Lagi-lagi ayahku duduk di balik pintu gudang sambil berbicara dengan laba-laba. Tubuhnya semakin kurus hingga aku dapat melihat tulang belakang lehernya yang menonjol saat ia menunduk. Ia meletakkan jari telunjuk di depan bibir ketika aku mencoba menegurnya dari jauh, lalu bergumam dengan kata-kata yang sering kudengar selama dua tahun terakhir.
“Belum ada kabar dari laba-laba. Ibumu belum ingin pulang juga, Rika.”
Aku terluka setiap kali mendengar kata-kata itu, tapi aku yakin lukaku tak sedalam lukanya. Ia merasa dikhianati orang yang ia cintai ketika tiga tahun lalu Ibu pergi meninggalkan rumah begitu saja. Seandainya Ibu masih mencintai kami, ia tidak akan menuruti gelora jiwanya untuk berpetualang mencari fosil laba-laba purba di pedalaman Kalimantan. Seandainya ia masih punya tanggung jawab sebagai seorang ibu, ia akan tetap mengajar di universitas, pulang sore hari dijemput Ayah, lalu menghabiskan waktu bersama keluarga setidaknya setiap akhir pekan. Kami tak pernah memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga, kami hanya ingin ia berada dalam jarak yang bisa diraih.
“Ibu merasa terpanggil, Rika. Panggilan ini tidak bisa ditolak. Ibu harus pergi,” kata Ibu, setidaknya dua hari sebelum ia kabur dari rumah bersama kawan-kawan lamanya.
Saat itu aku sedang menghadapi Ujian Nasional SMA, tapi satu-satunya peninggalan Ibu adalah sepucuk surat berisi permintaan maaf dan doa untuk kelulusanku. Aku terpukul ketika mengetahui Ibu benar-benar pergi, begitu pula dengan Ayah. Ia bilang Ibu memang perempuan cerdas dengan jiwa yang meledak-ledak, itulah hal yang ia sukai sekaligus ia benci dari dirinya.
Meski merasa dikhianati, Ayah tetap bersabar. Ia yakin Ibu akan pulang dan kembali seperti sediakala ketika penelitiannya rampung. Aku sama sekali tidak paham apa pentingnya fosil laba-laba purba dibandingkan kebahagiaan anak dan suaminya.
Tak lama kemudian, sebuah kabar datang dan membuat perasaan kami hancur lebur. Gua yang diteliti Ibu dan kawan-kawannya runtuh karena gempa. Batu-batuan berumur ribuan tahun itu berjatuhan, menutup jalan masuk dan menimpa tim peneliti yang sedang berada di dalam. Tiga orang yang posisinya paling dekat dengan mulut gua berhasil keluar hidup-hidup, sementara dua orang lainnya meninggal dunia terhimpit batu besar. Bagaimana dengan Ibu? Ketika gempa itu terjadi, posisi Ibu berada di bagian yang paling dalam. Ia menghilang.
Sebuah tim khusus dibentuk untuk mencari jasad Ibu di dalam gua itu (mereka berasumsi bahwa Ibu tidak mungkin selamat), tapi penyelidikannya tidak membuahkan hasil. Mereka terkejut, gua itu ternyata jauh lebih primitif dan lebih dalam dari yang mereka perkirakan. Tak ada yang tahu di mana gua itu berujung atau apakah gua itu memiliki jalan keluar di tempat lain. Menurut mereka, medan yang dihadapi terlalu rumit sehingga mereka kesulitan untuk menggunakan alat-alat berat. Aku tidak tahu apakah hal itu benar ataukah cuma alasan yang dibuat-buat.
Seandainya saat itu Ayah mau mendesak lebih kuat lagi, pencarian itu mungkin bisa dipertahankan lebih lama. Namun Ayah menyerah begitu saja. Ia bilang, Ibu akan pulang kalau sudah saatnya ia ingin pulang. Sejak saat itulah kondisi kejiwaan Ayah menjadi tidak stabil dan ia mulai berbicara kepada laba-laba, menanyakan kabar Ibu dan kapan ia akan pulang. Sejauh ini, laba-laba tak pernah memberi kabar apa-apa. Aku tak peduli. Aku benci laba-laba, aku tak percaya pada mereka.
