Extreme Commuting

Sudah sekitar dua minggu ini saya menjalani sebuah rutinitas baru: pulang-pergi Karawang-Jakarta setiap hari. Awalnya,  saya melakukan ini sebagai solusi masalah finansial dan rumah tangga. Biaya kos di Jakarta terlalu mahal untuk sekadar dipakai tidur dan saya ingin bisa bertemu istri setiap hari. Selain itu, ada pula alasan lain: saya ingin mencari suasana baru … dan saya suka naik kereta.

Awalnya saya selalu menggunakan WB Travel untuk pulang ke Karawang seminggu sekali. Namun, sejak saya mengetahui bahwa kereta ekonomi lokal tujuan Jakarta – Cikampek/Purwakarta sudah lumayan nyaman dan relatif kosong pada malam hari, saya pun tergoda.

Kenyataannya tidak seindah yang saya bayangkan. Saya terjerumus dalam lembah gelap bernama extreme commuting,

suatu kebiasaan sebagian masyarakat kota yang terdengar mengerikan.

Saya harus bangun pukul 4 pagi setiap hari, buru-buru mandi dan sarapan sebelum azan Subuh berkumandang. Tidak hanya saya, istri pun terkena imbasnya. Bakda Subuh, ia mengantar saya ke stasiun menggunakan sepeda motornya. Saya mengejar keberangkatan kereta pukul 5.05, semata agar bisa sampai di kantor pukul 8.00.

Perjalanan pagi cukup melelahkan. Kereta yang berangkat dari Purwakarta atau Cikampek sudah terisi penumpang dengan penuh, apalagi pada hari Senin. Saat berhenti di stasiun Cikarang dan Tambun, gelombang besar karyawan langsung memenuhi gerbong. Biasanya saya jarang mendapat tempat duduk atau terpaksa memberikannya pada ibu-ibu yang membawa anak, kadang juga saya cuek saja duduk di lantai.

Mengimbangi rutinitas baru itu, saya pun mengusahakan pulang kerja tepat waktu.  Sekitar pukul 5 sore lewat sedikit, saya sudah berangkat ke Stasiun Kota menggunakan busway atau KRL. Di sinilah masalah yang sebenarnya terjadi. Kereta yang seharusnya berangkat pukul 19.15, hampir selalu mengalami keterlambatan. Tidak tanggung-tanggung, keterlambatannya berkisar antara setengah hingga dua jam!

Rekor tiba di rumah paling telat adalah pukul 23.00 (paling cepat adalah pukul 21). Istri sudah tidur, sudah tidak bisa diajak bicara. Hal yang sempat saya lakukan hanyalah sholat Isya dan mencolokkan ponsel ke charger, lalu mulai terlelap menjelang pukul 00.00.

Empat jam kemudian, alarm berbunyi. Dengan desahan penuh rasa kecewa, saya segera bangun, mandi, dan mengulangi lagi semuanya dari awal. Bila dihitung, dalam sehari kira-kira saya menghabiskan waktu lebih dari delapan jam dalam perjalanan (termasuk menunggu di stasiun). Slogan “8 jam kerja, 8 jam rekreasi, 8 jam istirahat” terpaksa saya ganti menjadi “8 jam kerja, 8 jam perjalanan, dan…”–entahlah, saya merasa tidak cukup istirahat.

Entah sampai kapan saya akan menjalani rutinitas ini. Mungkin tidak akan lama lagi, karena bagaimanapun saya harus memperhatikan kondisi kesehatan badan.

Namun, apakah extreme commuting ini memang sebegitu buruk?  Sepertinya tidak juga. Sudah saya bilang bahwa saya suka naik kereta. Lagipula, kereta terakhir yang selalu telat ini juga sangat lowong sehingga saya tetap memiliki waktu pribadi. Selama di kereta malam, saya bisa melakukan banyak hal, mulai dari menonton film, membaca buku, mengikuti online course di internet, menggambar sketsa, bahkan mengetik blog seperti yang saya lakukan sekarang.

Benar, rasanya perjalanan yang ekstrem ini membuat saya lebih produktif daripada biasanya. Sekarang saya merasa seperti seorang musafir yang sedang menulis catatan perjalanan dari atas punuk seekor unta.

Unta yang lambat dan pemalas.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).