setidaknya tirai telah ditutup dan para penonton beranjak bangkit dari kursinya melanjutkan cerita baru, peran-peran yang lainnya meninggalkan hantu-hantu terkurung di lorong, di ruang rias, di belakang panggung di gudang penyimpanan rasa malu dan penyesalan
lalu kita berbincang ringan di lobi mengulas sambil menertawai diri mereka bilang komedi adalah tragedi yang jinak dibilas waktu
setidaknya gerbang telah ditutup dan para penonton beranjak pergi dari parkiran sambil berjabat tangan, saling menitip pesan:
bersyukurlah setidaknya kakimu masih melangkah pulang meski terseok dan penuh lumpur bersyukurlah setidaknya kamu tidak hancur lebur
maka berjalanlah dengan napas sekepal demi sekepal selembar demi selembar hanya saja setiap yang selamat harus menggenapi satu syarat : utangmu pada kehidupan adalah lelah menjalaninya
Wajahmu adalah hal yang sudah tak asing, tapi terasa begitu baru. Cukup lama kita tak bertemu, agak kurus dirimu. Sekarang pakai kacamata pula. Kurang cocok, ya. Hey, Nona, sudah berapa pertengkaran yang kita lewati? Sudah berapa percintaan yang kita lalui? Sudah berapa sering kukatakan aku akan pergi melupakanmu dan jangan cari aku lagi, tapi kini kita bicara disini, aku masih saja pencinta yang lalu. Rasanya rindu. Makin tua ya, ibumu. Lama juga kita tak pergi ke bioskop bersama. Ah, masih murah ya tiketnya? Tenang, biar aku yang bayar. Oh ya, mari bertukar buku cerita. Sebenarnya. Aku berpikir untuk bicara tentang kita lagi, jadi
tiap pagi aku mencipta puisi untuk wanita, bukan lelaki yang selalu kubuat terharu ia tanya: bagaimana mencipta puisi? kujawab: puisi memilih aku dan aku memilih kamu ia tersipu maka aku dinobatkan sebagai lelaki paling romantis sejagat raya
tiap pagi di tiap hari aku mencipta puisi untuk dirinya, yang kucintai cinta ditukar puisi, dan ia akan berikan apa saja karena puisi. jiwa raga hati pikiran perhatian hidup mati ia tanya: darimana sumber insprasi kujawab: tak perlu tahu itu rahasia karya seni ia tersipu kata-kata di atas kertas bagaikan melodi meluluhkan hati
2
tiap pagi aku mencipta puisi puisi cinta bagai pelet yang dengan sebenar-sebenarnya kubuat sambil berjongkok di toilet
entah sejak kapan kamu tiarap di dalam jejak-jejak menjadi tanda yang memberiku firasat: aku tengah tersesat aku mendengar pelan suaramu merangkak mengendap-endap
di ujung jarimu ada rantai yang mengikat di ujung jariku ada bayang yang terlahir dari residu terang saat tubuhmu tampak sekarat, pelan-pelan mendekat aku menghilang
entah bagaimana caranya kamu menyesak di dalam retak-retak menjadi tanda yang memberiku ratap: di antara kita tak ada jarak aku melihat kamu menyelam, ke dalam tulang dalam-dalam dalam-dalam
dalam pagi yang pelan mengangkat mesin-mesin mulai menderu membawa asap-karat berangkat terburu lalu kita beku dari gerak detak ya tujuh: sepuluh menunggu berhimpit erat kedua bahu muda teraba nafas yang lambat pertanda hidup kini semakin singkat.
tanya tanya yang tak bisa kujawab kini menjadi kawat kini menjadi karat yang memakan besi duri duri menusuk urat, menghitung tawaf bumi kepada matahari
Di depan mataku, kantorku meledak. Semua orang, termasuk aku, sudah berhasil dievakuasi dan kami berada dalam jarak aman. Dinding-dinding gedung hancur berantakan, kaca-kaca pecah, struktur bangunan runtuh hingga ke tanah.
Aku dapat membayangkan semua kehancuran yang ada di dalamnya. Aku dapat membayangkan PC-ku hancur berkeping-keping. Tamat sudah riwayat semua berkas-berkas pekerjaanku. Tamat juga semua surat-surat yang menumpuk di meja kerjaku selama berhari-hari dan tak sempat aku rapikan. Sekarang aku tak butuh paper shredder lagi untuk memusnahkan dokumen-dokumen negara tak berguna itu. Musnah juga semua deadline dan utang-utang tugasku. Setidaknya kuharap demikian.
Tentu ada juga beberapa barang yang kehancurannya membuatku sedih, misalnya jaket hoodie pemberian mantan kekasihku, beberapa film seri yang kuunduh di komputer, dan wifi gratis berkecepatan tinggi yang biasa kunikmati setiap hari.
Pesawat induk alien berwarna hitam matte berukuran raksasa melayang di langit kota yang biasanya sudah gelap oleh polusi asap. Di sekelilingnya, pesawat-pesawat lain yang lebih kecil berbaris melayang dengan rapi. Sebuah laras senjata laser yang sepintas tampak seperti tentakel bergerak-gerak dari dalam pesawat induk. Benda itulah yang tadi menembak gedung kantorku hingga hancur berkeping-keping.
Suara dengungan pesawat itu lebih mirip suara rintihan halus yang membuat bulu kuduk merinding, sementara dari tempat yang agak jauh, terdengar suara dentuman, ledakan, dan tembakan terus menerus. Kobaran api dan kepulan asap bermunculan di mana-mana, sirine meraung-raung.
Orang-orang berlarian panik, sementara petugas keamanan, polisi, dan tentara tampak kewalahan mengendalikan massa. Tak ada yang menyangka semua ini akan terjadi. Ini adalah tenggat akhir kepunahan umat manusia.
Sudah hampir sebulan pesan itu masuk ke inbox Facebook-ku, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena pengirimnya tidak termasuk dalam friendlist, mungkin juga karena kotak masukku sudah penuh dengan berbagai spam. Namun, pada malam tahun baru itu aku tergoda untuk membukanya lewat ponsel.
Isi pesan itu singkat: Kamu penulis Kara Reshita ya?