Hari ini saya menemani anak-anak menonton film animasi My Neighbor Totoro. Film klasik karya Studio Ghibli ini dibuat pada tahun 1988, jadi kira-kira ia memiliki umur yang sama dengan saya. Sebenarnya sudah beberapa hari ini kami membuat program menonton satu film pilihan per hari untuk anak-anak, sebagai konsekuensi telah melarang penggunaan smartphone karena mereka sudah kecanduan Wormzone dan Youtube Kids.
Setelah menonton Petualangan Sherina dan Garuda di Dadaku di Netflix, kami memilah-milah film apa lagi yang cocok untuk anak-anak tetapi tetap menarik bagi kami sebagai orang tua yang mendampinginya. Syaratnya, film tersebut harus berbahasa Indonesia (bagi saya anak usia 4 tahun belum waktunya belajar bahasa Inggris), dapat ditonton sekali duduk (bukan film seri), dan tentunya aman untuk anak-anak.
Film Disney tampaknya membosankan dan aplikasi Disney + Hotstar tidak bisa di-screencast ke TV menggunakan dongle KW buatan Cina (anehnya, Netflix bisa). Akhirnya saya kembali menjelajah Netflix dan menemukan film-film animasi karya Studio Ghibli yang sudah di-dubbing ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya, yang paling terkenal sepanjang masa, tentu saja adalah My Neighbor Totoro (となりのトトロ).
Mulai Menonton dengan Gelisah
Terus terang, saya belum pernah menonton film ini secara full. Padahal, bisa dibilang ini adalah tontonan wajib di kalangan anak-anak artsy karena gaya visualnya yang sangat indah. Namun, saya sering membaca “teori gelap” yang beredar di internet mengenai sosok Totoro, antara lain bahwa Totoro sebenarnya adalah sosok dewa kematian dan ada kisah tragis di balik film animasi ini. Teori ini saya sebut sebagai teori Togel (Totoro Gelap). Hal inilah yang membuat saya agak gelisah ketika mulai menontonnya bersama anak-anak.
My Neighbor Totoro berkisah tentang keluarga Kusakabe (Tatsuo Kusakabe bersama dua orang anaknya, Satsuki dan Mei) yang pindah ke sebuah rumah di pedesaan agar lebih dekat ke rumah sakit tempat sang ibu dirawat.
Di awal film, perasaan saya sudah mulai tidak enak. Rumah baru keluarga Kusakabe digambarkan sebagai rumah tua yang reot dan hampir rubuh. Saat proses pemindahan barang, Satsuki dan Mei menemukan sekumpulan makhluk-makhluk hitam kecil misterius yang bisa menghilang dan menembus tembok. Seorang nenek tua tetangga mereka berkata bahwa makhluk itu adalah susuwatari, sejenis roh halus yang penghuni rumah kosong dan hanya bisa dilihat oleh anak-anak.
Tidak berhenti sampai di situ, satu per satu kejadian-kejadian aneh mulai menimpa keluarga itu. Sutu malam saat sedang mandi bersama, muncul angin kencang yang membuat rumah mereka nyaris rubuh. Esoknya, Mei menemukan biji-biji oak misterius yang memancingnya pergi sendirian ke dalam hutan, menyusuri lorong gelap, lalu masuk ke dalam lubang di pohon besar hingga membangunkan sesosok monster yang sedang tertidur di dalamnya.
Glek! Bukankah itu terdengar seperti sebuah film horor?
- Keluarga kecil
- Rumah tua di pedesaan
- Pohon besar di hutan gelap dekat rumah
- Ibu yang dirawat di rumah sakit
- Makhluk-makhluk misterius di atap
- Punya tetangga nenek-nenek tua
Saya bisa membayangkan jika film ini di-remake oleh Joko Anwar.
Anehnya, semua plot horor itu ditampilkan dengan ekspresi yang tenang, lucu, dan cenderung polos. Tak ada seorang pun dalam film ini yang menunjukkan rasa ngeri ketika disebut kata “hantu” atau “roh halus”. Padahal, apa bedanya bermain bersama Totoro dengan bermain bersama kuntilanak/kalong wewe? Bukankah ini sangat twisted? Kebetulan, belakangan ini saya juga sedang mendengarkan band Ghost, sebuah band rock dengan irama catchy nan gembira tetapi liriknya bercerita tentang pemujaan terhadap iblis.
Oh, kegelapan macam apakah yang disembunyikan di balik topeng Totoro yang lucu dan lugu ini? Pastilah seperti yang diceritakan dalam teori Togel. Seperti kata pepatah, semakin terang cahaya, semakin gelap bayangannya.
