Oleh: Adit Bujbunen Al Buse
Disalin dari REB Magazine
Coba hitung berapa banyak novel bertema horor buatan lokal yang bagus saat ini. Kalau ‘radar’ saya sendiri jujur saja selama ini hanya bisa menangkap di kisaran karya-karya Abdullah Harahap dan tribute-nya (Kumpulan Budak Setan) saja. Selebihnya, entah mengapa, selalu gagal. Mungkin ‘radar’ saya yang kurang canggih.
Jejeran buku novel (yang maunya) bertema horor di rak toko buku-toko buku besar yang saya temui selama ini sepertinya tidak pernah berhasil membuat bergidik untuk mau membaca lebih jauh. Padahal, mereka semua sudah berteriak sekencang mungkin dengan kata-kata yang cukup ‘mengerikan’.
“Misteri Kuntilanak Pemakan Pacul di Terowongan Pondok Sengon”, “Pacarku Pocong Kepala Tiga Seperempat”, “Misteri Setan Slamdance di Balong”, dan silakan sebut lagi judul-judul nan mega keren lainnya yang sekiranya mampu membuat mayat bangun dari kober dan bergegas mencari buku-buku ini. Belum lagi ditambah dengan tampilan sampul muka yang begitu ingin sekali mengabarkan dunia kalau novelnya adalah novel paling horor semuka bumi.
Ya, beberapa kali saya dikecewakan dengan ‘teriakan’ tadi yang tak sebanding dengan kualitas isi. Padahal, beberapa kali pula saya menutup mata dari judul-judul nan malesinseperti itu dan berharap isinya dapat menyelamatkan semuanya. Tapi hasilnya selalu nihil.
Barisan novel bergenre komedi yang mencatut ikon-ikon horor pun juga ikut ‘meramaikan’ (kalau tidak boleh dibilang merancukan) dunia bacaan horor. Pocong yang galau, kuntilanak yang lucu, dan sebagainya. Jelas tidak ada yang salah dengan novel bergenre ini. Juga pencatutan ikon-ikon horor tersebut sebagai penokohan. Masalah timbul saat sang kreator atau penerbitnya dengan penuh kepercayaan diri menasbihkan klaim ‘horor komedi’ sebagai genre yang diusung.
Komedi? Okelah. Horor? Yakin pakde? Dengan dasar penokohan cerita karena adanya ikon-ikon horor tersebut?
Seingat saya pencampuran genre horor dan komedi paling juara yang bisa jadi contoh di antaranya bisa ditemukan di film-filmnya Suzanna. Siapa yang tidak ingat dengan line“Sate 200 tusuk makan di sini. Cepetan Mas! Mentah juga enak.” Di sini feel horor dan komedi-nya dapat bercampur dengan cerdas. Antara mencekam dan lucu. Feel ini yang saya kurang yakin dapat terjadi di novel-novel dengan klaim-sendiri ‘horor komedi’ tadi.
Jejeran buku-buku tersebut tampaknya adalah fenomena horor tersendiri hingga membuat saya takut untuk membelinya. Ya, pada akhirnya saya akui mereka tetap ‘horor’ tapi dalam koridor yang lain.
Namun, kesemuanya tadi entah mengapa justru meninggikan keyakinan saya akan munculnya sebuah kebangkitan karya-karya bacaan horor yang bagus sebagai tandingan. Keyakinan yang muncul dari sebuah kegelisahan. Kegelisahan saya yang pastinya juga dirasakan oleh kreator-kreator di sana yang ingin sekali mengacak-acak semua fenomena tadi.
Walhasil, saya sepertinya benar. Kehausan saya akan karya bacaan horor yang bagus membawa penelusuran saya pada zona-zona alternatif seperti internet. Acak sana-sini, blusukan dari blog ke blog akhirnya membuahkan hasil.
Sebuah e-book gratis berjudul “Distorsi Mimpi” dengan pengarangnya, Muhamad Rivai ternyata berhasil membuat saya terkagum-kagum akan kecemerlangan ide-ide cerita di dalamnya. Sebuah kumpulan cerpen dengan berbagai cerita yang ide dan olahannya hampir tak terpikirkan. Sebuah e-book yang menurut saya pribadi terlalu mahal untuk sekadar digratiskan.
Hingga pada pertengahan Desember 2012 kemarin, sang penulis merilis lagi karyanya yang lain. Mengusung judul “Setelah Gelap Datang”, kali ini karya tersebut terbit dalam format cetak. Hal ini tentunya membuat saya girang. Jelas, kualitas dari karya sebelumnya, “Distorsi Mimpi” membuat saya tanpa ragu ingin memiliki buku ini. Dan hal lainnya yang diinginkan dari buku ini setelahnya juga adalah akan membuat ulasan tentangnya.
