Diam Berarti Membeli

P_20150616_180439_1

Bayangkan skenario berikut.

Kamu adalah seorang gadis muda yang cantik jelita. Suatu hari, ada seorang laki-laki yang meneleponmu dan mengungkapkan perasaannya dengan begitu bersemangat.

“Sudah lama aku suka sama kamu. Kalau kamu jadi pacarku, aku pasti akan mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku akan memberi kamu kado, bunga, surat cinta, puisi. Aku juga akan mengantar jemput kamu setiap hari dan mengajakmu kencan ke restoran, bioskop, atau karaoke semingu sekali. Asik, kan? Oh, ya, rumah kamu yang di Jalan Mawar Nomor 5, kan?”

“Iya,” jawabmu.

Setelah itu telepon pun ditutup. Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pikiranmu masih berusaha mencerna apa maksud lelaki itu. Mungkin dia memang sekadar mengungkapkan perasaannya saja? Continue reading Diam Berarti Membeli

Obrolan Rasis di Kereta

Guy-hitler

Bulan Mei baru saja berlalu. Setidaknya ada dua hal yang selalu saya ingat mengenai bulan Mei. Pertama, adalah hari ulang tahun adik saya dan istri saya. Kedua, adalah kerusuhan Mei 98 yang berujung pada pelengseran Soeharto.

Saya bukan mahasiswa yang ikut berdemonstrasi, bukan pula korban kerusuhan tersebut. Saat itu, saya masih sangat kecil, tidak suka menonton berita, apalagi berita politik. Saya cuma ingat bahwa pada suatu siang, orang tua saya buru-buru mengumpulkan dokumen-dokumen penting, menyiapkan kunci, dan berjaga-jaga di depan rumah, seolah akan terjadi kebakaran atau bencana alam. Tetangga kompleks berkerumun di luar rumah dengan wajah khawatir, kata mereka “kerusuhannya sudah dekat, sudah sampai pasar”.

Namun, hari itu tidak terjadi apa-apa. Di televisi, saya melihat orang-orang sedang menjarah barang elektronik dari sebuah pusat perbelanjaan. Saat masuk sekolah, seorang teman bercerita dengan bangga bahwa saudaranya yang tinggal di Jakarta berhasil “mendapatkan” televisi dan VCD player dalam kerusuhan tersebut. Benar-benar membingungkan, bukankah mereka pencuri?

Continue reading Obrolan Rasis di Kereta