Lulus SMA, aku memutuskan untuk berkuliah di jurusan arkeologi, bidang yang sama dengan bidang ibuku. Meski aku takut pada ruangan gelap dan belakangan juga takut pada laba-laba, aku bermimpi bisa menjadi arkeolog dan berpetualang ke berbagai belahan dunia, semata-mata karena aku ingin memahami apa yang ada dalam pikiran Ibu ketika ia pergi. Jauh dalam diri ini, aku masih percaya bahwa ia memiliki suatu alasan yang tak bisa kumengerti kecuali jika aku berada pada posisi yang sama dengannya. Aku juga bekerja paruh waktu dan mencari beasiswa untuk membayar biaya kuliah, sebab Ayah sudah tidak bisa bekerja. Ketika aku tak ada di rumah, Nenek selalu merawat Ayah—sambil sesekali menggerutu dan mengutuk ibuku yang telah membuat putranya menderita.
Siang tadi, Pak Agi, seorang mantan dosenku yang kini menjadi peneliti, mengirimkan sebuah surel yang mengejutkan. Setelah hampir tiga tahun tak tersentuh, akhirnya “gua laba-laba” yang pernah diteliti Ibu berhasil ditembus kembali. Ia mengungkapkan kekagumannya terhadap kondisi gua yang primitif itu, seolah-olah ia merasa maklum bila seorang arkeolog meninggalkan keluarganya demi meneliti sebuah gua misterius.
Hal yang paling mengejutkan, Pak Agi dan timnya berhasil menemukan fosil laba-laba yang gagal ditemukan tim ibuku dua tahun lalu. Ia bilang, penemuan ini adalah penemuan besar yang akan dimuat di jurnal-jurnal internasional. Aku turut bangga, lalu kutanyakan kepadanya apakah ia menemukan jasad ibuku di dalam sana. Ia bilang, tidak. Setidaknya, belum. Satu-satunya yang ia temukan adalah buku catatan ibuku yang terkubur di bagian dalam gua. Buku catatan itu penuh dengan tulisan yang sulit dipahami, karena tampaknya catatan itu ditulis untuk keperluan pribadi dan sebagian halamannya sudah rusak. Ia bilang ia akan memperlihatkan buku itu padaku setelah ia pulang.
Pulang kuliah, aku mencari Ayah. Ia tidak ada di kamarnya, jadi kupikir ia pasti sedang berada di gudang. Aku berpapasan dengan Nenek yang sedang memasak di dapur, ia membenarkan bahwa Ayah sudah masuk ke gudang sejak pagi tadi. Kudorong pintu gudang yang agak berat, lalu kulangkahkan kakiku ke dalam ruangan bercahaya redup itu. Debu yang beterbangan seketika menyergap jalur pernapasanku dan membuatku terbatuk-batuk. Kubiarkan pintu gudang tetap terbuka agar cahaya dari luar bisa masuk. Aku tak ingin masuk lebih dalam ke sudut ruangan yang diselimuti kegelapan, jadi aku hanya berdiri beberapa langkah dari pintu dan memanggil-manggil Ayah.
“Jangan berisik, Rika. Ayah sedang menunggu kabar dari laba-laba. Laba-laba ini sangat kecil, kalau kamu berisik nanti suaranya tidak terdengar,” jawab Ayah setelah kupanggil tiga kali.
Aku tidak bisa melihat Ayah dengan jelas, tapi aku dapat mengenali punggung kaos sepak bola yang ia kenakan. Tampaknya ia sedang berjongkok di pojok gudang sambil memandangi sarang laba-laba yang menjerat di antara kardus dan barang-barang rongsokan.
“Pak Agi sudah berhasil masuk ke gua. Ia sudah menemukan fosil itu, ia sudah menemukan apa yang Ibu cari, tapi ia tidak menemukan Ibu,” ucapku agak lantang, aku tetap berusaha menjaga jarak dari kegelapan dan sarang laba-laba.
“Berarti memang ibumu belum ingin pulang,” jawab Ayah singkat.
“Ibu tidak akan pulang, Yah.”
“Siapa tahu?”
“Mustahil ia masih hidup selama ini.”
Aku dapat mendengar suara gesekan kaki. Ayah bangkit dari jongkoknya dan berbalik badan. Ia berjalan pelan ke arahku, keluar dari sudut gudang yang gelap, lalu berhenti dan memegang kedua pundakku. Kutatap matanya yang sayu, keriput di wajahnya terlihat semakin jelas. Tubuhnya sudah seperti tengkorak hidup, apalagi jiwanya.