Sebuah Penolakan
Akibat teori Totoro Gelap ini, sepanjang film saya menjadi waswas dan gelisah. Namun pada penghujung film, saya mendapat pencerahan bahwa teori tersebut rupanya tidak masuk akal dan terlalu mengada-ada. Brengsek sekali, saya jadi tidak bisa menikmati film ini sebagaimana seharusnya.
Sebelumnya, mungkin Anda perlu membaca dulu argumentasi teori tersebut. Ada dua hal utama yang membuat saya menolak Togel (Totoro Gelap).
- Sandal yang ditemukan di kolam jelas berbeda dengan sandal yang digunakan Mei. Kenapa mirip? Ya, memang mirip. Kemiripan itu tampak disengaja demi membuat plotnya masuk akal. Kalau tidak mirip, penduduk desa dan Satsuki tidak akan khawatir dan tidak akan mampu membangun ketegangan dalam klimaks cerita itu.
- Di ending cerita, Satsuki dan Mei jelas-jelas masih hidup. Memang, mereka tidak menemui ibu mereka di rumah sakit dan hanya melihat dari atas pohon. Saya tidak tahu kenapa. Mungkin karena saat itu mereka sedang bersama si bus kucing aneh itu. Yang jelas, setelah itu diperlihatkan bahwa Satsuki dan Mei kembali ke desa dan disambut oleh Kanta dan neneknya. Jangan bilang kalau kedua orang itu juga sudah mati.
- Kanta memang tidak pernah bertemu atau melihat Totoro, tapi tidak ada alasan mengapa ia harus bertemu dengan Totoro. Makhluk itu adalah tukang tidur, dan dia tidur di sebuah tempat tersembunyi di tengah hutan. Tidak banyak anak-anak yang bisa menemukan tempat itu tanpa sengaja selain Mei.
Dalam cerita, disebutkan dengan jelas bahwa Totoro adalah roh hutan. Artinya, tak ada yang menyangkal bahwa ia adalah makhluk halus, jin, dedemit, hantu, atau sejenisnya. Bukan hal yang aneh bila seorang roh hutan bepergian untuk melakukan apa pun pekerjaannya menggunakan sebuah bus gaib yang memiliki ragam tujuan dunia gaib, salah satunya ke dunia orang mati. Namun tak berarti bahwa ia adalah seorang shinigami. Sama halnya tidak semua PNS adalah guru atau petugas kelurahan, ada juga yang dosen, pemadam kebakaran, peneliti, dll.
Animisme dan Keharmonisan Manusia dengan Alam
Pesan yang cukup menonjol dari film ini adalah tentang keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Alam, sebagaimana kepercayaan animisme, dilambangkan dalam sosok roh halus, dalam hal ini adalah Totoro. Di awal film, sang ayah pernah berkata bahwa dahulu kala manusia bisa hidup berdampingan dengan hutan, dan ia percaya bahwa hal itu masih dapat terjadi.
Keharmonisan hubungan antara manusia dan alam dilambangkan dengan persahabatan antara Totoro dan Satsuki/Mei. Totoro melambangkan ekosistem hutan sementara keluarga Kusakabe melambangkan manusia. Sejak awal pindah ke rumah baru pun, keluarga Kusakabe senantiasa menunjukkan rasa hormat mereka terhadap alam sekitar. Hal ini dibuktikan dengan para susuwatari yang dengan sukarela pindah dari rumah tua itu menuju hutan, kembali bersama Totoro.
Namun mengapa teori cocoklogi Totoro Gelap bisa muncul? Tampaknya, kitalah sebagai penonton dewasa yang merasa sulit menerima pesan tersebut. Pikiran kita sudah penuh prasangka karena terbiasa menyaksikan dunia yang penuh ketidakadilan, pertumpahan darah, pengerusakan alam, dan berbagai kenyataan gelap lainnya.
Bagaimana mungkin cerita ini “hanya” tentang persahabatan anak manusia dan roh penunggu hutan? Bagaimana mungkin semuanya berakhir bahagia? Mana mungkin tidak ada kisah tragis dan depresif yang melatarbelakanginya? Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak bisa menerima ini! Tidak realistis! Pasti ada kegelapan yang tersembunyi di balik ini semua …. Pasti ….
– Teori Totoro Gelap
Kesimpulan
Jangan salah paham, saya cukup menggemari cerita-cerita gelap dan tragis. Namun untuk teori ini, saya tidak bisa menerimanya karena terasa lemah dan dipaksakan. Entah kenapa masih ada yang mempercayainya. Bagi saya, kalau Anda ingin menonton anime klasik yang gelap dan depresif, lebih baik Anda berhenti menonton film Studio Ghibli dan kembali menonton Neon Genesis Evangelion.