Iklan Audio: Ujian Kewarasan di Halte Busway

6186786217_f136fd53c4_zSore itu, sudah hampir satu jam saya berada di ruangan yang panas, berdesakan dengan puluhan orang yang bau keringat, dan mendengarkan suara perempuan bernada menjengkelkan yang diputar secara looping dari pengeras suara. Napas mulai sesak, tubuh terasa lelah, dan celakanya, saya lupa membawa earphone. Tidak pernah sebelumnya saya merasa begitu menyesal telah lupa membawa earphone, kecuali pada saat itu, saat saya harus menunggu bus di halte busway sambil mendengarkan iklan kartu kredit Standard Chartered Bank secara non-stop. 

“Lagi nunggu busway?” ujar suara itu, seolah mengejek keberadaan saya yang mengenaskan. Kemudian suara itu merayu saya untuk membuat kartu kredit–saat itu juga. Ain’t nobody got time for that!

Mendengarkan musik lewat earphone di tempat umum bukanlah hiburan yang ideal. Pertama, kualitas musik pasti akan rusak karena suara bising yang bocor dari luar. Earphone kualitas murah tentu tidak punya kemampuan peredam suara yang baik, dan apabila saya memaksa meningkatkan volumenya, gendang telinga saya bisa rusak. Kedua, menyumpal kuping di pusat keramaian bisa menimbulkan banyak bahaya, mulai dari tersandung, tertabrak, hingga kecopetan karena lengah. Namun, alat penyumpal kuping tiba-tiba saja menjadi satu-satunya penyelamat dari iklan audio menjengkelkan itu.

Bagi saya, iklan audio di tempat publik seharusnya dilarang. Selain menjengkelkan karena sulit dihindari, iklan tersebut juga diputar secara berulang-ulang. Mungkin kamu pernah merasa kesal dengan iklan di TV yang ditayangkan tiga kali berturut-turut (seperti yang diparodikan dalam Malam Minggu Miko: “Jerawatku hilang! Jerawatku hilang!”). Iklan audio di halte busway terasa beberapa kali lipat lebih mengganggu.

Tentu saja iklan semacam itu bukanlah satu-satunya di dunia. Di Amerika Serikat, iklan audio juga dipasang di area transportasi umum, termasuk di dalam bus. Beberapa di antaranya menggunakan sistem GPS untuk memperdengarkan iklan yang sesuai dengan lokasi penumpang, misalnya akan terdengar iklan McD saat bus melintasi restoran cepat saji tersebut.

Iklan-iklan komersial telah lama menjadi polusi visual yang mencemari kota, mulai dari billboard di pinggir jalan hingga poster di depan tempat kencing laki-laki, mulai dari televisi hingga pesan singkat di ponselmu (yang selalu membuatmu kecewa karena mengira itu SMS dari gebetan). Di tengah itu semua, masihkah kita membutuhkan iklan audio? Di tempat orang-orang sedang terhimpit kesemrawutan ibu kota?

Saya pikir, warga Jakarta sudah cukup stres dan emosional. Hampir setiap hari kita melihat orang-orang berkelahi karena saling senggol di jalan, saling dorong saat memasuki angkutan umum, atau saling memaki karena hal-hal sepele lainnya. Seandainya kondisi transportasi publik di ibu kota sudah ideal dan tidak ada penumpukan penumpang di halte atau shelter, iklan audio looping mungkin bisa kita abaikan. Namun, kita semua tahu bahwa menunggu bus di jam-jam padat adalah penantian yang nyaris abadi. Satu-satunya jenis suara yang pantas diperdengarkan di tempat seperti itu adalah musik relaksasi yang [mungkin] bisa sedikit menenangkan para penumpang sehingga tidak saling dorong atau menggesekkan alat kelamin. Sayangnya, yang kita dapatkan malah iklan kartu kredit dan obat pengering ketek (English: deodorant).

Argumen yang paling sakti untuk memasang iklan audio tentunya adalah masalah pemasukan dana. Mungkin tanpa iklan-iklan yang menganggu itu, pemerintah akan kekurangan dana untuk menyediakan transportasi publik yang memadai. Lantas, apakah demi mendapatkan transportasi yang murah, kita harus pasrah membiarkan kuping kita diperkosa bolak-balik selama menunggu bus? Atau menyisihkan uang untuk membeli headphone yang kedap suara? Ah, kalau begitu namanya bukan transportasi murah.

Bagaimana dengan kamu? Pernah merasa terganggu dengan iklan audio? Atau kamu justru menikmatinya?

—————————

Foto: JE Therlot