Jembatan Surga

Untuk Adriane yang kiriman bukunya tersesat di Cimahi

 

Foto: Innah Wulandari

Seumur hidup, Adrian hanya pernah dua kali memberikan bunga kepada wanita dan ia menyesali keduanya. Bunga pertama adalah bunga mawar merah yang ia berikan kepada gadis cinta pertamanya saat SMP. Mawar itu diberikannya saat pulang sekolah dengan tangan yang gemetar karena gugup, tapi segera ditepis secara kasar oleh sang gadis. Sejak saat itu, Adrian menjadi trauma terhadap bunga mawar dan juga terhadap gadis populer yang sombong.

Pemberian bunga kedua yang ia sesali terjadi saat usianya sudah empat puluh tahun, saat ia sudah menjadi seorang dokter dan ilmuwan yang dihormati di bidangnya. Bunga itu bernama “Jembatan Surga”, sebuah bunga yang sangat langka yang ia berikan kepada Hana, wanita yang sangat ia cintai. Continue reading Jembatan Surga

Setelah Gelap Datang

IMG00997-20121215-0902

Buku ini adalah kumpulan cerita yang saya buat dalam kurun waktu yang lumayan lama, tapi memiliki gaya penceritaan dan tema yang tidak jauh berbeda. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar cerita dalam buku ini adalah cerita-cerita suram, tragis, atau mengerikan. Ini bukan buku cerita tentang persahabatan, motivasi, atau hal-hal yang indah (tentunya sejak melihat judul dan cover-nya, tidak mungkin ada orang yang salah paham).

Ada banyak hal yang menginspirasi saya saat menulis kisah-kisah dalam buku ini. Mulai dari pengaruh karya penulis-penulis lain yang sudah terkenal (Stephen King, R.L. Stine, Sekar Ayu Asmara, dan penulis-penulis cerpen di koran yang terlalu banyak untuk disebutkan), hingga karya lintas media seperti foto dan musik. Tentu saja semua itu tidak lepas dari pengalaman saya sehari-hari, tempat-tempat yang saya kunjungi, dan orang-orang yang saya temui. Komunitas dunia maya (Kemudian.com, LCDP, FDKH, BLC, Nanowrimo, dll.) juga memberikan sumbangsih yang sangat besar.

Menyebutkan kekurangan produk sendiri bukanlah hal yang disarankan dalam marketing, tapi saya harus mengarang sebuah peribahasa “hakimi bukumu sebelum bukumu dihakimi oleh pembaca”. Buku ini tidaklah sempurna. Proses pra-produksi yang agak terburu-buru (lebih tepatnya, “sudah kebelet”) menimbulkan adanya kesalahan teknis di beberapa bagian. Masih ada typo di buku ini (silakan cari sendiri). Tidak banyak, tapi bagi saya agak memalukan. Saya teringat dengan perkataan seseorang di twitter yang saya tidak ingat siapa, bahwa “kamu tidak bisa mengedit tulisanmu sendiri”.

Saya memilih menggunakan jasa penerbit indie dan tidak mengirimkan naskahnya ke penerbit konvensional, sebab saya menyadari bahwa genre yang saya tulis ini bukanlah genre yang akan digilai remaja-remaja histeris dan penggemar fanatik yang membuatnya laku jutaan eksemplar. Penerbit [konvensional] pada dasarnya hanyalah investor yang menanamkan modalnya pada tulisan kita, sehingga wajar bila mereka mengutamakan penjualan dan laba yang besar. Akhirnya saya putuskan untuk menggunakan uang tabungan sendiri meski hanya bisa mencetak 100 eksemplar. Oleh karena itu, saya meminta maaf karena tidak bisa membagi-bagikan buku gratis kepada banyak orang, mungkin hanya untuk beberapa orang peresensi saja (sebagaimana orang yang berjualan baju di online shop juga tidak membagi-bagikan baju gratis, hehe).

Tak ada taring yang tak retak. Sepandai-pandainya pocong melompat, sesekali pasti terjatuh juga. Dengan segala kekurangannya, saya sangat bahagia dengan dicetaknya buku ini. Saya harap buku ini bisa diterima oleh orang-orang yang selama ini kesulitan menemukan bacaan sejenis. Saya sangat mengharapkan kritik dan ulasan dari para pembaca. Bagi saya, perjalanan masih panjang, buku ini hanyalah permulaan. Sebab setelah gelap datang, ia tak lantas pergi begitu saja.