Invasi

1

Di depan mataku, kantorku meledak. Semua orang, termasuk aku, sudah berhasil dievakuasi dan kami berada dalam jarak aman. Dinding-dinding gedung hancur berantakan, kaca-kaca pecah, struktur bangunan runtuh hingga ke tanah.

Aku dapat membayangkan semua kehancuran yang ada di dalamnya. Aku dapat membayangkan PC-ku hancur berkeping-keping. Tamat sudah riwayat semua berkas-berkas pekerjaanku. Tamat juga semua surat-surat yang menumpuk di meja kerjaku selama berhari-hari dan tak sempat aku rapikan. Sekarang aku tak butuh paper shredder lagi untuk memusnahkan dokumen-dokumen negara tak berguna itu. Musnah juga semua deadline dan utang-utang tugasku. Setidaknya kuharap demikian.

Tentu ada juga beberapa barang yang kehancurannya membuatku sedih, misalnya jaket hoodie pemberian mantan kekasihku, beberapa film seri yang kuunduh di komputer, dan wifi gratis berkecepatan tinggi yang biasa kunikmati setiap hari.

Pesawat induk alien berwarna hitam matte berukuran raksasa melayang di langit kota yang biasanya sudah gelap oleh polusi asap. Di sekelilingnya, pesawat-pesawat lain yang lebih kecil berbaris melayang dengan rapi. Sebuah laras senjata laser yang sepintas tampak seperti tentakel bergerak-gerak dari dalam pesawat induk. Benda itulah yang tadi menembak gedung kantorku hingga hancur berkeping-keping.

Suara dengungan pesawat itu lebih mirip suara rintihan halus yang membuat bulu kuduk merinding, sementara dari tempat yang agak jauh, terdengar suara dentuman, ledakan, dan tembakan terus menerus. Kobaran api dan kepulan asap bermunculan di mana-mana, sirine meraung-raung.

Orang-orang berlarian panik, sementara petugas keamanan, polisi, dan tentara tampak kewalahan mengendalikan massa. Tak ada yang menyangka semua ini akan terjadi. Ini adalah tenggat akhir kepunahan umat manusia.

***

Beberapa tahun yang lalu, makhluk luar angkasa memarkirkan ratusan pesawatnya di luar atmosfer bumi. Tak ada yang bisa menghalangi mereka. Umat manusia tahu bahwa episode yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi juga. Inilah saatnya peradaban manusia membuat kontak dengan peradaban makhluk cerdas lain di alam semesta.

Sayangnya, kepanikan tak bisa dihindari. Histeria massa terjadi di mana-mana. Ekonomi hancur karena spekulasi pasar yang berubah drastis. Dunia politik, alih-alih bersatu di bawah kepemimpinan Amerika Serikat seperti di film-film Hollywood, malah terpecah belah dan berusaha memanfaatkan situasi ini.

Kehadiran makhluk luar angkasa itu membuat para pemuka agama berusaha menyesuaikan tafsir mereka atas hakikat manusia dan hubungannya dengan alam semesta. Terjadi debat panjang apakah alien termasuk dalam kategori bangsa jin atau bukan. Ribuan manusia berkumpul di Monas untuk melakukan taubat massal, khawatir jika ini adalah pertanda akhir zaman.

Terjadi beberapa kali kerusuhan dan perang kecil, hingga akhirnya manusia menyadari bahwa para alien yang melayang di atas mereka sebenarnya tidak benar-benar ingin menguasai bumi atau memperbudak manusia. Mereka hanya mengamati dan mungkin bermaksud membina hubungan baik antarspesies.

Sejak saat itu, kondisi mulai membaik. Berbagai negara maju (tidak, kami tidak pernah bersatu) dan negara berkembang yang menganggap dirinya maju, mulai membuat sistem untuk mengelola transisi ke dalam pintu gerbang pergaulan antergalaksi jangka panjang. Pemerintah RI menciptakan sebuah kementerian baru, yaitu Kementerian Luar Angkasa (Kemluang) yang bertugas membina hubungan baik dengan bangsa-bangsa lain di luar Planet Bumi. Namun mengingat hubungan antarspesies masih berada dalam tahap awal, maka dibuatlah berbagai lembaga yang bertugas mempersiapkan hubungan kerja sama jangka panjang tersebut. Salah satunya adalah tempatku bekerja, Badan Persiapan Komunikasi Awal Luar Angkasa (Baperkoala).

Baperkoala didirikan untuk satu tugas utama, yaitu mempersiapkan penyambutan kedatangan bangsa alien. Kami melakukan persiapan komprehensif, mulai dari kajian budaya, bahasa, teknologi, dan persiapan teknis untuk melancarkan komunikasi antara manusia dan bangsa alien.

2

Suatu hari di Kantor Baperkoala.

“Yan, notulen rapat minggu lalu udah selesai?” kata Pak Boris dari balik komputernya.

“Rapat minggu lalu?” tanyaku mencoba mengingat-ingat. Ada berapa banyak rapat yang diselenggarakan selama satu minggu yang lalu? Dengan gugup aku mengambil ponselku, dan mencoba mengecek catatan jadwal rapat yang kutulis di aplikasi kalender.

Rapat persiapan event Festival Persahabatan Antarplanet, rapat penyusunan pidato kontak antarspesies tahap awal, FGD membahas rencana pembangunan infrastruktur penyambutan UFO dengan Pemerintah Pusat dan Daerah, rapat penyusunan draft pedoman alihbahasa bahasa alien, rapat kajian antropologis dengan Tim Percepatan Sosialisasi Keberadaan Alien, rapat teknis persiapan jalan santai mengenang Hari Kedatangan Alien Nasional, rapat Dharma Wanita demo masak dan lokakarya potensi kuliner nasional dan cita rasa alien, dan masih banyak lagi.