Aneka Ria Kengerian
Ada tiga belas cerita di dalam kumpulan cerpen ini. Masing-masing memiliki gaya bercerita yang berbeda. Nampaknya Rivai ingin memaparkan eksplorasi tuturan tentang rasa takut dengan gaya dan rasa yang beraneka. Oleh karena itu, penekananannya tidak melulu pada obyek-obyek menyeramkan, tapi lebih ke fantasi dari rasa takut itu sendiri.
Pada cerita “Mata Ayam” misalnya. Pengembangan ide cerita tentang mata ayam membuat saya cukup menggeleng kepala. Ini jelas sebuah keberanian bereksperimentasi ide. Rivai pun tanpa ragu menaruhnya pada awal cerita. Sehingga pembaca yang berekspektasi macam-macam di seputar cerita horor standar dan kurang siap akan gaya bercerita seperti ini bakal merasakan sensasi emosi yang tidak lazim saat selesai.
Tren zombie yang sedang semarak akhir-akhir ini pun dapat diadaptasi dengan apik menjadi cerita yang sangat lokal pada cerita “Dia Yang Pulang” tanpa harus menjadi kebarat-baratan dan terjebak menjadi mediocre.
Eksplorasi lainnya yang cukup mengagumkan adalah permainan emosi pada cerita “Sebuah Wawancara”. Bisa dibilang ini adalah kepiawaian Rivai meneror secara psikologis emosi pembacanya. Salah satu cerita favorit saya di antara cerita yang lain.
Lalu cerita tentang makhluk kegelapan dalam “Setelah Gelap Datang”. Di sini imajinasi dimanjakan dengan misteri apa yang ada dalam kondisi ketiadaan cahaya. Selipan pesan tentang konflik moril juga cukup tercium pada cerita “Nenek Sari”. Lagi-lagi permainan emosi begitu terasa di sini. “Dari Atas Kursi Merah”, permainan alur berbau antara delusi dan kenyataan dari cerita bertemakan seseorang yang merasa menjadi nabi.
Pada “Akan Kuberi Makan”, Rivai mencoba bertutur dengan gaya berpuisi. Tapi entah mengapa saya tidak merasakan feel apapun di sini. Begitu pula permainan emosi yang biasa dirasakan sensasinya di medium cerpen.
Di akhir kumcer ini ada “Dea”. Dalam cerita ini Rivai cukup berhasil memberikan tuturan yang lumayan menyeramkan dengan caranya mengaburkan fiksi dan realita. Cukup telak sebagai suguhan akhir yang membuat kepala tetap penuh terisi denganparanoid saat buku selesai ditutup.
Eksperimentasi bertutur yang tak kalah apik juga terjadi pada karya terakhir, “Petunjuk Sebelum Kembali Membaca Buku Komedi Hantu”. Dari judulnya saja saya sudah cukup tersenyum simpul sendiri. Ini salah satu buah dari kegelisahan yang saya bahas di awal. Hanya saja bentuk kegelisahan ini kali ini disulap dalam wujud sebuah ‘Petunjuk’. Lagi-lagi ide yang tidak terpikirkan.
Yang tak kalah penting dari buku ini tentunya adalah elemen desain sampulnya. Dominasi warna hitam dengan aksen abu-abu dan tipografi yang simpel cukup sedap dipandang mata. Terlebih ditambah ilustrasi kelelawar terbang terbalik yang membuat dramatisasi gelap yang dominan menjadi lebih hidup.
Hanya saja sesaat saya sebenarnya agak bertanya-tanya tentang judulnya, ”Setelah Gelap Datang”. Penggunaan kata “Setelah” di sini mungkin sedikit rancu ketimbang ambigu. Kata ini jadi mengacu ke kejadian “habis gelap” ketimbang “saat/ketika gelap”. Padahal maksudnya yang ingin ditampilkan mungkin (yang saya tangkap) adalah kejadian-kejadian “saat” gelap terjadi setelah senja datang. Terlebih diperkuat dengan ilustrasi kelelawar beterbangan terbalik yang merupakan perilaku kelelawar yang bangun saat senja/gelap datang.
Karena buku ini adalah buku terbitan indie maka sepertinya mungkin tidak mengalami proses editing. Namun ini cuma kekurangan minor yang tidak begitu terasa. Terlebih tertutup oleh keapikan konsep bertuturnya.
Keseluruhan saya bisa bilang buku ini sangatlah keren dengan segala potensi inovatif di dalamnya. Buku yang saya rasa pada saat ini bisa bersanding dengan karya-karya keren setelah Abdullah Harahap, seperti yang saya sebutkan di awal.
Juga pada akhirnya saya pun berpikir, mestinya buku sebagus ini ada di antara rak buku toko-toko besar itu. Menghajar bokong dengan jumawa buku-buku ‘mengerikan’ lainnya yang mencoba bertema sejenis namun jauh dari keberhasilan kualitas.