Setidaknya

setidaknya tirai telah ditutup
dan para penonton beranjak bangkit dari kursinya
melanjutkan cerita baru,
peran-peran yang lainnya
meninggalkan hantu-hantu terkurung
di lorong, di ruang rias, di belakang panggung
di gudang penyimpanan rasa malu dan penyesalan

lalu kita berbincang ringan di lobi
mengulas sambil menertawai diri
mereka bilang komedi adalah tragedi
yang jinak dibilas waktu

setidaknya gerbang telah ditutup
dan para penonton beranjak pergi dari parkiran
sambil berjabat tangan, saling menitip pesan:

bersyukurlah
setidaknya kakimu masih melangkah pulang
meski terseok dan penuh lumpur
bersyukurlah
setidaknya kamu
tidak hancur
lebur

maka berjalanlah
dengan napas sekepal demi sekepal
selembar demi selembar
hanya saja
setiap yang selamat harus menggenapi satu syarat
: utangmu pada kehidupan
adalah lelah menjalaninya

Potong-di-sini

Wajahmu adalah hal yang sudah tak asing, tapi terasa begitu baru. Cukup lama kita tak bertemu, agak kurus dirimu. Sekarang pakai kacamata pula. Kurang cocok, ya.
Hey, Nona, sudah berapa pertengkaran yang kita lewati? Sudah berapa percintaan yang kita lalui? Sudah berapa sering kukatakan aku akan pergi melupakanmu dan jangan cari aku lagi, tapi kini kita bicara disini, aku masih saja pencinta yang lalu. Rasanya rindu. Makin tua ya, ibumu. Lama juga kita tak pergi ke bioskop bersama. Ah, masih murah ya tiketnya? Tenang, biar aku yang bayar. Oh ya, mari bertukar buku cerita. Sebenarnya. Aku berpikir untuk bicara tentang kita lagi, jadi

———potong-di-sini———– >8

Puisi Cinta Pagi-Pagi

1

tiap pagi aku mencipta puisi
untuk wanita, bukan lelaki
yang selalu kubuat terharu
ia tanya: bagaimana mencipta puisi?
kujawab: puisi memilih aku
dan aku memilih kamu
ia tersipu
maka aku dinobatkan sebagai lelaki paling romantis
sejagat raya

tiap pagi di tiap hari aku mencipta puisi
untuk dirinya, yang kucintai
cinta ditukar puisi, dan ia akan berikan apa saja
karena puisi. jiwa raga hati pikiran perhatian hidup mati
ia tanya: darimana sumber insprasi
kujawab: tak perlu tahu
itu rahasia karya seni
ia tersipu
kata-kata di atas kertas bagaikan melodi
meluluhkan hati

2

tiap pagi aku mencipta puisi
puisi cinta bagai pelet
yang dengan sebenar-sebenarnya kubuat
sambil berjongkok di toilet

sambil kentut.

Dalam-Dalam

entah sejak kapan kamu tiarap di dalam jejak-jejak
menjadi tanda yang memberiku firasat: aku tengah tersesat
aku mendengar pelan suaramu merangkak
mengendap-endap

di ujung jarimu ada rantai yang mengikat
di ujung jariku ada bayang
yang terlahir dari residu terang
saat tubuhmu tampak sekarat, pelan-pelan mendekat
aku menghilang

entah bagaimana caranya kamu menyesak di dalam retak-retak
menjadi tanda yang memberiku ratap: di antara kita tak ada jarak
aku melihat kamu menyelam,
ke dalam tulang
dalam-dalam
dalam-dalam

Mungkin Guruku Lupa

mungkin dulu guruku lupa ajarkan
bahwa ujung-ujung jarimu itu konduktor listrik yang baik
hingga aku tersengat
seribu volt memacu detak

mungkin dulu guruku juga lupa ajarkan
bahwa tubuhmu itu semacam matahari
menghantar panas lewat radiasi
meski terpisah langit dan bumi

atau mungkin dulu aku yang tak perhatikan pelajaran
terlalu sering memandang ke luar jendela
ke arah kelasmu di seberang lapang

Invasi

1

Di depan mataku, kantorku meledak. Semua orang, termasuk aku, sudah berhasil dievakuasi dan kami berada dalam jarak aman. Dinding-dinding gedung hancur berantakan, kaca-kaca pecah, struktur bangunan runtuh hingga ke tanah.

Aku dapat membayangkan semua kehancuran yang ada di dalamnya. Aku dapat membayangkan PC-ku hancur berkeping-keping. Tamat sudah riwayat semua berkas-berkas pekerjaanku. Tamat juga semua surat-surat yang menumpuk di meja kerjaku selama berhari-hari dan tak sempat aku rapikan. Sekarang aku tak butuh paper shredder lagi untuk memusnahkan dokumen-dokumen negara tak berguna itu. Musnah juga semua deadline dan utang-utang tugasku. Setidaknya kuharap demikian.

Tentu ada juga beberapa barang yang kehancurannya membuatku sedih, misalnya jaket hoodie pemberian mantan kekasihku, beberapa film seri yang kuunduh di komputer, dan wifi gratis berkecepatan tinggi yang biasa kunikmati setiap hari.

Pesawat induk alien berwarna hitam matte berukuran raksasa melayang di langit kota yang biasanya sudah gelap oleh polusi asap. Di sekelilingnya, pesawat-pesawat lain yang lebih kecil berbaris melayang dengan rapi. Sebuah laras senjata laser yang sepintas tampak seperti tentakel bergerak-gerak dari dalam pesawat induk. Benda itulah yang tadi menembak gedung kantorku hingga hancur berkeping-keping.

Suara dengungan pesawat itu lebih mirip suara rintihan halus yang membuat bulu kuduk merinding, sementara dari tempat yang agak jauh, terdengar suara dentuman, ledakan, dan tembakan terus menerus. Kobaran api dan kepulan asap bermunculan di mana-mana, sirine meraung-raung.

Orang-orang berlarian panik, sementara petugas keamanan, polisi, dan tentara tampak kewalahan mengendalikan massa. Tak ada yang menyangka semua ini akan terjadi. Ini adalah tenggat akhir kepunahan umat manusia.

Continue reading Invasi

Selamat Tahun Baru, Hantu-Hantu yang Selalu Menunggu

Sudah hampir sebulan pesan itu masuk ke inbox Facebook-ku, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena pengirimnya tidak termasuk dalam friendlist, mungkin juga karena kotak masukku sudah penuh dengan berbagai spam. Namun, pada malam tahun baru itu aku tergoda untuk membukanya lewat ponsel.  

Isi pesan itu singkat: Kamu penulis Kara Reshita ya?  

Continue reading Selamat Tahun Baru, Hantu-Hantu yang Selalu Menunggu