“Iya, kan kamu yang jadi notulis?” ucap Pak Boris. Dari pantulan di kaca jendela, aku tahu dia sedang sibuk bermain Zuma.

“Rapat koordinasi persiapan kajian aspek keamanan dalam pre-event penyambutan alien?” tanyaku.

“Bukan, bukan,” jawabnya sambil menggeleng dan tak memalingkan wajah dari layar monitor. “Yang satunya lagi, yang di hotel bintang lima itu.”

“Oh! Rapat kajian linguistik bahasa nasional dan perbandingannya dengan hasil penelitian bahasa alien dalam komunikasi informal jamuan makan malam?” ucapku.

“Betul!” jawabnya cepat. “Udah belum?”

Aku membuka program Microsoft Word bajakan di komputerku dan mencari file notulensi yang dimaksud. Belum ada. Aku menemukan file notulensi yang lain, tapi aku tak berhasil menemukan notulen Rapat Kajian Linguistik Bahasa Nasional dan Perbandingannya dengan Hasil Penelitian Bahasa Alien dalam Komunikasi Informal Jamuan Makan Malam. Aku ingat bahwa aku telah menuliskan dalam reminder-ku bahwa aku akan mengerjakannya dua hari yang lalu, tapi aku tampaknya terlalu cepat menekan tombol snooze dan kemudian melupakannya.

“Sudah, Pak,” jawabku. “Tinggal sedikit lagi, sedang dirapikan.”

“Kalau sedikit lagi berarti belum. Cepetan, jam satu siang ini harus sudah diserahkan, untuk dimasukkan ke laporan pimpinan.”

“Siap!” ucapku refleks.

Mau tak mau, aku membuka file lain dengan judul rapat yang hampir mirip, kemudian melakukan copy paste. Beberapa kalimat kuubah susunannya agar tidak terlalu mirip. Tidak masalah. Kedua rapat ini hasilnya sama saja. Mereka selalu menghasilkan kesimpulan yang sama, yang membedakan hanya obrolan basa-basi dan debat kusir yang ada di dalamnya.

Sudah satu kali ganti presiden dan masih belum ada kejelasan kapan tepatnya alien-alien itu akan megirimkan delegasinya turun ke bumi. Pada awalnya, kami sangat bersemangat menyambut mereka. Khawatir keteledoran kami akan membuat runyam hubungan kedua spesies, kami pernah membuat acara penyambutan yang singkat dan padat. Selain meminimalisir kesalahpahaman dan risiko lainnya, kami juga melakukan penghematan anggaran.

Acara penyambutan itu terjadi tiga tahun yang lalu. Para pejabat negara, anggota DPR, perwakilan ilmuwan, budayawan, dan tokoh agama sudah berkumpul dengan khidmat di bandara nasional. Pengamanan penuh dari tentara nasional dipasang di setiap penjuru, baik oleh angkatan darat maupun udara. Bapak Presiden dan Wakil Presiden datang dengan pengawalan ketat, diiringi oleh tari-tarian nasional dan upacara palang pintu Betawi–lengkap dengan adu pantunnya.

“Kayu gelondongan kayu cendane;
Anak Belande mati di tangsi;
Nih rombongan dari mane mao ke mane;
Kalo mendarat di sini kudu permisi.”

“Eh, Bang! Anak Belande mati di tangsi;
Digotong-gotong di dalem peti;
Rombongan alien jauh-jauh nyebrang galaksi;
Mohon diterime dengan senang ati.”

Kami menunggu selama satu jam, dua jam, tiga jam, tapi pesawat UFO di langit tak juga menunjukkan tanda-tanda akan menurunkan delegasinya. Bapak Presiden mulai mengeluh dan memarahi ajudannya, kemudian menegur Menteri Luar Angkasa dan mengancam akan memecatnya karena tidak becus dalam menyelenggarakan acara. Menteri Luar Angkasa juga menegur stafnya yang cuma dijawab SIAP PAK SIAP PAK SIAP SALAH PAK. Stafnya pun menegur EO (event organizer) yang rupanya adalah vendor palugada yang biasa menangani event dangdutan.

Masyarakat mulai bosan menunggu di depan layar televisi, pawang hujan mulai letih menahan awan mendung seharian penuh.

Saat itu, muncul desas-desus bahwa Presiden akan mengumumkan perang apabila acara penyambutan kami terus diabaikan oleh bangsa alien, tetapi Menteri Pertahanan berhasil meyakinkan Presiden bahwa itu bukanlah keputusan yang tepat. Dengan persenjataan yang kita miliki, kita hanya akan cari mati bila mencoba memulai perang dengan bangsa alien dengan kecerdasan yang sudah mampu membuat alat transportasi antargalaksi bebas polusi.

Akhirnya, setelah menunggu hingga larut malam disertai dua kali makan prasmanan, tiga kali coffee break, dan sepuluh kali penampilan kesenian tradisional, sebuah sinar sorot muncul dari bagian bawah pesawat UFO. Semua orang bersiap siaga. Siapa yang akan datang? Apakah pemimpin mereka? Siapa pemimpin mereka? Namun yang turun mengikuti lampu sorot itu hanyalah sesosok makhluk kecil dengan wajah yang peot tak jauh berbeda dengan alien di film ET.