“Rika, ibumu masih hidup. Seekor laba-laba berbisik di telinga Ayah, ibumu masih hidup. Ia tinggal di dalam gua bersama para laba-laba,” ucapnya. Aku hanya menggeleng mendengar itu, perkataannya semakin mengada-ada.
Tiba-tiba sebuah benda berwarna hitam bergerak keluar dari lubang telinga kiri Ayah. Benda itu menggerakkan kaki-kaki panjangnya yang berjumlah delapan, lalu merayap turun ke leher Ayah, ke pundaknya, ke lengannya. Ia menggunakan tangan Ayah sebagai jembatan dan berusaha berpindah ke pundakku, tapi aku segera menepis tangannya. Laba-laba itu terlempar ke lantai dalam posisi merangkak. Ia bergerak mendekat ke arahku dengan gerakan yang sangat cepat. Aku tidak tahu laba-laba bisa bergerak secepat itu. Aku menjerit histeris dan berlari keluar dari gudang, melewati Nenek yang tampak kebingungan. Dengan napas yang terengah-engah, aku masuk ke dalam kamar tidurku. Kukunci pintunya dua kali, lalu kututupi celah di bagian bawah pintu menggunakan keset dan handuk.
Aku meringkuk di sudut kasur dan menutup wajahku sendiri. Hingga matahari terbenam, aku sama sekali tidak keluar kamar, bahkan aku menolak ketika Nenek mengetuk pintu dan menyuruhku ke luar untuk makan malam. Seharian itu aku berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan musik jazz—terapi yang selalu kulakukan untuk menenangkan diri setiap kali bertemu laba-laba. Kusetel agar pemutar musik itu mati secara otomatis sekitar 30 menit dari sekarang, lalu kupejamkan mataku.
///
Pak Agi pulang lebih cepat dari yang kukira. Ia mengajakku bertemu di kampus, kebetulan hari ini aku tidak ada jadwal kuliah hingga pukul satu siang. Saat aku datang ke perpustakaan, ia sudah duduk di salah satu kursi dekat rak buku referensi. Senyumnya merekah ketika melihatku datang menghampiri, aku membalas senyumnya sambil melambaikan tangan. Lelaki yang sudah kuanggap sebagai ayah kedua itu mempersilakanku duduk di kursi kosong di hadapannya, lalu ia mengeluarkan sebuah tas ransel yang entah bagaimana bisa dibawanya masuk ke dalam perpustakaan.
“Apa kabar, Pak?” tanyaku berbasa-basi.
“Luar biasa, Rika,” ucapnya. “Saya ingin balas menanyakan kabar kamu, tapi saya tahu ada hal lebih penting yang ingin kamu dengar.”
Aku tersenyum mendengar gayanya masih tanpa basa-basi seperti biasa. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan sebuah buku lusuh bersampul cokelat yang menarik perhatianku dengan seketika.
“Ini buku yang saya ceritakan, buku catatan ibumu. Saya sudah buat salinannya, kamu boleh simpan buku ini,” ucapnya sambil meletakkan buku itu di atas meja.
Kuambil buku itu, lalu kubuka perlahan agar tak merusak halamannya yang terasa sangat rapuh. Aku mengenali tulisan tangan ibu di dalam buku itu, berantakan seperti tulisan dokter. Kalimat-kalimat yang tidak sempurna memenuhi semua halaman, disertai beberapa tanggal dan garis-garis yang mungkin adalah peta dari sebuah lorong.
“Saya kagum kalau ada yang bisa membaca tulisan Ibu,” candaku.
“Saya sudah membaca semuanya, banyak yang tidak saya mengerti. Tapi intinya, saya menemukan hal-hal yang aneh dalam catatan itu,” ujar Pak Agi dengan nada suara yang berubah menjadi sangat serius.
“Aneh bagaimana?”
“Coba kamu baca beberapa halaman awal. Sepertinya ibumu mencatat mimpi-mimpinya sesaat sebelum memulai ekspedisi. Kalau penafsiran saya benar, alasan dia bisa mengetahui keberadaan gua itu dan memutuskan untuk menelitinya bersumber dari mimpi-mimpi yang ia alami. Ini memang tidak masuk akal.”
Aku menuruti saran Pak Agi dan membuka beberapa halaman awal. Ada banyak kalimat dengan konteks yang tidak jelas, bahkan sekilas tampak seperti curhatan orang yang sedang stres. Namun beberapa kalimat berhasil menarik perhatianku.
