalah pesan dari orangtuanya, tapi ia keliru. Pesan singkat itu datang dari sebuh nomor yang seharusnya sudah ia hapus sejak beberapa bulan lalu. Mungkin karena ia terlalu sibuk mempersiapkan pernikahan, atau mungkin karena ia terlalu percaya diri bisa melupakan masa lalunya, nomor itu masih tersimpan dengan nama “Si Pacar”. Gambar amplop terbuka menandakan bahwa pesan itu sudah dibaca sebelumnya.

Ningrum menahan napas ketika membaca pesan itu, sambil sesekali melirik Dimas yang masih memasang wajah dingin.

“Maaf aku nggak datang kemarin. Aku nggak sanggup. Aku masih belum bisa lupain kamu.”

Perpaduan antara rasa kesal dan takut membuat ia segera menghapus pesan itu. Namun ia menyadari bahwa itu bukanlah satu-satunya pesan singkat yang dikirim “Si Pacar” hari ini. Setidaknya ada tujuh pesan yang datang bertubi-tubi sewaktu ia sedang asyik mengobrol dengan tetangga barunya.

Napas Ningrum semakin sesak. Ia membuka pesan-pesan lainnya yang isinya tak jauh berbeda: “Kenapa nggak dibalas?”, “Kamu lagi ngapain?”, “Balas dong!”, “Lagi asik sama suami baru ya?”, “Udah lupa sama aku?”, “Cie, pengantin baru!”, dan satu pesan terakhir, “Bagaimana malam pertamanya? Berdarah nggak?”

Suara batuk Dimas membuat Ningrum kaget setengah mati. Tangannya yang sudah mengeluarkan keringat dingin kesulitan menghapus pesan itu satu per satu. Ia pun tidak yakin apakah ada gunanya menghapus pesan, toh suaminya pasti sudah membacanya.

Dengan suara gagap, Ningrum berusaha menjelaskan, “Kamu jangan mikir yang ….”

“Anjing!” tiba-tiba saja Dimas membentak. Dipukulnya bagian belakang televisi itu, tapi gambar semut-semut itu tak bisa hilang juga. Dimas menggeram, tangannya mengepal keras, lalu ia menarik napas dalam-dalam dan berdiri.

“Aku pergi ke luar dulu, cari angin. Bosen di rumah terus, toh nggak ngapa-ngapain juga,” ucapnya, lalu mengambil dompet serta bungkus rokok dan segera ke luar rumah.

Ningrum berdiri mematung. Perlahan-lahan air matanya mulai menetes, tapi segera ia seka dengan punggung tangannya. Seharian itu, pikirannya dipenuhi dengan kesedihan dan ketakutan. Tidak hanya takut kepada manusia anjing, tetapi juga takut kepada suaminya sendiri.


Menjelang malam, Dimas belum juga pulang. Ningrum mencoba memasak makanan kesukaan Dimas, cumi goreng dan petai bakar, berharap tindakan itu akan membuat suaminya sedikit lebih gembira dan mau mendengar penjelasannya soal SMS itu. Namun saat ia pergi ke dapur, ia merasakan sekujur tubuhnya merinding. Ada goresan-goresan kecil di pintu yang berbatasan dengan halaman belakang. Goresan-goresan itu seperti bekas kuku atau mungkin gigi binatang buas. Dalam kepalanya, ia membayangkan manusia anjing mencakar-cakar setiap sisi rumahnya, berusaha masuk sambil menggeram dan menggongong, lalu sesekali bergumam, “Bagaimana malam pertamanya? Berdarah, nggak?”

Rencana memasaknya segera dibatalkan. Ia masuk ke dalam kamar, mengunci pintu erat-erat, lalu meringkuk di pojok kasur. Tidak makan malam pun tidak apa-apa, pikirnya. Suara gonggongan anjing mulai terdengar di luar sana. Semakin lama semakin nyaring. Kemudian tidak hanya suara, tapi juga bayangan-bayangan di jendela dan kolong pintu. Ada yang bolak-balik di situ, dengan empat kaki, lalu menjadi dua kaki, lalu empat kaki lagi.

Lalu terdengar suara ketukan–lebih tepatnya gedoran pintu. Bertubi-tubi. Semakin keras, semakin brutal. Ningrum menjerit, ia merasa dirinya akan menjadi gila saat itu juga.

“Ning!” teriak suara di balik pintu itu. “Kenapa dikunci!”

Butuh waktu satu menit bagi Ningrum untuk menyadari bahwa itu adalah suara Dimas. Ia segera berjalan ke arah pintu, memutar kuncinya dengan perlahan, tapi tidak segera membukanya. Siapa tahu suara itu hanya tipuan? Mungkin makhluk itu bisa meniru suara Dimas untuk memancingnya membukakan pintu? Ia sudah bisa membayangkan mata merah dan moncong anjing yang mengintip dari sela-sela pintu.