Seorang penerjemah kami–orang yang paling ahli memahami bahasa alien lewat penelitian panjang dan kemudian kami rekrut sebagai tenaga honorer dengan gaji sedikit di atas UMR–berjalan ke tengah lapangan setelah mendapat izin dari Bapak Presiden. Melalui mulut si penerjemah itulah kami memahami apa yang disampaikan utusan alien.

“Mohon maaf,” katanya, “Saat ini kami harus melakukan kunjungan ke negara lain sehingga pertemuan kita harus dijadwalkan ulang di lain waktu. Harap maklum karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa bangsa manusia memiliki banyak sekali negara sehingga kami harus membagi waktu dan menyesuaikan dengan kesibukan pejabat-pejabat kami.”

Setelah itu, sang utusan alien kembali naik ke atas UFO dan menghilang. Suara-suara kekecewaan dan kekesalan tak bisa disembunyikan lagi. Pasukan dan seluruh pengisi acara diinstruksikan bubar. Sementara itu, Bapak Presiden segera mengadakan Rapat Khusus Tingkat Tinggi di Istana Negara.

Aku tidak boleh mengikuti rapat itu tentunya, karena aku hanya staf umbi-umbian biasa. Namun berdasarkan narasi yang diriwayatkan oleh Bapak Kepala Seksi dari Bapak Kepala Bidang dari Bapak Dirjen dari Bapak Menteri, bahwa pada saat rapat itu, Bapak Menteri sudah mengusulkan kepada para peserta rapat yang lain agar negara kita melakukan prosesi penyambutan gabungan saja secara internasional dengan negara-negara lain. Jika tidak dapat dilakukan secara global, setidaknya dapat dilakukan secara regional. Hal ini dapat mempercepat proses komunikasi antara bangsa manusia dan alien. Dengan adanya satu seremoni gabungan, pihak alien tidak akan terlalu sulit lagi dalam mengatur jadwal dan pekerjaan kita akan lebih cepat selesai.

Namun tanggapan dari peserta rapat lainnya dan juga Bapak Presiden cenderung dingin. Mereka berkeras bahwa kedaulatan negara kita akan terkikis jika kita melakukan seremoni gabungan dengan negara lain. Kita tidak akan diwakili dan tidak akan mewakili siapa pun kecuali bangsa kita sendiri.

Akhirnya, diputuskan bahwa kita akan menunda seremoni penyambutan sambil menunggu reschedule dari pihak alien. Sementara itu, kami diminta untuk mematangkan persiapan dan tetap siap sedia apabila ada pemberitahuan mendadak.

***

Selama setahun kemudian, kami pun menjalani hari seperti biasa. Anggaran persiapan penyambutan alien kembali diketok, meski harus mengurangi alokasi anggaran pendidikan. Bagaimanapun, penyambutan ini merupakan momen krusial yang menentukan masa depan dunia. Namun tidak semua unsur pemerintah menyambut kehadiran alien dengan suka hati. Beberapa Kepala Daerah mulai berwacana untuk memberlakukan tarif retribusi kepada pesawat-pesawat UFO yang parkir di atas wilayah mereka. Untuk mendukung rencana itu, mereka pun mengusulkan pengadaan mobil terbang untuk Dishub, tetapi sayangnya ditolak.

Di tengah kehidupan keseharian kami sebagai bangsa, tiba-tiba saja pesawat induk Alien memberikan sinyal bahwa mereka akan mendarat. Semua jajaran pemerintah pusat dan daerah kembali bersiap. Kami pun menempuh proses yang kurang lebih sama. Para pejabat, perwakilan masyarakat, pasukan pengamanan dan protokoler sudah siap. Namun setelah menunggu selama enam jam, utusan alien kecil itu datang kembali dan membawa pengumuman baru.

“Mohon maaf,” katanya. “Pemimpin kami baru saja mendapat panggilan mendadak dari Kaisar Galaksi untuk berkumpul di Lubang Hitam Supermasif karena ada rapat pimpinan. Pertemuan kita terpaksa harus ditunda kembali. Mohon maklum.”

Kami mendesah kecewa. Setahun kemudian, hal yang sama kembali terulang.

“Mohon maaf,” kata alien itu lagi, setahun kemudian. “Pemimpin kami yang mendapatkan disposisi untuk hadir ke acara ini tidak dapat hadir karena alasan kesehatan. Pertemuan kita terpaksa harus ditunda kembali.”

Tahun demi tahun, kejadian serupa terus berulang. Kami terus bertanya-tanya, bukankah alien yang peradabannya jauh lebih canggih itu seharusnya kinerjanya lebih sat-set-sat-set daripada kami? Kalau sama saja, lalu buat apa kita memajukan peradaban?

Rakyat mulai gerah dengan betapa besarnya anggaran yang negara keluarkan setiap tahunnya untuk mempersiapkan upacara penyambutan alien yang selalu gagal. Namun Presiden juga tidak sanggup membubarkan Kemluang (Kementerian Luar Angkasa) karena risiko jangka panjang yang dapat terjadi apabila kita tidak menyambut kehadiran bangsa alien secara normatif.

“Risikonya bukan hanya digunjingkan di seantero galaksi,” ucap Presiden dalam pidatonya, “tapi juga membahayakan keselamatan kita sebagai bangsa, sebagian negara, sebagai umat manusia!”

Singkatnya, keberadaan pesawat raksasa milik alien di atas langit kita bisa diibaratkan dengan seseorang yang sedang menodongkan pistol di kepala kita sendiri. Beberapa pengamat politik dan kemananan mengajukan teori bahwa semua penundaan ini adalah taktik psikologis mereka untuk menguji kita.

“Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka punya kuasa,” ucap pengamat itu sambil mengacungkan jari ke atas.

Mau tak mau, proses persiapan penyambutan alien tetap harus dilakukan, meski berubah menjadi rutinitas yang membosankan. Kami mulai kehilangan semangat. Acara selalu batal, logistik selalu sia-sia, uang selalu dihamburkan.

Beberapa pejabat diciduk KPK karena memanipulasi anggaran untuk upacara penyambutan alien. Sisanya, terjangkit kejenuhan dan berusaha mempersibuk diri demi menjustifikasi tunjangan kinerja yang mereka dapatkan. Kemluang mulai diplesetkan dari Kementerian Luar Angkasa menjadi Kementerian waktu Luang. Namun bukan berarti aku di Baperkoala dapat menikmati waktu luang dan bersantai-santai. Buktinya, meja kerjaku masih penuh dengan berkas dan laporan-laporan. Entah apakah aku bekerja agar aku dapat membuat laporan, atau aku membuat laporan agar aku dianggap bekerja.

3

Setiap hari adalah hari biasa dan aku mulai merasa pekerjaanku semakin sia-sia. Pagi hari, aku berangkat kerja menggunakan commuter line, berdesak-desakan dengan para pekerja lain yang tak pernah tahu apa yang sebenarnya aku kerjakan. Dari jendela kereta, sering kali aku memandangi bayangan barisan UFO di atas sana dan membayangkan kapan kegelisahan ini akan berakhir. Mungkin akan lebih baik jika kami berperang saja dengan mereka dan punah dengan terhormat daripada digantung seperti ini.

Dalam perjalanan ke kantor, seringkali aku melihat sekumpulan orang yang berdemo agar pemerintah menggunakan kekuatan senjata untuk mengusir para alien dari atmosfer bumi. Motifnya bermacam-macam. Mulai dari rasial, nasional, hingga keagamaan (mereka menganggap para alien sebagai dajjal atau antikristus). Ada pula alasan ekonomi, bahwa anggaran untuk menyambut alien seharusnya digunakan untuk hal-hal lain yang lebih berguna bagi umat manusia.

Ironis, kata mereka, bahwa masih banyak umat manusia yang kelaparan dan tidak sejahtera, tapi kita malah menghamburkan uang untuk makhluk asing yang belum tentu akan bersahabat dengan kita. Sesekali juga aku melihat sekumpulan aktivis yang membuat kampanye untuk memanusiakan alien. Bagi mereka, kita harus tetap mengalokasikan anggaran untuk menyambut alien dengan cara yang paling manusiawi. Perbedaan pandangan ini seringkali digunakan sebagai alat untuk menyerang kekuatan politik yang berseberangan. Sebagai pegawai negeri, itu bukan urusanku. Urusanku hanya menjalankan tugas sesuai fungsi.

Namun kesabaranku tidak tak terbatas. Di dunia ini tidak ada yang tak terbatas. Suatu pagi aku memutuskan untuk sengaja datang terlambat dan turun di stasiun yang tidak seharusnya. Kukenakan jaket untuk menutupi seragamku agar tidak dipotret orang. Kumatikan ponselku dan aku berjalan tanpa tujuan. Masuk mal, keluar mal, makan di pinggir jalan, bicara dengan orang-orang yang tak kukenal. Kupikir, semuanya akan baik-baik saja. Satu hari saja tak masalah. Kalau mengajukan cuti, sudah pasti aku akan ditahan karena berbagai alasan. Memang, menghilang seperti ini pun tidak gampang. Aku harus mencari alasan yang masuk akal. Sakit? Kecelakaan? Diculik alien? Hal darurat apalagi? Aku hanya butuh sedikit istirahat. Kalau bisa banyak.

Tentu saja semua itu tak berjalan dengan lancar. Saat menonton film di bioskop, aku terbayang tumpukan tugas di kantor yang belum selesai serta orang-orang yang akan menelepon menanyakan hal-hal yang tidak kuhapal di luar kepala. Bahkan sesekali aku merasakan “getaran hantu” di saku celanaku. Getaran hantu adalah getaran yang kurasakan seolah ponselku bergetar, padahal tidak.

Film di hadapanku bercerita tentang sekelompok robot berkecerdasan buatan yang memberontak terhadap manusia dan malah balik memperbudak manusia. Menarik sekali, tapi mungkin itulah akibatnya jika peradaban yang tidak cerdas-cerdas amat nekat menciptakan kecerdasan buatan.

Usai menonton film, aku keluar dari bioskop dan tiba-tiba saja aku mendengar suara seorang perempuan memanggil namaku. Aku menoleh. Seorang perempuan cantik berambut pendek tersenyum ke arahku.

“Ternyata kamu masih menyimpan hoodie itu?” tanyanya.

“Alina?” gumamku. Ia tersenyum. Aku segera memeriksa jaket hoodie yang kukenakan dan aku baru sadar bahwa jaket itu adalah hadiah ulang tahun darinya empat tahun lalu. Saat itu kami masih menjadi sepasang kekasih.

“Tadi aku duduk di belakangmu. Untung aku kenal jaketnya.”

“Aku malah nggak lihat.”

“Kamu nggak kerja?”

“Oh, nggak.”

Ia melirik ke arah celanaku. Celana seragam dinas. Ia pasti menyadarinya.