“Bisikan laba-laba? Tiba-tiba semua laba-laba berbicara dan mengundang ke istana?” gumamku menyimpulkan beberapa tulisan yang kubaca. “Apa maksudnya?”
“Entah. Psikologi bukan bidang saya, tapi berkat petunjuk-petunjuk dalam buku itu, saya menemukan hal luar biasa yang pada akhirnya … membuat saya memutuskan untuk menghentikan penelitian.”
“Hal luar biasa apa? Kenapa dihentikan?” tanyaku mendesak.
Pak Agi terdiam. Ia menarik napas dalam dan menunduk sambil memijat keningnya dengan kedua tangan. “Maaf, Rika. Saya tidak bisa bercerita lebih jauh lagi. Saya harus pergi.”
Tiba-tiba ia menutup ranselnya, lalu bangkit berdiri dengan wajah muram. Saat ia berjalan melintas di sebelahku, aku segera menarik pergelangan tangannya. Aku tidak terima diperlakukan seperti itu.
“Pak! Bapak sudah janji untuk mencari ibu saya! Jawab, kenapa penelitiannya dihentikan? Apa yang Bapak temukan?”
Pak Agi berusaha menarik pergelangan tangannya, tapi merasakan genggamanku yang sangat erat, ia melemah. Ia hanya mematung sambil menatap lurus ke depan, seolah tidak mengindahkan keberadaanku. Kira-kira setengah menit kesunyian bertahan di antara kami, lalu aku dapat merasakan tangannya gemetar.
“Tidak bisa, Rika. Tidak bisa.”
“Kenapa?”
Ia kembali diam. Tatapan matanya terpaku pada satu sudut di hadapannya. Kuikuti arah tatapan mata itu, ada sebuah lemari tua tempat menyimpan arsip di pojok ruangan. Lemari itu tampak kotor dan jarang dibersihkan sehingga aku dapat melihat debu menempel di salah satu bagiannya yang berkaca. Di bagian kolongnya, ada sebuah jaring-jaring putih yang melintang di antara kaki-kaki lemari. Seekor laba-laba sedang merayap di atas sarangnya.
“Mereka …,” ucap Pak Agi dengan suara terbata-bata, “mereka mengawasi.”
Pak Agi menarik tangannya dengan sangat kencang, lalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia berjalan cepat keluar dari ruang perpustakaan. Aku ingin memanggilnya, tapi kebingungan di dalam kepalaku membuat suaraku tertahan. Tengkuk leherku terasa merinding ketika memperhatikan laba-laba di kolong lemari sedang merajut jaringnya.
///
Sejak pertemuan di perpustakaan itu, aku tak pernah berkomunikasi lagi dengan Pak Agi. Ponselnya tak pernah aktif dan kiriman surelku tak pernah dibalas. Aku menanyakan kabarnya pada beberapa dosen yang kukenal dekat di kampus, tapi tak ada yang mengetahui keberadaannya. Kata-kata terakhir yang diucapkan Pak Agi mengingatkanku pada kegilaan ayahku, bahkan mungkin juga ibuku. Semua ini berhubungan dengan laba-laba. Laba-laba selalu menghancurkan orang-orang yang kucintai. Semakin lama semakin aku membenci laba-laba.
Kebencian yang aneh itu tak pernah bisa kuhadapi hingga pada suatu ketika aku terbangun dari tidur di tengah malam yang sangat sunyi. Suara benda yang halus terdengar bergesekan dengan permukaan kasar, mungkin dengan tumpukan kanvas yang kusimpan di pojok kamar. Sejak belajar melukis, aku memang membiarkan kanvas-kanvas tertumpuk di samping easel karena aku tidak punya tempat untuk memajangnya. Aku membuka mata dan melihat dinding kamar di hadapanku, tapi aku terkejut ketika menyadari betapa gelapnya keadaan kamar ini. Aku tidak pernah mematikan lampu ketika tidur di malam hari. Apakah mungkin telah terjadi mati listrik?
