“Setelah berabad-abad, akhirnya kita menyadari bahwa manusia tidak mampu mewakili aspirasi manusia lain. Power tends to corrupt. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan suatu demokrasi langsung yang adil, bersih, dan efisien, kita membutuhkan suatu alat yang mampu mengelola, mengalkulasi, dan mengeksekusi aspirasi tiap-tiap warga negara dengan rasional, cerdas, tegas, ringkas, tanpa bias, dan tanpa faktor-faktor emosional yang membatasi seorang manusia.”
Aku sedang membaca paragraf itu ketika kudengar namaku dipanggil lewat pengeras suara. Kutitipkan buku berjudul Demokrasi Mesin: Sebuah Pengantar di atas pangkuan Aini yang sedang asyik bermain game ponsel, kemudian segera melangkah menuju bilik suara. Kotak besi setinggi tiga meter itu berpendar kehijauan, dan ketika aku membuka pintunya, aku dapat melihat sebuah kursi dan helm kaca yang tergantung di atasnya. Ternyata benar, interior bilik suara sudah lebih nyaman dibandingkan Pemilu sebelumnya. Kursinya tampak lebih empuk dan pencahayaannya lebih memadai.
Seketika, aku teringat pada buku yang kubaca tadi. Menurut buku itu, dahulu kala bilik suara Pemilu hanya berisi selembar kertas dan paku.
Cerita ini memenangkan Sayembara Fiksi Ilmiah Vol. 2 di Serana 42. Baca selengkapnya.