“Kamu itu digaji pakai uang rakyat, jangan sembarangan,” ucapnya ketus. Cukup menusuk.

Aku berusaha mengalihkan pembicaraan meski terasa canggung. Sambil berjalan ke pintu keluar bioskop aku menanyakan kesibukannya. Ia masih bermain piano, bahkan sebentar lagi akan diundang ke event internasional. Katanya ia ingin sekali tampil bermain piano dalam acara seremonial penyambutan alien.

“Jadi kapan kita bakal menyambut alien-alien itu? Itu kerjaan kamu, kan?” tanyanya.

“Iya, tapi belum ada jadwal yang fix. Mereka semuanya sibuk.”

“Rasain, tuh! Makanya jangan suka sok sibuk,” ucapnya sambil tertawa.

“Setelah ini mau ke mana?” tanyaku. Terbesit dalam pikiranku untuk mengajaknya makan siang agar kami dapat duduk dan mengobrol dengan lebih leluasa, tapi belum sempat ia menjawab pertanyaanku, tiba-tiba saja seorang lelaki datang dan menepuk pundaknya.

Sedikit kaget, ia pun memperkenalkan lelaki itu sebagai tunangannya, dan ia memperkenalkan aku sebagai teman kuliahnya. Aku baru sadar bahwa sejak tadi tampaknya mereka memang menonton berdua. Mungkin sang pria pergi ke toilet lebih dulu setelah keluar dari studio bioskop.

Aku tidak jadi memperpanjang pembicaraan. Tidak ada artinya, lagipula mereka sepertinya akan langsung pulang–atau lanjut berkencan. Entah apa hebatnya pria itu dan apa pekerjaannya. Apakah ia juga membolos sepertiku sehingga bisa-bisanya menonton bioksop di jam kerja seperti ini? Sepertinya tidak. Mungkin ia seorang pengusaha, enterpreneur, atau sejenisnya. Tipe orang yang mampu mengatur waktunya sendiri, membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan mengendalikan hidupnya sendiri.

Alina pamit dan melambaikan tangan ke arah tempat parkir. Aku dapat melihat kilatan cincin di jari manisnya. Setelah ia menghilang, aku bergegas menuju stasiun kereta.

Setelah bertemu Alina, entah kenapa keinginanku untuk membolos menjadi lenyap seketika. Bukan karena kata-katanya yang pedas dan menusuk, bukan pula karena aku tiba-tiba menjadi bersemangat bekerja, tapi karena tiba-tiba saja aku menjadi muak dengan semua ini–termasuk dengan ide tentang eskapisme.

Aku turun di stasiun dekat kantorku, sebuah bangunan tua berlantai tiga belas yang di dalamnya diisi oleh beberapa kantor pemerintah, salah satunya Baperkoala. Di lift yang terasa kotor dan berderit-derit, aku bertemu dengan seorang rekan kerjaku di bidang lain yang menyadari bahwa aku baru datang ke kantor siang ini.

“Lho, ke mana aja?” tanyanya dengan napas yang terburu-buru.

Entah kenapa, sepertinya ia sangat sibuk. Orang-orang yang kulihat di lobi tadi juga terlihat lebih sibuk dari biasanya, meski kadang aku sulit membedakan ketika mereka benar-benar sibuk dan sedang sok sibuk karena ada sidak.

“Ada urusan sebentar tadi,” jawabku singkat.

“Dicariin Pak Boris sama Pak Kepala. Hapenya nggak aktif, ya?” ucapnya singkat, kemudian turun lift di lantai lima.

Aku menahan napas. Dicari oleh Pak Boris adalah hal biasa. Ia hampir selalu mencariku untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna. Namun mendengar nama Pak Kepala, aku terkejut. Tidak biasanya ia langsung mencariku yang hanya seorang staf ini.

Aku langsung meraih ponsel di saku celanaku dan baru ingat bahwa aku belum mengaktifkannya kembali. Setelah beberapa detik, ponselku kembali aktif dan sederetan notifikasi langsung muncul bertubi-tubi. Lima belas panggilan tak terjawab, dua puluh pesan baru, lima email.

Posisi di mana? Kamu di mana? Draft sambutan terbaru ada di mana? Tolong cepat. Pak Ketua minta cepat.

JADWAL PENYAMBUTAN PUKUL 16 SORE INI. SEGERAAAA.

Aku terhenyak. Pukul enam belas sore ini? Kulihat jam tangan. Sekarang pukul empat belas lewat lima belas menit!

4

Ting!

Lift berhenti di lantai sembilan. Ketika aku melangkah keluar lift, aku melihat rekan-rekan satu ruangan menatapku dengan mata terbelalak. Beberapa di antaranya sedang sibuk mengacak-ngacak tumpukan berkas di mejaku, sementara ada pula yang sedang duduk di depan komputerku.

“Sambutannya! Mana sambutannya! Ajudan Pak Presiden udah minta berkali-kali,” kata salah seorang rekanku.

“Pak Boris mana?” tanyaku sambil meminta mereka menjauh dari mejaku.

“Udah berangkat duluan ke lokasi. Dia abis diomelin tadi gara-gara lo. Ke mana aja, sih?”

Aku tidak menjawab. Sambil berusaha menenangkan diri, aku menggantikan mereka membongkar tumpukan berkas. Di mana? Aku ingat, draft itu sudah di-acc dan sudah ditandatangani, kusimpan dalam map merah dan kuletakkan di samping komputer, tapi tak juga ketemu.

File mentahnya aja deh! Print ulang.”