Suara itu terdengar semakin dekat dan jelas. Seperti suara langkah yang sangat halus. Iramanya seperti bukan berasal dari dua kaki, tetapi lebih. Mungkinkah laba-laba dari gudang berhasil masuk ke dalam kamarku? Tiba-tiba saja leherku terasa geli. Sesuatu yang panjang dan berbulu sedang mengusap-usap leherku, aku dapat merasakan teksturnya yang agak kasar dan ukurannya yang mungkin sebesar tangan manusia. Kupejamkan mata sekuat tenaga, jantungku berdetak sangat kencang, lalu kugeser tubuhku merapat ke dinding, tapi benda berbulu itu masih bisa menjangkauku. Aku tidak akan berbalik. Tokoh-tokoh bodoh di film horor selalu membalikkan badan karena penasaran dan mereka pasti menyesal. Namun keputusan itu buyar ketika aku mendengar namaku disebut pelan dengan suara yang aneh, nyaris mendengung, seperti bukan suara manusia.
Perlahan kubalikkan badanku ke arah asal suara itu. Di sana, di samping tempat tidurku, aku melihat siluet laba-laba berukuran manusia, sedang berdiri di atas kaki-kakinya yang panjang. Ia menarik tangannya—atau mungkin kakinya—dari leherku dan kembali mengeluarkan suara aneh itu. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan berharap bahwa sosok yang berada di hadapanku hanyalah semacam ilusi optik dari easel atau tumpukan cucian. Ternyata tidak. Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, aku dapat melihat kepala laba-laba itu. Kepalanya adalah kepala manusia. Rambutnya lurus dan panjang, kulitnya putih, dan bibirnya merah gelap. Ia tersenyum. Itu adalah Ibu.
“Rika, jangan khawatirkan Ibu,” ucapnya.
“Ibu? Ibu di mana?”
“Ibu di istana mereka, mereka yang bijak dan selalu mengawasi kita.”
Kucoba bangkit dan meraih wajah Ibu, tapi wajah itu melesak ke dalam, kulitnya menghitam, lalu muncul dua bola mata besar berwarna merah dan beberapa bola-bola mata kecil yang mengelilinginya. Kutarik tanganku dan merapat ke dinding. Laba-laba raksasa itu mundur perlahan, merapat ke dinding di belakangnya, lalu memaksa tubuh berbulunya melewati jendela kamarku yang ternyata sudah terbuka lebar.
Aku tak tahu ke mana makhluk itu pergi (atau apakah ia hanya mimpi), yang jelas setelah pengalaman itu, aku berusaha melawan rasa takut dan kebencianku terhadap laba-laba. Aku mulai mendekati Ayah, duduk berdua dengannya di sudut gudang dan berbicara dengan laba-laba. Terkadang kami saling bertukar informasi bila menemukan sarang laba-laba baru di bagian mana pun di rumah ini, lalu mendiskusikan “kabar” apa yang dibawa laba-laba itu. Awalnya memang terasa aneh dan menakutkan, tapi semakin lama aku semakin bisa merasakan adanya suatu hubungan antara laba-laba dan ibuku. Setelah berhari-hari berbicara dengan laba-laba, aku tiba pada kesimpulan bahwa laba-laba yang hidup di sekeliling kita setiap hari ternyata bukanlah laba-laba yang sesungguhnya, mereka hanya semacam perantara bagi laba-laba sejati yang disebut Ibu sebagai “mereka yang bijak dan selalu mengawasi”.
Hanya Nenek yang kebingungan melihat aktivitas kami. Terkadang ia menangis tersedu-sedu, lalu memanggil psikolog dan paranormal, meski tak ada satu pun yang membuahkan hasil. Ia selalu mengira bahwa kami telah gila atau mendapat kutukan. Aku tidak bisa memaksanya percaya. Aku hanya berharap ia juga segera mendapatkan kabar dari laba-laba.
—————————————————————————————————————————–
Cerita ini adalah bagian dari game tantangan menulis. Sekitar dua minggu yang lalu saya, Devi, dan Sari sedang duduk di sebuah rumah makan untuk menunggu acara buka puasa bersama komunitas BLC. Kami membuat sebuah permainan, aturannya begini: setiap orang membuat deskripsi satu tokoh cerita, kemudian deskripsi itu diacak dan ditukar kepada para peserta. Setiap peserta harus membuat cerpen berdasarkan deskripsi tokoh yang ia dapatkan. Saya mendapatkan tokoh yang dibuat oleh Sari, yaitu tentang seorang mahasiswi arkeologi bernama Rika. Lebih lengkapnya lihat DI SINI.
Foto: http://www.wallpaperpin.com/webdisk/animal-animal-spider-wallpaper.jpg