#5BukuDalamHidupku Goosebumps: Misteri Anjing Hantu

Saya perlu berpikir agak keras ketika memutuskan mengikuti acara #5BukuDalamHidupku dari situs irwanbajang.com. Selain karena saya bukan seorang pembaca yang rajin (butuh waktu lama untuk menghabiskan satu buku), deskripsi acara itu juga lumayan berat: “berisi 5 buku paling berpengaruh, 5 buku yang mengubah hidup Anda!”. Rasanya hidup saya yang biasa-biasa ini belum pernah berubah sampai lima kali, itu kalau perubahan yang dimaksud adalah sesuatu yang transformatif atau luar biasa. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil definisi yang pertama yaitu “5 buku paling berpengaruh”, atau dalam penafsiran saya, “5 buku yang paling berkesan dan paling mudah saya ingat saat ini”.

Tanpa lebih lanjut mengorupsi word count, saya akan memperkenalkan buku pertama saya untuk acara ini. Sudah bisa ditebak dari judul tulisan, buku itu adalah Goosebumps: Misteri Anjing Hantu.

ANJING-ANJING HANTU ITU SUDAH MENUNGGUNYA SELAMA BERABAD-ABAD!

Pada bayanganmu sendiri saja takut, itulah yang selalu dikatakan orang-orang pada Cooper Holmes. Tapi, ketika keluarga Holmes pindah ke rumah mereka yang baru, terpencil di tengah hutan, hal-hal yang mengerikan memang benar-benar terjadi. Susahnya, tak seorang pun mau mempercayai Cooper yang penakut ini.

Padahal Cooper benar-benar mendengar lolongan anjing di halaman mereka di tengah malam… Dan juga melihat dua Labrador hitam menerjang menembus dinding dapur rumah mereka…

  • Judul: Goosebumps Misteri Anjing Hantu
  • Penulis: R. L. Stine
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Ukuran: 18 x 20 cm
  • Tebal: 126 halaman
  • Terbit: Januari 1996
  • ISBN: 979-655-064-4

Misteri Anjing Hantu adalah buku Goosebumps pertama yang saya baca. Kalau tidak salah, saat itu saya baru masuk SMP atau baru lulus SD, saya kurang ingat. Yang jelas, ketika itu kota Karawang belum sepadat sekarang. Belum banyak mal, apalagi toko buku (sekarang juga sedikit, sih) yang berdiri di tengah kota. Satu-satunya toko buku yang menjual novel dan komik saat itu adalah sebuah toko buku di lantai paling atas mal Borobudur (beberapa tahun lalu gedung itu terbakar dan berganti menjadi toko elektronik).

Toko buku adalah tempat favorit saya ketika diajak belanja oleh orang tua. Dengan gembira, saya selalu mengunjungi bagian rak komik dan memilih-milih komik Kobo-chan atau Kariage-kun terbaru. Pada saat itulah mata saya tertarik pada tumpukan buku berwarna-warni dengan sampul gambar-gambar seram. Saya membaca sinopsis buku-buku itu dan merasa sangat tertarik, atau lebih tepatnya tertantang. Rasa penasaran anak kecil tentang hantu dan misteri bergelora kuat dan harus segera dipuaskan. Setelah meminta izin dan merengek kepada ayah saya, akhirnya saya diizinkan membeli salah satu buku Goosebumps yang berjudul Misteri Anjing Hantu.

Misteri Anjing Hantu adalah buku yang memperkenalkan saya dengan novel horor. Sebelumnya saya hanya membaca cerita-cerita horor ala kisah misteri di tabloid Fantasi. Anak kecil yang baru tumben membaca novel dengan serius itu pun terpukau dengan deskripsi yang ditulis R. L. Stine: tentang bayangan ranting-ranting pohon yang mengintip dari jendela, tentang lolongan anjing yang membuat merinding, dan tentang orang yang tersesat di tengah hutan dan dikejar-kejar anjing hitam. Betapa nikmatnya membaca semua itu. Goosebumps memang berbeda dengan cerita-cerita hantu yang pernah saya baca atau dengar sebelumnya. Ada muatan fantasi dan petualangan yang cukup kental di sana. Buku Misteri Anjing Hantu saya baca berulang kali hingga buku itu menjadi lecek, jauh lebih lecek daripada buku-buku Goosebumps lainnya yang saya beli belakangan. Buku inilah yang kemudian membentuk imajinasi saya dan mendorong saya untuk menulis cerita horor.

Selain cerita yang menarik, hal lain yang membuat saya betah dengan buku ini adalah karena adanya kaitan dengan pengalaman pribadi. Pertama, sewaktu kecil saya pernah punya pengalaman buruk dikejar anjing dan hal itu membuat saya agak takut dengan anjing (apalagi anjing hantu). Kedua, tokoh utama dalam buku diceritakan baru saja pindah dari kota lain, sementara saya juga baru pindah dari Jakarta ke Karawang. Kamar tempat ia tidur juga memiliki jendela ke arah luar rumah, sama seperti saya. Tokoh utama dalam buku itu juga memiliki daun telinga yang besar dan selalu ia tutupi dengan rambut dan topi, mirip seperti saya.

Tentu saja semua keterpukauan itu berasal dari sudut pandang seorang anak yang sangat awam. Kalau saya membaca kembali buku itu sekarang, mungkin reaksi saya akan biasa-biasa saja, malah menganggapnya terlalu sederhana. Meski begitu, buku ini bagi saya tetaplah buku yang berkesan dan menginsipirasi.