Saat pintu itu ia buka sedikit, sebuah tenaga yang lebih besar darinya mendorong pintu, membuat ia hampir saja terlempar. Namun Ningrum merasa lega ketika yang muncul dari celah pintu itu adalah kepala Dimas. Bukan dengan wajah penuh amarah, tapi wajah penuh kekhawatiran.

“Kamu kenapa teriak-teriak? Ada apa, Ning? Kamu enggak apa-apa?” tanyanya sambil mengusap kepala Ningrum.

Ningrum tidak kuasa menahan tangis histeris. Ia menjatuhkan diri di pelukan suaminya, dan untuk pertama kalinya ia merasakan kenyamanan dan kehangatan dari tubuh seorang lelaki.

Di antara deraian air mata, ia menceritakan semua kejadian, suara-suara, dan penampakan yang ia alami; juga tentang cerita tamu terakhir yang pernah ia dengar dan selalu menghantuinya sejak pernikahan. Mendengar cerita itu, Dimas hanya tertawa. Menurutnya, Ningrum hanya berhalusinasi karena kelelahan. Ningrum tidak lantas percaya. Baginya, itu hanya kata-kata klise yang selalu diucapkan lelaki skeptis di film horor–dan biasanya terbukti salah.

Dimas kembali memeluk Ningrum dan berusaha menenangkannya. Ia membelai rambut Ningrum dan sesekali menepuk-nepuk punggungnya. Setelah pelukan itu lepas, ia memandang wajah istrinya dalam-dalam, lalu mencium bibirnya. Kali ini Ningrum berusaha untuk tidak menghindar, meski ia tak tahu bagaimana harus merespons.

Ciuman itu berlangsung hingga beberapa menit. Awalnya Ningrum terus memejamkan mata, menuruti naluri alamiahnya. Namun ketika ia akhirnya memberanikan diri membuka mata, ia menyadari sesuatu. Rupanya Dimas lupa menutup pintu kamar. Pintu itu terbuka setengah, dan di balik pintu yang gelap itu, Ningrum dapat melihat sosok yang sedang merangkak. Lalu perlahan-lahan sepasang mata bersinar dan lidah yang menjulur muncul dari balik kegelapan. Merangkak pelan, semakin lama semakin tinggi, kedua kaki depannya terangkat, dan ia mulai berdiri di atas dua kaki.

Ningrum segera menghentikan ciumannya.

“Mas, sudah dulu ya,” ujar Ningrum dengan suara gemetar. Ia berusaha menghindari serangan bibir Dimas sambil menahan tubuhnya sekuat tenaga.

“Kamu kenapa, sih? Selalu nolak!” ucap Dimas tanpa menghentikan gerakannya.

“Aku kan sudah bilang tadi … aku melihat … ada ….”

“Omong kosong!”

“Mas!” Ningrum menjerit, entah karena ucapan suaminya atau karena melihat lelaki berkepala anjing sudah membuka lebar pintu kamarnya dan menonton mereka berdua.

“Apa jadinya kalau orang-orang tahu bahwa sampai hari ini istriku masih perawan? Hah?” ujar Dimas, “Atau kamu sebenarnya udah enggak perawan, makanya kamu takut ketahuan? Siapa? Mantanmu yang pengecut itu, ya?”

Dada Ningrum terasa sakit mendengar tuduhan itu. Di tengah teror, ia masih berusaha menjelaskan. “Sumpah, Mas. Aku belum pernah!”

“Kalau begitu kenapa kamu menghindar? Kamu tahu, nolak suami itu dosa! Kamu mau masuk neraka, Ning? Mau?” ancam Dimas sambil mendorong tubuh Ningrum ke atas kasur, lalu menahannya sekuat tenaga.

“Aku mohon. Jangan sekarang.”

Manusia berkepala anjing di depan pintu sedang mengendus-endus, ekspresi wajahnya seperti sedang tersenyum lebar.

“Cinta tidak bisa menunggu,” ucap Dimas.

Dimas menarik kedua paha Ningrum hingga terbuka lebar, lalu menahannya dengan kedua lututnya. Ketika Ningrum mencoba berontak, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Lalu terdengar suara kain yang ditarik dan disobek berkali-kali, juga suara jeritan dan tangisan. Malam itu adalah malam paling menakutkan bagi Ningrum. Setiap kali ia memberanikan diri untuk membuka mata, ia akan melihat lelaki berkepala anjing itu ada di atas tubuhnya, menjadi tamu terakhir di malam pertamanya.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).