“Iya, iya, tenang. Emangnya di Sekretariat nggak ada yang pegang salinannya?” tanyaku, mencoba melempar bola.

“Nggak ada. Kan lo yang ngerjain semuanya.”

Tentu saja, aku yang mengerjakan semuanya. Baru tahu rasa kalian.

Waktu terus berdetak, telepon berbunyi terus tapi tak ada yang berani mengangkat, kepanikan semakin meningkat. Hanya beberapa orang saja yang bisa terlihat santai dalam kondisi ini.

“Udah, tenang aja. Paling juga diundur lagi. Tahun lalu juga gitu,” ujar seorang rekan yang duduk di pojok, sambil menyeruput secangkir kopi.

“Bukan soal diundur atau nggaknya. Kalau nggak segera dikirim, kita tetap kena omel.”

“Mending ketik ulang aja daripada nyari ga ketemu. Lo masih inget kan isinya?”

Aku mengangguk. Sepertinya itu adalah ide yang paling masuk akal. Mungkin aku bisa menulis ulang dalam lima belas menit.

Yang terhormat, Bapak/Ibu Pimpinan Bangsa Alien beserta jajarannya

Yang terhormat Para Menteri, Panglima Tentara, dan ….

Tiba-tiba saja pikiranku menjadi kosong. Ingatanku terasa lumer menjadi satu. Sambutan ini bukanlah hal yang sederhana. Seharusnya. Kami telah puluhan kali seminar, diskusi, rapat, dan studi banding untuk merumuskan draft sambutan ini. Bagaimana mungkin aku dapat membuat yang baru hanya dalam lima belas menit?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat sore. Salam sejahtera bagi kita semua. Om swastiastu …. Kami menyambut baik kedatangan Bapak/Ibu alien sekalian … untuk membina kerja sama dan rasa persaudaraan antarplanet … bahwa kita semua pada hakikatnya adalah satu, bersaudara, dan … kerja sama antara Republik ini dengan … dalam bidang ekonomi, budaya, dan sosial, serta tidak terlepas juga keamanan maupun politik … pertukaran teknologi dan budaya …. semoga ke depannya dapat terjalin silaturahmi yang baik … demikian, wa billahitauifiq wal hidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Aku menjambak rambutku sendiri. Jelek sekali. Aku tidak bisa menulis kata sambutan dalam kondisi seperti ini.

Tiba-tiba saja aku teringat dengan film yang kutonton di bioskop tadi. Kecerdasan buatan! Aku segera membuka situs ChatGPT dan memintanya membuatkan naskah kata sambutan untuk seremoni penyambutan alien.

Prompt:

Hai, ChatGPT yang baik. Sebentar lagi kami akan menyambut kedatangan bangsa alien ke negara kami. Bapak Presiden akan memberikan kata sambutan di hadapan pimpinan bangsa alien tersebut. Tolong buatkan kata sambutannya. Gunakan gaya bahasa yang formal dan sopan ya. Thanks.

Aku melihat laman ChatGPT yang terus melakukan loading, sementara keringat dingin mulai merembes di punggungku. Ini lebih lama dari biasanya. Sepertinya ChatGPT pun bingung dan mengira aku sedang bercanda.

Setelah hampir semenit, akhirnya ia membalas:

Tentu, berikut adalah contoh kata sambutan untuk kedatangan bangsa alien:

Hormat kami kepada para tamu agung dari luar angkasa yang mulia,

Salam sejahtera bagi seluruh warga bumi dan para pengunjung yang kami sambut dengan tulus dan penuh kehangatan. Saya, atas nama rakyat dan pemerintah [nama negara], dengan rendah hati menyampaikan ucapan selamat datang yang penuh kehormatan kepada perwakilan bangsa alien yang mulia.

Kedatangan Anda ke bumi ini adalah suatu momen yang amat mulia dan bersejarah bagi seluruh umat manusia. Dengan penuh kerendahan hati, kami membuka pintu gerbang bumi kami untuk menyambut kehadiran Anda yang luar biasa ini. Ini adalah momen yang membawa harapan baru, kerja sama yang erat, dan pemahaman yang lebih dalam antara peradaban-peradaban yang berbeda.

Kami menyadari bahwa pertemuan ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju pemahaman dan kerja sama yang lebih dalam di antara bangsa-bangsa di alam semesta ini. Dalam kehadiran Anda, kami melihat peluang untuk memperluas cakrawala pengetahuan, memperdalam pengertian akan alam semesta, serta memperkukuh ikatan persahabatan yang akan kita rawat dengan penuh kehangatan dan penghormatan.

Kami berharap bahwa kunjungan ini akan menjadi tonggak awal dari era baru kerja sama antarplanet, dimana pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai kemanusiaan dapat saling bertukar dengan penuh hormat dan tanggung jawab.

Dengan penuh kehangatan dan kerendahan hati, kami sambut kedatangan Anda di tanah kami ini. Semoga pertemuan ini menjadi langkah awal yang membawa kebaikan dan kemajuan bagi kedua belah pihak.

Terima kasih.

Semoga kata sambutan ini sesuai dengan harapan Anda. Jika ada yang perlu disesuaikan atau ditambahkan, jangan ragu untuk memberi tahu saya.

“Print!” jeritku.

Dengan gesit, aku menekan tombol cetak di layar komputer. Berhubung tinta printer sudah hampir habis, cetakan draft pidato itu terlihat agak samar, tapi untunglah masih bisa terbaca.

“Siapa yang mau antara ke sana?” tanyaku sambil memasukkan naskah sambutan itu ke dalam map berlogo Kopkala.

“Pakai Go-Send aja lah,” usul salah seorang.

“Nggak mungkin. Jam segini macet. Orang-orang banyak yang lagi pulang kantor. Selain itu lokasi seremoninya juga lumayan jauh. Lagian ojek nggak bisa tembus pengamanan presiden.”

“Nggak ada mobil dinas apa?”

“Nggak ada. Lagi dipakai makan siang, belum balik lagi.”

Ketika kami sedang seru berdebat, tiba-tiba saja pintu ruangan dibuka. Seorang petugas kemanan menanyakan keberadaanku, kemudian memberitahukan ada orang-orang yang ingin bertemu denganku. Sambil membawa map naskah sambutan, aku bergegas menemui orang-orang itu. Sepertinya penting. Di lobi kantor, ada dua orang laki-laki berpakaian loreng tentara segera menyambutku.

“Ayo, Pak. Kita naik helikopter saja, sudah ditunggu Bapak Presiden,” ucap salah satu tentara itu.

“Udah fix jadi nih, Pak?” tanyaku.

“Info A1, kemungkinan, sepertinya, Insya Allah, akan jadi Pak kali ini, dengan asumsi kalau mereka tidak berubah pikiran lagi,” jawab tentara satunya.

“Baik kalau begitu.”

Seperti orang penting, aku pun dibawa naik lift ke puncak gedung, sementara rekan-rekan umbiku memperhatikan

Seperti orang penting, aku pun dibawa naik lift ke puncak gedung, sementara rekan-rekan umbiku memperhatikan. Di helipad, sebuah helikopter hitam diparkir. Helikopter itu memiliki lambang negara di kedua sisinya, sementara seorang petugas bersenapan mesin berjaga-jaga di depan pintu masuk. Kedua tentara tadi memerintahkanku untuk naik setelah mengenakan alat-alat keamanan. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku menaiki sebuah helikopter.

Suara baling-baling mulai terdengar berputar. Angin kencang membuat rambutku acak-acakan. Aku memegang map berisi naskah sambutan itu dengan sangat erat dan menahan napas. Tak lama kemudian, helikopter mulai naik ke udara.

“Maaf, kita agak terburu-buru, Pak,” ujar pilot helikopter, “lima belas menit lagi Pak Presiden harus berpidato menyambut delegasi alien.”

“Pak,” ucapku, “Kenapa tidak dikirim lewat email saja?”

Ia terdiam selama beberapa detik. “Oh, iya ya? Benar juga! Bisa dikirim ke iPad-nya ajudan Presiden, dan Presiden bisa langsung baca.”

Helikopter turun kembali. Aku berlari ke ruangan kantor dengan napas yang terengah. Rekan-rekanku terheran-heran melihatku kembali.

“Kenapa balik lagi?”

“Dikirim lewat email aja!” jawabku singkat sembari membuka email di komputerku yang sialnya memakan waktu lebih lama dari biasanya karena koneksi yang lambat.

Sambil menunggu jaringan internet, aku melirik ke semua orang yang berada di ruangan itu. Semua peristiwa ini terasa begitu bodoh. Namun biarlah, toh nanti kita bisa memoles kisahnya di media dengan bantuan buzzer.

“Yakin nih dikirim begini aja?” tanyaku. “Bukannya harus dapat persetujuan dari ….”

“Udahlah!” jawab salah satu dari mereka, “Udah nggak ada waktu lagi. Lagian ini cuma formalitas aja. Belum tentu bakal dibaca, paling juga Pak Presiden bakal improvisasi sendiri. Alien-nya juga belum tentu ngerti.”

“Paling juga batal lagi acaranya,” sahut yang lain.

Aku mengangguk, kemudian melihat proses unggah hampir selesai. Setelah file itu terunggah, aku mengklik tombol Kirim, lalu bernapas lega. Salah seorang tentara yang tadi menemuiku kemudian menepuk pundakku dan mengajak bersalaman.

“Terima kasih. Nasib bangsa kita, bahkan umat manusia, berada di pundakmu,” ujarnya.

Aku tersenyum. Itu adalah pujian paling besar yang pernah kuterima selama bekerja di sini. Biasanya aku hanya mendapatkan imbalan sebesar 4M (Mantap, Mas! Makasih, Mas!).

Di luar sana, pemimpin negara kami mungkin sedang melakukan kontak pertama dengan pemimpin bangsa alien, merencanakan prospek kerja sama masa depan dalam segala bidang yang akan mengangkat derajat bangsa dan negara kami di hadapan dunia internasional. Sementara itu, rekan-rekanku kembali pada pekerjaan mereka semula. Ada yang membuat SPJ kegiatan, ada yang memfotokopi bahan rapat, ada yang menagih iuran uang arisan. Mereka semua merasa lelah setelah menyelesaikan tugas bertekanan tinggi tadi.

Aku mencoba rehat sejenak. Aku duduk di ruang tengah, menemani Mbak Ayu, resepsionis kantor kami, yang sedang menonton televisi.

Di TV nasional, acara sinetron terpaksa ditunda karena ada siaran langsung Upacara Penyambutan Delegasi Bangsa Alien. Aku terkesiap.

“Mbak, ini beneran?” tanyaku.

Mbak Ayu rupanya sedang asyik memainkan ponselnya. “Eh, iya? Beneran ya?”

Di layar kaca aku melihat seosok sinar terang meyorot keluar dari dalam UFO, kemudian bulatan-bulatan cahaya turun bergantian dan bertransformasi menjadi sosok-sosok alien. Dari jauh, mereka tampak seperti kadal, tapi dengan postur tubuh yang menyerupai manusia. Manusia kadal yang berjalan paling depan tampak berukuran paling besar, mungkin itulah pemimpin mereka.

Aku merinding melihatnya. Aku tak bisa mempercayainya, momen ini benar-benar terjadi. Dengan penuh khidmat, sang pemimpin alien kemudian bersalaman dengan Bapak Presiden dan dipersilakan duduk di tenda VIP yang dilengkapi AC standing dan hidangan prasmanan.

Para penari tradisional naik ke atas panggung, diikuti oleh para pemusik. Tari-tarian digelar. Aku ingat bahwa para penari ini merupakan para penari pilihan tingkat nasional yang telah berpengalaman dalam misi seni budaya tingkat dunia. Selama bertahun-tahun, mereka mempersiapkan diri berlatih tarian kreasi yang sengaja dirancang untuk mewakili seluruh budaya tradisional di negara kami. Koreografer yang menata gerakannya pun adalah sosok profesional yang sangat berpengalaman di negara kami, begitu pula dengan para musisinya.

Meski begitu, para alien tampak tak terkesan. Mereka terus menatap lurus tanpa ekspresi. Entah, mungkin memang ekspresi mereka seperti itu. Mungkin memang otot-otot di wajah mereka memiliki gerakan yang terbatas. Bagiku, wajah mereka semua sama saja.

Setelah tarian penyambutan selesai digelar, Bapak Presiden berdiri dan naik ke podium. Sebelum naik, ia sempat berbisik-bisik dengan ajudannya, tapi setelah menengok kanan dan kiri, seolah sedang mencari sesuatu, ia pun naik ke atas podium. Seorang penerjemah bahasa alien mendampinginya.

Saat sedang berusaha menyimak isi pidato Presiden, tiba-tiba saja seorang temanku berteriak dari ruang kerja.

“Woy!” teriaknya, “Salah kirim lu! File apaan yang tadi lo kirim?”

Aku menoleh ke arahnya yang berjalan mendekatiku. “Maksudnya?”

“Iya, file yang tadi lo kirim ke email bukan naskah pidato, itu sih ….”

Tiba-tiba saja ucapannya berhenti. Ia melirik ke arah televisi dan mulutnya menganga.

“Sebentar, sebentar,” ucapya pelan. “Ini… jadi?”

“Iya, jadi.”

“Sialan!”

Di televisi Bapak Presiden membacakan sesuatu. Sepertinya ia membacakan file curhat harianku. Entah kenapa, bukankah seharusnya ia menyadari bahwa ia tengah membaca naskah yang salah?

Tak lama kemudian, para alien termasuk pemimpin alien tiba-tiba saja berdiri dari kursinya, padahal Presiden masih berdiri di podium. Semua orang saling toleh: menteri, tamu undangan, Paspampres, tentara, wartawan, EO. Termasuk kami yang menonton televisi.

Kamera bergoyang. Aku mendengar suara tembakan. Kemudian, para alien itu berjalan ke arah tempat mereka mendarat tadi. Beberapa pasukan pengaman berusaha mencegah mereka, tapi kemudian aku mendengar suara tembakan lagi, dan para pengaman itu jatuh terkapar.

Para alien berubah menjadi cahaya, kemudian cahaya-cahaya itu naik kembali ke atas pesawat UFO. Seluruh tamu berdiri, bubar sambil menjerit, sementara Paspampres mengawal presiden turun dari podium dan berlari masuk ke mobil kenegaraannya. Tayangan di televisi semakin kabur. Kameramen bergerak menjauh bersama kameranya, kemudian tiba-tiba saja siaran itu lenyap. Hanya warna hitam yang terlihat di layar.

“Ada apa?” tanyaku.

“Astaghfirullahalazim! Ya Allah!” pekik Mbak Ayu.

"Astaghfirullahalazim! Ya Allah!" pekik Mbak Ayu

Sejak saat itulah invasi Alien di bumi dimulai. Pesawat-pesawat UFO beterbangan di atas langit dengan bebasnya. Angkatan Udara maupun Angkatan Darat tak sanggup menghalau mereka. Pesawat tempur, tank, dan semua persenjataan kami dihancurkan dalam sekali kedip. Pangkalan senjata nuklir diambil alih.

Dalam sekejap, para alien menghancurkan seluruh gedung-gedung yang dideteksi sebagai gedung pemerintahan, termasuk gedung kantor Baperkoala. Dengan demikian, lumpuhlah pemerintahan negara-negara di bumi. Anarki terwujud di dunia. Sebagai salah satu penduduk bumi yang selamat, awalnya kupikir ini adalah distopia yang diam-diam kuimpikan. Bebas. Tidak ada tugas. Tidak ada deadline. Tidak harus absen. Kehidupan seru dan epic mulai aku bayangkan. Mungkinkah aku akan bergabung dengan gerilyawan pemberontak bumi? Atau mungkin aku berteman dengan para alien, membangun dunia baru yang lebih baik?

Namun anarki tak pernah bertahan lama. Para alien memutuskan untuk mengambil alih kekuasaan. Mereka mendirikan kantor pemerintahan mereka sendiri yang kekuasaannya mencakup planet Bumi, tata surya, dan galaksi Bimasakti. Setelah beberapa tahun menjadi pengangguran, akhirnya aku mendatangi salah satu kantor Negara Alien sambil membawa map bertuliskan Berkas Pendaftaran CPNS (Calon Pegawai Negeri Space).

THE END